Pernah
dengar istilah Rojali dan Rohana?
Dua kata ini belakangan sering muncul di media sosial, terutama saat orang
membicarakan gaya hidup yang kelihatan serba mewah, tapi ternyata penuh trik di
balik layar. Buat yang belum tahu, Rojali adalah singkatan dari Rombongan Jarang
Liburan, sementara Rohana adalah Rombongan Hanya Andalkan Nama.
Istilah ini muncul sebagai sindiran sekaligus candaan untuk fenomena flexing
alias pamer gaya hidup glamor di dunia maya.
Dari
Mana Asalnya Istilah Rojali dan Rohana?
Fenomena
ini sebenarnya lahir dari kebiasaan anak muda (dan juga orang dewasa) yang
ingin terlihat keren di media sosial. Rojali sering digambarkan sebagai
kelompok orang yang jarang benar-benar liburan, tapi sekali jalan, langsung
bikin dokumentasi seolah-olah traveling ke berbagai tempat. Kadang cukup dengan
stok foto lama atau hasil jepretan di satu spot, lalu diunggah berkala agar
terlihat sering jalan-jalan.
Sementara
Rohana, biasanya dipakai untuk mereka yang suka menempel pada nama besar atau
momen tertentu. Misalnya, hadir di acara bergengsi atau nongkrong di kafe hits
sekali dua kali, tapi fotonya bisa jadi bahan pamer berulang-ulang. Dari luar
terlihat “wah banget”, padahal kehidupan sehari-harinya tidak seindah feed yang
ditampilkan.
Media
Sosial dan Ilusi Kehidupan Mewah
Tak bisa
dipungkiri, media sosial memang memudahkan siapa saja untuk membangun citra.
Dengan filter, caption manis, dan sedikit strategi pengunggahan, hidup bisa
tampak jauh lebih glamor daripada kenyataannya. Fenomena Rojali dan Rohana jadi
semacam cermin, bagaimana banyak orang berlomba-lomba memperlihatkan versi
terbaik dirinya, meski kadang penuh kepalsuan.
Masalahnya,
budaya pamer ini bisa menimbulkan efek domino. Orang yang melihat feed glamor
mungkin merasa hidupnya tertinggal, padahal kenyataannya, yang dipamerkan hanya
sepotong kecil realitas. Dari sinilah muncul istilah lucu sekaligus kritis:
Rojali dan Rohana.
Antara
Hiburan dan Tekanan Sosial
Fenomena
ini sebenarnya bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, apa yang dilakukan
Rojali dan Rohana bisa dianggap hiburan belaka. Sah-sah saja mengatur feed agar
terlihat keren, karena media sosial memang tempat untuk mengekspresikan diri.
Namun, di
sisi lain, jika tidak bijak, tren ini bisa menciptakan tekanan sosial. Banyak
orang merasa harus selalu tampil keren, update, dan terlihat mapan agar tidak
kalah gengsi. Padahal, hidup nyata tentu jauh lebih kompleks dari sekadar foto
liburan atau nongkrong di tempat mahal.
Kenapa
Orang Suka Jadi Rojali dan Rohana?
Ada
beberapa alasan kenapa fenomena ini cukup populer:
1. Ingin Diakui – Di era digital, validasi
sosial sering datang lewat likes dan komentar. Feed glamor bisa meningkatkan
rasa percaya diri.
2. FOMO (Fear of Missing Out) – Takut
terlihat ketinggalan tren membuat orang ikut-ikutan memamerkan momen tertentu.
3. Kreativitas Visual – Sebagian orang
memang suka bermain estetika, jadi feed mereka disusun dengan sengaja, meski
ceritanya tidak selalu sama dengan kenyataan.
4. Tekanan Lingkungan – Ada yang merasa
perlu menunjukkan citra “sukses” agar sesuai ekspektasi sosial.
Belajar
Bijak dari Fenomena Ini
Bukan
berarti kita harus menghakimi Rojali dan Rohana. Justru dari fenomena ini, kita
bisa belajar lebih kritis dalam melihat media sosial. Apa yang tampak glamor
belum tentu mencerminkan kehidupan nyata. Jangan sampai kita terjebak
membandingkan diri dengan sesuatu yang sebenarnya ilusi.
Selain
itu, penting juga untuk mengingat bahwa hidup tidak perlu selalu terlihat
sempurna. Keaslian seringkali lebih berharga daripada pencitraan. Orang mungkin
bisa terkesan dengan feed glamor, tapi koneksi yang tulus dan cerita yang jujur
justru meninggalkan kesan lebih dalam.
Fenomena Rojali dan Rohana hanyalah potret
kecil dari budaya digital kita saat ini. Ia bisa jadi bahan candaan, tapi juga
bisa menjadi pengingat agar tidak mudah terjebak ilusi media sosial. Di balik
feed glamor, ada realitas yang jauh lebih sederhana, kadang bahkan penuh
perjuangan. Jadi, daripada sibuk meniru Rojali atau Rohana, mungkin lebih baik
kita fokus pada kebahagiaan nyata yang kita rasakan. Toh, pada akhirnya, hidup
bukan tentang seberapa keren feed kita, melainkan seberapa tulus kita menikmati
perjalanan yang sesungguhnya.
2. Gambar dari google dan pinterest dan diedit oleh Chatgpt
No comments:
Post a Comment