PENGUATAN DAN AKTUALISASI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA MELALUI PKn MULTIKULTURAL BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Oleh : Dr. Nurul Zuriah, M.Si.
Dosen Kopertis Wilayah VII DPK di Jurusan PPKn/Civic Hukum –
FKIP Universitas Muhammadiyah Malang
Abstrak: Pendidikan Kewarganegaraan merupakan topik sentral yang memiliki peran strategis dalam pendidikan multikultural namun demikian modus dan isi pembe-lajaran PKn yang ada di perguruan tinggi selama ini menunjukkan fenomena yang kurang menghargai dan mengeksplorasi nilai-nilai multikultural berbasis kearifan lokal (local genius). Penelitian mengkaji bagaimana penguatan dan aktualisasi pendidikan karakter bangsa melalui model pengembangan Pendidikan Kewargane-garaan multikultural berbasis kearifan lokal  di perguruan tinggi.
Penelitian dilakukan pada tahun 2010 ini, menggunakan dua pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan pola “the dominant-less dominan design” dan desain penelitian research and development (R & D). Penelitian dilakukan dengan tiga tahapan: (1) Studi Pendahuluan (Exploration study) (2) Pengembangan model (Action Research) dan (3) Pengujian (experimental study) yang menggunakan kuasi eksperimen. Pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dokumentasi, angket (test), dan FGD. Analisis data dengan cara diskriptif  kualitatif dipadukan dengan diskriptif kuantitatif serta uji t dan uji F  menggunakan program SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan:(1) Penguatan dan aktualisasi pendidikan karakter bangsa melalui model pengembangan PKn multikultural berbasis kearifan lokal menjadi kebutuhan bangsa Indonesia dan keniscayaan bagi wahana desimenasi pemahaman multikulturalisme melalui pendidikan karakter bangsa. (2) Substansi materi pembelajaran Identitas Nasional cocok untuk pengembangan karakter bangsa yang multikultur dan bersumber dari budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia. (3) Modus pembelajaran  dilakukan dengan syntaks model pembelajaran inkuiri sosial. (4) Hasil pengujian menunjukkan terjadinya peningkatkan produk hasil pembelajaran, berupa peningkatan kompetensi multikultural di kalangan mahasiswa dengan harga F sebesar 4.585 yang memiliki signifikansi lebih kecil dari 0,05. Di samping itu penerapan PKn MBKL juga memberikan pengaruh yang positif terhadap aktivitas, motivasi belajar dan dampak pengiring lainnya dalam  sebuah model proyek belajar kewarganegaraan (project citizen) melalui “Procit Bhinneka Tunggal Ika” yang di upload dan di down load melalui internet. Saran yang bisa diberikan adalah perlu dilakukan sosialisasi - publikasi dan desimenasi pengembangan nilai dan watak kewarganegaraan multikultural melalui integrasi dan internalisasi pendidikan  budaya dan karakter bangsa pada pembelajaran PKn di PT maupun persekolahan melalui sebuah kebijakan nasional pendidikan karakter yang holistik, integrated dan sustainable.   

Kata Kunci: PKn Multikultural, Kearifan Lokal, Project Citizen, Bhinneka Tunggal Ika.

 A. Pendahuluan
Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education) merupakan salah satu instrumen fundamental dalam bingkai pendidikan nasional sebagai media bagi pembentukan karakter bangsa (nation and character building) di tengah heterogenitas dan pluralisme yang menjadi karakteristik utama bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki ragam perbedaan dan menjadi kekayaan manusia Indonesia. Hal ini terlihat pada perbedaan suku, budaya, adat-istiadat, agama, ras, gender, strata sosial dan golongan aliansi politik sangat jelas melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Pluralitas menjadi sebuah realita dan mesti diterima sebagai kekayaan nasional bangsa Indonesia. Di tengah banyak perbedaan tersebut, sebagai suatu kesatuan nasional bangsa Indonesia harus hidup dan bergaul agar integritas nasional tetap terjaga. Implikasi logisnya adalah perlu membangun sikap inklusif, pluralis, toleran dan saling berdampingan dengan cinta dan perdamaian.
Kemajemukan atau heterogenitas bangsa Indonesia yang langka dimiliki oleh negara lain tersebut, menjadi modal sosial dengan konstruksi budayanya yang berbasis kearifan lokal (local genius). Heterogenitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab tentunya harus dijaga dan dilestarikan sebagai khasanah budaya nasional. Dalam konteks interaksi sosial baik secara horizontal maupun vertikal realita pluralitas tersebut, dibutuhkan instrumen pendidikan yang berkarakter terbuka, inklusif, toleran dan pluralis. Pada konteks ini terminologi pendidikan multikultural menjadi istilah yang relevan untuk dikembangkan dalam ranah pendidikan Indonesia sebagai bangsa yang plural.
Menurut Yaqin (2007:25) pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pada konteks ini Pendidikan Kewarganegaraan merupakan topik sentral sebagai wahana pengembangan dan desimenasi pendidikan multikultural dalam masyarakat yang pluralis seperti Indonesia. 
Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural dapat menjadi elemen yang kuat dalam kurikulum Indonesia untuk mengembangkan kompetensi dan ketrampilan hidup (life skills), di tengah masyarakat Indonesia yang multikultur dan mencakup berbagai macam perspektif budaya yang berbeda terutama dalam bingkai kearifan lokal. Persoalannya adalah bentuk pendidikan kewarganegaraan multikultural apa yang sesuai untuk situasi dan kondisi Indonesia pasca reformasi?  Persoalan utama dalam pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah pada belum adanya model pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan yang dapat meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa dan begitu rendahnya kesadaran multikultural warga negara yang dibangun atas dasar nilai-nilai kearifan lokal dalam fenomena sosial pasca reformasi sebagai upaya memperkokoh integrasi bangsa dalam konsepsi Bhinneka tunggal ika. Untuk itu maka peneliti tertarik untuk mengembangkan sebuah model pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di lingkungan perguruan tinggi.
Penelitian secara umum bertujuan  menghasilkan inovasi model pembelajaran di bidang pendidikan karakter bangsa yang berupa (1) struktur model (syntak), (2) sistem sosial, (3) Prinsip reaksi, (4) sistem pendukung dan (5) dampak instruksional dan pengiring pada model pembelajaran yang digunakan dalam perkuliahan Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal di Perguruan Tinggi dengan model inkuiri sosial melalui “Project Citizen Bhinneka Tunggal Ika.  Secara khusus penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1)   Menemukan landasan kebutuhan penguatan dan aktualisasi pendidikan karakter bangsa melalui model pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal  di perguruan tinggi,  baik dari aspek psikososial paedagogis maupun dari kebutuhan praktis dan strategis yang mencakup kebutuhan dosen, mahasiswa dan kebutuhan proses belajar mengajar (perkuliahan)
2)   Menemukan dan menghasilkan substansi materi atau isi pembelajaran yang berupa buku panduan pengembangan materi ajar Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi yang aplikatif bagi dosen.  
3)   Menemukan dan menghasilan proses atau modus pembelajaran yang berupa syntaks model pembelajaran inkuiri sosial yang dituangkan dalam ikhtisar model dan panduan pengembangan model pembelajaran, yang dapat diterapkan bagi pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan  tinggi. 
4)   Meningkatkan produk atau hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi yang menggunakan model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal.



