Ghosting di Era Digital: Kenapa Terjadi dan Cara Menghadapinya

 


Di era digital, hubungan semakin mudah terjalin. Hanya dengan beberapa ketukan jari di aplikasi kencan atau media sosial, seseorang bisa mengenal orang baru, mengobrol intens, bahkan merasa dekat meski belum pernah bertemu langsung. Namun, ada satu fenomena yang kian sering terjadi: ghosting.

Day Cream pelembut kulit yang nyaman dipakai setiap hari

Ghosting adalah situasi ketika seseorang tiba-tiba menghilang tanpa kabar, memutus komunikasi tanpa alasan yang jelas, dan meninggalkan pihak lain kebingungan. Jika dulu orang bisa menghindar dengan jarang bertemu, kini cukup dengan berhenti membalas pesan atau memblokir kontak, hubungan pun berakhir begitu saja.

Mengapa Ghosting Begitu Sering Terjadi?

Ghosting marak di era digital karena teknologi memudahkan seseorang untuk menghilang begitu saja. Dengan satu klik, kontak bisa diblokir dan jejak komunikasi terputus. Banyak orang memilih jalan ini karena tidak nyaman menghadapi konflik, merasa bersalah jika harus berkata jujur, atau sekadar ingin menghindari drama. Selain itu, hadirnya aplikasi kencan dan media sosial memberi ilusi bahwa selalu ada pilihan lain yang lebih baik, sehingga komitmen dalam hubungan seringkali dianggap sepele.

Di sisi lain, ghosting juga kerap mencerminkan kurangnya kematangan emosional. Alih-alih berkomunikasi dengan dewasa, sebagian orang lebih memilih kabur tanpa penjelasan. Inilah yang membuat fenomena ini semakin sering terjadi di tengah kehidupan serba instan dan cepat berubah.

Dampak Ghosting pada Korban


Bagi yang ditinggalkan, ghosting bisa menimbulkan luka emosional yang cukup dalam. Tidak adanya penjelasan membuat korban sering terjebak dalam kebingungan dan ketidakpastian, bertanya-tanya apakah ada kesalahan yang mereka lakukan. Rasa tidak nyaman ini sering kali berlanjut menjadi penurunan rasa percaya diri, di mana korban merasa tidak cukup baik atau bahkan tidak layak dicintai. Lebih jauh lagi, pengalaman pahit ini dapat membuat seseorang kesulitan membuka diri kembali, karena ada ketakutan bahwa hal serupa akan terjadi di hubungan berikutnya.


Cara Menghadapi Ghosting dengan Sehat


Meski menyakitkan, ghosting bukanlah akhir dari segalanya. Langkah pertama untuk menghadapinya adalah menerima kenyataan bahwa tidak semua hubungan berakhir dengan penjelasan yang jelas. Menghentikan usaha untuk memaksa jawaban dari seseorang yang memilih pergi justru akan mempercepat proses pemulihan. Hal penting lain adalah tidak menyalahkan diri sendiri, sebab ghosting lebih banyak mencerminkan sikap dan cara pelaku menghadapi masalah, bukan nilai diri korban.



Bauty Care

Membicarakan pengalaman ini dengan orang terdekat juga bisa membantu meredakan beban emosional, karena dukungan sosial mampu membuat seseorang merasa tidak sendirian. Setelah itu, alihkan perhatian pada diri sendiri dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan, entah itu hobi, pekerjaan, atau aktivitas positif lain. Dengan begitu, luka hati perlahan bisa sembuh. Dari pengalaman pahit ini, seseorang juga bisa belajar mengenali tanda-tanda awal ketidakseriusan dalam hubungan sehingga lebih bijak dalam menjalin ikatan di masa depan.



Ghosting memang fenomena yang semakin sering ditemui di era digital. Meski menyakitkan, penting diingat bahwa perbuatan ini lebih banyak mencerminkan kelemahan orang yang melakukannya. Daripada terus larut dalam pertanyaan tanpa jawaban, lebih baik fokus pada diri sendiri, bangkit, dan membuka peluang baru untuk hubungan yang lebih sehat. Pada akhirnya, setiap orang berhak mendapat hubungan yang jujur dan penuh penghargaan. Jika seseorang memilih menghilang tanpa penjelasan, itu tandanya mereka bukan orang yang tepat untuk Anda.

