Showing posts with label Catatan Perjalanan. Show all posts
Showing posts with label Catatan Perjalanan. Show all posts

Janjang Seks di Bukittinggi

Sebagai orang yang hobby traveling, saya bangga bahwa saya telah berkali-kali mengunjungi kota Pariwisata Bukittinggi di Sumatra Barat. Saya bangga telah mengunjungi hampir semua objek wisata di yang ada di sana. Demikian juga ketika seorang penjual batu Akik tua di Janjang Ampek puluah menanyakan apakah saya sudah mengunjungi Janjang-janjang yang terkenal di Bukittinggi? Saya bilang juga sudah. Diantaranya Janjang Saribu, Sajuta Janjang. Dan yang kecil-kecilnya ada janjang Gudang, Janjang Ampek puluah, janjang gantuang, janjangTigobaleh dan lain-lainnya.

“Bagaimana dengan janjang Seks” Tanya penjual batu akik yang mengaku sudah berumur 75 tahun itu. “ Janjang Seks” Saya balik bertanya. Dan seumur-umur saya belum pernah mendengar di Bukittinggi ini ada Janjang Seks. Dan ini membuat saya panasaran. Seorang pemuda dekat Janjang Gudang mengatakan janjang Seks menghubungkan Pasa Banto dan Pasa Ateh.


Namun setelah berkeliling-keliling tidak saya ketemukan Janjang yang aneh itu. Dan kawan saya orang Bukittinggi yang ada di Pekanbaru juga tidak ada yang tahu. Panasaran saya coba berselancar di Internet. Akhirnya, barulah saya tahu, pantas tidak saya ketemukan di Bukittinggi. Nama Janjang itu sebenarnya “Janjang Inyiak Syech Bantam”



Ada-ada saja Inyiak dan Syech adalah orang  yang dihormati karena prilaku dan ilmunya, kok tega-teganya orang menjuluki janjang ini dengan Janjang Seks. Kembali kepada orang tua di Janjang Ampek puluah itu. Ia menambahkan disebut janjang Seks karena janjang itu lumyan terjal. Jadi kalau ada perempuan yang pakai rok pendek lewat di situ maka betis dan pahanya akan tersingkap. Baik bagi mereka yang melihat dari atas maupun yang melihat dari bawah. Namun kalau sekarang ini tidak tepat juga. Karena selama saya berada di Bukittinggi terutama dekat Jam Gadang saya boleh dikatakan tidak pernah melihat perempuan memakai rok pendek, apalagi rok span. Dan para turis rata-rata pakai celana panjang atau celana pendek sampai lutut. Tapi entahlah. Mereka yang mengasi nama orang tempatan kita tidak tahu.

Inyiak Syech Bantam Sendiri adalah pahlawan perang Cilegon (1888) yang dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Fort de Kock (bukittinggi). Di Bukittinggi, Inyiak Syech Bantam meneruskan perjuangan melawan penjajah belanda dengan cara mencerdaskan anak bangsa dengan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat Bukittinggi.



Nah itulah sekelumit catatan perjalanan saya terkhir mengunjungi Bukittinggi 17 Pebruari 2023. Dan saya berharap sama dengan saya semua pelancong di kota Pariwisata ini tidak akan menemukan yang namanya Janjang Seks ini. Karena penamaan janjang Seks hanya dari mulut ke mulut  saja. Tidak ada yang tertulis.

     Referensi :

http://bukittinggiminangkabau.blogspot.com/2018/02/transformasi-janjang-tua-kota.html

 

  

MAKHLUK HALUS PUN TURUT MENJAGA KELESTARIAN ALAM

Saya termasuk orang yang tidak percaya takhyul dan sampai sekarang pun saya belum pernah melihat ataupun berjumpa dengan hantu atau makkluk halus lainnya. Mulai dari SD dan sampai menjadi guru saya aktif di kepramukaan. Dalam pramuka memang  anggota dilatih untuk berfikir realistis tidak  mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan takhyul.
Namun ada beberapa kejadian yang membuat saya mengakui bahwa makhluk halus itu sebenarnya ada. Kejadian pertama,  terjadi pada tahun-tahun pertama saya menjadi guru. Saya membawa anak-anak pramuka hiking menerobos hutan di sebelah selatan sebuah bendungan di desa Kampar  kabupaten Kampar propinsi Riau. Penduduk  setempat menyebut bendungan itu dengan sinbad.
Hutan dibelakang lokasi bendungan itu cukup lebat dan terlindung oleh pohon-pohon besar dan tinggi. Tidak banyak semak-semak, sehingga mudah dilalui. Sekitar satu jam lebih kami memasuki hutan itu, kami menjumpai pohon-pohon yang dihinggapi beraneka ragam bunga anggrek. Ada anggrek bulan, anggrek kalajengking dan lain-lainnya yang saya sendiri tidak tahu  namanya. Kami tidak menduga akan menemukan hutan yang penuh bunga indah itu. Dan para peserta hiking tidak mau kehilangan kesempatan untuk  memetik  anggrek yang beraneka ragam itu. Sebelumnya kami tidak pernah mendapat informasi bahwa di hutan itu terdapat anggrek seperti itu. Saya yakin kalau orang lain tahu disitu banyak anggrek pasti akan ramai orang datang memburunyanya.
Ketika kami akan  keluar dari hutan itu, sesuatu yang aneh terjadi.  Saya  dan seorang teman guru yang memandu kegiatan hiking itu  dan juga beberapa orang anggota sudah terbiasa keluar masuk hutan dan kami sudah tahu jalan pulang menuju kebendungan sinbad. Namun kali ini kami kesulitan menemukan jalan pulang.Kami seolah-olah berputar-putar  dan kembali ketitik semula. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Dan perjalanan jadi sulit karena kami harus menembus semak belukar yang padat yang sangat menguras energi. Ini terjadi selama beberapa jam. Sungguh meletihkan. Ditambah lagi perasaan cemas kesasar di hutan.
Dalam kebingungan seperti itu seorang teman mengatakan, mungkin kami diganggu makhluk halus karena telah mengambil bunga-bunga anggrek dihutan.  Antara percaya dan tidak saya meminta semua untuk meninggalkan anggrek yang sudah mereka petik. Wajah-wajah letih dan kebingungan itu menatap saya dan dengan berat hati meninggalkan semua yang sudah mereka petik. Dan kami memutuskan untuk mencoba lagi menuju satu arah.
Aneh, apakah kebetulan tidak sampai 15 menit kami menemukan jalan setapak  yang mengantarkan kami ke pondok seorang peladang. Dari pondok itu tidak susah kami menemukan jalan kembali ke pasar kampar.