B. Kajian Pustaka
1.   Konsep Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi
Terdapat dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi pendidikan kewarga-negaraan, yakni Civic Education dan Citizenship Education. Cogan (1999:4) mengartikan Civic Educatian sebagai “…the foundation course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives” atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat.
Sedangkan Citizenship Education atau Education for Citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “…both these in school experiencess as well as out of school or non formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media, etc which help to shape the totality of the citizen”. Atau sebagai pengalaman belajar di sekolah dan luar sekolah seperti rumah, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, melalui media massa dan lain-lain yang berperan membantu proses pembentukan totalitas atau keutuhan sebagai warganegara. Dalam penelitian ini, istilah Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya digunakan dalam pengertian sebagai citizenship education.
Winataputra (2003:745) menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaran sebagai citizenship education secara substantif dan pedagogis di desain untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur pendidikan dan jenjang pendidikan. Konsepsi Pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan paedagogis di desain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional dalam lima status (Winataputra dan Budimansyah, 2007:70). Hal tersebut selaras dengan pendapat David Kerr (1999:2) yang menyatakan bahwa pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung-jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam proses penyiapan warganegara tersebut. Lebih lanjut Kerr, (1999:5-7) dan Winataputra dan Budimansyah, (2007:4-5) mengidentifikasi adanya suatu “citizenship education continum thin and thick, (minimal and maksimal)”.
Pada konteks dunia (Kerr,1999:16) pendidikan kewarganegaraan di Asia Tenggara, tentunya termasuk Indonesia, termasuk kategori “minimal” dengan ciri “thin, exclusive, elitist, content-led, knowledge-based, didactic transmission, easier to achieve, civic education”. Maksudnya adalah didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran dan hasilnya mudah diukur. Sementara itu Eropa Utara, USA dan New Zealand termasuk kategori “maximal” dengan ciri: “thick, inclusive, activist, citizenship education, participative, process-led, value-based, interactive interpretation, more difficult to achieve and measure in practice”. Maksudnya adalah didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsure masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, dilabeli “citizenship education“, menitikberatkan pada partisipasi mahasiswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleksnya hasil belajar.
Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan yang wajib diberikan di semua jenjang pendidikan termasuk jenjang pendidikan tinggi.
2. Pengembangan Kompetensi dan Watak Kewarganegaraan Multikultural
Kompetensi adalah pengetahuan, nilai dan sikap, serta ketrampilan mahasiswa yang berguna bagi kehidupannya di masyarakat. Kompetensi ini diantaranya dihasilkan dari proses pembelajaran di institusi pendidikan. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menghasilkan kompetensi kewarganegaraan (civic competences) yang memberikan bekal menuju “to be a good citizens” (terbentuknya warga negara yang baik). Dengan demikian, kompetensi kewarganega-raan dapat dimaknai sebagai pengetahuan, nilai dan sikap, serta ketrampilan mahasiswa yang mendukungnya menjadi warga negara yang partisipatif dan bertanggungjawab dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Mengacu pada SK Dirjen Dikti No. 43 tahun 2006 pada pasal 3 tentang kompetensi dasar ayat 2b, menyebutkan tentang kompetensi mahasiswa dengan menempuh Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah:Menjadi ilmuwan dan professional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air; demokratis dan berkeadaban, menjadi warga negara yang memiliki daya saing, berdisiplin, berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.
Pengembangan kompetensi kewarganegaraan yang bercirikan multikultural diarahkan sebagai upaya pengembangan warganegara multikultural melalui pendidikan kewarganegaraan. Pada konteks ini, kompetensi kewarganegaraan multikultural yang dimaksud dapat didasarkan pada empat dimensi kewarganegaraan sebagaimana dikemukakan Cogan (1998), yaitu the personal, social, spatial, dan temporal dimension untuk selanjutnya dirumuskan dalam tiga komponen kewarganegaraan sebagaimana dikemukakan Branson (1998), yaitu civic knowledge, civic skill, and civic disposition.
Kewarganegaraan multidimensi terdiri atas empat dimensi pokok yaitu: (1) dimensi pribadi (personal), (2) dimensi sosial, (3) dimensi spasial, dan (4) dimensi temporal. Dimensi pribadi dari kewarganegaraan multidimensi membutuhkan pengembangan satu kapasitas pribadi dan komitmen untuk etika warganegara yang dikarakteristikkan oleh kebiasaan pikiran, perasaan dan tindakan secara individu dan sosial. Sebagai warga negara, setiap individu harus meningkatkan: (a) kapasitas untuk berpikir secara kritis dan sistematis; (b) pemahaman dan kepekaan terhadap masalah-masalah perbedaan-perbedaan budaya; (c) pilihan terhadap pemecahan dan penyele-saian masalah yang bertanggung jawab, kooperatif dan tanpa kekerasan, dan (d) keinginan untuk melindungi lingkungan, membela hak asasi manusia, dan ikut serta dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan perkembangan mutakhir, dimana tujuan PKn adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan. Sejumlah kompetensi yang diperlukan, yang terpenting adalah: (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu, (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3) pengembangan karakater dan sikap mental tertentu, dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar demokrasi konstitusional. Berdasarkan kompetensi yang perlu dikembangkan, terdapat tiga komponen utama yang perlu dipelajari dalam PKn yaitu civic knowledge, civic skills, dan civic dispositions.
Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara. Civic Skills (kecakapan kewarganegaraan) mencakup kecakapan intelektual dan kecakapan berpartisipasi. Civic disposition (watak kewar-ganegaraan) mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeli-haraan dan pengembangan demokrasi konstitusional.
Mengutip pendapat Branson (1998) maka konstruk karakteristik warga negara dimaksud adalah kompetensi kewarganegaraan (civic competence) yang diformulasikan ke dalam tiga komponen penting, yaitu: 1) Civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara; 2) Civic skill (kecakapan kewarganegaraan), adalah kecakapan intelektual dan partisipatoris warga negara yang relevan; dan 3) Civic disposition (watak kewarganegaraan) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional Branson (1998:16).
3. PKn Sebagai Wahana Pendidikan Multikultural
Pengembangan masyarakat multikultural yang demokratis menjadi kebutuhan bagi bangsa Indonesia yang ditandai oleh kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas), karena multikultural pada dasarnya menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat, dan mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada, baik secara individual maupun secara kelompok dalam sebuah masyarakat. Masyarakat multikultural yang demokratis di Indonesia yang sehat tidak bisa dibangun secara taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi dan wadahnya adalah melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksudkan di sini adalah Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti luas (citizenship education) yang memiliki perspektif kewarganegaraan dunia abad ke-21 yang terkenal dengan sebutan kewarganegaraan multidimensi yang salah satu cirinya memiliki karakteristik multikultural (Cogan, 1998:116).  
Menurut Winataputra (2008: 30), Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam konteks negara kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerde-kaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan pada setiap jamannya itu.
