KAJIAN TERHADAP INDIKATOR KESETARAAN GENDER DALAM PENDIDIKAN SEKOLAH BERWAWASAN GENDER (PSBG)


 Dr. Sri Handayani, M. Pd
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah dasar, menengah dan lanjutan, saat ini masih sarat dengan nilai gender yang diskriminatif terhadap salah satu jenis gender, baik itu terhadap murid laki-laki maupun perempuan. Kesenjangan gender yang terjadi dapat dilihat dari komponen yang mendukungnya seperti guru, metode, media dan buku ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran.  Padahal, buku ajar  yang dibaca, dipahami isinya oleh peserta didik terutama usia SD akan memberikan pengaruh bahkan menjadi pemahaman yang melekat pada memori anak dan membentuk sikap yang juga bias gender pada saat ia dewasa.
Pemahaman keliru tentang perempuan (bias gender) terkesan "dipelihara" dalam bahan ajar di sekolah. Sering dijumpai ilustrasi pekerjaan menyapu atau mencuci diperankan seorang ibu atau anak/remaja perempuan. Namun ilustrasi seorang direktur atau pilot gambarnya hampir pasti seorang bapak atau pemuda. Contoh lainnya, meskipun di dalam masyarakat sudah banyak dokter, pengusaha, atau profesi lainnya  yang disandang oleh perempuan, tetapi dalam bahan ajar, profesi ini selalu diperankan oleh laki-laki.  Banyaknya contoh dan ilustrasi yang  menampilkan perempuan hanya  melakukan pekerjaan  domestik, konsumtif dan peran marjinal sedangkan laki-laki dilustrasikan untuk peran-peran produktif akan menanamkan streotype gender dan perlakuan yang tidak adil  antara perempuan dan laki-laki kepada siswa. Jika guru tidak dapat memilih dan memilah buku yang bias gender atau tidak dapat memberikan respons yang positif terhadap materi bias gender dalam buku yang digunakannya maka kalimat dan gambar yang dibaca siswa akan menjadi ideologi saat ia dewasa dan dan dapat mempengaruhi opini dan sikap anak.  Oleh karenanya Guru memiliki peran penting – terutama pada jenjang pendidikan dasar – dalam mengembangkan konstruksi gender siswa karena guru merupakan sumber informasi dan model, penentu materi ajar dan buku teks, pengembang proses pembelajaran, dan pencipta lingkungan kelas.
Dengan alasan-asalan tersebut di atas dipandang cukup krusial untuk lebih menggiatkan pengarustamaan gender dalam pendidikan yang salah satunya adalah dengan mewujudkan pendidikan sekolah berwawasan gender (PSBG) melalui proses pembelajaran yang setara gender.
Pendidikan merupakan sektor yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender, karena dengan pendidikan diharapkan dapat terbentuk manusia Indonesia yang demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif dan memiliki akhlak terpuji.
Upaya untuk menyeimbangkan kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan dalam berbagai kehidupan keluarga dan masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan pemahaman dan keterampilan kepada seluruh pendidik dan tenaga kependidikan serta pihak-pihak lain yang berkepentingan di sekolah mengenai cara mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender ke dalam proses pendidikan di sekolah terutama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

B.     Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini mengacu kepada prinsip pendidikan sekolah berwawasan gender (PSBG) dengan penekanan pada proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah Proses Pembelajaran dengan konsep PSBG (Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender) dilaksanakan di kelas/sekolah?.
Permasalahan tersebut  dirinci dalam butir-butir pertanyaan penelitian seperti  berikut:
1.        Bagaimanakah pemahaman guru tentang gender dan pembelajaran yang responsif gender?
2.        Apakah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun guru sudah responsif gender
3.        Apakah metode pembelajaran yang digunakan sudah mengakomodasi kepentingan murid laki-laki dan perempuan secara seimbang?
4.        Apakah media pembelajaran yang digunakan sudah responsif gender
5.        Apakah materi pelajaran dan bahan ajar yang digunakan sudah responsif gender?

