KARTINI DAN PENTINGNYA MENULIS



21 April adalah hari Kartini, seorang pejuang emansipasi wanita yang sudah dikukuhkan sebagai Pahlawan nasional dengan ketetapan Preseden Sukarno no.108 tahun 1964 tanggal 2 Mei 1964.
Setiap kali membicarakan perjuangan perempuan, nama Kartini selalu disebut. Meskipun banyak suara-suara miring yang mempertanyakan kadar perjuangan Kartini itu dalam memperjuangkan kaum wanita Indonesia.
Diantara pendapat miring itu mengatakan, sebenarnya peranan kartini bagi perjuangan wanita terlalu dibesar-besarkan. Yang diperbuat Kartini hanyalah sebatas meulis surat-surat pada temannya di Negeri Belanda tentang pemikirannya dan keprihatinannya terhadap nasib perempuan bangsawan jawa, tidak perempuan kelas bawah, yang sebenarnya sudah lebih bebas dari Kartini.


Surat-surat yang berisi keprihatinannya ini dimanfaatkan oleh kolonial belanda untuk menunjukkan keberhasilan mereka menjalankan poitik etisnya di ngeri jajahan. Bahwa bangsa yang mereka jajah dan terkebelakang sudah ada yang pintar dapat menguangkapkan perasaan dan pikirannya melalui tulisan.
Disamping itu ada juga mengatakan bahwa Kartini tidak konsisten dengan ide-ide yang diperjuangkannya. Dalam beberapa suratnya menyatakan bahwa ia secara tidak lansung mengatakan bahwa poligamy adalah salah satu bentuk penjajahan lelaki terhadap perempuan. Namun kenyataannya Kartini bersedia dinikahi oleh Raden Adipati Joyodiningrat, seorang bupati Rembang yang sudah memiliki tiga istri.


Masih banyak lagi pendapat-pendapat yang meragukan  pejuang wanita ini, kalau dijelaskan semuanya akan memerlukan tulisan yang panjang. Terlepas dari semua itu, saya hanya menekankan, bahwa Kartini sudah memperlihatkan kepada kita betapa pentingnya menulis. Ia pasti tidak akan dikenal atau bahkan tidak akan diangkat menjadi pahlawan nasional kalau tidak rajin menulis surat. Seharusnya ini menjadi motivasi bagi generasi bangsa ini untuk mengasah kemampuanm menulis.


Bagi rata-rata bangsa Indonesia, menulis adalah pekerjaan yang sangat sulit dan menjengkelkan. Berapa banyak mahasiswa terkendala menyelesaikan kuliahnya karena tugas membuat skripsi atau thesis. Berapa banyak guru mandeg pangkat dan golongannya kartena harus menulis. Padahal pelajaran bahasa Indonesia yang milai diwajibkan mulai SD sampai perguruan tinggi salah satu unsurnya adalah keterampilan menulis. Demikian juaga Pelajaran Bahasa Inggris dari SMP sampai SMA yang menggunakan Genre Based Approach juga menekankan keterampilan menulis.Bahkan setiap akhir dari Written cycle siswa harus menghasilkan sebuah tulisan sesuai dengan genre yang sedang mereka pelajari. Kalau ini diikuti oleh guru-guru bahasa Inggris di SMP dan SMA Tentu sudah ada segudang kumpulan text hang dihasilkan siswa. Tapi setelah ditinjau kesekolah-sekolah kumpulan tulisan siswa ini boleh dikatakan tidak ada. Pelajaran bahasa Inggris penekanannya hanya pada berbicara dan membaca. Sedangkan menulis diabaikan.


Maka pada momentum hari Kartini ini saya mengajak siswa maupun mahasiswa bahkan guru untuk mengasah keterampilan menulis. Tidak hanya teori menulis tapi prakteknya. Ingat,  Karena KARTINI jadi pahlawan karena menulis.  

UJI NYALI NYETIR MEDAKI KELOK 44


Sebetulnya saya ingin untuk menginap satu malam di Maninjau. Saya berkeinginan membawa anak-anak saya berjalan-jalan  di pinggir danau. Namun setelah berembuk, anggota rombongan lain termasuk istri saya  tidak setuju menginap di Maninjau. Mereka menginginkan perjalanan dilanjutkan ke Bukit Tinggi. Mau tak mau saya harus mengalah. Inilah susahnya kalau menerapkan demokrasi.