Lebih lanjut menurut Winataputra (2008:31) pendidikan kewarganegaraan untuk Indonesia, secara filosofik dan substantif-pedagogis andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan berkeadilan, serta mampu hidup secara harmonis dalam konteks multikulturalisme-Bhinneka Tunggal Ika. Dalam konteks yang demikian, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan masyarakat multikultural.
Namun demikian kenyataan praksis di lapangan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi yang merupakan ujung tombak dan bagian dari proses membangun cara hidup multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan dan penghargaan akan keragaman justru belum menggembirakan, mulai kehilangan dimensi multikulturalnya, bahkan kehilangan aktualisasinya karena terjebak pada penguasaan pengetahuan (knowledge) belaka dengan membiarkan aspek afeksi (attitude) pendidikannya. Pembelajaran PKn umumnya dilakukan secara parsial dan tidak mengakomodir nilai-nilai multikulturalisme dan kearifan lokal masyarakat setempat. Padahal seharusnya PKn sebagai wahana pendidikan multikultural dapat mengembangkannya secara lebih sistematis dan komprehensif.
 4.  Kearifan Lokal dalam Wacana Pendidikan Multikultural
Kearifan lokal merupakan bagian dari konstruksi budaya. Haba, (2007: 330) mengatakan bahwa kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat.
Berdasarkan inventarisasi Haba (2007: 334-335) setidaknya ada enam signifikansi serta fungsi kearifan lokal jika hendak dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk pendekatan dalam menyelesaikan sebuah konflik. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal tidak bersifat memaksa atau dari atas (top down), tetapi sebuah unsur kultural yang ada dan hidup dalam masyarakat. Karena itu, daya ikatnya lebih mengena dan bertahan. Keempat, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Kelima, local wisdom akan mengubah pola pikir, dan hubungan timbal balik individu dan kelompok, dengan meletakkannya di atas commond ground/ kebudayaan yang dimiliki. Keenam, kearifan lokal dapat berfungsi mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi.
Keenam fungsi kearifan lokal yang diuraikan di atas, menegaskan pentingnya pendekatan yang berbasis pada nilai-nilai atau kearifan lokal (local wisdom), dimana sumber-sumber budaya menjadi penanda identitas bagi kelangsungan hidup sebuah kelompok maupun aliran kepercayaan. Konflik multikultural yang menyertainya pun juga akan mampu dikelola secara arif dan tidak selalu melibatkan politik kekuasaan sebagaimana yang selama ini dipraktikkan melalui hubungan agama dan negara di Indonesia. Menurut Abdullah (2003: 8) dalam konteks ini perlu adanya transformasi ruang dari pendekatan “dari luar” (global) ke pendekatan “dari dalam” (lokal) dimana dinamika konflik antara agama dan kepercayaan serupa, dengan menyandarkan pada nilai-nilai lokal (local values).
Motto Bhineka Tunggal Ika sebenarnya mengakomodasi atas keragaman dalam masyarakat bangsa Indonesia dalam suku, ras, bahasa, adat istiadat, dan agama.  Ironisnnya keragaman  dalam kesatuan budaya bangsa dalam perjalanan kemerdekaan negara dan bangsa lebih ditekan-kan pada aspek kesamaan untuk membentuk solidaritas bangsa. Implikasinya, budaya lokal yang kaya dengan perbedaan banyak mengalami erosi atau pengikisan baik secara kuantitas mapun kualitas terutama penggunaan bahasa daerah mengalami kemunduran maupun kehilangan daya gunanya secara pragmatik (Wiriaatmadja, 2002: 221).
Pengembangan nilai-nilai budaya lokal dan primordial seperti stereotipe, etnosentrisme dan sebagainya, memang dapat menimbulkan perpecahan  yang berbahaya. Tetapi konsep primordi-alisme itu sendiri memerlukan kajian yang lebih proporsional. Adanya ikatan “lokal-tradisional”, sering dirasakan sebagai suatu realitas sosial-kultural itu diperlukan sebagai pengisi identitas diri dan kelompoknya yang terasa hampa, memerlukan keakraban karena lebih bersifat naturalistik dan bukan rekayasa. Apalagi akibat proses globalisasi, kita sering terasa “sepi” dan memerlukan ikatan komunitas lama yang akrab (Abdullah, 1999: 19).
Setiap komunitas (etnis, agama, daerah) pasti memiliki nilai-nilai luhur tertentu yang dipandang baik serta dijadikan aturan dan norma sosial. Nilai-nilai ini selanjutnya mengikat masyarakat dalam sebuah komunitas dan menjamin mereka untuk hidup dengan damai, harmonis, bersahabat, saling menghargai dan menghormati, saling membantu satu sama lain. Kenyataan ini mesti disadari sebagai salah satu kekuatan alamiah yang tumbuh dari dan untuk masyarakat itu sendiri. Karenanya, kekuatan ini sangat baik dan penting untuk diperkuat kembali posisinya dalam rangka mewujudkan kedamaian dalam hubungan sosial, di samping penegakan hukum positif dan managemen penyelenggaraan pemerintahan nasional.
Mengingat begitu penting dan strategisnya nilai kearifan lokal dalam pembangunan bangsa, maka sangat wajar apabila dalam penelitian ini pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan multikultural difokuskan pada penggalian nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di dalam masyarakat dan budaya Indonesia yang berbhinneka tunggal ika.
Dilihat dari segi Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan perguruan tinggi, tantangan tersebut belum dapat dijawab dengan kurikulum yang ada. Modus dan isi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang ada di perguruan tinggi selama ini menunjukkan fenomena yang kurang menghargai dan mengeksplorasi nilai-nilai multikultural berbasis kearifan lokal yang merupakan essensi kultur demokrasi di ruang-ruang kuliah dan di masyarakat secara sinergis. Modus Pendidikan Kewarganegaraan selama ini kecenderungannya hanya terjadi di kelas, sedangkan di masyarakat cenderung bertentangan atau bersifat paradoks. Isi Pendidikan Kewarganegaraan juga hanya bersifat hafalan saja, kurang mengeksplor aspek afektif dan psiko-motorik mahasiswa. Padahal Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari pendidikan nilai dan pendidikan karakter bangsa isinya bukan untuk dihapalkan tetapi untuk dipahami dan dilaksanakan. Berangkat dari kondisi di atas, dirasa sangat urgen dan perlu pengembangan watak kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal melalui pengkajian dan pengorganisasian kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi melalui pengembangan kompetensi kewarganegaraan (civic competency, civic skill and civic participation). 
Karakteristik kearifan lokal yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kolaborasi dan sinergi dari pendapatnya Habba (2008), Moendardjito (2006) dan Alwasilah (2008) yang bercirikan sebagai berikut: (1) sebagai penanda identitas, perekat kohesi sosial dan kebersamaan sebuah komunitas, (2) terbentuknya berdasarkan penga-laman, secara evolusioner dan sangat terkait dengan sistem kepercayaan,(3) memiliki kemampuan mengendalikan, mengakomo-dasikan dan mengintegrasikan unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya asli serta memberi arah pada perkembangan budaya, (4) teruji setelah digunakan berabad-abad, terbina secara komulatif, bersifat dinamis dan terus berubah, (5)padu dalam praktik keseharian masyarakat dan lembaga yang lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan, (6) tidak abadi, dapat menyusut, dan tidak selamanya tampak jelas secara lahiriah.
Beberapa nilai kearifan lokal masyarakat Malang (Jawa Timur) yang dapat dikembangkan dalam PKn multikultural berbasis kearifan lokal, antara lain:
1)“seng gedhe ora keno gumedhe, seng cilek ora keno mitek” (yang besar tidak boleh sombong, yang kecil tidak boleh seperti ayam, 2)“Sayuk rukun saiyeg saeka praya” (manunggal rukun bersama-sama satu tujuan), 3)“Sing guyub rukun” (bersatu dan rukun), 4)“Gotong royong” (kerja bersama, kebersamaan untuk mencapai keselarasan dan kebahagiaan, 5)“Ana catur mungkur” (menghindari silat lidah, biar dingin dulu), 6)”Aja adigang-adigung adiguna”(jangan menyombongkan kekayaan, kekuatan dan kekuasaan), 7) Aja dumeh, tepa sliro, ngerti kuwalat (jangan merasa hebat , tenggang rasa dan tahu karma), 8) “Wong urip nggur sawang sinawang” (orang hidup hanya saling memandang satu sama lain), 9) “Negara mawa tata, desa mawa cara” (negara punya aturan, desa punya cara), 10) “Tata tentrem karta raharja” (tertata tenteram, makmur dan aman), 11)“Rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangurungkebi, mulat sarira hangrasa wani” (merasa ikut memiliki, merasa wajib membela, melihat badan dan mawas diri), 12) Empan papan (sesuai waktu dan tempat), 13) Salam satu jiwa Arema (salam Arema untuk merasa satu jiwa).