C.    Tujuan
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan proses pembelajaran dengan konsep PSBG (Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender) yang terjadi di kelas/sekolah dengan studi kasus di tiga kota/kab di Jawa Barat yang menjadi pilot model pelaksanaan pendidikan sekolah berwawasan gender (PSBG)
Tujuan tersebut dirinci dalam tujuan-tujuan khusus sebagai berikut:
1.        Untuk mengidentifikasi pemahaman guru tentang gender dan pembelajaran yang responsif gender.
2.        Untuk mengetahui apakah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun guru sudah responsif gender
3.        Untuk mengetahui metode pembelajaran yang digunakan oleh guru apakah sudah mengakomodasi kepentingan murid laki-laki dan perempuan secara seimbang.
4.        Untuk mengetahui apakah media pembelajaran yang digunakan sudah responsif Mengevaluasi peran dan aktivitas gender perempuan dan laki-laki dalam materi/bahan ajar yang digunakan sebagai buku rujukan atau pegangan guru dan murid
5.        Untuk mengetahui apakah materi pelajaran dan bahan ajar yang digunakan sudah responsif gender

KAJIAN PUSTAKA
A.    Kesenjangan Gender dalam bidang pendidikan
Ketidakadilan/kesenjangan gender merupakan akibat dari adanya sistem (struktur) sosial dimana salah satu jenis kelamin menjadi korban. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang masa dalam berbagai bentuk dan cara yang menimpa laki-laki dan perempuan, meski dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami oleh perempuan. Ketidakadilan gender sering terjadi dalam keluarga, sekolah/dunia pendidikan, masyarakat serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk. Dimensi ketidakadilan gender atau kesenjangan gender yang terjadi dalam bidang pendidikan diantaranya adalah:
a.    Kurangnya partisipasi (under participation)
1)      Murid perempuan yang tidak meneruskan pendidikan ke tingkat lanjutan jauh lebih besar dibanding laki-laki.
2)      Alasan pengunduran diri perempuan untuk melanjutkan sekolah adalah jarak sekolah yang jauh dari rumah, tuntutan tugas domestik, tidak ada biaya, tidak diijinkan orang tua dan dikawinkan.
3)      Pada tingkat pendidikan tinggi, partisipasi perempuan sangat rendah dan umumnya terbatas pada bidang-bidang ilmu sosial, humaniora, pendidikan, biologi, kimia dan farmasi.
b.    Kurangnya prestasi (under achievement)
1)      Data penelitian di beberapa negara termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa pada tingkat dasar prestasi murid perempuan pada umumnya setara bahkan terkadang lebih baik dibanding murid laki-laki. Namun setelah lepas sekolah dasar prestasi tersebut cenderung menurun tajam, terutama untuk subjek yang berkaitan dengan sains dan teknologi.
2)      Banyak murid perempuan yang sebenarnya cukup berbakat urung memilih bidang sains dan teknologi pada pendidikan tingkat lanjutan dikarenakan citra maskulin sains dan teknologi menyebabkan para remaja putri yang sedang giat membentuk identitas feminimnya bersikap menghindar terhadap subyek tersebut.
c.    Kurangnya keterwakilan (under representation)
1)      Partisipasi perempuan sebagai tenaga ahli maupun pimpinan menunjukkan kecenderungan disparitas progresif
2)      Jumlah guru perempuan pada tingkat pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah tenaga guru laki-laki, namun pada tingkat pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut menunjukkan penurunan yang drastis.
3)      Representasi tenaga perempuan dalam administrasi pendidikan, pengambilan keputusan dan penyusunan kurikulum sangat rendah, sehingga kepentingan murid perempuan kadang kurang mendapat perhatian.
4)      Kurikulum dan metode pembelajaran cenderung “androsentrik” dengan acuan “man as the norm”
d.   Perlakuan yang tidak adil (unfair treatment)
1)      Kegiatan pembelajaran dan interaksi selama proses pembelajaran dalam kelas seringkali bersifat merugikan murid perempuan.
2)      Beberapa penelitian menunjukkan murid laki-laki di sekolah dasar dan lanjutan ditanyai gurunya 3 hingga 8 kali lebih banyak dibanding murid perempuan.
3)      Kemampuan dan minat murid laki-laki (terutama terhadap sains dan teknologi) terus didorong dan dibina, sementara pengembangan kemampuan dan minat murid di bidang tersebut terabaikan dan lebih diarahkan dan dibina pada ilmu-ilmu yang dianggap cocok untuk perempuan seperti tata boga, busana, mengetik dan kesekretarian dan sejenisnya.

