UJI NYALI NYETIR MEDAKI KELOK 44


Sebetulnya saya ingin untuk menginap satu malam di Maninjau. Saya berkeinginan membawa anak-anak saya berjalan-jalan  di pinggir danau. Namun setelah berembuk, anggota rombongan lain termasuk istri saya  tidak setuju menginap di Maninjau. Mereka menginginkan perjalanan dilanjutkan ke Bukit Tinggi. Mau tak mau saya harus mengalah. Inilah susahnya kalau menerapkan demokrasi.

Begitulah, sekitar pukul 16.00 Wib saya sudah memasuki belokan untuk mendaki Kelok Ampek Puluah Ampek yang terkenal itu. Ini adalah pengalaman pertama mendaki kelok yang berjumlah 44 itu dengan mengemudi sendiri.  Bagi saya ini cukup menantang dan mendebarkan. Dan sebenarnya inilah tujuan dan keinginan saya untuk mencoba kemampuan saya mengemudi melewati kelok ampek puluah ampek yang  menantang ini.
Kelok Ampek puluah Ampek, saya punya kenangan tersediri dengan jalan berliku menuruni bukit atau mendaki gunung ini,  yang begitu membekas dalam memori saya.
Bermula ketika masa remaja waktu kelas 2 SMA dengan tiga orang teman, kami ingin berpetualang mengelilingi Sumatra barat. Dari Bukittinggi kami naik bus Harmonis menuju Maninjau. Sampai di Embun pagi, sebelum menuruni Kelok Ampek puluah Ampek kami turun dari bus. Kami akan menyusururi Kelok Ampek Puluah Ampek dengan berjalan kaki.

Kami begitu terpesona dengan pemandangan alamnya, yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Demikinan juga Kelok Ampek Puluah Ampek ini. Mulailah kami menuruni Kelok an menurun yang berjumlah 44 itu. Betapa gembira dan semangatnya kami ketika itu. Kadang-kadang kami meluncur ke bawah memotong kelokan. Oh indahnya.  Monyet-monyet  yang ada disana juga ikut bergembira melihat kami menyusuri daerah mereka dengan semangat dan bahagia.
Penglaman ini sangat membekas di hati saya. Ketika itu saya beranggapan  tak ada jalan  berbelok sebanyak dan seindah Kelok ampek Puluah Ampek itu di dunia ini. Sampai suatu ketika setelah menjadi guru saya dapat kesempatan ke Jepang, di sana dalam perjalanan ke Niko, di kaki gunung Fujiyama, rupanya ada jalan seperti kelok apek puluah ampek itu. Malah saya menghitung kelokannya 48. Namun  yang di Jepang ini pemandangannya tidak seindah Kelok Ampek puluah ampek Danau Maninjau.  Yang di jepang itu pemandangannya hanya pemandangan  hutan saja.
Karena begitu terkesannya saya dengan kelok puluah ampek  ini, maka ketika saya kuliah di IKIP Padang saya kembali menyusuri nya dengan speda motor bersama seorang teman.
Peristiwa lain dalam hidup saya yang berhubungan dengan Kelok ampek puluah ampek  ini berkenaan dengan seorang tetangga dan teman akrab saya. Ini terjadi ketika VCD baru mulai beredar secara luas. Waktu itu ada VCD lagu minang  Elly kasim yang judul lagunya Kelok ampek Puluah Ampek pula. Dalam video klipnya, mobil yang sedang menuruni kelok ampek puluah ampek. Entah bagai mana, teman itu senang betul video klip itu. Dan menimbulkan kerinduan yang amat sangat padanya untuk mendatangi jalan yang fantastis itu. Keinginan dan kerinduannya ini dikemukakannya kepada kami setiap hari, sehingga menimbulkan  belas kasihan kami padanya. Maka dengan mencharter sebuah mobil Carry saya dan 4 orang teman lainnya menyusuri kelok puluah ampek. Bukan perjalanan sebenarnya yang membekas pada saya. Tapi, mungkin karena ini permintaan terakhir, rupanya tak sampai beberap bulan kemudian, kawan ini meninggal karena sakit perut. Kami betul-betul tidak menyadari waktu itu, rupanya perjalanan teman ini adalah perjalanannya terkhir di kelok ampek puluah ampek  dan juga keinginan  terakhirnya sebelum ia kembali ke Haribaan NYA.
Sekarang saya bersama dengan anak istri saya dan seorang teman dengan keluarganya juga akan melewati lagi jalur yang meninggalkan kenangan ini. Saya belum pernah punya pengalaman menyetir mobil kondisi jalan seperti kelok ampek puluh ampek ini. Maka hati saya cemas-cemas juga. Namun dengan mengucapkan Bismillah  saya mulai masuk pada kelokan pertama. Rupanya hitungannya dimulai dari bawah.

