DATUK TABANO SENDIRIAN MENGHADAPI KEROYOKAN SERDADU BELANDA

Bulan yang lalu saya menulis tentang si Koyan manusia super dari Kepulauan Meranti. Ternyata tulisan tersebut mendapat tanggapan positif dari pembaca. Antara lain tanggapan itu mengatakan bahwa disanping si Koyan masih banyak manusia-manusia super  lainnya dari Riau yang belum terekspos. Untuk itu kali ini saya akan menguraikan dengan singkat salah seorang manusia super tersebut yaitu Datuk Tabano dari Kabupaten Kampar.
Datuk Tabano adalah seorang panglima perang di Kanagarian Lima Koto Kampar. Selama hidupnya, ia dikenal gigih melawan Belanda. Datuk Tabano memimpin rakyat Kampar dalam perang terbuka saat Belanda hendak masuk ke Lima Koto Kampar. Untuk mengantisipasi serangan Belanda itu, bersama rakyat Kampar, ia membangun benteng di atas sebuah bukit bernama Batu Dinding di Sungai Mahat. Sungai Mahat saat itu adalah satu-satunya jalur masuk bagi Belanda untuk bisa merangsek ke Lima Koto Kampar.
Di benteng itu Pasukan datuk tabano membuat jebakan dari kayu balok yang diikat dan ditumpuk diberi tali. Ketika serdadu Belanda datang melewati sungai itu dengan 20 perahu yang berisi 250 serdadu belanda, tali pengikat yang telah disiapkan lalu dilepaskan. Hasilnya, pasukan Belanda tenggelam akibat himpitan kayu-kayu besar yang dijatuhkan dari atas bukit. Sebagian yang masih hidup melarikan diri dan menyampaikan berita ke markas Belanda di Pangkalan Koto Baru.
Tidak terima dengan kekalahan itu, Belanda mempersiapkan serangan baru. Belanda menyerang Lima Koto Kampar dengan kekuatan pasukan seribu personil, melalui jalur darat yakni Pulau Godang dan Kuok. Mula-mula pasukan Belanda ini berhasil menawan Pucuk Adat Limo Koto Kampar Datuk Bandaro Sati dan memaksanya menunjukkan rumah Datuk Tabano. Di bawah tekanan keras Belanda, Datuk Bandaro Sati terpaksa menurut dan meminta Datuk Tabano menyerahkan diri.
Dengan tegas Datuk Tabano menolak, maka terjadilah pertempuran seru yang tidak seimbang antara  Datuk Tabano  yang dikroyok oleh puluhan sedadu Belanda. Perkelahian terjadi di dalam rumah datuk Tabano. Satu per satu tentara Belanda itu berhasil dibunuh Datuk Tabano. Lantai rumahnya pun penuh dengan genangan darah. Datuk Tabano berhasil membunuh 18  orang dari serdadu yang mengeroyoknya. Pada suatu kesempatan  seorang sersan belanda yang bernama Smith mencoba menyerang Datuk Tabano, ketika Smith menyerang Datuk  Tabano melompat mengelak, Smith jatuh tersungkur namun ketika Datuk Tabano balik menyerang melompati Smith, kakinya  juga tergelincir di  tikar yang sudah licin  terkena darah. Dia terjatuh dan dester yang di kepalanya terlepas, namun saat dia terjatuh itu ia masih sempat menyabetkan pedangnya dan menewaskan Smith. Smith ini merupakan serdadu yang ke – 19 yang tewas oleh Datuk Tabano. Seorang perwira belanda yang bernama Stein yang dari tadi berdiri siaga dipintu rumah melihat Datuk Tabano tergelincir, menggunakan kesempatan itu melepaskan tembakan kearah tubuh tabano, peluru senapan Stein yang sengaja telah disiapkan sejak awal menembus tubuh Tabano, kemudian ia menghujamkan sangkurnya ke leher Pahlawan yang heroik ini, dan akhirnya manusia super dari Kampar itupun tewas.
Meskipun hanya seorang diri Datuk Tabano berhasil menewaskan 19 serdadu Belanda yang terdiri atas 10 orang Belanda dan 9 lainnya adalah tentara sewaan. Jenazah Datuk Tabano pun akhirnya  dikebumikan di Muara Uwai sementara serdadu Belanda yang tewas dibawa ke Pangkalan Koto Baru.
( Sumber : Pratama 88.8 ; http://kumpulanmakalahilmiah.blogspot.com/2011/04/l)