B.     Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender (PSBG)
Pendidikan yang berperspektif gender merupakan pendidikan yang menggunakan konsep keadilan gender, kemitrasejajaran yang harmonis antara perempuan dan laki-laki, memperhatikan kebutuhan serta kepentingan gender praktis/strategis perempuan dan laki-laki (Departemen Pendidikan Nasional.  2005.  Draft.  Modul 2:  Bahan Pelatihan untuk Kepala Sekolah, Pendidik, dan tenaga Kependidikan dalam Rangka Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang Responsif Gender (Model PSBG).
Sekarang ini, ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang masih cukup mencolok adalah kurikulum dan pembelajaran di sekolah. Ketidaksetaraan gender dalam bidang ini cukup signifikan, seperti dalam kaitan dengan: materi buku pembelajaran, metoda pembelajaran, dan guru.
Dalam kaitan dengan kurikulum, tidak ada pokok bahasan atau silabus yang standar isi dan kurikulum sekolahnya mengandung ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Namun bila dilihat dari bahan ajar yang disiapkan guru atau muatan buku pelajaran yang dijadikan pegangan guru dan murid, banyak sekali materi ajar yang akan berdampak pada terjadinya kesenjangan gender. Buku-buku pelajaran yang memuat fungsi laki-laki dan perempuan sebagai peran jenis yang tidak bisa dirubah (Gonibala, Rukmina. 2007). Keyakinan yang bias ini akan memberikan dampak jangka panjang bagi anak bahwa peran jenis berdasarkan gender adalah kebenaran mutlak. Akibatnya kesenjangan gender akan berlangsung lama dan berkelanjutan bahkan akan menjadi sistem nilai budaya.
Dalam proses pembelajaran seringkali laki-laki lebih aktif dan berperan dalam proses belajar, misalnya dalam: memimpin diskusi kelompok, bertanya, menjawab, mepresentasikan bahan, dan sejenisnya.  Di lain pihak, perempuan justru menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan hal-hal tersebut, sehingga berkembanglah sikap-sikap yang disebut ”self fulfilling propecy” dimana mereka menganggap dirinya sesuai dengan dimitoskan, sehingga motivasi berprestasi mereka menjadi rendah.
Guru adalah faktor terbesar yang berdampak terhadap terjadinya kesenjangan gender dalam proses pembelajaran. Guru-guru perempuan lebih banyak pada SD dan TK, seimbang di SMP, dan lebih sedikit pada pendidikan menengah dan tinggi (Position Paper Pengarus Utamaan Gender Bidang Pendidikan di Jawa Barat. 2006). Keadaan ini akan memperkuat mitos bahwa guru perempuan seolah-olah lebih cocok untuk mengajar di SD dan TK, karena mengajar anak-anak kecil lebih dianggap sebagai pekerjaan mengasuh anak sebagai pekerjaan domestik.  Sebaliknya, dominannya jumlah guru laki-laki di sekolah menengah dan profesor, maka pekerjaan ini dianggap lebih profesional yang seolah-olah lebih cocok untuk laki-laki sebagai pemegang fungsi produktif.
Permasalan-permasalahan kesenjangan gender dalam bidang pendidikan tersebut di atas, tidak hanya merupakan masalah makro nasional, tetapi justru merupakan masalah yang dapat ditangani pada tingkatan yang lebih mikro, yaitu sekolah. Sekolah mampu merubah mind set siswa, orangtua siswa, bahkan guru dan tenaga kependidikan lain, agar mitos-mitos tentang kesenjangan gender dapat diminimalkan bahkan secara bertahan dihilangkan.  Jika mitos-mitos gender ini dapat dihilangkan, maka hampir seluruh pekerjaan PUG sebenarnya sudah dapat dikatakan berhasil mencapai tujuannya. Oleh karena itu maka modul PSBG ini akan memegang peran yang sangat penting sebagai salah satu strategi jitu dalam meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender di bidang pendidikan.