 

Komunikasi Tanpa Drama: Rahasia Bicara Tenang Saat Berbeda Pendapat

 


Dalam setiap hubungan, baik itu dengan pasangan, teman, maupun rekan kerja, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Namun, sering kali perbedaan tersebut justru memicu pertengkaran, emosi yang meledak, bahkan saling menyakiti dengan kata-kata. Padahal, kunci menjaga hubungan tetap sehat bukanlah menghindari konflik, melainkan bagaimana cara kita mengomunikasikan perbedaan tanpa drama.

Natural Hair Care

Mengendalikan Emosi Sebelum Bicara

Salah satu penyebab utama konflik memanas adalah emosi yang tidak terkendali. Saat merasa diserang atau tidak dihargai, kita cenderung bereaksi spontan. Alih-alih menenangkan keadaan, reaksi ini justru memperburuk suasana. Karena itu, sebelum menanggapi, tarik napas dalam-dalam, beri jeda, dan pastikan emosi lebih stabil. Dengan kepala yang lebih dingin, kata-kata pun akan keluar lebih terarah dan tidak melukai.


Dengarkan dengan Tulus

Komunikasi bukan hanya soal menyampaikan, tetapi juga mendengarkan. Ketika orang lain bicara, berikan perhatian penuh tanpa menyela. Tunjukkan bahwa kita memahami maksudnya meskipun tidak sepakat. Mendengar dengan tulus membuat lawan bicara merasa dihargai, sehingga ia juga lebih terbuka menerima pendapat kita.


Pilih Kata yang Tepat

Bahasa yang kita gunakan bisa menjadi jembatan atau justru tembok dalam komunikasi. Menggunakan kalimat seperti “Kamu selalu…” atau “Kamu tidak pernah…” cenderung menyudutkan dan memicu defensif. Sebaliknya, gunakan bahasa “aku” seperti “Aku merasa…” atau “Aku butuh…”. Cara ini lebih menekankan pada perasaan pribadi, bukan menyalahkan, sehingga pesan lebih mudah diterima.


Fokus pada Solusi, Bukan Menang-Kalah

Banyak orang terjebak ingin membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Padahal, inti komunikasi sehat adalah mencari jalan tengah. Daripada menghabiskan energi untuk berdebat, lebih baik arahkan percakapan pada solusi. Dengan begitu, hubungan tetap terjaga tanpa ada pihak yang merasa kalah.

Jangan Ragu Beri Waktu

Jika percakapan mulai memanas, berhenti sejenak bukan berarti lari dari masalah. Justru jeda bisa membantu kedua pihak merenung dan menenangkan diri. Setelah suasana lebih tenang, pembicaraan dapat dilanjutkan dengan lebih jernih.


 

Berbeda pendapat bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk saling memahami lebih dalam. Dengan mengendalikan emosi, mendengarkan, memilih kata yang tepat, dan fokus pada solusi, komunikasi bisa berjalan tanpa drama. Hasilnya, hubungan pun tetap harmonis meski sering kali pandangan tak selalu sejalan.

 

Menjaga Romansa Tetap Hidup: Tips Agar Hubungan Tak Hambar

 


Dalam setiap hubungan, wajar jika ada fase penuh semangat dan ada pula masa di mana semuanya terasa datar. Namun, bukan berarti romansa harus hilang begitu saja. Hubungan yang sehat membutuhkan usaha dari kedua belah pihak agar tetap hangat, intim, dan penuh cinta. Berikut beberapa tips sederhana yang bisa membantu menjaga romansa tetap hidup agar hubungan tidak terasa hambar.


1. Jangan Lupakan Sentuhan Kecil


Sentuhan sederhana seperti menggenggam tangan, pelukan sebelum tidur, atau kecupan singkat di dahi sering kali dianggap remeh, padahal hal-hal kecil inilah yang mampu menjaga kedekatan emosional. Sentuhan fisik bukan sekadar kebiasaan, tapi juga bahasa cinta yang memperkuat ikatan batin.


2. Sisihkan Waktu Berkualitas Bersama


Kesibukan sering kali membuat pasangan lupa untuk benar-benar hadir satu sama lain. Cobalah membuat rutinitas sederhana, misalnya makan malam bersama tanpa gangguan ponsel, berjalan sore, atau sekadar menonton film favorit. Kehadiran yang tulus akan membuat pasangan merasa dihargai.