Kejadian kedua ketika mendaki gunung Kerinci dengan seorang teman. Kami berdua sampai kepuncak tertinggi sumatra itu pukul 2 malam. Bulan bersinar terang menyinari bumi seperti siang saja. Sehingga dalam terang bulan itu gunung tujuh yang jauh disana nampak samar-samar. Indah sekali. Tidak berlama-lama istirahat kami berjalan mengitari puncak. Dan kami begitu terpesona dilereng yang tak jauh dari puncak kerinci itu dengan diterangi sinar bulan yang cerah kami menemukan hamparan bunga edelweis yang sedang berbunga sejauh mata memandang.

Bunga edelweiss bunga langka lambang cinta abadi. Kalau gunung-gunung di Jawa ada larangan mengambil bunga abadi ini. Nah sekarang  bunga idaman setiap pendaki gunung itu terhampar seluas-luasnya di hadapan kami. Bermandikan cahaya rembulan kami berjalan diantara bunga-bunga yang pohonnya rata-rata setinggi satu meter itu. Ucok yang menemani saya memetik bunga-bunga itu dan memasukkan kekantong plastik.
Puas dan sangat bahagia rasanya. Diluar dugaan kami menemukan bentangan bunga edelweis yang jarang ditemukan. Lelah mendaki selama 12 jam seakan menghilang.
Menjelang subuh kami merasa cukup dan mulai bergerak turun kebawah. Dari informasi yang kami peroleh bila pagi hari gunung kerinci akan tertutup  awan dan menjadi gelap. Jadi kami harus meninggalkan puncak menjelang pagi.
Nah disini kembali keanehan terjadi. Tadi rasanya kami tidak ada melewati semak belukar. Sekarang kami dihadang oleh semak belukar yang rapat dan tinggi. Untuk berjalan satu meter saja sungguh menguras tenaga.  Saya sampai beberapa kali terduduk kehabisan energi. Kami tidak menemukan jalan setapak yang tadi kami lalui. Saya duduk diatas batu kehabisan tenaga sambil merenung. Kenapa ini bisa terjadi. Dan saya teringat pengalaman di Kampar.  Percaya atau tidak, yang penting dapat menemukan jalan pulang. Saya meminta Ucok untuk meninggalkan edelweiss yang sudah kami petik.
 Sungguh diluar nalar kami, tak jauh dari semak belukar yang menghalangi jalan kami itu kami menemukan jalan setapak yang jelas untuk turun kebawah.

Sampai di desa Kersik  Tuo Kayu  Aro tempat kami memulai pendakian saya ceritakan pengalaman saya ini kepada kepala desa Pak Benny Kemiran. Dan dia menceritakan bahwa mereka yang mengambil sesuatu di Gunung kerinci tidak bisa menemukan jalan pulang. Kita harus meminta izin kepada penunggunya. Dan dia memberitahu kami cara minta izinnya.
Percaya atau tidak itulah yang saya alami, berarti makhluk haluspun pun ikut menjaga kelestraian alam. Setahun kemudian saya datang lagi ke Gungung Kerinci dan sesuai dengan petunjuk kepala desa saya berhasil membawa beberapa tangkai bunga abadi tersebut. Tidak banyak, hanya sekedar untuk kenangan saja.