MAKHLUK HALUS PUN TURUT MENJAGA KELESTARIAN ALAM

Saya termasuk orang yang tidak percaya takhyul dan sampai sekarang pun saya belum pernah melihat ataupun berjumpa dengan hantu atau makkluk halus lainnya. Mulai dari SD dan sampai menjadi guru saya aktif di kepramukaan. Dalam pramuka memang  anggota dilatih untuk berfikir realistis tidak  mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan takhyul.
Namun ada beberapa kejadian yang membuat saya mengakui bahwa makhluk halus itu sebenarnya ada. Kejadian pertama,  terjadi pada tahun-tahun pertama saya menjadi guru. Saya membawa anak-anak pramuka hiking menerobos hutan di sebelah selatan sebuah bendungan di desa Kampar  kabupaten Kampar propinsi Riau. Penduduk  setempat menyebut bendungan itu dengan sinbad.
Hutan dibelakang lokasi bendungan itu cukup lebat dan terlindung oleh pohon-pohon besar dan tinggi. Tidak banyak semak-semak, sehingga mudah dilalui. Sekitar satu jam lebih kami memasuki hutan itu, kami menjumpai pohon-pohon yang dihinggapi beraneka ragam bunga anggrek. Ada anggrek bulan, anggrek kalajengking dan lain-lainnya yang saya sendiri tidak tahu  namanya. Kami tidak menduga akan menemukan hutan yang penuh bunga indah itu. Dan para peserta hiking tidak mau kehilangan kesempatan untuk  memetik  anggrek yang beraneka ragam itu. Sebelumnya kami tidak pernah mendapat informasi bahwa di hutan itu terdapat anggrek seperti itu. Saya yakin kalau orang lain tahu disitu banyak anggrek pasti akan ramai orang datang memburunyanya.
Ketika kami akan  keluar dari hutan itu, sesuatu yang aneh terjadi.  Saya  dan seorang teman guru yang memandu kegiatan hiking itu  dan juga beberapa orang anggota sudah terbiasa keluar masuk hutan dan kami sudah tahu jalan pulang menuju kebendungan sinbad. Namun kali ini kami kesulitan menemukan jalan pulang.Kami seolah-olah berputar-putar  dan kembali ketitik semula. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Dan perjalanan jadi sulit karena kami harus menembus semak belukar yang padat yang sangat menguras energi. Ini terjadi selama beberapa jam. Sungguh meletihkan. Ditambah lagi perasaan cemas kesasar di hutan.
Dalam kebingungan seperti itu seorang teman mengatakan, mungkin kami diganggu makhluk halus karena telah mengambil bunga-bunga anggrek dihutan.  Antara percaya dan tidak saya meminta semua untuk meninggalkan anggrek yang sudah mereka petik. Wajah-wajah letih dan kebingungan itu menatap saya dan dengan berat hati meninggalkan semua yang sudah mereka petik. Dan kami memutuskan untuk mencoba lagi menuju satu arah.
Aneh, apakah kebetulan tidak sampai 15 menit kami menemukan jalan setapak  yang mengantarkan kami ke pondok seorang peladang. Dari pondok itu tidak susah kami menemukan jalan kembali ke pasar kampar.

Kejadian kedua ketika mendaki gunung Kerinci dengan seorang teman. Kami berdua sampai kepuncak tertinggi sumatra itu pukul 2 malam. Bulan bersinar terang menyinari bumi seperti siang saja. Sehingga dalam terang bulan itu gunung tujuh yang jauh disana nampak samar-samar. Indah sekali. Tidak berlama-lama istirahat kami berjalan mengitari puncak. Dan kami begitu terpesona dilereng yang tak jauh dari puncak kerinci itu dengan diterangi sinar bulan yang cerah kami menemukan hamparan bunga edelweis yang sedang berbunga sejauh mata memandang.

Bunga edelweiss bunga langka lambang cinta abadi. Kalau gunung-gunung di Jawa ada larangan mengambil bunga abadi ini. Nah sekarang  bunga idaman setiap pendaki gunung itu terhampar seluas-luasnya di hadapan kami. Bermandikan cahaya rembulan kami berjalan diantara bunga-bunga yang pohonnya rata-rata setinggi satu meter itu. Ucok yang menemani saya memetik bunga-bunga itu dan memasukkan kekantong plastik.
Puas dan sangat bahagia rasanya. Diluar dugaan kami menemukan bentangan bunga edelweis yang jarang ditemukan. Lelah mendaki selama 12 jam seakan menghilang.
Menjelang subuh kami merasa cukup dan mulai bergerak turun kebawah. Dari informasi yang kami peroleh bila pagi hari gunung kerinci akan tertutup  awan dan menjadi gelap. Jadi kami harus meninggalkan puncak menjelang pagi.
Nah disini kembali keanehan terjadi. Tadi rasanya kami tidak ada melewati semak belukar. Sekarang kami dihadang oleh semak belukar yang rapat dan tinggi. Untuk berjalan satu meter saja sungguh menguras tenaga.  Saya sampai beberapa kali terduduk kehabisan energi. Kami tidak menemukan jalan setapak yang tadi kami lalui. Saya duduk diatas batu kehabisan tenaga sambil merenung. Kenapa ini bisa terjadi. Dan saya teringat pengalaman di Kampar.  Percaya atau tidak, yang penting dapat menemukan jalan pulang. Saya meminta Ucok untuk meninggalkan edelweiss yang sudah kami petik.
 Sungguh diluar nalar kami, tak jauh dari semak belukar yang menghalangi jalan kami itu kami menemukan jalan setapak yang jelas untuk turun kebawah.