3. Komunikasi yang Jujur dan Hangat



Banyak pasangan terjebak pada rutinitas tanpa komunikasi mendalam. Padahal, berbagi cerita tentang hari yang dijalani, perasaan, atau mimpi masa depan bisa menjaga keintiman. Jangan ragu mengungkapkan cinta dengan kata-kata, sekalipun sudah lama bersama.


4. Beri Kejutan Kecil


Romansa sering kali hidup kembali lewat hal-hal tak terduga. Tidak perlu mahal atau rumit, cukup dengan menulis catatan manis, membawakan makanan favorit pasangan, atau merencanakan aktivitas seru bersama. Kejutan kecil menunjukkan bahwa pasangan tetap istimewa di hati kita.


5. Hormati Ruang Pribadi


Meski kedekatan penting, menjaga romansa juga berarti memberi kebebasan. Biarkan pasangan menikmati hobi atau waktu sendiri tanpa merasa terikat. Ruang pribadi yang sehat justru membuat hubungan lebih segar, karena masing-masing bisa kembali dengan energi baru.


6. Jangan Takut Bermain dan Tertawa Bersama


Romansa bukan hanya soal keseriusan, tapi juga tentang keceriaan. Tertawa bersama, bercanda ringan, atau melakukan aktivitas konyol bisa menciptakan kenangan hangat. Semakin banyak momen bahagia dibangun bersama, semakin kokoh fondasi hubungan.


7. Rawat Diri Sendiri


Terkadang romansa meredup bukan karena pasangan, melainkan karena kita sendiri lupa merawat diri. Menjaga kesehatan, penampilan, dan kebahagiaan pribadi bisa membuat kita lebih percaya diri dan menarik di mata pasangan.



Pada akhirnya, menjaga romansa bukan soal hal-hal besar, melainkan konsistensi dalam memperhatikan detail kecil setiap hari. Hubungan yang indah lahir dari perhatian, kasih sayang, dan usaha bersama. Dengan langkah sederhana, cinta bisa terus bersemi, dan hubungan terhindar dari rasa hambar.

 

Mengatasi Perbedaan Tanpa Pertengkaran: Seni Menjaga Keharmonisan

 


Setiap hubungan, baik itu dengan pasangan, keluarga, teman, maupun rekan kerja, pasti akan diwarnai oleh perbedaan. Perbedaan sudut pandang, kebiasaan, bahkan nilai hidup adalah hal yang wajar karena setiap individu memiliki latar belakang dan pengalaman unik. Namun, sering kali perbedaan ini justru menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik. Seni menjaga keharmonisan terletak pada kemampuan untuk mengatasi perbedaan tanpa harus terjebak dalam pertengkaran.

Natural Hair Care

Mengubah Cara Pandang terhadap Perbedaan

Langkah pertama untuk menghindari pertengkaran adalah mengubah cara pandang kita terhadap perbedaan. Alih-alih melihatnya sebagai ancaman, anggaplah perbedaan sebagai peluang untuk belajar sesuatu yang baru. Saat seseorang memiliki pendapat berbeda, itu bukan berarti ia melawan kita, melainkan sedang menawarkan perspektif lain yang bisa memperkaya sudut pandang kita sendiri.


Komunikasi yang Jelas dan Tenang

Banyak pertengkaran terjadi bukan karena masalah yang besar, melainkan akibat komunikasi yang buruk. Mengutarakan pendapat dengan nada tinggi atau menyalahkan orang lain akan membuat situasi semakin panas. Sebaliknya, berbicara dengan nada tenang, menggunakan kata-kata yang jelas, dan mendengarkan secara aktif bisa meredakan ketegangan. Menghindari kalimat yang menghakimi seperti “Kamu selalu…” atau “Kamu tidak pernah…” juga penting, karena kata-kata tersebut hanya akan memicu defensif lawan bicara.


Mengutamakan Empati

Empati adalah kunci utama dalam menjaga keharmonisan. Cobalah menempatkan diri di posisi orang lain dan memahami alasan di balik perbedaan sikap atau pendapatnya. Misalnya, pasangan yang terbiasa hemat mungkin merasa cemas ketika pasangannya gemar belanja. Dengan berempati, kita bisa melihat bahwa kebiasaan itu lahir dari rasa takut akan ketidakpastian, bukan sekadar sifat keras kepala.