EDELWEISS THE SYMBOL OF ETERNAL LOVE (BUNGA EDELWEIS SIMBOL CINTA ABADI)



Edelweiss, Edelweiss
Every morning you greet me
Small and white, clean and bright
You look happy to meet me


Blossom of snow may you bloom and grow
Bloom and grow forever
Edelweiss, Edelweiss
Bless my homeland forever
Bagi yang sudah menoton film “The soud of music” pasti  akrab degan lagu ini karena merupakan ilustrasi dari film lama  itu. Film yang begitu memukau dan memikat. Namun dalam film itu bukan bercerita tentang bunga abadi  itu tapi tentang suasana hati satu keluarga yang negeriya di caplok oleh Jerman pada perang dunia.
Edelweiss (kadang ditulis eidelweis) atau Edelweis Jawa (Javanese edelweiss) juga dikenal sebagai Bunga Abadi yang mempunyai nama latinAnaphalis javanica, adalah tumbuhan endemik zona montana yang bisa ditemukan dibeberapa pegunungan tinggi Indonesia. Tumbuhan ini  katanya dapat mencapai ketinggian maksimal 8 m dengan batang mencapai sebesar kaki manusia walaupun yang saya jumpai umumnya tidak melebihi 1 m.
Bunga edelweis dengan teksturnya yang halus dan lembut dengan  warna yang kekuning-kuningan tidak mengandung air sehingga ia tidak pernah layu.  Rupanya akan tetap sama seperti ketika pertama kita petik meskipun kita memetiknya sepuluh tahun yang lalu. Karena tidak layu itulah maka ia  berbeda dengan bunga lain dan dijadikan perlambang cinta yang abadi.
Cinta abadi yang bagaika bunga edelweis , tidak terlalu indah dan baunya juga tidak semerbak sedangkan untuk meraihnya perlu pengorbanan karena ia berada jauh  digunung-gunung yang tinggi. Demikian juga cinta abadi tidak muluk-muluk dengan janji palsu perlu perjuangan untuk mendapatkannya. Persis bunga edelweiss, cinta abadi tidak layu dibelai waktu.
 Di Sumatra bunga Edelweis sekali –kali ada ditemukan di gunung singgalang Sumatera barat namun jarang  yang berbunga. Bagi yang pernah mendaki gunung kerinci antara bula april dan Agustus akan dapat melihat keindahan  bentangan bunga edelweis yang sedang mekar sejauh mata memandang dikala mendekati puncak. Namun tidak setiap orang dapat memetik bunga abadi itu. Karena gunung tertinggi di Sumatra itu seperti ada penunggunya yang tidak mengizinkan sembarang  orang untuk  memetik bunga itu. Saya sendiri,  setelah menemukan bentangan bunga edelweis menjelang puncak kerici itu baru berhasil membawanya  beberapa tangkai setahun kemudian.


Edelweis bunga  abadi,  yang di Indonesia merupakan bunga langka dan dilindungi,  merupakan idaman bagi pemuda yang lagi kasmaran untuk dipersembahkan bagi sang kekasih sebagai bukti bahwa cintanya benar-benar tulus tidak  untuk bermain-main. Seindah cinta Martin pada Monik seperti yang  dilukiskan oleh Marga T dalam novelnya Setangkai Edelweiss. Edelweis, edelweiss may my love for you forever

SUNGAI KOPU

Di Pekanbaru Riau pilihan tamasya untuk mengisi waktu libur biasanya  ke Sumatra barat, namun pengalaman dari tahun ketahun, ke Sumbar terlalu ramai. Dari berbagai kabupaten di Riau dan Kepri pergi Ke Sumbar, begitu juga dari Jambi dan Sumut, sehingga penuh sesak lah provinsi tetangga itu. Apalagi pemerintah sumatra barat dari tahun-ketahun nampaknya tidak memikirkan fasilitas dan kenyamanan bagi turis lokal yang membludag tersebut. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif lain selain ke Sumatra barat. Salah satunya adalah menyusuri sungai Kopu.
Sungai Kopu adalah sungai kecil  yang mengalir dari Kecamatan Kapur IX Payakumbuh menuju Sungai Kampar di desa Tanjung Muara takus kecamatan XIII Koto Kampar. Sungai kecil yang rata-rata lebarnya sepuluh meter tak ubahnya bagai air yang mengalir diantara dua tembok kokoh yang terdiri dari batu cadas di kiri kanannya. Sungai ini digunakan oleh penduduk sebagai jalur trasportasi dari desa Tanjung Muara Takus menuju desa Muara Paiti kecamatan Kapur IX Payahkumbuh Sumatra barat.

Kalau kita ingin menyusuri sungai Kopu ini kita mulai dari desa Tanjung sekitar 3 km dari candi Murara Takus. Masyarakat biasanya menyusuri sungai ini menggunakan sampan yang dilengkapi mesin tempel. Sebelum BBM naik, sewa sampan mesin itu, termasuk dengan minyak dan pengemudinya Rp 300 ribu perhari
Dari desa Tanjung kita sekitar 15 menit menyusuri sungai Kampar yang merupakan induk sungai di kabupaten Kampar dan Pelalawan, kemudian kita baru menjumpai persimpangan sungai Kopu. Air sungainya jernih, sehingga batu-batu krikil di dasar sungai nampak dengan jelas. Meskipun udara panas terik, namun kita tidak kepanasan. Pohon-pohon rindang di kiri kanan sungai melindungi kita.
Keistimewaan dari sungai Kopu ini, disamping alamnya yang sejuk dan nyaman, batu-batu cadas yang berdiri kokoh dikedua sisi sungai, kadang-kadang membentuk berupa benda-benda. Dan penduduk menamakan batu itu sesuai dengan bentuk batu itu.


