Fenomena
Rojali dan Rohana kini ramai menghiasi media sosial. Mereka adalah simbol dari
gaya hidup generasi muda masa kini—selalu tampil mewah, fashionable, dan terlihat
bahagia. Feed mereka dipenuhi foto liburan ke luar negeri, secangkir kopi
seharga ratusan ribu rupiah, hingga koleksi outfit branded yang tak kalah dari
para selebritas. Tapi benarkah semua itu nyata?
Di balik potret glamor yang dipamerkan,
tersimpan sisi gelap yang jarang terungkap ke publik. Banyak dari mereka yang
sebenarnya terjebak dalam lingkaran utang digital. Mulai dari paylater,
pinjaman online, hingga kartu kredit, digunakan untuk membiayai gaya hidup yang
sebenarnya tak mereka sanggupi. Bukan karena kebutuhan, tapi karena tuntutan
eksistensi dan tekanan sosial untuk selalu tampil “wah”.
Fenomena ini bukan hanya soal individu.
Ini adalah gambaran nyata bagaimana budaya konsumtif telah menjebak generasi
muda dalam perangkap gaya hidup palsu. Platform media sosial menjadi panggung
utama. Algoritma bekerja dengan kejam, menampilkan konten-konten hedonis,
membentuk persepsi bahwa kebahagiaan dan kesuksesan adalah tentang seberapa
mewah penampilanmu.
Tekanan untuk mengikuti tren inilah yang akhirnya mendorong banyak orang melakukan hal-hal di luar kemampuan finansialnya. Tak sedikit yang berbohong demi konten. Meminjam barang branded hanya untuk foto, mengedit lokasi agar seolah sedang di luar negeri, atau bahkan ikut arisan bodong dan
investasi tipu-tipu demi meraih “lifestyle
instan”.
Namun, belakangan ini muncul teori
konspirasi yang menyita perhatian. Beberapa warganet menduga bahwa fenomena
Rojali dan Rohana bukanlah sekadar tren sosial biasa. Ada yang menyebut ini
sebagai upaya sistematis untuk mengalihkan perhatian publik dari kondisi
ekonomi yang sesungguhnya. Masyarakat digiring untuk sibuk mengejar gengsi,
sementara angka inflasi merayap diam-diam.
Teori lain menyebut bahwa fenomena ini
adalah bagian dari eksperimen sosial terselubung. Bahwa perilaku konsumtif dan
kecanduan pengakuan di media sosial tengah diamati—bahkan mungkin
dimanfaatkan—oleh entitas tertentu, baik korporasi maupun lembaga kekuasaan.
Semakin banyak orang yang terjebak dalam utang konsumtif, semakin mudah mereka
dikendalikan.
Meski terdengar seperti cerita fiksi,
kenyataannya banyak anak muda yang kini mengalami krisis keuangan personal.
Bukan karena penghasilan yang kecil, tapi karena gaya hidup yang besar.
Ironisnya, krisis ini tersembunyi di balik senyum bahagia di Instagram dan
TikTok.
Pertanyaannya: siapa sebenarnya Rojali
dan Rohana? Apakah mereka benar-benar ada? Atau mereka hanyalah representasi
dari kita semua—yang pernah, sedang, atau bahkan tanpa sadar ikut memainkan
peran dalam drama konsumtif ini?
Mungkin, kita pernah membeli barang
bukan karena butuh, tapi karena ingin diakui. Mungkin, kita pernah merasa malu
tampil sederhana di depan kamera. Dan mungkin juga, kita sedang berjalan di
jalan yang sama dengan mereka: membangun citra palsu, demi validasi yang semu.
Fenomena ini adalah cermin. Ia memaksa
kita melihat lebih dalam: apakah kita masih hidup sesuai nilai, atau sudah
dikendalikan oleh algoritma dan ilusi digital?
Kini
saatnya untuk sadar. Bahwa kebahagiaan sejati tak bisa dibeli dengan cicilan.
Bahwa eksistensi tak harus dibuktikan lewat barang mewah. Dan bahwa hidup
bukanlah lomba pamer, tapi perjalanan mengenal diri sendiri. Rojali dan Rohana
mungkin akan terus viral. Tapi kita punya pilihan: menjadi penonton, pengikut,
atau justru memutus rantai palsu ini, dan mulai hidup dengan jujur pada diri
sendiri.
No comments:
Post a Comment