Nilai-nilai tersebut dalam pelaksanaan pembelajaran PKn dapat digali dan dieksplorasi lebih dalam lagi, tergantung pada kemampuan mahasiswa untuk menangkap fenomena yang ada di masyarakat sekitarnya. Di samping itu mahasiswa juga diberi kesempatan untuk mengeks-plorasi dan mengekspresikan bentuk budaya dan kearifan lokal lain, misalnya: festival keagamaan, ceritera-ceritera rakyat, relasi sosial (kekerabatan) yang dipercayai berasal dari leluhur yang sama, seni tari, nyanyian, makanan bersama (kuliner) dan sebagainya.
5. Pengembangan Model dan Desain Pembelajaran
Istilah model diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda sesungguhnya. Dalam konteks pembelajaran, istilah “model” diartikan dengan mengacu pada pendapat Soekamto (1997:78) yaitu kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam  mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Model berfungsi sebagai pedoman bagi pembelajar dalam merencanankan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Atas dasar pemikiran tersebut, Joyce dan Weil (2000:6) mendefinisikan model pembe-lajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembe-lajaran. Menurut Joyce and Weil (2000: 103) ada empat model pembelajaran yaitu: model pengolahan informasi, personal, interaksi sosial dan behavioral. Ada 4 (empat) komponen kunci yang perlu dipahami dalam melihat suatu model pembelajaran adalah :
a.       Sintaks (Syntax) daripada model, yaitu langkah-langkah, fase-fase, atau urutan kegiatan pembelajaran. Setiap model mempunyai sintaks atau struktur model yang berbeda-beda.
b.      Prinsip Reaksi (Principle of Reaction) yaitu reaksi pembelajar atas aktivitas-aktivitas pembelajar. Prinsip reaksi akan membantu memilih reaksi-reaksi apa yang efektif dilakukan pembelajar.
c.       Sistem-Sosial (social system),sistem sosial ini mencakup, 3 (tiga) pengertian utama yaitu:
1)   deskripsi macam-macam peranan pembelajar dan pebelajar
2)   deskripsi hubungan hirarkis/ otoritas pembelajar dan pebelajar,
3)   deskripsi macam-macam kaidah untuk mendorong pembelajar.
Sistem sosial sebagai unsur model agaknya kurang berstruktur dibandingkan dengan unsur sintaks.
d.      Sistem Pendukung (Support System) sesungguhnya merupakan kondisi yang dibutuhkan oleh suatu model. Sistem pendukungnya bertolak dari pertanyaan-pertanyaan dukungan apa yang dibutuhkan oleh suatu model agar tercipta lingkungan khusus. Penggunaan model manapun harus dapat memberi efek belajar bagi pebelajar. Efek belajar ini dapat berupa direct atau instructional effects atau berupa indirect atau nurturant effect.