Setelah beberapa menit kita masuk ke aliran sungai yang seperti menyusuri lorong kita akan sampai pada batu hidung. Batu hidung merupakan bentuk batu yang mirip wajah manusia dengan hidungnya yang mancung. 

Tidak lama setelah batu hidung kita akan sampai di batu Ladiong. Ladiong adalah bahasa penduduk setempat untuk parang. Dan memang bentuknya seperti parang panjang yang membelintang. Kalau kebetulan air sedang banjir, dekat batu ladion itu sangat berbahaya. Air bergemuruh kencang di sana. Sudah banyak katanya korban di tempat itu.
Batu Goa adalah sebuah lubang besar pada dinding batu cadas dipinggir sungai. Setelah dilihat, lubangnya tidak dalam jadi tidak benar-benar gua.


Sedangkan batu cakuok adalah batu dinding batu yang berlobang-lobang.


















Batu buayo, buaya karena batu itu mirip kepala buaya yang sedang berjalan


Batu elang  ini bukan batu itu mirip elang, tapi penduduk yang sering menyusuri sungai itu sering melihat elang berkupul diatas batu itu pada bulan-bulan tertentu. Tapi ketika kami sampai disana tidak ada seekor elang pun yang hingggap diatas batu itu.






Berikutnya batu bocek. Bocek adalah sebutuan penduduk lokal untuk ikan gabus, dan batu ini kebetulan mirip dengan kepala ikan gabus.













Sayang perjalanan tidak dapat dilanjutkan sampai ke desa Muara peti ketika itu, karena air yang dangkal dan sampan selalu kandaas. Dan akhirnya sampan putar haluan kembali ke desa Tanjung. Sungai kopu adalah tempat tamasya alam yang masih  orsinil dan belum terkena pencemaran.



BABAGAN

Siapa saja yang penah pergi Langgam salah satu kecamatan di Pelalawan Provinsi Riau  dan melewati jalan yang tidak beraspal miliknya perusahaan RAPP, akan melihat dikiri kanan jalan rawa-rawa sejauh memandang yang ditumbuhi tumbuhan hijau yang oleh orang setempat disebut sikumpai.
Sikumpai kalau dilihat sepintas mirip lalang. Dengan demikian perjalanan ke desa langgam kita seperti melewati padang hilalang yang sangat luas.  Dibawah tumbuhan hijau itu adalah rawa-rawa, yang bisa menenggelamkan kita kalau kita masuk kedalamnya. Penduduk setempat mengatakan jika musim banjir jalanan yang kita lalui itu akan terendam air dan pemandanganpun berobah seperti lautan.
Di tengah bentangan tumbuhan sikumpai yang luas itu, di beberapa tempat nampak pondok-pondok kecil seperti pondok orang berladang. Tapi itu bukan pondok peladang, itulah BABAGAN.
Babagan adalah pondok nelayan darat yang memanfaatkan rawa-rawa yang luas itu untuk mencari ikan. Para nelayan itu meninggalkan rumah pada hari Jumat untuk mencari ikan. Selama mencari ikan mereka tinggal dipondok itu. Ikan yang mereka peroleh tiap hari sebagian  mereka asapi (salai) untuk menjadi ikan salai. Sebagian lagi mereka garami untuk menjadi ikan asin. Itulah kerja nelayan darat itu selama beberapa hari dalam seminggu.
Selasa sore para pencari ikan itu meninggalkan Babagan mereka dengan membawa hasil olahan ikan yang sudah mereka peroleh dan pulang kerumah. Pada hari Rabu adalah hari pasar di Langgam. Dan mereka menjual ikan yang mereka sudah mereka olah di Babagan tadi di pasar.

GARA-GARA SAMBAL LADO, BERURUSAN DENGAN KEDUTAAN


Kalau bercerita tentang makanan, saya punya 3 orang teman yang fanatik dengan masakan Padang. Satu orang dari Jambi,  satu lagi di Pekanbaru dan yang terakhir di negeri asalnya, Padang.  Kalau tiga hari saja tidak mengkomsumsi masakan Padang, mereka ini bisa meninggal,  karena bagi mereka hanya masakan Padang yang  dapat mengenyangkan. Kalau ada pelatihan di Pulau Jawa bersama dengan salah seorang saja dari mereka , maka saya terpaksa setiap jam makan menemani mereka untuk pergi makan keluar mencari rumah makan Padang. Padahal panitia kegiatan sudah menyediakan makan untuk peserta
Kisah yang saya ceritakan ini adalah teman yang berasal dari Jambi. Kami pernah sama-sama mengikuti pelatihan di Singapura dalam jangka yang cukup lama. Di Singapura menu makan ada juga nasi, tapi tidak masakan Padang. Kebetulan lokasi hotel kami di Orchad tidak jauh dari Lucky Plaza. Di Lucky  Plaza ada rumah makan dengan masakan Padang, namun setelah mencobanya, kata teman itu, tidak ada rasa Padangnya, jadi sama juga dengan tidak. Maka setiap hari dia selalu mengeluhkan masalah makanan ini. Yang paling dikeluhkan sambal ladonya yang tidak ada. Melihat kondisi yang begini, ada kawan yang berinisiatif untuk mengajaknya mencari sambal lado pada hari minggu. Untuk ini harus keluar dari Singapura. Pilihan jatuh ke Malaysia, Johor. Kesanalah mereka pergi pada hari Minggu. Kebetulan saya tidak ikut dengan mereka.
Sore mereka sudah sampai lagi di Hotel. Dengan wajah penuh kepuasan teman yang satu ini bercerita bagaimana dia melampiskan dendamnya makan masakan padang sepuas-puasnya di Johor. Dan pulangnya ia membawa bekal sambal lado goreng untuk persiapan makan satu Minggu.
Namun rupanya kepuasan teman ini berbuntut panjang. Mereka yang berangkat ke Johor ini, ketika masuk lagi  ke Singapura pasport mereka di cap dengan jangka  waktu 2 minggu berada di Singapura. Padahal program kegiatan masih ada sekitar satu bulan lagi. Terpaksa besoknya mereka melalporkan hal ini ke Kedutaan Indonesia di Singapura.