Begitulah, sekitar pukul 16.00 Wib saya sudah memasuki belokan untuk mendaki Kelok Ampek Puluah Ampek yang terkenal itu. Ini adalah pengalaman pertama mendaki kelok yang berjumlah 44 itu dengan mengemudi sendiri.  Bagi saya ini cukup menantang dan mendebarkan. Dan sebenarnya inilah tujuan dan keinginan saya untuk mencoba kemampuan saya mengemudi melewati kelok ampek puluah ampek yang  menantang ini.
Kelok Ampek puluah Ampek, saya punya kenangan tersediri dengan jalan berliku menuruni bukit atau mendaki gunung ini,  yang begitu membekas dalam memori saya.
Bermula ketika masa remaja waktu kelas 2 SMA dengan tiga orang teman, kami ingin berpetualang mengelilingi Sumatra barat. Dari Bukittinggi kami naik bus Harmonis menuju Maninjau. Sampai di Embun pagi, sebelum menuruni Kelok Ampek puluah Ampek kami turun dari bus. Kami akan menyusururi Kelok Ampek Puluah Ampek dengan berjalan kaki.

Kami begitu terpesona dengan pemandangan alamnya, yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Demikinan juga Kelok Ampek Puluah Ampek ini. Mulailah kami menuruni Kelok an menurun yang berjumlah 44 itu. Betapa gembira dan semangatnya kami ketika itu. Kadang-kadang kami meluncur ke bawah memotong kelokan. Oh indahnya.  Monyet-monyet  yang ada disana juga ikut bergembira melihat kami menyusuri daerah mereka dengan semangat dan bahagia.
Penglaman ini sangat membekas di hati saya. Ketika itu saya beranggapan  tak ada jalan  berbelok sebanyak dan seindah Kelok ampek Puluah Ampek itu di dunia ini. Sampai suatu ketika setelah menjadi guru saya dapat kesempatan ke Jepang, di sana dalam perjalanan ke Niko, di kaki gunung Fujiyama, rupanya ada jalan seperti kelok apek puluah ampek itu. Malah saya menghitung kelokannya 48. Namun  yang di Jepang ini pemandangannya tidak seindah Kelok Ampek puluah ampek Danau Maninjau.  Yang di jepang itu pemandangannya hanya pemandangan  hutan saja.
Karena begitu terkesannya saya dengan kelok puluah ampek  ini, maka ketika saya kuliah di IKIP Padang saya kembali menyusuri nya dengan speda motor bersama seorang teman.
Peristiwa lain dalam hidup saya yang berhubungan dengan Kelok ampek puluah ampek  ini berkenaan dengan seorang tetangga dan teman akrab saya. Ini terjadi ketika VCD baru mulai beredar secara luas. Waktu itu ada VCD lagu minang  Elly kasim yang judul lagunya Kelok ampek Puluah Ampek pula. Dalam video klipnya, mobil yang sedang menuruni kelok ampek puluah ampek. Entah bagai mana, teman itu senang betul video klip itu. Dan menimbulkan kerinduan yang amat sangat padanya untuk mendatangi jalan yang fantastis itu. Keinginan dan kerinduannya ini dikemukakannya kepada kami setiap hari, sehingga menimbulkan  belas kasihan kami padanya. Maka dengan mencharter sebuah mobil Carry saya dan 4 orang teman lainnya menyusuri kelok puluah ampek. Bukan perjalanan sebenarnya yang membekas pada saya. Tapi, mungkin karena ini permintaan terakhir, rupanya tak sampai beberap bulan kemudian, kawan ini meninggal karena sakit perut. Kami betul-betul tidak menyadari waktu itu, rupanya perjalanan teman ini adalah perjalanannya terkhir di kelok ampek puluah ampek  dan juga keinginan  terakhirnya sebelum ia kembali ke Haribaan NYA.
Sekarang saya bersama dengan anak istri saya dan seorang teman dengan keluarganya juga akan melewati lagi jalur yang meninggalkan kenangan ini. Saya belum pernah punya pengalaman menyetir mobil kondisi jalan seperti kelok ampek puluh ampek ini. Maka hati saya cemas-cemas juga. Namun dengan mengucapkan Bismillah  saya mulai masuk pada kelokan pertama. Rupanya hitungannya dimulai dari bawah.