Tikungan pertama dilewati dengan sukses, tikungan kedua dan ketiga. Namun makin lama makin mendebarkan dan mencemaskan. Lawan dari atas kadangkala tidak nampak. Seandainya bertabrakan dengan mobil yang datang dari atas, akibatnya sangat fatal. Sebetulnya kalau semua mengikuti aturan, tidak perlu ada yang dicemaskan.  Mobil yang dari atas harus berhenti memberi kesempatan kepada mobil yang dibawah mendaki kelokan yang terjal. Dan ini sangat dipatuhi oleh sopir-sopir bus dan truck. Yang mencemaskan adalah mobil –mobil pribadi yang sudah tidak lagi menghiraukan aturan. Sedangkan dikota saja kadangkala mereka berbelok tanpa menghidupkan lampu sign.
Rasa was-was ini cukup menguras energi, karena pada belokan yang menanjak kita harus super waspada. Disamping itu saya juga ragu, kalau dengan verseneling dua mungkin mobil tak kuat untuk mendaki belokan yang terjal, sehingga saya banyak menggunanak preseneling 1. Akibatnya suara mesin melenguh dengan dasyat. Sungguh perjalanan yang memicu adrenalin, sebab kalau terjadi kesipan sedikit saja, jurang yang menganga akan bersiap menelan. Sungguh mengerikan.
Pada kelokan 22 saya berhenti untuk istirahat, menenangkan pikiran yang tegang dan rasa cemas. Saya tidak tahu, apa kain rem atau kain kompling yang bermasalah pada mobil sehingga menimbul kan bau karet terbakar yang menyengat. Ketika saya keluar dari mobil  teman yang dibelakang berhenti juga. Mula-mula saya kira istri teman saya yang keluar dari mobil ketawa-ketawa bahagia menikmati pemandangan alam kelok ampek puluah ampek itu. Rupanya ia menangis kengerian dan menyesali kami yang membawa mereka menempuh jalan yang mengerikan seperti  itu . Ia bersumpah tidak akan mau lagi  melewati jalan itu
Kami beristirahat sejenak di sebuah warung di kelok 22 itu. Rileks sejenak untuk menenangkan pikiran dan memikirkan langkah selanjutnya. Keponakan saya menawarkan untuk menggantikan saya menyetir, namun saya menolaknya. Inilah kesempatan saya untuk mencoba nyetir sendiri di area yang menantang ini. Entah kapan lagi saya akan dapat menempuhnya kembali. Disamping itu saya orangnya pencemas. Saya akan merasa cemas lagi kalau saya hanya sebagai penumpang makanya lebih baik saya yang nyetir.
Tidak berlama-lama ngaso di warung itu, perjalanan  dilanjutkan. Kelok 23 dilewati, lanjutlagi kelok 24. Rasanya tidak lagi setegang menjelang kelok 22. Mungkin karena saya sudah mendapatkan tipnya, sehingga sedikit agak santai. Namun ketika sampai k epuncak, melewati  kelok  yang ke 44  yaitu di desa Embun pagi, persaan saya begitu plong. Lega rasanya seperti baru saja melewati ujian yang berat. Ya, berarti saya sudah lulus ujian mengemudi ditempat yang sulit.

Di Desa Embun pagi ini kami berhenti lagi, merayakan keberhasilan mendaki kelok 44. Kami berbaur dengan turis lokal lainnya menikmati pemandangan yang spektakuler danau maninjau yang nampak nun jauh di bawah.

No comments:

Post a Comment