Menetapkan Batasan Sehat

Perbedaan tidak selalu harus diselesaikan dengan kesepakatan mutlak. Ada kalanya kita perlu sepakat untuk “tidak sepakat”. Menetapkan batasan sehat, seperti memilih untuk tidak membahas isu tertentu saat suasana hati sedang tidak stabil, bisa menjadi strategi yang efektif. Hal ini bukan berarti menghindar, melainkan menunda agar pembahasan dilakukan dalam kondisi lebih kondusif.


Fokus pada Tujuan Bersama

Dalam hubungan apa pun, tujuan bersama seharusnya lebih penting daripada ego masing-masing. Ingatlah bahwa tujuan utama hubungan adalah kebahagiaan dan keharmonisan, bukan kemenangan dalam sebuah perdebatan. Dengan mengingat tujuan ini, kita lebih mudah menahan diri untuk tidak memperbesar masalah yang sebetulnya kecil.

Menjaga Sikap Rendah Hati



Tidak ada manusia yang selalu benar. Mengakui kesalahan, meminta maaf, atau memberi maaf adalah sikap rendah hati yang justru memperkuat ikatan. Terkadang, mengalah bukan berarti kalah, melainkan tanda kedewasaan dalam menghargai hubungan.

 

Mengatasi perbedaan tanpa pertengkaran adalah seni yang membutuhkan kesabaran, komunikasi yang baik, serta empati. Dengan memandang perbedaan sebagai bagian alami dari hubungan dan berfokus pada keharmonisan, kita bisa membangun ikatan yang lebih kuat dan saling menghargai. Keharmonisan bukan tercipta karena tidak adanya perbedaan, melainkan karena adanya kemampuan untuk merangkul perbedaan dengan bijak.

 
https://shope.ee/9pFjEaNEod


Lampu belajar 

Fenomena Milenial Takut Menikah: Normal atau Bahaya?


Di tengah perubahan zaman yang serba cepat, muncul fenomena menarik: banyak generasi milenial memilih menunda atau bahkan takut menikah. Pertanyaannya, apakah ini sesuatu yang wajar sesuai perkembangan sosial, atau justru gejala yang perlu diwaspadai?

Pelembut kulit, membuat kulit berkilau

Akar Ketakutan Menikah pada Milenial

Banyak faktor yang membuat milenial ragu melangkah ke pelaminan. Salah satunya adalah faktor ekonomi. Biaya hidup yang kian tinggi, harga rumah melambung, serta tuntutan gaya hidup membuat banyak orang merasa belum siap secara finansial. Menikah, yang dulu dianggap sebagai awal kehidupan baru, kini kerap dipandang sebagai tambahan beban.


Skin care Routine

Selain itu, trauma melihat kegagalan rumah tangga juga menjadi alasan. Tingkat perceraian yang cukup tinggi membuat sebagian milenial khawatir mengulang kesalahan yang sama. Mereka takut salah memilih pasangan, takut dikhianati, atau takut tidak bisa mempertahankan hubungan jangka panjang.

Tak ketinggalan, ada pula pengaruh gaya hidup modern. Generasi ini tumbuh di era digital yang menawarkan banyak kebebasan. Karier, traveling, hingga self-development sering kali terasa lebih menarik dibanding komitmen jangka panjang dalam pernikahan.


Normal atau Justru Mengkhawatirkan?


Sebenarnya, rasa takut menikah adalah hal yang normal. Menikah memang bukan keputusan kecil; ada tanggung jawab moral, emosional, hingga finansial yang menyertainya. Keraguan menunjukkan bahwa seseorang ingin berpikir matang sebelum melangkah. Dalam arti tertentu, ini justru tanda kedewasaan.

Namun, jika rasa takut itu berubah menjadi penolakan total terhadap pernikahan, di sinilah bahayanya. Menutup diri dari komitmen bisa membuat seseorang kesepian dalam jangka panjang. Hubungan yang sehat dan stabil terbukti berkontribusi besar terhadap kebahagiaan dan kualitas hidup.


Bagaimana Menghadapinya?


Pertama, luruskan tujuan menikah. Bukan sekadar karena tuntutan sosial, melainkan sebagai pilihan sadar untuk membangun kehidupan bersama. Kedua, persiapkan diri secara finansial dan emosional. Tidak ada yang benar-benar siap 100%, tapi mempersiapkan hal-hal dasar bisa mengurangi kecemasan.

