ASAP DAN KUCING



Menyedihkan asap mulai lagi menyelimuti kota Pekanbaru. Disamping mengganggu kesehatan namun pada manusia asap ini juga mengakibatkan penderitaan pada kucing binatang yang tidak berdosa dan tidak punya andil datangnya asap. Asap tidak hilang kalau tidak ada hujan. Jadi persoalannya bagaimana supaya hujan turun. Bagi yang taat beragama mereka melalukan sholat minta hujan. Tapi anak-anak di kompleks tempat saya tinggal punya kepercayaan hujan akan datang kalau kucing dimandikan.

 Nah, inilah yang terjadi semenjak asap muncul. Setiap hari ada kucing yang menjadi korban dimandikan sampai basah kuyup. Saya merasa kasihan melihat kucing-kucing ini, maka saya katakan pada mereka bahwa semua itu hanya mitos. Ada yang percaya ada yang tidak. Nah ketika seminggu yang lalu malamnya turun hujan beberapa anak SD mencegat saya, “Pak, bapak tidak percaya hujan akan turun kalau kucing dimandikan. Sore kemaren 5 ekor kucing kami mandikan dan terbukti malam tadi hujan turun”

Saya hanya tersenyum mendengar ini sambil mikir-mikir bagaimana menjelaskan pada anak-anak ini bahwa tidak ada hubungan antara kucing yang dimandikan dengan  hujan. Yang saya khawatirkan, kalau beberapa hari ini hujan tidak turun , maka yang jadi korban kucing-kucing yang dimandikan secara paksa.

 Namun dibalik itu semua  saya melihat, anak-anak ini merupakan  contoh anak anak yang peduli. Mereka ikut memikirkan bagaimana menyelesaikan masalah. Tidak hanya ikut  mengomel dan mengeluh seperti kebanyakan orang dewasa.  Saya berpengharapan  dengan adanya anak-anak yang kreatif ini, mungkin masa yang akan datang kita tidak perlu lagi merisaukan asap karena diantara mereka menemukan mesin penghisap asap. Semoga

SEMAKIN PANJANG JALAN UNTUK MENJADI GURU

Ketika saya tamat IKIP Program D III seluruh yang tamat tahun itu lansung diangkat jadi gurun tanpa test dan prosedur lainnya. Begitu gampangnya ketika itu jadi guru. Tidak hanya tamatan D III, tamatan PGSLP, DI, DII, PGSLA, BA semua dingkat jadi guru pegawai negeri. Memang ketika itu guru kurang, sehingga angkatan kami ditempat kan keseluruh pelosok Indonesia. Beberapa tahun setelah itu, proses jadi guru masih tetap mudah.
Kemudahan ini tidak lagi dinikmati oleh generasi calon-calon guru tahun 1990 an. Untuk menjadi guru mereka harus melewati test yang cukup ketat dan melelahkan, apalagi tahun –tahun terakhir ini. Saya pernah jumpa calon guru yang sudah 5 kali ikut test jadi CPNS gagal terus. Rasionalnya tentu karena guru sudah cukup, guru yang ada saja sudah payah untuk memcukupkan jam wajib 24 JP. Sedangkan perguruan tinggi terus juga memproduksi calon-calon guru. Di Pekanbaru saja misalnya,  berapa ribu calon guru yang dihasilkan Universitas Riau, UIR, UIN, dll setiap tahun. Kalau tidak ada lowongan jadi guru tentu mereka ini menjadi penganguran.
Nah, dengan keluarnya Permendikbud No. 87 tahun 2013, makin panjang jalan yang ditempuh untuk menjadi guru. Kalau dulu cukup dengan ijazah S1/Akta IV, sekarang setelah S1 tambah lagi pendidikan Profesi satu atau dua tahun.
Pertanyaan kita apa memang perlu penambahan waktu ini, kenapa tidak waktu 4 tahun  perogram S1 itu di efektifkan.
Pendidikan profesi yang  itu nantinya katanya akan digunakan untuk melatih calon  guru untuk membuat RPP dan praktek mengajar. Jangankan  S1, Program Diploma saja sudah ada program ini. Sekarang mengapa harus menambah waktu? Kalau alasannya hanya untuk menambah gelar GR didepan nama saja apakah ini tidak pemborosan tenaga, energi dan biaya daari orang tua. Kemudian apakah dengan gelar GR itu terjamin untuk jadi guru? Jangan-jangan ini hanya menambah jalan panjang untuk menjadi pengangguran.  Cukuplah  4 atau 5 tahun saja jalan  yang  ditempuh untuk menjadi pengangguran. Jangan ditambah lagi.