PANIPAHAN

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tananh sorga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
................................................
(koes plus)
Minggu yang lalu saya kebetulan ada tugas ke Bagan Siapi-siapi ibukota Rokan Hilir. Seperti biasa saya naik travel. Kebetulan disebelah saya duduk seorang lelaki keturunan Cina. Ia banyak berkisah tentang sejarah negeri leluhurnya. Hampir semua materi cerita ia tuturkan sudah pernah saya baca sehingga perbincangan kami jadi asyik. Namun yang berkesan bagi saya bukan kisah sejarah cina yang ia ceritakan, tapi tentang Desa Panipahan tempat dia tinggal. Menurutnya Panipahan itu dicapai sekitar 2 jam dengan roda dua dari bagan. Bisa juga melalui laut katanya.
Saya belum pernah ke Panipahan, namun dari penuturan teman seperjalanan ini, rumah-rumah penduduk di Panipahan  adalah rumah-rumah panggung yang di bawahnya digenangi air laut. Hidup di Panipahan itu sangat menyenangkan, katanya. Kalau kita puas hidup apa adanya, hidup kita tidak akan susah. Alam sudah menyediakan makanan yang berlimpah untuk kita. Turun saja kita dari rumah, itu dipermukaan air laut, kepiting-kepiting tinggal memungut saja. Kadangkala bila sedang musimnya, udang juga melimpah.

“Tapi kita hidup ini tidak cukup hanya dengan kepiting dan udang saja, Ko” Kata saya. “Kita juga perlu beras, dan pakaian”
“Apa susahnya”, katanya lagi, “kumpulkan kepiting-kepiting itu, bawa kepasar terdekat, jual dapat uang”.
Perbincangan ini mengingatkan saya pada lagu Koes plus, yang mengatakan tanah kita tanah sorga, hanya saya dan rata-rata orang Indonesia lainya  yang tidak 

MAKAN DURIAN DI MEDAN

Usai kegian cluster yang diselenggarakan oleh LPMP Medan, malamnya kepala LPMP Sumut mentraktir kami makan durian di jalah Wahid Hasyim. Di luar dugaan saya, tempat makan durian itu sangat luas sekali.  Namanya” Ucok Durian” . Pengunjungnya membludak. Ada yang berembongan dengan keluarga; ada yang dengan teman-teman, semuanya berpesta pora menikmati buah-buahan yang berduri itu. Tempat parkirnya juga luas.
Ketika sudah mendapat tempat duduk, petugas Ucok Durian membawa se kardus durian ketempat kita. Dan petugas itu siap untuk membukanya sehingga kita tinggal berpesta pora saja tanpa susah-susah membukanya. Bagi yang ingin membawa durian pulang kerumah, ada pula petugas khusus mengemas buah durian yang sudah dibuka  dengan kemasan spesial
Malam itu saya dan teman-teman lpmp dari provinsi  lainnya betul memuaskan diri makan durian. Mungkin selama sepuluh tahun ini, malam itulah saya paling banyak makan durian. Saya melupakan pengalaman jelek akibat makan durian. Dua tahun yang lalu setelah pesta durian saya dapat batuk yang tidak sehat-sehat selama satu tahun lebih. Usaha  untuk menyembuhkan menghabiskan biaya jutaan dan sekaligus menghilangkan kepercayaan saya pada dokter. Namun segi positifnya penyakit ini menggiring saya untuk menjadi anggota komunitas quantum healing yang mengajarkan bagai mana hidup sehat dengan memberdayakan  potensi alam bawah sadar kita.