Ketiga, komunikasi terbuka dengan pasangan sangat penting. Dengan berbagi harapan, kekhawatiran, dan rencana masa depan, rasa takut bisa berubah menjadi kepercayaan.

 

Fenomena milenial takut menikah adalah realitas yang tak bisa diabaikan. Sebagian besar wajar karena situasi zaman memang menuntut kehati-hatian. Namun, bila dibiarkan berlarut-larut, rasa takut ini bisa berujung pada isolasi emosional. Kuncinya adalah keseimbangan: berpikir rasional tanpa terjebak rasa cemas berlebihan. Pada akhirnya, menikah atau tidak adalah pilihan pribadi, tapi menjalani hidup dengan sadar dan penuh makna tetaplah yang utama.

  

Bijak Bermedsos Agar Hubungan Tetap Harmonis dengan Pasangan

 


Di era digital, media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Hampir setiap orang membuka aplikasi seperti Instagram, Facebook, atau TikTok untuk mencari hiburan, berkomunikasi, bahkan membangun personal branding. Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga bisa memengaruhi hubungan asmara. Banyak pasangan yang semakin dekat berkat teknologi, tetapi tak sedikit pula yang hubungannya renggang karena salah menggunakan media sosial. Karena itu, penting untuk belajar bijak bermedsos agar hubungan tetap harmonis dengan pasangan.

EBook yang mengupas bagaimana dapat Cuan dari rumah

Media Sosial: Teman atau Lawan dalam Hubungan?

Media sosial pada dasarnya netral, tergantung bagaimana kita memakainya. Di satu sisi, media sosial bisa membantu pasangan saling mendukung. Misalnya, dengan membagikan aktivitas positif, memberi komentar penuh semangat, atau sekadar mengunggah foto kebersamaan. Hal-hal kecil seperti itu bisa menumbuhkan rasa dihargai.


Namun, di sisi lain, media sosial juga bisa menjadi sumber masalah. Contoh yang sering terjadi adalah rasa cemburu karena pasangan terlalu sering berinteraksi dengan orang lain, atau merasa tidak dihargai karena kehidupan pribadi diumbar tanpa persetujuan. Bahkan, kebiasaan “scrolling” terlalu lama juga bisa mengurangi kualitas komunikasi langsung antara pasangan.

Tips Bijak Bermedsos Bersama Pasangan


Agar media sosial menjadi alat yang memperkuat, bukan merusak, berikut beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan:

1. Bangun Rasa Saling Percaya

Kunci utama adalah kepercayaan. Jangan merasa perlu selalu mengintip isi pesan atau siapa saja yang berinteraksi dengan pasangan. Dengan rasa percaya, media sosial tidak lagi menjadi ancaman, melainkan sekadar ruang ekspresi.

2. Komunikasikan Batasan

Setiap pasangan memiliki batas kenyamanan yang berbeda. Ada yang senang jika hubungannya ditampilkan di media sosial, ada juga yang lebih suka menjaga privasi. Diskusikan sejak awal hal-hal apa saja yang boleh dibagikan agar tidak menimbulkan salah paham.


3. Bijak dalam Membandingkan

Salah satu jebakan media sosial adalah membandingkan hubungan kita dengan pasangan lain yang terlihat “sempurna” di dunia maya. Ingat, apa yang ditampilkan orang di media sosial hanyalah potongan kecil, bukan keseluruhan cerita. Fokuslah pada hubungan nyata yang dijalani, bukan pada apa yang terlihat di layar.

4. Gunakan untuk Hal Positif



Alih-alih menjadi sumber masalah, media sosial bisa menjadi sarana memperkuat ikatan. Misalnya, membuat konten bersama, berbagi cerita perjalanan, atau sekadar saling memberi ucapan manis di kolom komentar.

5. Prioritaskan Interaksi Nyata

Tidak ada yang bisa menggantikan obrolan langsung, perhatian kecil, atau momen bersama di dunia nyata. Sesibuk apa pun bermedsos, tetap sisihkan waktu berkualitas dengan pasangan tanpa gangguan gadget.