C.    Indikator-indikator Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender

Merujuk pada Modul 1, Modul 2 dan Modul 3 yang diterbitkan Depdiknas (2005) tentang Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang Responsif Gender, kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan di sekolah dapat diintegrasikan melalui tugas dan fungsi (tupoksi) sekolah dalam menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah yang meliputi komponen-komponen pengelolaan proses pembelajaran; perencanaan pembelajaran, evaluasi dan supervisi pembelajaran; pengelolaan kurikulum dan pembelajaran; pengelolaan ketenagaan; pengelolaan fasilitas; pengelolaan keuangan; pelayanan siswa; peran serta masyarakat; dan pengelolaan budaya sekolah.
Indikator-indikator Proses Pembelajaran Responsif Gender seperti yang diuraikan dalam Modul 2: Bahan Pelatihan untuk Kepala Sekolah, Pendidik, dan tenaga Kependidikan dalam Rangka Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang Responsif Gender (Depdiknas 2005) adalah sebagai berikut:
Indikator Model Pembelajaran yang Responsif Gender:
1)        Peserta didik perempuan dan laki-laki memperoleh akses, partisipasi, dan manfaat yang sama dari kegiatan belajar di sekolah, dengan mengakomodasi perbedaan konstruksi gender mereka dalam proses pembelajaran di sekolah.
2)        Peserta didik perempuan dan laki-laki memperoleh hak dan kewajiban yang sama dalam belajar di sekolah, misalnya sama-sama dapat belajar secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
3)        Peserta didik laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan cara yang efektif untuk berbagi pengalaman hidup yang cenderung memiliki pengalaman yang berbeda.
4)        Berkurangnya pola-pola dan perilaku sekolah yang dapat memarginalkan salah satu jenis kelamin; misalnya adanya kebebasan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam memilih pelajaran sesuai minat dan bakat.
5)        Peserta didik laki-laki dan perempuan yang memiliki kesulitan belajar memperoleh pelayanan yang baik dan bermutu dari tenaga pendidik.
6)        Peserta didik laki-laki dan perempuan memiliki pilihan peran yang beragam dibandingkan dengan peran-peran tradisional mereka dengan tanpa hambatan budaya dalam kehidupan mereka melalui pembel-ajaran di sekolah.
7)        Bahan ajar yang ada di sekolah seperti buku teks pelajaran, buku pengayaan, buku bacaan, serta bahan dan alat peraga pengajaran terbebas dari materi yang memuat ‘gender stereotype’ .
Indikator Proses Pembelajaran yang Responsif Gender:
1)        Pembelajaran yang responsif gender mengacu pada proses pembelajaran yang memberikan perhatian pada kebutuhan khusus anak laki-laki dan perempuan. Pedagogi yang responsif gender menuntut guru untuk memperhatikan seluruh pendekatan gender dalam proses perencanaan pembelajaran, pada saat mengajar, dalam mengelola kelas, dan dalam melakukan evaluasi hasil belajar.
2)        Banyak inovasi mengenai pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh guru termasuk permainan peran, diskusi kelompok, studi kasus, skits, peragaan, dan studi tur.
3)        Peserta didik perempuan dan laki-laki memperoleh akses, partisipasi, dan manfaat yang sama dari kegiatan belajar di sekolah, dengan mengakomodasikan perbedaan konstruksi gender mereka dalam proses pembelajaran di sekolah.
4)        Peserta didik perempuan dan laki-laki memperoleh hak dan kewajiban yang sama dalam belajar di sekolah, misalnya sama-sama dapat belajar secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
5)        Peserta didik laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan cara yang efektif untuk berbagi pengalaman hidup yang cenderung memiliki pengalaman yang berbeda.
6)        Berkurangnya pola-pola dan perilaku sekolah yang dapat memarginalkan salah satu jenis kelamin; misalnya adanya kebebasan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam memilih pelajaran sesuai minat dan bakat.
7)        Peserta didik laki-laki dan perempuan yang memiliki kesulitan belajar memperoleh pelayanan yang baik dan bermutu dari tenaga pendidik.
8)        Peserta didik laki-laki dan perempuan memiliki pilihan peran yang beragam dibandingkan dengan peran-peran tradisional mereka dengan tanpa hambatan budaya dalam kehidupan mereka melalui pembel-ajaran di sekolah.
9)        Bahan ajar yang ada di sekolah seperti buku teks pelajaran, buku pengayaan, buku bacaan, serta bahan dan alat peraga pengajaran terbebas dari materi yang memuat ‘gender stereotype’ .


METODE PENELITIAN
A.    Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di sekolah-sekolah yang dijadikan pilot model penerapan PSBG (Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender) di tiga kota/kab. di Jawa Barat yaitu Cianjur, Sumedang dan Garut.
Subjek penelitian ini adalah Proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah-sekolah yang dijadikan pilot model dengan unit analisis pada proses pembelajaran yang komponen-komponennya terdiri dari: guru, perencanaan pembelajaran, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, metode pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi belajar dan materi/bahan ajar atau buku teks/buku pegangan guru dan siswa.