C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan pola “the dominant-less dominan design” dan desain penelitian research and development (R & D). Penelitian dilakukan dengan tiga tahapan: (1) Studi Pendahuluan (Exploration study) (2) Pengembangan model (Classroom Action Research) dan (3) Pengujian (experimental study) yang menggunakan kuasi eksperimen.
Penentuan lokasi di tiga perguruan tinggi yang ada di Kota Malang yaitu UNIBRAW, UM dan UMM yang ditentukan secara purpossive sampling. Jenis data adalah data primer dan sekunder. Responden dan key informan penelitian adalah dosen, mahasiswa, kaprodi dan tokoh masyarakat yang dapat memberikan informasi tentang permasalahan yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, observasi, wawancara, kuesioner/ angket (test). Analisis data dilakukan secara mixing methode, yaitu diskriptif kualitatif dipadukan dengan diskriptif kuantitatif sederhana (prosentase dan distribusi frekwensi) serta uji t dan uji f  menggunakan program SPSS.
Untuk data kualitatif kriteria keabsahan datanya dilakukan dengan melihat derajat kepercayaan (credibility) melalui teknik triangulasi sumber dan metode, perpanjangan kehadiran peneliti, pengecekan teman sejawat dan ketekunan pengamatan, derajat keteralihan (trans-ferability), derajat kebergantungan (dependability), dan derajat kepastian (confirmability). Sedangkan data kuantitatif dilakukan dengan uji validitas isi dengan korelasi spearman dan reliabelitas dengan model Alpha Cronbach.
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
               Berdasarkan hasil studi diperoleh empat temuan utama dalam kaitannya dengan Penguatan dan aktualisasi pendidikan karakter bangsa melalui model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi. Berikut akan dideskripsikan empat temuan tersebut.
1. Landasan Kebutuhan Penguatan dan Aktualisasi Pendidikan Karakter Bangsa melalui Pengembangan Model Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural berbasis Kearifan Lokal di Perguruan Tinggi.
Dari landasan kebutuhan penguatan dan aktualisasi pendidikan karakter bangsa melalui pengembangan model Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural berbasis Kearifan Lokal di Perguruan Tinggi berdasarkan hasil wawancara dan focus group discusion dengan dosen, mahasiswa yang menempuh matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan dan pimpinan perguruan tinggi di tiga lokasi, menunjukkan bahwa :  
a)  Aspek psiko-sosial paedagogis adalah :
1)      Perkuliahan PKn selama ini materinya terlalu banyak dan luas.
2)      Pembelajaran dilakukan kurang menarik dan membosankan.
3)      Metode pembelajaran yang ada selama ini cenderung kurang bervariasi dan kurang melibatkan mahasiswa.
4)      Mahasiswa umumnya kurang menyenangi perkuliahan PKn karena harus banyak meng-hafal dan banyak membaca.
5)      Dosen PKn cenderung belum siap mengajar secara kontekstual, kurang enjoyfull learning (belajar dengan menyenangkan) dan masih berpola “textbookish”.
 b) Kebutuhan praktis dan strategis yang mencakup kebutuhan dosen, mahasiswa dan kebutuhan proses belajar mengajar (perkuliahan) menunjukkan  bahwa akar penyebab pembelajaran / perkuliahan PKn yang terjadi selama ini berlangsung monolitik, kurang demokratis, membo-sankan dan  tidak optimal dalam memberikan kompetensi multikultural pada mahasiswa, dikarenakan 11 faktor dominan, yaitu:
1)      Pembelajaran PKn pada umumnya kurang memperhatikan perubahan-perubahan dalam tujuan, fungsi dan peran PKn di masyarakat
2)      Posisi, peran dan hubungan fungsional dengan matakuliah lainnya terabaikan.
3)      Lemahnya transfer informasi konsep PKn sebagai bagian dari rumpun ilmu-ilmu sosial  mengakibatkan out put pembelajaran PKn tidak memberi tambahan daya dan tidak pula mengandung kekuatan pada peserta didik untuk mengatasi problem-problem yang ada di lingkungan masyarakatnya.
4)      Dosen PKn tidak dapat meyakinkan mahasiswa untuk belajar PKn dengan lebih bergairah, menarik dan bersungguh-sungguh, karena mahasiswa kurang dan bahkan tidak pernah dibelajarkan untuk berpikir kritis dan membangun konseptualisasi secara mandiri.
5)      Dosen lebih mendominasi mahasiswa (teacher centered) dengan kadar pembelajarannya rendah sehingga kebutuhan belajar mahasiswa tidak terlayani. Dosen cenderung memperlakukan mahasiswa sebagai objek. Mereka hanya menerima apa yang diajarkan tanpa bisa mengkritisi. Dengan kata lain dikatakan bahwa sistem pendidikan dan pembelajaran yang berlaku di Indonesia masih jauh dari demokratis.
6)      Pembelajaran PKn selama ini belum membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokrasi sosial kemasyarakatan yang riil, dengan melibatkan mahasiswa dan seluruh civitas akademika dalam berbagai aktivitas, baik di kelas (kampus) maupun di luar kampus.
7)      Adanya tradisi yang dilakukan dosen dalam melaksanakan pembelajaran PKn yang cenderung menggunakan pendekatan monolitik dan bersifat top down , semua materi pembelajaran secara detail telah dipersiapkan oleh pusat (surat edaran) menteri pendidikan nasional, dosen tidak punya keleluasan untuk mencari dan mengembangkan materi lebih jauh.
8)      Nuansa pendekatan teoritis sangat kental dilakukan dalam pembelajaran PKn, yang ditunjukkan dengan penekanan pada pembahasan apa yang ada dalam buku teks, tanpa dikaitkan dengan apa yang ada dan yang relevan bagi bangsa Indonesia saat ini. Perkuliahan PKn hanya memiliki kontribusi yang amat kecil dalam pengembangan individu dan masyarakatnya terutama dalam rangka penyemaian dan akselerasi pertumbuhan nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat Indonesia yang majemuk (plural) dan yang menghargai perbedaan kultur di masyarakat sesuai dengan semangat multikultualisme.
9)      Dosen PKn tidak berani mengembangkan kurikulum di dalam kelas karena takut dianggap “nyeleneh-menyalahi aturan dan tradisi” Kondisi ini diperburuk oleh sikap pengelola lembaga pendidikan yang tidak mendukung upaya inovasi dosen karena khawatir dengan aturan birokrasi.
10)  Adanya harapan  dan keinginan dari mahasiswa untuk dilakukan perbaikan kualitas pembelajaran PKn dengan melakukan berbagai variasi dalam pelaksanaan pembelajaran. Kesalahan orientasi dalam pembelajaran PKn yang ada selama ini harus segera diakhiri salah satunya dengan menerapkan pendekatan inkuiri sosial dalam perkuliahan PKn Multikultural berbasis kearifan lokal  untuk meningkatkan kompetensi multikultural dan kemampuan berpikir kritis-dialogis mahasiswa.
11)  Apapun mata kuliahnya, belajar itu sesungguhnya berpikir, karena itu kualitas berpikir seseorang tergantung pada kualitas pembelajarannya, khususnya pada interaksi edukatif antara mahasiswa dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan dosen. Prinsip-prinsip paedagogis kritis seharusnya menjadi rujukan dalam mendesain proses pembelajaran atau perkuliahan di perguruan tinggi. 