Tikungan pertama dilewati dengan sukses, tikungan kedua dan ketiga. Namun makin lama makin mendebarkan dan mencemaskan. Lawan dari atas kadangkala tidak nampak. Seandainya bertabrakan dengan mobil yang datang dari atas, akibatnya sangat fatal. Sebetulnya kalau semua mengikuti aturan, tidak perlu ada yang dicemaskan.  Mobil yang dari atas harus berhenti memberi kesempatan kepada mobil yang dibawah mendaki kelokan yang terjal. Dan ini sangat dipatuhi oleh sopir-sopir bus dan truck. Yang mencemaskan adalah mobil –mobil pribadi yang sudah tidak lagi menghiraukan aturan. Sedangkan dikota saja kadangkala mereka berbelok tanpa menghidupkan lampu sign.
Rasa was-was ini cukup menguras energi, karena pada belokan yang menanjak kita harus super waspada. Disamping itu saya juga ragu, kalau dengan verseneling dua mungkin mobil tak kuat untuk mendaki belokan yang terjal, sehingga saya banyak menggunanak preseneling 1. Akibatnya suara mesin melenguh dengan dasyat. Sungguh perjalanan yang memicu adrenalin, sebab kalau terjadi kesipan sedikit saja, jurang yang menganga akan bersiap menelan. Sungguh mengerikan.
Pada kelokan 22 saya berhenti untuk istirahat, menenangkan pikiran yang tegang dan rasa cemas. Saya tidak tahu, apa kain rem atau kain kompling yang bermasalah pada mobil sehingga menimbul kan bau karet terbakar yang menyengat. Ketika saya keluar dari mobil  teman yang dibelakang berhenti juga. Mula-mula saya kira istri teman saya yang keluar dari mobil ketawa-ketawa bahagia menikmati pemandangan alam kelok ampek puluah ampek itu. Rupanya ia menangis kengerian dan menyesali kami yang membawa mereka menempuh jalan yang mengerikan seperti  itu . Ia bersumpah tidak akan mau lagi  melewati jalan itu
Kami beristirahat sejenak di sebuah warung di kelok 22 itu. Rileks sejenak untuk menenangkan pikiran dan memikirkan langkah selanjutnya. Keponakan saya menawarkan untuk menggantikan saya menyetir, namun saya menolaknya. Inilah kesempatan saya untuk mencoba nyetir sendiri di area yang menantang ini. Entah kapan lagi saya akan dapat menempuhnya kembali. Disamping itu saya orangnya pencemas. Saya akan merasa cemas lagi kalau saya hanya sebagai penumpang makanya lebih baik saya yang nyetir.
Tidak berlama-lama ngaso di warung itu, perjalanan  dilanjutkan. Kelok 23 dilewati, lanjutlagi kelok 24. Rasanya tidak lagi setegang menjelang kelok 22. Mungkin karena saya sudah mendapatkan tipnya, sehingga sedikit agak santai. Namun ketika sampai k epuncak, melewati  kelok  yang ke 44  yaitu di desa Embun pagi, persaan saya begitu plong. Lega rasanya seperti baru saja melewati ujian yang berat. Ya, berarti saya sudah lulus ujian mengemudi ditempat yang sulit.

Di Desa Embun pagi ini kami berhenti lagi, merayakan keberhasilan mendaki kelok 44. Kami berbaur dengan turis lokal lainnya menikmati pemandangan yang spektakuler danau maninjau yang nampak nun jauh di bawah.

MENYUSURI RUTE PARIAMAN, TIKU, LUBUK BASUNG DAN MANINJAU DI AKHBIR TAHUN 2012


Setelah cukup rasanya menikmati keindahan pantai Gondoriah Pariaman, sehabis zuhur kami mulai lagi perjalanan. Setelah bertanya kepada beberapa orang kami sampai ke jalan menuju Tiku.  Mulai lah perjalanan kami menyusuri jalan yang dahulunya ketika remaja saya menyusuri jalan ini berjalan kaki  dengan arah yang berlawanan dari Maninjau, Lubuk Basung, Tiku dan Pariaman.
Saya membawa mobil dengan santai saja tidak terburu-buru. Saya inginmenikati perjalanan yang sebenarnya napak tilas petualangan  saya ketika remaja kelas 1 SMA berjalan kaki keliling Sumbar. Pekerjaan gila-gilaan yang kalau dipikir-pikir sekarang ini tidak masuk akal. Tapi itulah romantika masa remaja yang penuh khayalan dan mencari jati diri.
Kami menyusuri jalan aspal yang cukup mulus. Kiri kanan sawah membuat pemandangan nampak semakin indah. Di beberapa tempat kami berhenti untuk mengambil foto-foto pemandangan alam yang memukau.