B.     Teknik Pengambilan Sampel
Pemilihan sampel menggunakan sampel purposif, yaitu pengambilan sampel dimana seleksi unsur populasi berdasarkan pertimbangan peneliti. Bahan pertimbangan pengambilan sampel adalah: (1) sampel sekolah yang dijadikan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil pilot model untuk Pendidikan Sekolah berwawasan gender pada satuan-satuan pendidikan di kota/kab di Jawa Barat. Dalam penelitian ini ditetapkan sekolah-sekolah tiga kota/kab yaitu Cianjur, Sumedang dan Garut. (2) Sekolah yang dijadikan lokasi penelitian di tiga kota/kab tersebut adalah sekolah yang guru-guru, kepala sekolah dan komite sekolah-nya telah mendapatkan materi tentang sosialisasi Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender (PSBG) yang telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat. Guru-guru yang mengikuti kegiatan Sosialisasi Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender (PSBG) berjumlah:  21 orang guru SD, 20 orang Guru SLTP dan 22 orang guru SMA/SMK.
Tabel 1. Teknik Pengambilan sampel
No
Sumber data
Teknik sampling
Sampel terpilih
1
Kota/Kab di Jawa Barat.
Purposif sampling berdasarkan pilot model PSBG
Kota/Kab. Cianjur, Garut dan Sumedang
2
Sekolah
Purposif sampling ditetapkan sekolah yang telah mendapatkan sosialisasi tentang PSBG
Sekolah-sekolah dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA pada sekolah-sekolah yang dijadikan pilot model.
3
Unit analisis: Proses Pembelajaran yang terjadi di kelas
Purposif sampling pada guru-guru yang telah mendapatkan materi sosialisasi PSBG
Guru, Kegiatan Belajar Mengajar, Metode, Bahan Ajar di sekolah-sekolah yang dijadikan pilot model

C.      Teknik Pengumpulan data
Data penelitian meliputi data primer dan sekunder yang dikumpulkan melalui:
1.      Angket/kuisioner, yang diberikan kepada guru-guru untuk mengetahui pengetahuan gender dan pendidikan sekolah berwawasan gender di sekolah-sekolah yang dijadikan pilot model PSBG untuk satuan pendidikan.
2.      Pedoman observasi untuk mendapatkan data-data yang dianggap relevan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian yaitu untuk mengidentifikasi indikator-indikator pendidikan sekolah berwawasan gender (PSBG) dalam proses pembelajaran di kelas. Data tersebut antara lain meliputi komponen-komponen proses pembelajaran yaitu: rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat guru, metode pembelajaran, dan media pembelajaran yang digunakan saat pembelajaran dilakukan.
3.      Analisis isi dokumen dilakukan terhadap materi/bahan ajar atau buku teks/buku peganagan guru dan murid di sekolah-sekolah yang dijadikan pilot model untuk mengetahui keberadaan bias/netral/responsif gender dari teks dan gambar yang termuat di dalamnya.

D.      Pendekatan penelitian dan Pengolahan data
Penelitian ini menggunakan beberapa jenis pendekatan yaitu:
1.      Penelitian deskriptif  kuantitatif  untuk mendeskripsikan pengetahuan guru mengenai gender dan pendidikan sekolah berwawasan gender.
2.      Penelitian evaluasi untuk mendeskripsikan indikator-indikator pendidikan sekolah berwawasan gender yang ditemukan pada proses pembelajaran di kelas yaitu: rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dibuat guru, metode pembelajaran, dan media pembelajaran.
3.      Pendekatan content analysis untuk mendeskripsikan materi/bahan ajar dan buku teks/buku pegangan guru dan siswa yang bermuatan bias gender.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Persepsi dan pemahaman guru terhadap 1) konsep gender, 2) pendidikan sekolah berwawasan gender (PSBG, dan 3) pembelajaran yang responsif/berwawasan gender.
Data yang diperlukan diambil dengan menggunakan teknik angket (quisinore) yang diisi oleh responden penelitian. Responden dalam penelitian ini adalah guru-guru SD, SMP dan SLTA (terdiri dari guru SMA/SMK), berasal dari sekolah-sekolah di Jawa Barat yang mengikuti kegiatan Sosialisasi Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender (PSBG). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Jawa Barat, pada bulan Juli dan Agustus 2010 dengan mengambil tempat di Lembang Bandung.  Sosialisasi Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender yang diperuntukkan bagi guru-guru SD dan SMP diselenggarakan pada bulan Juli 2010, sedangkan yang diperuntukkan bagi guru-guru SLTA (SMA dan SMK) serta PKBM diselenggaran pada bulan Agustus 2010
Jumlah guru Sekolah Dasar (SD) yang mengikuti kegiatan Sosialisasi Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender (PSBG) berjumlah 21 orang, guru SMP berjumlah 20 orang dan guru SLTA yang terdiri dari guru SMA dan SMK berjumlah 22 orang.