Namun malam itu saya tidak peduli, saya habiskan durian sebanyak-banyaknya. Yang menjadi catatan bagi saya makan di “ Ucok Durian” kepada kita sudah disuguhkan durian yang besar dan mutunya sudah standar, sehingga kita tidak perlu susah-susah memilih lagi. Kemudian harganya sudah tetap, satu durian 25 ribu. Jadi kalau kita habis 10 Cuma 250 ribu. Bayangkan makan durian di Pekanbaru, bisa saja uang 250 ribu itu hanya untuk makan 4 durian. Apalagi kalau tidak menanyakan harga sebelum memakannya.  Jadi kalau mentraktir teman sekantorpun makan durian di “Ucok Durian” ini masih terjangkau, dan tidak mengoyak kantong. Mudah-mudahan suatu saat adalah pula tempat makan durian seperti” Ucok Durian” di Pekanbaru

MAKAN GULAI IKAN HIU DI ACEH

Kapan saja datang ke Aceh, yang pertama muncul dalam pikiran saya adalah mie Aceh yang sedap. Dimana-mana ada  mie Aceh. Di Medan, Pekanbaru, Batam, dll, namun kalau soal rasa,  tidak seenak di tempat aslinya. Saya tidak tahu kenapa begitu, apakah ada bumbunya yang kurang?

Ketika November yang lalu saya dan berapa orang teman ditugaskan ke Aceh, maka yang acara pertama kami setelah mendapat hotel adalah mengunjungi gerai Mie Aceh Razali yang terletak di pusat kota Banda Aceh. Kami puas kerinduan kami makan mie serambi Mekah yang memiliki rasa dan aroma yang khas. Seperti biasa favorit saya adalah mie basah.
Namun hari terakhir di Aceh kami menemukan hidangan yang belum pernah kami nikmati sebelumnya, yaitu gulai ikan hiu. Ini kami temukan di rumah makan Mujahiddin jalan Khairil Anwar. Karena baru pertama mencicipinya semua kami memesan masing-masing satu piring. Rasanya mirip-mirip gulai kambing.

Wisata kuliner di Aceh relatip sangat murah dibanding dengan di Pekanbaru atau kota-kota lainnya di Indonesia. Bayangkan kami berlima, sudah makan sepuasnya ditambah dengan jus dan minuman lainnya tidak pernah melebih Rp 200 ribu. Bandingkan dengan Pekanbaru, kalau makan  ditempat khusus seperti rumah makan khas melayu, pondok baung dsb, saya akan merasa was was mentraktir 5 orang teman  kalau di kantong hanya ada uang lima ratusan ribu. Kalau di Aceh uang segitu sudah jauh dari memadai untuk tamasya kuliner.

UJI NYALI NYETIR MEDAKI KELOK 44


Sebetulnya saya ingin untuk menginap satu malam di Maninjau. Saya berkeinginan membawa anak-anak saya berjalan-jalan  di pinggir danau. Namun setelah berembuk, anggota rombongan lain termasuk istri saya  tidak setuju menginap di Maninjau. Mereka menginginkan perjalanan dilanjutkan ke Bukit Tinggi. Mau tak mau saya harus mengalah. Inilah susahnya kalau menerapkan demokrasi.

Begitulah, sekitar pukul 16.00 Wib saya sudah memasuki belokan untuk mendaki Kelok Ampek Puluah Ampek yang terkenal itu. Ini adalah pengalaman pertama mendaki kelok yang berjumlah 44 itu dengan mengemudi sendiri.  Bagi saya ini cukup menantang dan mendebarkan. Dan sebenarnya inilah tujuan dan keinginan saya untuk mencoba kemampuan saya mengemudi melewati kelok ampek puluah ampek yang  menantang ini.
Kelok Ampek puluah Ampek, saya punya kenangan tersediri dengan jalan berliku menuruni bukit atau mendaki gunung ini,  yang begitu membekas dalam memori saya.
Bermula ketika masa remaja waktu kelas 2 SMA dengan tiga orang teman, kami ingin berpetualang mengelilingi Sumatra barat. Dari Bukittinggi kami naik bus Harmonis menuju Maninjau. Sampai di Embun pagi, sebelum menuruni Kelok Ampek puluah Ampek kami turun dari bus. Kami akan menyusururi Kelok Ampek Puluah Ampek dengan berjalan kaki.