Tak berapa lama kami sampai di Tiku. Saya mencari di mana kira-kira pantai  tempat kami berkemah puluhan tahun yang lalu. Tanjung Mutiara saya, ingat betul tempat itu. Dpantai itulah kami berkemah, bersenang-senang stelah berjalan kaki selama 2 hari dari Maninjau  dan Lubuk Basung. Waktu itu kami berempat betul-betul menikamati pantai. Maklum di daerah kami tidak ada laut, yang ada hanya sungai Kampar kebanggaan kami.

Nampaknya pantai Tiku tidak banyak perubahan. Dari Tiku kami terus mengemudi dengan santai terus ke arah Lubuk Basung.
Lubuk basung ini benar-benar sudah berubah. Sekitar 5 tahun yang lalu saya pernah juga lewat di sini. Tapi keadaannya benar-benar beda. Menjelang memasuki kota jalan sudah dua jalur. Jalan dua jalur ini cukup panjang hingga sampai pula keluar kota. Parit di Pinggir jalan atau oleh orang setempat di sebut banda tidak ada lagi. Dulu ciri khas Lubuk Basung adalah Parit  yang lebar sekitar  dua meter itu yang mengalir sepanjang jalan dan dimanfaatkan oleh penduduk untuk mencuci dan  beternak ikan.

Sekarang pemandangan itu tidak nampak lagi, Lubuk Basung sudah berubah menjadi kota kabupaten dengan perkantorannya yang megah dan nampak masih  baru. Saya juga tidak berhasil menemukan Rumah Lasuang yang pernah kami numpang tidur dalam petualangan  masa remaja  setelah berjalan kaki dari Maninjau. 
Perjalanan diteruskan, xenia yang saya kemudikan meluncur dengan tenang menuju Maninjau. Menyusuri jalan aspal yang mulus, melewati persawahan, bukit-bukit yang mengapit kiri kanan jalan.
Mendekati Maninjau, desa Muko-muko yang dahulunya ditandai dengan rumah makan yang menjorok ke danau,  sekarang tidak kelihatan lagi. Yang nampak adalah water boom yang penuh dengan pengunjung.


Danau Maninjau sudah di depan mata. Diantarai oleh bentangan sawah yang luas, danau maninjau nampak dengan warna yang agak  kebiruan. Di pinggir danau kelihatan kerambah-kerambah  milik penduduk yang memelihara ikan.


Mendekati pusat kota Maninjau, jalan aspal yang dilalui diapit oleh rumah-rumah penduduk kiri dan kanan. Jarak rumah dan jalan sangat dekat sekali. Sehingga kalau kenderaan roda empat berhenti, maka akan terjadi kemacetan, karena menghalangi mobil yang banyak lalu lalang di jalan. Dengan demikian kami memutuskan tidak dapat melihat-lihat penganan yang dijual dipinggir jalan. Padahal saya ingin melihat penganan khas Maninjau.
Akhirnya kami sampai di persimpangan, ke kiri kelok ampek puluah ampek, terus ke Sungai Batang kampungnya Buya Hamka, belok kanan ke tempat peristirahan Maninjau Indah. Kami belok kanan ke Maninjau Indah

Waktu saya kuliah di IKIP Padang dulu, saya pernah berlibur di Maninjau Indah ini. Saya masih terkesan  di sebuah kantin saya duduk-duduk menikmati secangkir kopi sambil ngantuk-ngantuk mendengarkan lagu Edy Fergrina dari kaset. Lagu yang membuat saya terlena, Memory of our dreams, Since You’ve been gone, what am I living for, dll.
Saya ingin duduk-duduk lagi di Kantin yang sama menikmati lagi setidaknya secangkir kopi pula. Sayang, rupanya Maninjau Indah tidak ada lagi, atau mungkin tidak buka hari itu, sedangkan plang namanya. Sayang, tidak bisa mengulangi nostalgia lama. 