A.    Analisis terhadap Persepsi dan pemahaman Guru mengenai Gender, Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender dan Pembelajaran yang responsif gender
Data mengenai persepsi dapat digambarkan sebagai berikut:
1.         Meskipun secara konseptual, gender dipahami oleh guru akan tetapi belum semua guru memahami cara membangun kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan terutama dalam pembelajaran di kelas
2.         Sebagian responden guru SD, SMP dan SMA memiliki sensifitas gender yang cukup baik sehingga dapat mengenali bahan ajar yang bias gender sehingga dapat melakukan penyesuaian-penyesuain. Namun demikian prosentase yang kurang/tidak dapat mengenali bahan ajar yang bias gender masih cukup besar.
3.         Berkenaan dengan media pembelajaran yang bias gender, masih cukup banyak  guru SD, SMP dan SMA yang menyatakan kurang dapat mengenali media pembelajaran yang bias gender dan melakukan penyesuaian-penyesuaian
4.         Terkait dengan penyusunan (RPP), meskipun sebagian besar guru  sudah memiliki pemahaman dan sensifitas gender yang cukup baik, tetapi mereka menyatakan masih kurang memperhatikan kecenderungan belajar yang berbeda antara siswa laki-laki dan perempuan dalam menyusun rencana pembelajaran (RPP) yang responsif gender
5.         Sebanyak 33,3% guru SD, 20% guru SMP dan 31,8% guru SMA yang menjadi responden dalam penelitian ini merasa masih kurang mampu menerapkan RPP responsif gender dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas,. Namun demikian prosentase terbesar dari guru-guru di tingkat SD(47,6%), SMP(60,0%) dan SMA (50%) menunjukan bahwa mereka sudah cukup mampu menerapkan RPP yang responsif gender pada pelaksanaan pembelajaran di kelas, sisanya mengatak sudah dapat dengan baik menerapkan RPP yang responsif gender pada pelaksanaan di kelas.
6.         Kegiatan pembelajaran yang responsive gender salah satu bentuknya adalah memberikan kesempatan kepada siswa perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pilihan beragam dibandingkan dengan peran-peran tradisional mereka dengan tanpa hambatan budaya melalui kegiatan pembelajaran. Lebih dari 2/3 responden dari guru SD, SMP dan SLTA menyatakan telah memberikan kesempatan yang sama, namun demikian masih terdapat yang kurang memberikan pilihan beragam terutama di tingkat SD.
7.         Mengenai terbebasnya media pembelajaran yang digunakannya oleh guru-guru dari muatan-muatan bias gender, Sebagian besar guru SD menyatakan tidak dapat menjamin hal tersebut. Namun semakin tingginya tingkatan sekolah, yaitu di tingkat SMP dan SMA, guru-guru sudah semakin baik mengenali muatan-muatan bias gender dalam media pembelajaran yang digunakannya.
8.         Sebanyak 28,6% guru SD menyatakan bahwa pendekatan metode pembelajaran yang memberikan perhatian seimbang bagi kebutuhan khusus anak laki-laki dan perempuan masih kurang diterapkan, dan sebanyak 23,8% guru SD tidak melakukannya. Namun sisanya menyatakan bahwa mereka telah cukup baik melakukannya. Sebagian besar guru SMA dan 20% guru SMP sudah melakukannya dengan baik. Sementara guru-guru SMP sebagian besar menyatakan cukup dan hanya 15% responden lainnya menyatakan masih kurang mampu menerapkan.
9.         Pemberian penjelasan materi bahan ajar dengan landasan wawasan gender di sekoah-sekolah dasar masih berada pada kategori kurang dan cukup. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah guru-guru SD yang menjawab kurang. Terhadap pernyataan ini hanya 9,5% responden saja yang menyatakan bahwa penjelasan materi bahan ajar sudah diberikan dengan landasan wawasan gender, sedangkan sisanya menyatakan bahwa penjelasan materi bahan ajar masih belum atau tidak diberikan dengan landasan wawasan gender. Hampir 1/3 dari responden guru-guru SD, SMP dan SMA menyatakan tidak pernah memberikan materi bahan ajar dengan landasan wawasan gender. Hanya sebagian kecil yang menyatakan sudah dengan baik menjelaskan bahan ajar dengan landasan wawasan gender terutama di tingkat SLTA (22,7%)

