Media
sosial akhir-akhir ini ramai membicarakan fenomena Rojali dan Rohana. Istilah ini menggambarkan
sosok-sosok yang selalu tampil modis, berlibur ke luar negeri, dan nongkrong di
tempat bergengsi sambil memegang secangkir kopi yang harganya setara makan
siang seminggu. Feed mereka penuh dengan foto-foto menawan: outfit branded dari
kepala hingga kaki, senyum sempurna, dan latar yang memancarkan kemewahan.
Sekilas, kehidupan Rojali dan Rohana
terlihat seperti mimpi banyak orang. Tapi pertanyaannya, apakah semua
itu benar-benar cerminan kehidupan nyata, atau sekadar ilusi yang dibentuk
media sosial?
Siapa
Sebenarnya Rojali dan Rohana?
Meski bukan tokoh nyata, istilah Rojali
(Rombongan Jalan-Jalan) dan Rohana (Rombongan Makan Enak) kini
digunakan untuk menyebut tren gaya hidup hedon generasi muda. Mereka
mengedepankan penampilan, pengalaman mewah, dan citra “hidup sempurna” yang
ditampilkan di media sosial.
Fenomena ini lahir seiring mudahnya
akses untuk memamerkan gaya hidup. Kamera ponsel semakin canggih, filter foto
makin memikat, dan media sosial memberikan panggung tanpa batas untuk
menampilkan versi terbaik diri kita.
Daya
Tarik Gaya Hidup Rojali & Rohana
Bagi banyak orang, melihat postingan
glamor bisa memicu rasa kagum sekaligus iri. Foto liburan di pantai eksotis,
makan malam di restoran bintang lima, atau outfit dari brand internasional,
semua memberikan kesan sukses dan bahagia.
Alasan mengapa gaya hidup ini begitu
menarik antara lain:
1.
Visual yang Memukau – Foto yang
estetik memberi sensasi “ingin ikut mencoba”.
2.
Asosiasi dengan Kesuksesan – Mewah
sering diasosiasikan dengan berhasil.
3.
Pengaruh Lingkungan – Saat teman-teman
juga mengunggah gaya hidup glamor, muncul dorongan untuk tidak mau kalah.
Benarkah
Semuanya Nyata?
Inilah bagian yang sering terlewat. Apa
yang kita lihat di media sosial biasanya adalah cuplikan terbaik,
bukan keseluruhan cerita. Banyak hal yang tidak ditampilkan:
·
Liburan yang dibiayai cicilan atau pinjaman.
·
Foto diambil di satu hari, lalu diunggah
bertahap seolah-olah perjalanan berlangsung lama.
·
Outfit mahal yang sebenarnya hasil pinjam atau
sewa.
Fenomena ini menciptakan highlight
reel—potongan momen indah—yang tidak selalu merepresentasikan realitas.
Kita melihat senyum di kamera, tapi tidak tahu apakah di baliknya ada stres,
utang, atau rasa kesepian.
Dampak
Psikologis pada Generasi Muda
Tren Rojali dan Rohana bukan sekadar
hiburan visual; ia juga memiliki dampak psikologis. Penelitian menunjukkan
bahwa terlalu sering terpapar konten glamor dapat memicu:
·
Insecure dan rendah diri,
merasa hidup sendiri tidak cukup menarik.
·
Tekanan sosial, ingin mengikuti
tren meski kemampuan finansial tidak memadai.
·
Perilaku konsumtif, membeli
barang bukan karena butuh, tapi demi citra.
Bijak
Menyikapi Fenomena Ini
Bukan berarti kita harus menghindari
konten Rojali dan Rohana sama sekali. Yang terpenting adalah menyikapinya
dengan kesadaran bahwa media sosial bukan cermin utuh kehidupan seseorang.
Beberapa hal yang bisa dilakukan:
1.
Batasi Perbandingan Diri – Ingat,
setiap orang punya perjalanan hidup berbeda.
2.
Fokus pada Kehidupan Nyata – Nikmati
momen bersama keluarga dan teman tanpa harus selalu dipublikasikan.
3.
Kelola Finansial dengan Bijak – Gaya
hidup mewah tidak akan berarti jika mengorbankan kestabilan ekonomi.
Fenomena Rojali dan Rohana mencerminkan
dua sisi mata uang media sosial: hiburan visual yang memikat, tapi juga potensi
jebakan ilusi. Di satu sisi, mereka bisa menjadi inspirasi untuk meningkatkan
kualitas hidup. Di sisi lain, jika tidak disikapi dengan bijak, kita bisa
terjebak dalam lingkaran perbandingan yang melelahkan.
Jadi,
sebelum iri pada kehidupan glamor di layar ponsel, ingatlah bahwa realita tak
selalu seindah feed Instagram. Kebahagiaan sejati seringkali hadir dari hal-hal
sederhana yang mungkin tak pernah masuk kamera.
Catatan :
1. Naskah dibuat dengan bantuan CHAT GPT
2. Gambar dari pinterest
No comments:
Post a Comment