Kami begitu terpesona dengan pemandangan alamnya, yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Demikinan juga Kelok Ampek Puluah Ampek ini. Mulailah kami menuruni Kelok an menurun yang berjumlah 44 itu. Betapa gembira dan semangatnya kami ketika itu. Kadang-kadang kami meluncur ke bawah memotong kelokan. Oh indahnya.  Monyet-monyet  yang ada disana juga ikut bergembira melihat kami menyusuri daerah mereka dengan semangat dan bahagia.
Penglaman ini sangat membekas di hati saya. Ketika itu saya beranggapan  tak ada jalan  berbelok sebanyak dan seindah Kelok ampek Puluah Ampek itu di dunia ini. Sampai suatu ketika setelah menjadi guru saya dapat kesempatan ke Jepang, di sana dalam perjalanan ke Niko, di kaki gunung Fujiyama, rupanya ada jalan seperti kelok apek puluah ampek itu. Malah saya menghitung kelokannya 48. Namun  yang di Jepang ini pemandangannya tidak seindah Kelok Ampek puluah ampek Danau Maninjau.  Yang di jepang itu pemandangannya hanya pemandangan  hutan saja.
Karena begitu terkesannya saya dengan kelok puluah ampek  ini, maka ketika saya kuliah di IKIP Padang saya kembali menyusuri nya dengan speda motor bersama seorang teman.
Peristiwa lain dalam hidup saya yang berhubungan dengan Kelok ampek puluah ampek  ini berkenaan dengan seorang tetangga dan teman akrab saya. Ini terjadi ketika VCD baru mulai beredar secara luas. Waktu itu ada VCD lagu minang  Elly kasim yang judul lagunya Kelok ampek Puluah Ampek pula. Dalam video klipnya, mobil yang sedang menuruni kelok ampek puluah ampek. Entah bagai mana, teman itu senang betul video klip itu. Dan menimbulkan kerinduan yang amat sangat padanya untuk mendatangi jalan yang fantastis itu. Keinginan dan kerinduannya ini dikemukakannya kepada kami setiap hari, sehingga menimbulkan  belas kasihan kami padanya. Maka dengan mencharter sebuah mobil Carry saya dan 4 orang teman lainnya menyusuri kelok puluah ampek. Bukan perjalanan sebenarnya yang membekas pada saya. Tapi, mungkin karena ini permintaan terakhir, rupanya tak sampai beberap bulan kemudian, kawan ini meninggal karena sakit perut. Kami betul-betul tidak menyadari waktu itu, rupanya perjalanan teman ini adalah perjalanannya terkhir di kelok ampek puluah ampek  dan juga keinginan  terakhirnya sebelum ia kembali ke Haribaan NYA.
Sekarang saya bersama dengan anak istri saya dan seorang teman dengan keluarganya juga akan melewati lagi jalur yang meninggalkan kenangan ini. Saya belum pernah punya pengalaman menyetir mobil kondisi jalan seperti kelok ampek puluh ampek ini. Maka hati saya cemas-cemas juga. Namun dengan mengucapkan Bismillah  saya mulai masuk pada kelokan pertama. Rupanya hitungannya dimulai dari bawah.

Tikungan pertama dilewati dengan sukses, tikungan kedua dan ketiga. Namun makin lama makin mendebarkan dan mencemaskan. Lawan dari atas kadangkala tidak nampak. Seandainya bertabrakan dengan mobil yang datang dari atas, akibatnya sangat fatal. Sebetulnya kalau semua mengikuti aturan, tidak perlu ada yang dicemaskan.  Mobil yang dari atas harus berhenti memberi kesempatan kepada mobil yang dibawah mendaki kelokan yang terjal. Dan ini sangat dipatuhi oleh sopir-sopir bus dan truck. Yang mencemaskan adalah mobil –mobil pribadi yang sudah tidak lagi menghiraukan aturan. Sedangkan dikota saja kadangkala mereka berbelok tanpa menghidupkan lampu sign.
Rasa was-was ini cukup menguras energi, karena pada belokan yang menanjak kita harus super waspada. Disamping itu saya juga ragu, kalau dengan verseneling dua mungkin mobil tak kuat untuk mendaki belokan yang terjal, sehingga saya banyak menggunanak preseneling 1. Akibatnya suara mesin melenguh dengan dasyat. Sungguh perjalanan yang memicu adrenalin, sebab kalau terjadi kesipan sedikit saja, jurang yang menganga akan bersiap menelan. Sungguh mengerikan.
Pada kelokan 22 saya berhenti untuk istirahat, menenangkan pikiran yang tegang dan rasa cemas. Saya tidak tahu, apa kain rem atau kain kompling yang bermasalah pada mobil sehingga menimbul kan bau karet terbakar yang menyengat. Ketika saya keluar dari mobil  teman yang dibelakang berhenti juga. Mula-mula saya kira istri teman saya yang keluar dari mobil ketawa-ketawa bahagia menikmati pemandangan alam kelok ampek puluah ampek itu. Rupanya ia menangis kengerian dan menyesali kami yang membawa mereka menempuh jalan yang mengerikan seperti  itu . Ia bersumpah tidak akan mau lagi  melewati jalan itu
Kami beristirahat sejenak di sebuah warung di kelok 22 itu. Rileks sejenak untuk menenangkan pikiran dan memikirkan langkah selanjutnya. Keponakan saya menawarkan untuk menggantikan saya menyetir, namun saya menolaknya. Inilah kesempatan saya untuk mencoba nyetir sendiri di area yang menantang ini. Entah kapan lagi saya akan dapat menempuhnya kembali. Disamping itu saya orangnya pencemas. Saya akan merasa cemas lagi kalau saya hanya sebagai penumpang makanya lebih baik saya yang nyetir.
Tidak berlama-lama ngaso di warung itu, perjalanan  dilanjutkan. Kelok 23 dilewati, lanjutlagi kelok 24. Rasanya tidak lagi setegang menjelang kelok 22. Mungkin karena saya sudah mendapatkan tipnya, sehingga sedikit agak santai. Namun ketika sampai k epuncak, melewati  kelok  yang ke 44  yaitu di desa Embun pagi, persaan saya begitu plong. Lega rasanya seperti baru saja melewati ujian yang berat. Ya, berarti saya sudah lulus ujian mengemudi ditempat yang sulit.

Di Desa Embun pagi ini kami berhenti lagi, merayakan keberhasilan mendaki kelok 44. Kami berbaur dengan turis lokal lainnya menikmati pemandangan yang spektakuler danau maninjau yang nampak nun jauh di bawah.