B.     Analisis terhadap buku ajar
Hasil analisis isi terhadap ilustrasi/gambar yang terdapat dalam Buku ajar dalam penelitian ini menghasilkan temuan sebagai berikut:
1.      Perbandingan analisis isi buku ajar yang memuat indikasi bias gender, netral gender, dan responsif gender adalah sebagai berikut:
·         Pada buku Bahasa Indonesia gambar yang ditampilkan masih banyak yang mengindikasikan adanya bias gender, meskipun secara kuantitatif masih banyak yang netral gender. Namun secara substansial banyaknya ilustrasi gambar yang bias dan netral gender dibanding dengan yang sudah responsif gender mengindikasikan masih lemahnya pemahaman penulis maupun ilustrator terhadap bahan ajar yang harus disampaikan kepada siswa didik yang mengandung muatan nilai kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini dapat berpengaruh terhadap penanaman nilai-nilai gender dalam bidang pendidikan.
·         Pada buku Bahasa Inggris ilustrasi gambar yang ditampilkan sudah banyak mengandung nilai responsif gender dan sebagian besar lainnya pada kategori netral gender.  Meskipun masih ada beberapa ilustrasi gambar yang masih memuat gambar-gambar yang bias gender.
·         Pada buku IPA meskipun ilustrasi gambar yang ditampilkan tidak sebanyak pada buku ajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, tapi sebagian besar gambar-gambarnya masih berada pada kategori bias dan netral gender.
·         Pada buku IPS banyak ilustrasi gambar yang secara parsial bisa dikategorikan netral gender namun jika dilihat dari keseluruhan ilustrasi yang ditampilkan dalam buku tersebut terkesan menjadi bias gender karena lebih didominasi gender laki-laki dan tidak satu pun (sedikit sekali) yang menampilkan sosok gender perempuan.
·         Pada buku PKN yang masih dominan adalah ilustrasi yang menggambarkan kondisi bias gender. Gambar yang sudah responsif gender masih sedikit dibandingkan dengan yang netral gender.
2.    Ilustrasi yang masih mengindikasikan adanya bias gender yang ditemukan dalam buku ajar  mayoritas berjenis streotype (pelabelan) terhadap   peran yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, baik di sektor domestik (rumah tangga) maupun di sektor publik (dunia kerja, sosial kemasyarakatan). Pelabelan terhadap perempuan masih banyak dibatasi  pada peran-peran domestik seperti memasak, mengasuk anak, peran konsumtif dan peran-peran termarginalkan atau potret kemiskinan. Hal ini menjadi kontras karena ilustrasi yang menampilkan laki-laki banyak dicitrakan/dilabelkan sebagai tokoh penting, sukses, aktivitas kreatif dan produktif.  Namun ditemukan pula ilustrasi gambar yang responsif gender dimana digambarkan secara seimbang peran penting yang dilakukan laki-laki dan perempuan di rumah, dunia kerja, sekolah, dan kehidupan bermasyarakat. 


A.       Contoh ilustrasi bias gender dalam buku ajar


SIMPULAN DAN SARAN
A.       Simpulan
1.        Pemahaman konsep gender guru-guru dikategorikan baik namun kemampuan guru-guru dala membangun kesetaraan gender dalam proses pembelajaran dikategorikan masih kurang.
2.        Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun guru-guru dapat dikategorikan netral gender (belum responsif gender). Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas guru-guru menyatakan masih kurang memperhatikan kecenderungan belajar yang berbeda antara siswa laki-laki dan perempuan.
3.        Metode pembelajaran yang dipilih dan digunakan untuk proses pembelajaran di kelas cenderung netral gender (belum responsif gender), namun beberapa orang guru (presentasinya kecil) sudah menggunakan metode pembelajaran yang responsif gender seperti kooperatif learning.
4.        Masih banyak guru-guru yang menyatakan kurang dapat mengenali media pembelajaran yang bias gender.
5.        Sebagian besar guru SD dan SMP menyatakan bahwa bahan ajar yang digunakan (buku teks, buku bacaan, buku pengayaan, LKS) masih kurang terbebas dari materi yang memuat bias gender. Namun guru-guru SLTA menyataka bahan ajar yang digunakan sudah cukup terbebas dari bias gender.
6.        Perbandingan analisis isi buku ajar yang memuat indikasi bias gender, netral gender, dan responsif gender adalah sebagai berikut:
·         Pada buku Bahasa Indonesia gambar yang ditampilkan masih banyak bias gender, meskipun secara kuantitatif netral gender. Namun secara substansial banyaknya ilustrasi gambar yang bias dan netral gender dibanding dengan yang sudah responsif gender mengindikasikan lemahnya pemahaman penulis maupun ilustrator tentang nilai kesetaraan dan keadilan gender.
·         Pada buku Bahasa Inggris ilustrasi yang ditampilkan sudah banyak mengandung nilai responsif gender dan sebagian besar lainnya pada kategori netral gender namun masih ada beberapa ilustrasi yang masih memuat bias gender.
·         Pada buku IPA meskipun ilustrasi yang ditampilkan tidak sebanyak pada buku ajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, tapi sebagian besar gambar-gambarnya masih berada pada kategori bias dan netral gender.
·         Pada buku IPS banyak ilustrasi gambar yang secara parsial bisa dikategorikan netral gender namun jika dilihat dari keseluruhan ilustrasi yang ditampilkan dalam buku tersebut terkesan menjadi bias gender karena lebih didominasi gender laki-laki dan sedikit sekali yang menampilkan sosok gender perempuan.
·         Pada buku PKN yang masih dominan adalah ilustrasi yang menggambarkan kondisi bias gender. Gambar yang sudah responsif gender masih sedikit dibandingkan dengan yang netral gender.
1.        Ilustrasi yang masih mengindikasikan adanya bias gender yang ditemukan dalam buku ajar  mayoritas berjenis streotype (pelabelan) terhadap   peran yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, baik di sektor domestik (rumah tangga) maupun di sektor publik (dunia kerja, sosial kemasyarakatan). Pelabelan terhadap perempuan masih banyak dibatasi  pada peran-peran domestik seperti memasak, mengasuk anak, peran konsumtif dan peran-peran termarginalkan atau potret kemiskinan. Hal ini menjadi kontras karena ilustrasi yang menampilkan laki-laki banyak dicitrakan/dilabelkan sebagai tokoh penting, sukses, aktivitas kreatif dan produktif. 