BUKIT TINGGI SEBAGAI KOTA WISATA


Bagi penduduk provinsi Riau, Jambi, dan  provinsi Sumatra utara atau bahkan penduduk sumatra barat sendiri,  Bukit tinggi  merupakan pilihan yang favorite untuk berwisata. Kota yang identik dengan jam gadangnya ini memang cocok untuk tujuan wisata karena pemandangan alamnya yang indah. Ini sesuai dengan kondisi geaografisnya  yang terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Dengan  ketinggian 909–941 meter di atas permukaan laut, kota ini memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Disamping itu, Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m, yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.
 Tidak bisa di pungkiri, setiap tahun, pada saat libur sekolah, dan hari-hari libur lain, kota ini diserbu oleh  ribuan turis lokal dan manca negara yang  ingin menikmati keindahan alam Sumatra barat yang  terkenal juga dengan adat istiadatnya yang terjaga.
Kalau berbicara kota Bukit tinggi, tentu tidak akan lengkap jika tidak  mengunjungi jam gadang yang merupakan titik sentral kota.  Nah disinilah persoalannya. Jam gadang yang begitu ramai dikunjungi karena merupakan landsmark kota, namun para pendatang yang menggunakan  kenderaan pribadi sering kecewa, karena tempat parkirnya yang sangat terbatas.  

Pernah, serombongan pengunjung dari Riau yang menggunakan bus akhirnya tidak jadi  dapat berkunjung ke jam Gadang, karena setelah berputar-putar beberapa lama tidak bisa menemukan tempat parkir. Padahal saat itu bukan  waktu liburan. Bisa dibayang kan bagaimana kalau pada hari libur.
Itu yang terjadi sehari menjelang  tahun baru 2013, kami dengan 2 kenderaan pribadi dari Pekanbaru ingin menikmati makan nasi kapau di pasar lereng tidak jauh dari jam Gadang. Syukur saya setelah berputar-putar akhirnya dapat satu tempat parkir. Tidak demikian dengan  teman lain, setelah lama berputar-putar, tidak dapat sedikitpun celah untuk parkir dan akhirnya terpaksa meneruskan perjalalanan menuju ke Padang dan dimimta menunggu di luar kota, Padang Luar.
Yang disesalkan sebenarnya bukan tidak dapat tempat parkir, namun sangat disayang kan dari dulu-dulu keadaan tempat tamasya di Jam gadang begitu-begitu saja, tidak ada pembenahan dari pemerintah Kota Bukittinggi untuk mencipatkan kenyamanan pengunjung. Seolah-olah pemerintah tidak  menyadari manfaat dari kedatangan turis lokal ini.
Dengan kedatangan turis yang sedemikian banyak dipastikan Pemerintah Kota Bukit tinggi menikmati keuntungan atau manfaat yang tidak sedikit. Hotel-hotel dan penginapan penuh, kerajinan-kerajinan setempat dan souvenir lainnya laku keras, belum lagi rumah-rumah makan; produk lokal yang menjadi andalan seperti gerupuk sanjai, kelamai dan lain-lainnya yang kedainya berjajar sepanjang  jalan utama, tentu yang mereka bidik sebagai pembeli adalah para turis lokal ini.(Kalau turis mancanegara nampaknya tidak lagi begitu ramai seperti dahulunya)
Saya yakin pemerintah kota Bukit tinggi menyadari sekian persen dari penduduknya menggantungkan hidup pada pariwisata ini. Oleh karena itulah selayaknya mereka menciptakan fasilitas yang  dapat mendatangkan kenyamanan pada pendatang.
Misalnya saja, di bawah sebelum Jam gadang disediakan lapangan parkir yang cukup luas sehingga para pendatang tidak perlu lagi membawa kenderaan pribadi ke taman dekat Jam gadang. Untuk itu, dari tempat parkir di bawah disediakan kenderaan mirip trem  seperti yang banyak ditemui untuk mengelilingi tempat wisata yang terdiri dari gerbong-gerbong yang ditarik. Nah dengan kenderaan itulah para pengunjung naik dan turun ke taman Jam gadang. Dengan demikian pusat pariwisata  itu menjadi sedikit lapang, sehingga mendatangkan kenyamanan bagi para pengunjung.  
Atau bisa saja pemerintah kota memikirkan cara lain bagaimana menata tempat wisata dan inikan sebenarnya tugas dinas pariwisata kota. Dengan demikian tidak terkesan pemerintah kota Bukit tinggi hanya ingin dapat keuntungan saja dari para turis lokal, namun juga memikirkan bagaimana turis lokal makin lama makin betah dan makin banyak  berkunjung ke Bukittinggi.