MENYUSURI RUTE PARIAMAN, TIKU, LUBUK BASUNG DAN MANINJAU DI AKHBIR TAHUN 2012


Setelah cukup rasanya menikmati keindahan pantai Gondoriah Pariaman, sehabis zuhur kami mulai lagi perjalanan. Setelah bertanya kepada beberapa orang kami sampai ke jalan menuju Tiku.  Mulai lah perjalanan kami menyusuri jalan yang dahulunya ketika remaja saya menyusuri jalan ini berjalan kaki  dengan arah yang berlawanan dari Maninjau, Lubuk Basung, Tiku dan Pariaman.
Saya membawa mobil dengan santai saja tidak terburu-buru. Saya inginmenikati perjalanan yang sebenarnya napak tilas petualangan  saya ketika remaja kelas 1 SMA berjalan kaki keliling Sumbar. Pekerjaan gila-gilaan yang kalau dipikir-pikir sekarang ini tidak masuk akal. Tapi itulah romantika masa remaja yang penuh khayalan dan mencari jati diri.
Kami menyusuri jalan aspal yang cukup mulus. Kiri kanan sawah membuat pemandangan nampak semakin indah. Di beberapa tempat kami berhenti untuk mengambil foto-foto pemandangan alam yang memukau.

Tak berapa lama kami sampai di Tiku. Saya mencari di mana kira-kira pantai  tempat kami berkemah puluhan tahun yang lalu. Tanjung Mutiara saya, ingat betul tempat itu. Dpantai itulah kami berkemah, bersenang-senang stelah berjalan kaki selama 2 hari dari Maninjau  dan Lubuk Basung. Waktu itu kami berempat betul-betul menikamati pantai. Maklum di daerah kami tidak ada laut, yang ada hanya sungai Kampar kebanggaan kami.

Nampaknya pantai Tiku tidak banyak perubahan. Dari Tiku kami terus mengemudi dengan santai terus ke arah Lubuk Basung.
Lubuk basung ini benar-benar sudah berubah. Sekitar 5 tahun yang lalu saya pernah juga lewat di sini. Tapi keadaannya benar-benar beda. Menjelang memasuki kota jalan sudah dua jalur. Jalan dua jalur ini cukup panjang hingga sampai pula keluar kota. Parit di Pinggir jalan atau oleh orang setempat di sebut banda tidak ada lagi. Dulu ciri khas Lubuk Basung adalah Parit  yang lebar sekitar  dua meter itu yang mengalir sepanjang jalan dan dimanfaatkan oleh penduduk untuk mencuci dan  beternak ikan.

Sekarang pemandangan itu tidak nampak lagi, Lubuk Basung sudah berubah menjadi kota kabupaten dengan perkantorannya yang megah dan nampak masih  baru. Saya juga tidak berhasil menemukan Rumah Lasuang yang pernah kami numpang tidur dalam petualangan  masa remaja  setelah berjalan kaki dari Maninjau. 
Perjalanan diteruskan, xenia yang saya kemudikan meluncur dengan tenang menuju Maninjau. Menyusuri jalan aspal yang mulus, melewati persawahan, bukit-bukit yang mengapit kiri kanan jalan.
Mendekati Maninjau, desa Muko-muko yang dahulunya ditandai dengan rumah makan yang menjorok ke danau,  sekarang tidak kelihatan lagi. Yang nampak adalah water boom yang penuh dengan pengunjung.


Danau Maninjau sudah di depan mata. Diantarai oleh bentangan sawah yang luas, danau maninjau nampak dengan warna yang agak  kebiruan. Di pinggir danau kelihatan kerambah-kerambah  milik penduduk yang memelihara ikan.


Mendekati pusat kota Maninjau, jalan aspal yang dilalui diapit oleh rumah-rumah penduduk kiri dan kanan. Jarak rumah dan jalan sangat dekat sekali. Sehingga kalau kenderaan roda empat berhenti, maka akan terjadi kemacetan, karena menghalangi mobil yang banyak lalu lalang di jalan. Dengan demikian kami memutuskan tidak dapat melihat-lihat penganan yang dijual dipinggir jalan. Padahal saya ingin melihat penganan khas Maninjau.
Akhirnya kami sampai di persimpangan, ke kiri kelok ampek puluah ampek, terus ke Sungai Batang kampungnya Buya Hamka, belok kanan ke tempat peristirahan Maninjau Indah. Kami belok kanan ke Maninjau Indah

Waktu saya kuliah di IKIP Padang dulu, saya pernah berlibur di Maninjau Indah ini. Saya masih terkesan  di sebuah kantin saya duduk-duduk menikmati secangkir kopi sambil ngantuk-ngantuk mendengarkan lagu Edy Fergrina dari kaset. Lagu yang membuat saya terlena, Memory of our dreams, Since You’ve been gone, what am I living for, dll.
Saya ingin duduk-duduk lagi di Kantin yang sama menikmati lagi setidaknya secangkir kopi pula. Sayang, rupanya Maninjau Indah tidak ada lagi, atau mungkin tidak buka hari itu, sedangkan plang namanya. Sayang, tidak bisa mengulangi nostalgia lama.