Media sosial bukanlah musuh bagi hubungan, asalkan digunakan dengan bijak. Justru, ia bisa menjadi jembatan untuk saling mendukung dan menumbuhkan rasa cinta. Kuncinya ada pada komunikasi, kepercayaan, dan kemampuan menyeimbangkan dunia maya dengan kehidupan nyata. Dengan begitu, media sosial bisa menjadi sahabat yang menjaga hubungan tetap harmonis bersama pasangan.

 

Trik Flexing Anak Medsos: Dari Rojali Sampai Rohana

 


Media sosial hari ini bukan sekadar ruang untuk berbagi kabar, melainkan juga panggung untuk menunjukkan gaya hidup. Dari sekian banyak fenomena, istilah Rojali (Rombongan Jarang Libur) dan Rohana (Rombongan Hari-hari ke Mall) menjadi sindiran lucu yang cukup populer. Keduanya menggambarkan gaya flexing anak medsos, alias pamer kegiatan dan harta di dunia maya. Tapi apa sebenarnya yang melatarbelakangi tren ini?


Ingin memiliki kulit yang Lembut?

Flexing Sebagai “Identitas Baru”

Flexing di media sosial bisa dianggap sebagai cara sebagian orang membangun citra diri. Mereka ingin terlihat sukses, sibuk, atau punya gaya hidup mewah. Unggahan liburan ke luar negeri, foto di restoran mahal, hingga posting belanja barang branded sering dijadikan bukti keberhasilan. Dari sini, muncul julukan Rojali dan Rohana yang menyindir mereka yang hobi memamerkan aktivitas “wah” di feed.

Rojali biasanya identik dengan orang-orang yang sering bepergian, entah liburan singkat atau sekadar jalan-jalan tiap akhir pekan. Sementara itu, Rohana lebih ke mereka yang selalu update aktivitas di mall—belanja, nongkrong di cafĂ© hits, atau sekadar pamer outfit of the day. Keduanya sama-sama mewakili budaya pamer yang kental di media sosial.

Mengapa Orang Suka Flexing?

Ada beberapa alasan mengapa fenomena ini terus berkembang:

1.      Ingin Validasi Sosial
Setiap like, komentar, atau share memberikan semacam pengakuan. Semakin banyak interaksi, semakin besar rasa percaya diri si pemilik akun.

2.      Tekanan Sosial
Ketika lingkaran pertemanan di medsos selalu menampilkan kehidupan “wah”, ada dorongan untuk ikut serta. Tidak ingin ketinggalan tren, akhirnya mereka juga ikut flexing.

3.      Citra Sukses Instan
Di era serba cepat, orang sering ingin diakui tanpa harus menjelaskan panjang lebar. Dengan satu foto di pantai eksotis atau tas branded, pesan “saya sukses” langsung tersampaikan.


Antara Hiburan dan Bahaya

Perlu diakui, flexing kadang memang menghibur. Melihat orang lain liburan atau mencoba restoran baru bisa memberi inspirasi. Namun, jika dilakukan berlebihan, efeknya bisa negatif.

·         FOMO (Fear of Missing Out): Pengikut bisa merasa minder karena hidupnya tampak lebih sederhana dibanding konten yang dilihat.

·         Tekanan Finansial: Demi tampil keren di medsos, ada yang rela berhutang atau memaksakan gaya hidup di luar kemampuan.

·         Hubungan Palsu: Tidak jarang, pertemanan di medsos hanya sebatas saling pamer, bukan benar-benar peduli satu sama lain.

Flexing Sehat, Apakah Bisa?

Menariknya, flexing tidak selalu buruk. Jika dilakukan dengan bijak, justru bisa memberi motivasi. Misalnya, membagikan pengalaman liburan sambil memberi tips hemat, atau pamer barang branded dengan jujur menceritakan proses kerja keras yang dilalui. Dengan begitu, flexing berubah menjadi inspirasi, bukan sekadar ajang pamer.

 

Fenomena Rojali dan Rohana hanyalah gambaran kecil dari budaya flexing anak medsos. Selama dilakukan dengan cara yang sehat dan tidak merugikan orang lain, berbagi kebahagiaan di dunia maya sah-sah saja. Namun, penting diingat: hidup tidak hanya soal tampilan di feed Instagram atau status WhatsApp. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menjalani keseharian dengan tulus, apa adanya, dan sesuai kemampuan.

 Catatan :

1. Naskah dibuat dengan bantuan Chat GPT

2. Gambar dari berbagai sumber : Sora, Bing, Pinterest