Sampai di desa Kersik  Tuo Kayu  Aro tempat kami memulai pendakian saya ceritakan pengalaman saya ini kepada kepala desa Pak Benny Kemiran. Dan dia menceritakan bahwa mereka yang mengambil sesuatu di Gunung kerinci tidak bisa menemukan jalan pulang. Kita harus meminta izin kepada penunggunya. Dan dia memberitahu kami cara minta izinnya.
Percaya atau tidak itulah yang saya alami, berarti makhluk haluspun pun ikut menjaga kelestraian alam. Setahun kemudian saya datang lagi ke Gungung Kerinci dan sesuai dengan petunjuk kepala desa saya berhasil membawa beberapa tangkai bunga abadi tersebut. Tidak banyak, hanya sekedar untuk kenangan saja.

EDELWEISS THE SYMBOL OF ETERNAL LOVE (BUNGA EDELWEIS SIMBOL CINTA ABADI)



Edelweiss, Edelweiss
Every morning you greet me
Small and white, clean and bright
You look happy to meet me


Blossom of snow may you bloom and grow
Bloom and grow forever
Edelweiss, Edelweiss
Bless my homeland forever
Bagi yang sudah menoton film “The soud of music” pasti  akrab degan lagu ini karena merupakan ilustrasi dari film lama  itu. Film yang begitu memukau dan memikat. Namun dalam film itu bukan bercerita tentang bunga abadi  itu tapi tentang suasana hati satu keluarga yang negeriya di caplok oleh Jerman pada perang dunia.
Edelweiss (kadang ditulis eidelweis) atau Edelweis Jawa (Javanese edelweiss) juga dikenal sebagai Bunga Abadi yang mempunyai nama latinAnaphalis javanica, adalah tumbuhan endemik zona montana yang bisa ditemukan dibeberapa pegunungan tinggi Indonesia. Tumbuhan ini  katanya dapat mencapai ketinggian maksimal 8 m dengan batang mencapai sebesar kaki manusia walaupun yang saya jumpai umumnya tidak melebihi 1 m.
Bunga edelweis dengan teksturnya yang halus dan lembut dengan  warna yang kekuning-kuningan tidak mengandung air sehingga ia tidak pernah layu.  Rupanya akan tetap sama seperti ketika pertama kita petik meskipun kita memetiknya sepuluh tahun yang lalu. Karena tidak layu itulah maka ia  berbeda dengan bunga lain dan dijadikan perlambang cinta yang abadi.
Cinta abadi yang bagaika bunga edelweis , tidak terlalu indah dan baunya juga tidak semerbak sedangkan untuk meraihnya perlu pengorbanan karena ia berada jauh  digunung-gunung yang tinggi. Demikian juga cinta abadi tidak muluk-muluk dengan janji palsu perlu perjuangan untuk mendapatkannya. Persis bunga edelweiss, cinta abadi tidak layu dibelai waktu.
 Di Sumatra bunga Edelweis sekali –kali ada ditemukan di gunung singgalang Sumatera barat namun jarang  yang berbunga. Bagi yang pernah mendaki gunung kerinci antara bula april dan Agustus akan dapat melihat keindahan  bentangan bunga edelweis yang sedang mekar sejauh mata memandang dikala mendekati puncak. Namun tidak setiap orang dapat memetik bunga abadi itu. Karena gunung tertinggi di Sumatra itu seperti ada penunggunya yang tidak mengizinkan sembarang  orang untuk  memetik bunga itu. Saya sendiri,  setelah menemukan bentangan bunga edelweis menjelang puncak kerici itu baru berhasil membawanya  beberapa tangkai setahun kemudian.