B.        Saran
Untuk Dinas Pendidikan Jawa Barat
Guru-guru sebaiknya diberikan penyegaran dan pembekalan berbagai metode pembelajaran yang dapat mengakoodasi proses pembelajaran yang berkeadilan gender. Perlu juga diberikan panduan atau buku pegangan untuk dapat mengenali media/alat atau bahan/materi ajar yang memuat bias gender
Di waktu-waktu mendatang, Dinas Pendidikan sebaiknya mengikutsertakan dan melibatkan para penulis buku, editor, ilustrator dan penerbit dalam setiap kegiatan Sosialisasi Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender untuk membangun character building dari segenap stakeholder di bidang pendidikan, selain dari yang selama ini selalu terlibat, yaitu guru, kepala sekolah, komite sekolah dan eksekutif bidang pendidikan.
Untuk lebih efektifnya kegiatan sebaiknya diberikan juga workshop atau pelatihan mengenai buku ajar yang responsif gender selain dari materi-materi Pengarus utamaan gender dan Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender (PSBG) beserta dengan indikator-indikatornya sehingga para penulis buku, ilustrator dan penerbit juga bisa menghindari materi-materi yang dituangkan dalam buku berupa teks dan gambar/ilustrasi yang bias gender.
 

DAFTAR PUSTAKA ACUA
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Proses Pembelajaran di Sekolah yang Responsif Gender. Bahan pelatihan untuk Kepala Sekolah, Pendidik dan Tenaga Kependidikan dalam rangka Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang Responsif Gender (PSBG). (Modul 2)

Departemen Pendidikan Nasional.  2005.  Pesan Standar Pengarusutamaan Gender Bidang pendidikan.

Departemen Pendidikan Nasional.  2005.  Draft.  Modul 1:  Mewujudkan Manajemen Berbasis Sekolah yang Responsif Gender, Bahan Pelatihan untuk Kepala Sekolah dan Tenaga Administrasi Sekolah dalam Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang Berwawasan Gender (Model PSBG).

Departemen Pendidikan Nasional.  2005.  Draft.  Modul 2:  Bahan Pelatihan untuk Kepala Sekolah, Pendidik, dan tenaga Kependidikan dalam Rangka Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang Responsif Gender (Model PSBG).

Departemen Pendidikan Nasional.  2005.  Draft.  Modul 3:  Partisipasi Masyarakat dalam Mewujudkan Sekolah yang responsif Gender-  Bahan Pelatihan untuk Komite sekolah dan Masyarakat dalam rangka Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang Berwawasan Gender (Model PSBG).

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. 2006. Position Paper Pengarus Utamaan Gender Bidang Pendidikan di Jawa Barat,  Rencana Kegiatan Tahun 2007.

Gonibala, Rukmina. 2007. Fenomena Bias Gender dalam Pendidikan Islam. Iqra’ Volume 4.

Markhamah, Sudirjo. Sarwiji Suwandi. 2006. Persepsi Pengambil Kebijakan dan Guru terhadap Pengembangan Model Materi Ajar dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SLTP Bersperspektif Kesetaraan Gender. Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 7 No. 1.

Salamah. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Responsif Gender pada Madrasah Ibtidaiyah di Kalimantan Selatan. Khasanah. Vol. V. No. 6.




No comments:

Post a Comment