GARA-GARA SAMBAL LADO, BERURUSAN DENGAN KEDUTAAN


Kalau bercerita tentang makanan, saya punya 3 orang teman yang fanatik dengan masakan Padang. Satu orang dari Jambi,  satu lagi di Pekanbaru dan yang terakhir di negeri asalnya, Padang.  Kalau tiga hari saja tidak mengkomsumsi masakan Padang, mereka ini bisa meninggal,  karena bagi mereka hanya masakan Padang yang  dapat mengenyangkan. Kalau ada pelatihan di Pulau Jawa bersama dengan salah seorang saja dari mereka , maka saya terpaksa setiap jam makan menemani mereka untuk pergi makan keluar mencari rumah makan Padang. Padahal panitia kegiatan sudah menyediakan makan untuk peserta
Kisah yang saya ceritakan ini adalah teman yang berasal dari Jambi. Kami pernah sama-sama mengikuti pelatihan di Singapura dalam jangka yang cukup lama. Di Singapura menu makan ada juga nasi, tapi tidak masakan Padang. Kebetulan lokasi hotel kami di Orchad tidak jauh dari Lucky Plaza. Di Lucky  Plaza ada rumah makan dengan masakan Padang, namun setelah mencobanya, kata teman itu, tidak ada rasa Padangnya, jadi sama juga dengan tidak. Maka setiap hari dia selalu mengeluhkan masalah makanan ini. Yang paling dikeluhkan sambal ladonya yang tidak ada. Melihat kondisi yang begini, ada kawan yang berinisiatif untuk mengajaknya mencari sambal lado pada hari minggu. Untuk ini harus keluar dari Singapura. Pilihan jatuh ke Malaysia, Johor. Kesanalah mereka pergi pada hari Minggu. Kebetulan saya tidak ikut dengan mereka.
Sore mereka sudah sampai lagi di Hotel. Dengan wajah penuh kepuasan teman yang satu ini bercerita bagaimana dia melampiskan dendamnya makan masakan padang sepuas-puasnya di Johor. Dan pulangnya ia membawa bekal sambal lado goreng untuk persiapan makan satu Minggu.
Namun rupanya kepuasan teman ini berbuntut panjang. Mereka yang berangkat ke Johor ini, ketika masuk lagi  ke Singapura pasport mereka di cap dengan jangka  waktu 2 minggu berada di Singapura. Padahal program kegiatan masih ada sekitar satu bulan lagi. Terpaksa besoknya mereka melalporkan hal ini ke Kedutaan Indonesia di Singapura.


PANIPAHAN

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tananh sorga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
................................................
(koes plus)
Minggu yang lalu saya kebetulan ada tugas ke Bagan Siapi-siapi ibukota Rokan Hilir. Seperti biasa saya naik travel. Kebetulan disebelah saya duduk seorang lelaki keturunan Cina. Ia banyak berkisah tentang sejarah negeri leluhurnya. Hampir semua materi cerita ia tuturkan sudah pernah saya baca sehingga perbincangan kami jadi asyik. Namun yang berkesan bagi saya bukan kisah sejarah cina yang ia ceritakan, tapi tentang Desa Panipahan tempat dia tinggal. Menurutnya Panipahan itu dicapai sekitar 2 jam dengan roda dua dari bagan. Bisa juga melalui laut katanya.
Saya belum pernah ke Panipahan, namun dari penuturan teman seperjalanan ini, rumah-rumah penduduk di Panipahan  adalah rumah-rumah panggung yang di bawahnya digenangi air laut. Hidup di Panipahan itu sangat menyenangkan, katanya. Kalau kita puas hidup apa adanya, hidup kita tidak akan susah. Alam sudah menyediakan makanan yang berlimpah untuk kita. Turun saja kita dari rumah, itu dipermukaan air laut, kepiting-kepiting tinggal memungut saja. Kadangkala bila sedang musimnya, udang juga melimpah.

“Tapi kita hidup ini tidak cukup hanya dengan kepiting dan udang saja, Ko” Kata saya. “Kita juga perlu beras, dan pakaian”
“Apa susahnya”, katanya lagi, “kumpulkan kepiting-kepiting itu, bawa kepasar terdekat, jual dapat uang”.
Perbincangan ini mengingatkan saya pada lagu Koes plus, yang mengatakan tanah kita tanah sorga, hanya saya dan rata-rata orang Indonesia lainya  yang tidak