2. Substansi Materi Ajar Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural  Berbasis Kearifan Lokal
Pengembangan materi PKn Multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi ini mengacu pada pemikiran bahwa Pendidikan Kewarganegaraan untuk Indonesia, secara filosofik dan substantif-pedagogis andragogis, merupakan pendidikan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik agar menjadi warga negara Indonesia yang religius, berkeadaban, berjiwa persatuan Indonesia, demokratis dan bertanggung jawab, dan berkeadilan, serta mampu hidup secara harmonis dalam konteks multikulturalisme  “ Bhinneka Tunggal Ika.”
Berdasarkan pemikiran di atas, maka kompetensi standar yang hendak dihasilkan dalam pengembangan materi PKn Multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi ini adalah : “Membekali mahasiswa menjadi warga negara yang mampu hidup berdampingan bersama warga negara lainnya tanpa membedakan agama, ras, bahasa dan budayanya serta mampu mengem-bangkan  bangsa menjadi bangsa besar yang dihormati dan disegani di dunia internasional.” 
            Kompetensi Standar tadi dalam praksis pembelajaran kemudian secara rinci dikembang-kan ke dalam 5 (lima) kompetensi dasar yang meliputi:
a.    Menjadi warga negara yang menerima perbedaan-perbedaan etnik, agama, bahasa  dan budaya dalam struktur masyarakatnya (basis kearifan lokal).
b.    Menjadi warga negara yang bisa melakukan kerjasama multi etnik, multi kultur, multi religi dalam konteks pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa
c.    Menjadi warga negara yang mampu menghormati hak-hak individu warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya  dalam semua sektor sosial, pendidikan, ekonomi, politik bahkan untuk memeilhara bahasa dan mengembangkan budaya mereka.
d.   Menjadi warga negara yang memberi peluang pada semua warga negara untuk mewakili gagasan dan aspirasinya dalam lembaga-lembaga pemerintahan, baik legislatif maupun ekskutif.
e. Menjadi warga yang mampu mengembangkan sikap adil dan mengembangkan rasa keadilan terhadap semua warga tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya mereka.
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Pendidikan Kewarganegaraan merupakan pendidikan yang wajib diberikan di semua jenjang pendidikan termasuk jenjang pendidikan tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi sekarang ini diwujudkan dengan matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 267/ Dikti/Kep/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Pendidikan Kewarga-negaraan di Perguruan Tinggi. Selanjutnya dengan landasan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Kemudian terakhir diperbaharui kembali dengan Surat Keputusan Dirjen Dikti No.43/Dikti/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Berdasarkan rambu-rambu di atas, maka Substansi materi atau isi pembelajaran yang berupa materi ajar Pendidikan Kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan tinggi yang  cocok dan aplikatif bagi dosen adalah materi Identitas Nasional (Nilai-nilai multikultural berbasis kearifan lokal sebagai perwujudan dari identitas nasional). Materi ini dipilih karena dirasa paling cocok untuk pengembangan multikulturalisme dan penumbuhan identitas budaya bangsa yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia serta sebagai upaya meningkatkan kompetensi dan karakter kewarganegaraan multikultural mahasiswa.
Untuk pengembangan materi, beberapa nilai  kearifan lokal masyarakat Malang (Jawa Timur) yang dapat dikembangkan dalam PKn multikultural berbasis kearifan lokal, antara lain:
1) “seng gedhe ora keno gumedhe, seng cilek ora keno mitek” (yang besar tidak boleh sombong, yang kecil tidak boleh seperti ayam. 2)“Sayuk rukun saiyeg saeka praya” (manunggal rukun bersama-sama satu tujuan). 3)“Sing guyub rukun” (bersatu dan rukun). 4) “Gotong royong” (kerja bersama, kebersamaan untuk mencapai keselarasan dan keba-hagiaan. 5) Ana catur mungkur (menghindari silat lidah, biar dingin dulu). 6)”Aja adigang-adigung adiguna”(jangan menyombongkan kekayaan, kekuatan dan kekuasaan).  7) Aja dumeh, tepa sliro, ngerti kuwalat (jangan merasa hebat , tenggang rasa dan tahu karma). 8) “Wong urip nggur sawang sinawang” (orang hidup hanya saling memandang satu sama lain). 9) Negara mawa tata, desa mawa cara ( negara punya aturan, desa punya cara). 10) Tata tentrem karta raharja ( tertata tenteram, makmur dan aman). 11) “Rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangurungkebi, mulat sarira hangrasa wani” (merasa ikut memiliki, merasa wajib membela, melihat badan dan mawas diri). 12) Empan papan (sesuai waktu dan tempat). 13) Salam satu jiwa Arema (salam untuk merasa satu jiwa)

Nilai-nilai tersebut dalam pelaksanaan pembelajaran PKn dapat digali dan dieksplorasi lebih dalam lagi, tergantung pada kemampuan mahasiswa untuk menangkap fenomena yang ada di masyarakat sekitarnya. Di samping itu mahasiswa juga diberi kesempatan untuk mengeks-plorasi dan mengekspresikan bentuk budaya dan kearifan lokal lain, misalnya : festival keagamaan, ceritera-ceritera rakyat, relasi sosial (kekerabatan) yang dipercayai berasal dari leluhur yang sama, seni tari, nyanyian, makanan bersama (kuliner) dan sebagainya.
Eksplorasi nilai-nilai kearifan lokal tersebut apabila digambarkan dalam bagan pembuktian hipotesis tampak sebagai berikut.


 








Bagan 1
Format  pembuktian hipotesis dan analisis data tugas kelompok mahasiswa dalam  pengembangan model PKn Multikultural Berbasis Kearifan Lokal di Perguruan Tinggi

Penerapannya dalam penyusunan desain pelaksanaan model unsur nilai-nilai kearifan lokal menjadi sesuatu yang menarik bagi mahasiswa untuk diresapi dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa diminta mengidentifikasi nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakatnya lalu bagaimana pelaksanaan dan pengembangan nilai-nilai kearifan lokal tersebut di masa sekarang dan masa yang akan datang. Karena hal itu dapat menjadi sebuah resep manjur untuk mengobati kerinduan terhadap nilai-nilai budaya lokal dalam kevakuman budaya global yang begitu deras mendera dunia saat ini. Dengan kata lain model PKn MBKL merupakan sebuah solusi untuk menjembatani tarik-menarik antara nilai etnisitas dan globalisasi. Desain evaluasi perkuliahan dilakukan pada saat proses maupun hasil belajar. Evaluasi hasil belajar dimaksudkan untuk mengetahui kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa sekaligus pemahaman atas materi yang diberikan yang dilakukan melalui test tertulis dalam bentuk essay yang dilakukan dengan pre tes maupun post tes, yang dilengkapi dengan produk hasil karya mahasiswa berupa CD pembelajaran dan BINDERR (Buku inkuiri nilai-dialogis - edukatif-rekreatif dan reflektif). Masing-masing kelompok diberi umpan balik berupa catatan evaluasi revisi tugas “Project Citizen Bhinneka Tunggal Ika”.  Evaluasi dilakukan untuk mengetahui cocok tidaknya nilai-nilai kearifan lokal dan multikultural dengan aspek kekinian.