Edelweis bunga  abadi,  yang di Indonesia merupakan bunga langka dan dilindungi,  merupakan idaman bagi pemuda yang lagi kasmaran untuk dipersembahkan bagi sang kekasih sebagai bukti bahwa cintanya benar-benar tulus tidak  untuk bermain-main. Seindah cinta Martin pada Monik seperti yang  dilukiskan oleh Marga T dalam novelnya Setangkai Edelweiss. Edelweis, edelweiss may my love for you forever

SUNGAI KOPU

Di Pekanbaru Riau pilihan tamasya untuk mengisi waktu libur biasanya  ke Sumatra barat, namun pengalaman dari tahun ketahun, ke Sumbar terlalu ramai. Dari berbagai kabupaten di Riau dan Kepri pergi Ke Sumbar, begitu juga dari Jambi dan Sumut, sehingga penuh sesak lah provinsi tetangga itu. Apalagi pemerintah sumatra barat dari tahun-ketahun nampaknya tidak memikirkan fasilitas dan kenyamanan bagi turis lokal yang membludag tersebut. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif lain selain ke Sumatra barat. Salah satunya adalah menyusuri sungai Kopu.
Sungai Kopu adalah sungai kecil  yang mengalir dari Kecamatan Kapur IX Payakumbuh menuju Sungai Kampar di desa Tanjung Muara takus kecamatan XIII Koto Kampar. Sungai kecil yang rata-rata lebarnya sepuluh meter tak ubahnya bagai air yang mengalir diantara dua tembok kokoh yang terdiri dari batu cadas di kiri kanannya. Sungai ini digunakan oleh penduduk sebagai jalur trasportasi dari desa Tanjung Muara Takus menuju desa Muara Paiti kecamatan Kapur IX Payahkumbuh Sumatra barat.

Kalau kita ingin menyusuri sungai Kopu ini kita mulai dari desa Tanjung sekitar 3 km dari candi Murara Takus. Masyarakat biasanya menyusuri sungai ini menggunakan sampan yang dilengkapi mesin tempel. Sebelum BBM naik, sewa sampan mesin itu, termasuk dengan minyak dan pengemudinya Rp 300 ribu perhari
Dari desa Tanjung kita sekitar 15 menit menyusuri sungai Kampar yang merupakan induk sungai di kabupaten Kampar dan Pelalawan, kemudian kita baru menjumpai persimpangan sungai Kopu. Air sungainya jernih, sehingga batu-batu krikil di dasar sungai nampak dengan jelas. Meskipun udara panas terik, namun kita tidak kepanasan. Pohon-pohon rindang di kiri kanan sungai melindungi kita.
Keistimewaan dari sungai Kopu ini, disamping alamnya yang sejuk dan nyaman, batu-batu cadas yang berdiri kokoh dikedua sisi sungai, kadang-kadang membentuk berupa benda-benda. Dan penduduk menamakan batu itu sesuai dengan bentuk batu itu.


Setelah beberapa menit kita masuk ke aliran sungai yang seperti menyusuri lorong kita akan sampai pada batu hidung. Batu hidung merupakan bentuk batu yang mirip wajah manusia dengan hidungnya yang mancung. 

Tidak lama setelah batu hidung kita akan sampai di batu Ladiong. Ladiong adalah bahasa penduduk setempat untuk parang. Dan memang bentuknya seperti parang panjang yang membelintang. Kalau kebetulan air sedang banjir, dekat batu ladion itu sangat berbahaya. Air bergemuruh kencang di sana. Sudah banyak katanya korban di tempat itu.
Batu Goa adalah sebuah lubang besar pada dinding batu cadas dipinggir sungai. Setelah dilihat, lubangnya tidak dalam jadi tidak benar-benar gua.


Sedangkan batu cakuok adalah batu dinding batu yang berlobang-lobang.


















Batu buayo, buaya karena batu itu mirip kepala buaya yang sedang berjalan


Batu elang  ini bukan batu itu mirip elang, tapi penduduk yang sering menyusuri sungai itu sering melihat elang berkupul diatas batu itu pada bulan-bulan tertentu. Tapi ketika kami sampai disana tidak ada seekor elang pun yang hingggap diatas batu itu.






Berikutnya batu bocek. Bocek adalah sebutuan penduduk lokal untuk ikan gabus, dan batu ini kebetulan mirip dengan kepala ikan gabus.













Sayang perjalanan tidak dapat dilanjutkan sampai ke desa Muara peti ketika itu, karena air yang dangkal dan sampan selalu kandaas. Dan akhirnya sampan putar haluan kembali ke desa Tanjung. Sungai kopu adalah tempat tamasya alam yang masih  orsinil dan belum terkena pencemaran.