3. Proses atau Modus Pembelajaran
Proses atau modus pembelajaran yang berupa syntaks model pembelajaran inkuiri sosial dituangkan dalam ikhtisar model dan panduan pengembangan model pembelajaran, yang dapat diterapkan bagi pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal di perguruan  tinggi.  Terdiri dari enam langkah yaitu : a) orientasi, b) hipotesis, c) penje-lasan istilah, d) eksplorasi, e) pembuktian hipotesis, f) Generalisasi. Pelaksanaan pembela-jarannya dilakukan secara berkelompok dengan tugas atau resitasi. Secara konseptual model pengembangan PKn multikultural berbasis kearifan lokal dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
 


































Bagan 2  Desain Konseptual Pengembangan model PKn Multikultural Berbasis Kearifan Lokal di Perguruan Tinggi

 4. Peningkatan Produk atau Hasil Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Dari hasil uji coba di lapangan terjadi peningkatkan produk atau hasil pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi yang menggunakan model pengembangan pendidikan kewarganegaraan multikultural berbasis kearifan lokal, berupa peningkatan kompetensi multikultural di kalangan mahasiswa.  Hasil pengujian model, ditemukan bahwa model pembelajaran PKn MBKL di tiga  Perguruan tinggi di Kota Malang di dapat hasil yang menggembirakan dan memuaskan. Model pembelajaran PKn multikultural berbasis kearifan lokal (PKn MBKL) telah terbukti efektif memberikan pengaruh terhadap kompetensi kewarga-negaraan multikultural mahasiswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Temuan hasil penelitian terhadap kelompok kelas eksperimen dan kelas kontrol secara statistik ditemukan adanya perbedaan yang signifikan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol terhadap kompetensi kewarganegaraan mahasiswa (F = 4.585 dengan signifikansi lebih kecil dari 0,05). Perbedaan yang signifikan tersebut memperkuat temuan bahwa perkuliahan PKn yang menggunakan model PKn MBKL ini dapat mengembangkan kompetensi dan karakter kewarganegaraan multikultural mahasiswa di Perguruan tinggi dengan kategori apapun.
Pada tahap pengujian model juga nampak aspek motivasi belajar mahasiswa dari perbandingan hasil rata-rata skor kelompok kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kelompok kontrol dengan (F=6.106 dengan signifikansi lebih kecil dari 0,05).  Berdasarkan temuan di atas, juga dapat disim-pulkan bahwa mahasiswa pada kelompok kelas eksperimen di tiga Perguruan tinggi (UB, UM dan UMM) yang ada di Kota Malang merasakan motivasi belajar PKnnya meningkat lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.
Di samping itu dampak instruksional dalam model pembelajaran PKn Multikultural berbasis kearifan lokal dengan inkuiri sosial adalah: (a) dapat melakukan penelitian masalah-masalah sosial dan (b) dapat mengembangkan tanggung jawab dalam perbaikan masyarakat sebagai wujud komitmen terhadap peningkatan kualitas warganegara (c) dapat mengembangkan kompetensi kewarganegaraan multikultural mahasiswa. Adapun dampak pengiring dalam pembelajaran ini adalah: (a) munculnya rasa menghargai dan menghormati harkat dan martabat orang lain serta bersikap lebih toleran  (toleransi dalam berdialog) di kalangan mahasiswa, (b) Kebiasaan akan tindakan sosial/perilaku multikultural di masyarakat dan (c) Motivasi belajar dan berprestasi mahasiswa dalam perkuliahan PKn meningkat.

E. Kesimpulan, Saran dan Rekomendasi
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian penguatan dan aktualisasi pendidikan karakter bangsa melalui pengembangan model PKn multikultural berbasis kearifan lokal ini adalah:
1.   Pengembangan model PKn multikultural berbasis kearifan lokal menjadi kebutuhan bangsa Indonesia yang majemuk dan beranekaragam serta menjadi sebuah keniscayaan bagi wahana desimenasi pemahaman multikulturalisme melalui jargon pendidikan multikultural dan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
2.   Substansi materi pembelajaran yang cocok dan aplikatif adalah materi Identitas Nasional untuk pengembangan nilai-nilai multikulturalisme dan penumbuhan identitas budaya - karakter bangsa yang bersumber dari budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia.
3.   Proses atau modus pembelajaran yang berupa syntaks model pembelajaran inkuiri sosial dituangkan dalam ikhtisar model dan panduan pengembangan model PKn MBKL di perguruan tinggi ke dalam enam langkah dan pembelajarannya dilakukan secara berke-lompok dengan tugas/resitasi.
4.   Hasil uji coba menunjukkan terjadinya peningkatkan produk hasil pembelajaran, berupa peningkatan kompetensi multikultural di kalangan mahasiswa dengan harga F sebesar 4.585 yang memiliki signifikansi lebih kecil dari 0,05. Secara substansial hasil ini menunjukkan bahwa PKn MBKL efektif untuk meningkatkan kompetensi multikultural mahasiswa.
Beberapa saran dan rekomendasi yang dapat diajukan  adalah : 
a)   Dari hasil  penelitian dan fakta di lapangan ditemukan kenyataan bahwa dari sisi pengetahuan dan kemampuan dosen untuk mengembangkan kemampuan kompetensi dan karakter  kewar-ganegaraan multikultural melalui pendekatan inkuiri sosial yang mengasah kemampuan berpikir kritis-kreatif–dialogis dan model-model pembelajaran khas PKn masih sangat terbatas. Di sisi yang lain dosen sangat membutuhkan contoh-contoh model pembelajaran yang dapat merangsang dan meningkatkan kemampuannya untuk mengembangkan model-model pembelajaran yang  dapat meningkatkan kemampuan multikultural dan berpikir kritis mahasiswa dalam perkuliahan di kelas. Untuk itu sebagai rekomendasi di lingkungan pendidikan tinggi perlu disusun buku panduan model pembelajaran PKn multikultural ber-basis kearifan lokal  yang dapat mengembangkan kompetensi dan karakter kewarganegaraan multikultural baik bagi dosen maupun mahasiswa serta dipublikasikan secara nasional.
b)   Kepada penentu kebijakan  khususnya  kepada pemerintah pusat termasuk di dalamnya Departemen Pendidikan Nasional yang memayungi Undang-undang maupun keputusan penting lainnya dalam bidang pendidikan. Rekomendasi yang diajukan adalah agar kebijakan di lingkungan Dikti dan dikdasmen, dalam perkuliahan PKn dapat mengakomodasikan pengembangan nilai-nilai pluralitas etnis dan budaya (multikulturalismne) yang diperlukan untuk kepentingan hidup berbangsa/bernegara. Pemerintah harus memiliki task commitment yang kuat untuk melaksanakan program desimenasi nilai-nilai multikulturalisme itu, jangan sampai mematikan budaya lokal secara sosial, dengan tetap memandang pentingnya pencapaian integrasi bangsa dan integrasi nasional yang optimal. Program perkuliahan yang bermuatan nilai multikulturalisme ini hendaknya betul-betul dirancang secara cermat baik perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Hal ini penting untuk memudahkan mendiagnosis kegagalan maupun keberhasilan dalam suatu program pendidikan PKn di lingkungan persekolahan atau perguruan tinggi di masa mendatang.  Demikian juga para pengembang kurikulum pendidikan nasional direkomendasikan untuk merespon realitas kebhinnekaan Indonesia sebagaimana tergambar dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika ke dalam kurikulum pendidikan nasional yang disemangati oleh prinsip multikulturalisme.
c)   Kepada pemerintah daerah, Depdiknas melalui Dinas Pendidikan Propinsi maupun Kabupaten/Kota, dapat memprakarsai pelaksanaan inventarisasi dan eksplorasi nilai-nilai multikulturalisme yang terkandung dalam budaya/kearifan lokal masyarakat setempat  dan dapat bekerjasama dengan Perguruan Tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat dan komunitas pencinta/pelestari budaya daerah seperti Lingkar Studi Wacana (LSW) setempat untuk mengadakan seminar/diskusi/sarasehan dan lokakarya yang tersebar di berbagai daerah. Hasil seminar/diskusi/sarasehan dan lokakarya tersebut selanjutnya dapat ditindaklanjuti oleh dosen-dosen dan guru-guru PKn sebagai bagian praktik belajar kewarganegaraan melalui project citizen atau proyek kewarganegaraan “Bhinneka Tunggal Ika”.
d)  Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PKn di lingkungan perguruan tinggi diperlukan berbagai upaya inovasi yang terus menerus dalam proses pembelajaran melalui perbaikan kinerja dosen dengan penelitian tindakan kelas (PTK/CAR). Untuk itu perlu digalakkan pelatihan dan pelaksanaan penelitian tindakan kelas bagi para dosen PKn dalam rangka pengembangan dan inovasi model-model pembelajaran. Jalinan kerjasama dan kolaborasi antara dosen PKn dan peneliti dari perguruan tinggi perlu dibangun dan diintensifkan keberadaannya.
e)   Salah satu kelemahan penelitian tentang pengembangan model PKn Multikultural berbasis kearifan lokal  ini adalah jumlah mahasiswa dan kelas yang terlalu banyak dan beragam. Hal ini membuat peneliti harus bekerja keras untuk memformulasikan dan mengklasifikasikan segala aspirasi, persepsi dan konsep dasar mereka terhadap model pembelajaran PKn yang sesuai dengan keinginan mereka dan semangat demokratisasi belajar yang menghargai potensi individual dan multikultural mereka yang beragam.
f)    Untuk memperoleh hasil yang maksimal dari hasil temuan penelitian ini dalam melakukan inovasi dan pengembangan kemampuan kompetensi multikultural mahasiswa melalui model pembelajaran PKn multikultural berbasis kearifan lokal di lingkungan perguruan tinggi disarankan dan direkomendasikan agar dilakukan penelitian pada skope yang lebih luas dan melibatkan civitas akademika (dosen, mahasiswa dan ketua prodi) serta diperkuat oleh pakar pendidikan dan pembelajaran.

F. Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan dkk. (2008). Agama dan kearifan Lokal dalam Tantangan Global, Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar.
Abdullah, H.M. Amin, (2003). Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Adimihardja, Kusnaka (2008). Dinamika Budaya Lokal. Bandung: Indra Prahasta bersama Pusat Kajian LBPB.
Alwasilah, A. Chaedar.  (2008).Tujuh Ayat Etnopedagogi. pikiran rakyat. com , 23 Januari 2008.
Alwasilah, A. Chaedar, dkk. (2009). Etnopedagogi Landasan Praktek Pendidikan dan Pendidikan Guru. Bandung: Kiblat.
Aly, Abdullah. (2005). “Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik”. Makalah dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sabtu, 8 Januari 2005.
Anderson, Benedict. (2008). Imagined Communities (Komunitas – Komunitas Terbayang). Yogyakarta: Kerjasama Insist dan Pustaka Pelajar.
Ayatrohaedi. (1986).  Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya. 
Azra, A. (2003). “Pendidikan Multikultural: Membangun Kembali Indonesia Bhinneka Tunggal Ika”. Harian Republika, 3 September 2003.
-----------. (2006). “Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme”. Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.
-----------. (2007). “Keragaman Indonesia: Pancasila dan Multikulturalisme”. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional :Keragaman Suku, Agama, Ras, Gender sebagai Modal Sosial untuk Demokrasi dan Masyarakat Madani: Resiko, Tantangan dan Peluang”. Yogyakarta, 13 Agustus 2007.
Bandura, A. (1977) Social Learning Theory. Amerika: Psychological Association.
Banks, James (1984) Teaching Strategies for Ethnic Studies, Newton: Allyn and Bacon.
Banks, J.A & Banks, C.A.M. (Eds). (1995). Handbook of Research on Multicultural Education. New York: MacMillan.
Banks, J.A. (1997). Educating Citizens in a Multicultural Society. New York and
London: Teachers College Columbia University.
Banks, J.A. (Eds). (2004). Diversity and Citizenship Education: Global Perspectives. San Francisco: Jossey-Bass.
Beiner, R. (eds). (1995). Teorizing Citizenship. New York: State University of New York Press.
Blum, A. Lawrence, (2001). Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai  yang Bersifat Mendidk Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana
Bogdan, R.C & Biklen, S.K. (1990). Riset Kualitatif untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori dan Metode. Alih bahasa oleh Munandir dari judul Qualitative Research for Education: An introduction to Theory and Methods. Jakarta: PAU PPAI Universitas Terbuka
Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE.
Budimansyah, D. dan Suryadi, Karim. (2008). PKn dan Masyarakat Multikultur. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.
Budimansyah, D. (2008). “ Revitalisasi Pembelajaran PKn melalui Praktik Belajar Kewarganegaraan (Project Citizen)”, Acta Civicus, Vol 1. No. 2, April 2008, 179-198.
Budimansyah, D. (2009). Membangun Karakter Bangsa di Tengah Arus Globalisasi dan Gerakan Demokratisasi. Pidato pengukuhan sebagai guru besar dalam bidang Sosiologi Kewarganegaraan pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Budimansyah, D. (2009). Pembelajaran Pendidikan Kesadaran Masyarakat Multikultural Cetakan ke-2. Bandung: PT.Genesindo.
Center for Indonesia Civic Education/ CICED . (1999). Democratic Citizens in a Civic Society: Report of the Conference on Civic Education for Civic Society. Bandung: CICED.
Cogan, J.J. dan Derricot, R. (1998). Citizenship for the 21st Century: An International Perspective on Education. London: Kogan Page.
Cogan, J.J. (1999). Developing the Civic Society: The Role of Civic Education.
Bandung: CICED.
Creswell, J.W. (1994). Research Design Qualitative dan Quantitative Approach. London: Publications.
Creswell, J.W. (2008). Educational Research Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative dan Qualitative Research Third Edition. London: Pearson International Edition.
Fay, Brian, Brian. (1996). Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell.
Freire, Paulo. (1998). The Paulo Freire Readers, Edited by Friere, Ana Maria & Macedo, Donaldo. New York: Continum International Publication.
Gall, Joice, P. & Borg, Walter R. (2003). Educational Research Seventh Edition, United States of America.
Garcia, R.L. (1982). Teaching in a Pluristic Society: Concepts, Models,Strategies. New York: Harper & Row Publisher.
Giroux, Henry (1997). Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Scholling. Colorado: Westview Press.
Glazer, Nathan. (1997). We are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mass: Harvard University.
Gorski, Paul & Covert, Bob (1996). Defining Multicultural Education. Tersedia dalam www. Edchange.org/multicultural.
Habba, John. (2007). Analisis SWOT Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Resolusi Konflik dalam Ammirachman, Alpha. Revitatalisasi Kearifan Lokal Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, Jakarta: ICIP.
Hefner, R.W. (2007). Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan.
Terjemahan oleh Bernardus Hidayat dari judul asli “The Politics of Multiculturalism, Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia”. Yogyakarta: Kanisius.
I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www.balipos.co.id,  didownload 17/9/2009.
Joyce, B. Weil dan Shower B. (2000). Models of Teaching. Fourth Edition. Massachusettes: Alln and Bacon Publishing Company.
Kalidjernih, F.K. (2007). Cakrawala Baru Kewarganegaraan: Refleksi Sosiologi
Indonesia. Bogor: CV Regina.
Kalantzis, M. (2000). “Multicultural Citizenship” dalam W. Hudson & J. Kane (ed). Rethinking Australian Citizenship, Melbourne: Cambridge Univer-sity Press.
Kerr. David. (1999). Citizenship Education: An International Comparison. England: National Foundation For Educational Research – NFER.
Kuhn, Thomas.S. (1970) The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: Chicago University Press.
Kymlicka, Will (2002) Kewargaan Multikultural, Terjemahan Edlina Hafmini Eddin, Jakarta: LP3ES.
Liliweri, Alo. (2005) Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, LKiS: Yogyakarta.
May, Lary. (2001). Pembagian Tanggungjawab atas Rasisme” dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multi-kultural, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogya-karta: Tiara Wacana. 
Miles, M.B. & Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi dari judul Qualitative Data Anlysis. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Nasikun. (2007). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nasikun. (2005). “Imperatif Pendidikan Multikultural di Masyarakat Majemuk”. Makalah dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sabtu, 8 Januari 2005
Nieto, Sonia. (1992). Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multi-cultural Education. New York: Longman.
Nieto, Sonia. (1999). The Light in Their Eyes: Creating Multicultural Learning Communities. New York: Teacher College, Columbia University.
Parekh, Bhikhu. (2005). Unity and Diversity in Multicultural Societies. Geneva:
Parekh, Bhikhu. (2008). Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik, Yogyakarta: Kanisius.
Quigley, C.N., Buchanan, Jr. J.H., Bahmueller, C.F. (1991). Civitas: A Frame Work for Civic Education. Calabasas: Center for Civic Education.
Rawls, John. (2006). “A Theory of Justice”  - Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara. Terjemahan: Uzaer Fauzan dan Heru Prasetyo. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rosyada, Dede. (2005). Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: IAIN Jakarta Press.
Sagala, Syaiful. (2005). Konsep dan Makna Pembelajaran.Bandung : Alfabeta.
Saifuddin, Achmad Fedyani. (2004). “Multicultural Education: Putting school first (A Lesson from the Education Autonomy Policy Implementation in Indonesia)”. dalam Sunarto, Kamanto, Russel Hiang-Khng Heng, dan Achmad Fedyani Saifuddin (Eds). Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping Into the Unfamiliar. Depok: Kerjasama Jurnal Antropologi Indonesia dan TIFA Foundation.
Saifuddin, A.F. (2006). “Reposisi Pandangan mengenai Pancasila: Dari Pluralisme ke Multikulturalisme”. dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.
Saifuddin, A.F. (2007). “Kesukubangsaan, Nasionalisme dan Multikulturalisme”.
Masukan Reflektif bagi Buku Noorsalim dkk. (eds). (2007) Hak Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Jakarta. The Interseksi Foundation.
Saifuddin, Achmad Fedyani. (2004). Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia”. Kompas, 21 Januari 2004.
Sanjaya, Wina. (2010). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian FilsafatiJurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2. Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Soekamto, Toety. dan Udin Saripudin, Winataputra. (1997). Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud.
Suparlan. P. (2001). “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”. Jurnal Antropologi Indonesia 66, 2001.
Suparlan, Parsudi, (2002) “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikutural”, Jurnal Antropogi Indonesia, tahun XXVI, No.69, UI dan Yayasan Obor Indonesia
Suparlan, Parsudi (2003). “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan”, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.72, Jakarta: Universitas Indonesia-Yayasan Obor Indonesia.
Suparlan, P. (2004). ”Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multiultural, dan Minoritas: Memperjuangakan Hak-hak Minoritas”. Makalah disampaikan dalam Workshop Yayasan Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural, Mungkinkah di Indonesia?, Wisma PKBI, 10 Agustus 2004.
Suparlan, P. (2005). Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian
Supardan, D. (2004). Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, Global, untuk Integrasi Bangsa (Studi Kuasi Eksperimental Terhadap Siswa Sekolah Menengan Umum di Kota Bandung). Disertasi PPS UPI: tidak diterbitkan.
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id. didownload 17/9/2009.
Stavenhagen, R.(1986). Problems and Prospects of Multiethnic States, Tokyo: United Nations University Press.
Stavenhagen, R. (1996). “Education for Multicultural World” in Jasque Delors (etall) (1996). Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCO.
Sugiyono. (2009) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Afabeta.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PPS UPI Bandung dan Remaja Rosdakarya.
Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-Rambu Pelak-sanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Jakarta: Dirjen Dikti – Depdiknas.
Suryadinata, Leo, (2003)  Kebijakan Negara Indonesia Terhadap Etnik Tionghoa: Dari Asimilasi ke Multikulturalisme ?” Jurnal Antropologi Indonesia, Jakarta: UI-Yayasan Obor.
Sutarno. (2008). Pendidikan Multikultural. Bahan Ajar Cetak – Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Taylor, C. et all. (1994). Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. United Kingdom: Princeton University Press.
Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Tilaar, H.A.R. (2007). Meng – Indonesia: Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Tilaar, H.A.R. (2009). Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta: Rineka Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wahab, A.A. (2007). “Pendidikan Kewarganegaraan”. dalam Ali, Mohammad dan rekan. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Pedagogia Press.
Wahab, A.A & Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan Kewargane-garaan. Bandung: Alfabeta.
Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Sistemik Pendidikan Demokrasi: Suatu Kajian Konseptual Dalam Konteks Pendidikan IPS. Disertasi PPS UPI: tidak diterbitkan.
Winataputra. U.S. (2008). Multikulturalisme – Bhinneka Tunggal Ika dalam perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pemba-ngunan Karakter Bangsa Indonesia Dalam Dialog Multikultural. Bandung: Sekolah Pascasarjana UPI.
Winataputra dan Budimansyah (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.
Wiriaatmadja, Rochiati (2002). Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal, Nasional, dan Global, Bandung: Historia Utama Press.
Yaqin, Ainul. (2007). Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
Yulaelawati. (2004). Penerapan Teori Konstruktivistik dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi .Jakarta : Rineka Cipta.
Zulaeha, Ida. (2008). Pengembangan Model Pembelajaran Inkuiri Sosial bagi Peningkatan Kemampuan Menulis Kreatif dalam Konteks Multikultural Siswa SMP. Disertasi Pendidikan Bahasa Indonesia – SPs UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Zuriah, Nurul. (2002). Persepsi dan Aspirasi Mahasiswa Terhadap Civic Education di Perguruan Tinggi. Laporan penelitian – Lemlit UMM- DPP-PBI 2002.
Zuriah, Nurul, dkk. (2002). Pilot Project Pengembangan Pembelajaran CE Melalui Tridharma Perguruan Tinggi di Lingkungan PTM. Laporan pelaksanaan Uji Coba CE di UMM – Litbang Dikti PP Muhammadiyah – LP3 UMY dan Asia Foundation: Yogyakarta.
Zuriah, Nurul dkk. (2003). Pengembangan Model Pembelajaran Demokratis Berperspektif Gender pada Matapelajaran PPKn/IPS/PKPS di Lingkungan Pendidikan Dasar, Laporan Penelitian PHB XI. 1. Tahun 2003 Tahap I – PHB DP3M – Ditbinlitabmas Dikti - Tahun 2003.
Zuriah, Nurul & Sunaryo, Hari. (2009). Berpikir Kritis Dialogis melalui DDCT: Teori dan Aplikasinya dalam Pembelajaran, Malang: UMM Press.
Zuriah, Nurul. (2010). Model Pengembangan PKn Multikultural Berbasis Kearifan Lokal dalam fenomena Sosial di Perguruan Tinggi,  Laporan Penelitian Hibah Doktor.  DP2M - Dikti – Jakarta: Tahun 2010.

BIODATA PENELITI

1.    Nama Lengkap & Gelar        : DR. NURUL ZURIAH, M.SI.
2.    Jenis Kelamin                        : Perempuan
3.   Alamat Pos Surat                   : Perumahan Bumi Asri Sengkaling
                                                    Blok G-17/18 Malang – 65151

4.   Alamat Kantor                       :  Jurusan PKn/Civics Hukum – FKIP
                                                          Universitas Muhammadiyah

                                                          Malang – Jln. Raya Tlogomas No.  

                                                          246 Malang - 65144

5. Nomor telepon/HP               : 0341 – 463468 / 08123382195

6. Email Adress                          : zuriahnurulzuriah@yahoo.co.id



No comments:

Post a Comment