OPTIMALISASI MEMBENTUK KARAKTER MENGGUNAKAN STIMULUS OTAK KANAN DAN OTAK KIRI PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA

(Dra. Susiana Suryandari, M.Pd)
I. PENDAHULUAN
Jika kita menengok kondisi saat ini, sekolah masih dianggap suatu aktifitas yang mengasikkan justru di luar jam pelajaran, tetapi bila di dalam kelas mereka merasa terbebani. Hal ini tampak dari meriahnya sorak siswa jika mereka mendengar pengumuman pulang pagi ada rapat guru. Wajah mereka gembira seakan terlepas bebas dari belenggu. Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai obyek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini banyak siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Tak sedikit siswa yang mengeluh, matematika hanya bikin pusing dan stres (Sindhunata, 2004:3).
Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai obyek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini banyak siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika. Tak sedikit siswa yang mengeluh, matematika hanya bikin pusing dan stres (Sindhunata, 2004:3). Tujuan dan kurikulum matematika di dalam kelas masih berbasis “matematika untuk matematikawan” bukan “matematika untuk murid” dengan fokus pada aplikasi kehidupan riil (Lange, dalam Suryandari, 2008). Dari pengamatan kami sebagai peneliti dan guru yang mengajar 21 tahun.
Guru sebagai ujung tombak transformasi ilmu dan membentuk karakter pada anak didiknya harus memiliki kreatifitas tinggi. Guru harus selalu mengupayakan pembelajaran di kelas sehingga dapat membuahkan hasil yang bermakna sesuai dengan tuntutan jaman dan kurikulum saat ini secara optimal. Secara mikro guru harus ditemukan model pembelajaran yang efektif di kelas. Bagaimana sekarang membuat pelajaran matematika menjadi pelajaran favorit siswa dan siswa berlomba-lomba menduduki kursi bagian depan untuk mengikuti pembelajaran yang kita ampu. Model pembelajaran yang dipilih haruslah menarik minat, menyenangkan dan bermakna.
Metode belajar ini diadopsi dari beberapa teori sugesti, teori otak kanan dan kiri, teori triune, pilihan modalitas (visual, audiovisual dan kinestetik) dan pendidikan holistik. Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, tahun 1999 di Amerika Serikat dikembangkan sebuah pendekatan pengajaran yang disebut Quantum Leaning oleh Bobbi de Poerter dan Mike Hernacki. Hasil penelitian itu menunjukkan penerapan konsep Quantum Teaching berhasil mendongkrak potensi psikis siswa, terjadi peningkatan motivasi 80%, nilai belajar 73% dan memperbesar keyakinan diri 81% ( De Porter, 2004:4).
Optimasi Stimulus otak kanan dan otak kiri dalam pembelajaran matematika bagi siswa SMA diharapkan dapat memaksimalkan motivasi belajar matematika dan diupayakan merupakan salah satu strategi pembelajaran matematika yang dapat meningkatkan hasil belajar matematika di SMA serta meningkatkan prestasi siswa sebagai acuan optimasi pembentukan karakter.
1. 2 Rumusan Masalah.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu :
a. Apakah terdapat pengaruh perilaku dan sikap pembentukan karakter pada pembelajaran matematika menggunakan Stimulus otak kanan dan otak kiri di SMA kelas XI terhadap hasil belajar matematika?.
b. Apakah Stimulus otak kanan dan otak kiri ini dapat mencapai ketuntasan belajar matematika di SMA kelas XI?.
c. Apakah Penerapan model pembelajaran Stimulus otak kanan dan otak kiri ini dapat mencapai target prestasi?.
1. 3 Tujuan dan Kegunaan Karya Ilmiah
Tujuan Umum : Tujuan yang ingin dicapai adalah : menambah wawasan guru tentang strategi Stimulus otak kanan dan otak kiri ini untuk membentuk karakter melalui motivasi internal.
Tujuan Khusus :
a. Mengetahui apakah terdapat pengaruh perilaku dan sikap pembentukan karakter pada pembelajaran matematika menggunakan Stimulus otak kanan dan otak kiri di SMA terhadap hasil belajar matematika?.
b. Mengetahui apakah Stimulus otak kanan dan otak kiri ini dapat mencapai ketuntasan belajar matematika di SMA kelas XI?.
c. Penerapan model pembelajaran Stimulus otak kanan dan otak kiri ini dapat mencapai target prestasi dalam kompetisi lomba
1. 4 Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ini merupakan “self reflective teaching”yang dilaksanakan pada di SMA Taruna Nusantara Magelang periode tahun 2010 ini akan memberikan manfaat yang berarti.
1. Bagi guru : lebih mengenal dan bertambah wawasannya dalam hal stategi pembelajaran matematika dalam menunjang mengoptimasikan pembentukan karakter dalam pendidikan, sehingga guru akan yang lebih kreatif, dinamis untuk membuat pembelajaran lebih menyenangkan.
2. Bagi siswa : sangat menguntungkan siswa karena siswa adalah subyek langsung, yang dikenai tindakan, semestinya ada perubahan dalam diri siswa dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotor yang lebih efektif.
II. Kajian Pustaka
2. 1 Optimasi Membentukkan Karakter bermula dari Motivasi
Karakter didalam kurikulum pendidikan matematika yang dikembangkan terdiri dari : Ketelitian, Kreatif, Pantang menyerah dan Rasa ingin tahu. Hal ini dapat di optimasikan dengan mengembangkan lebih jauh dengan karakter-karakter seperti kepemimpinan, keberanian, kerja keras, disiplin, mandiri, komunikatif, tanggungjawab, peduli lingkungan dan menghargai prestasi.
Menurut Hamzah Uno, (2006, hal 5) mengemukakan Motivasi merupakan kekuatan karakter yang mendorong seseorang melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannya. Kekuatan-kekuatan pada dasarnya dirangsang oleh kebutuhan. Keinginan yang hendak dipenuhi (Needs desires), Tingkah laku ( behavior), Tujuan (Goals), Umpan balik ( Feedback),
Brobby (dalam Hamzah Uno, 2006) mengemukakan suatu strategi motivasi yang digunakan guru untuk memberikan stimulus siswa agar produktif dalam belajar adalah: Keterkaitan dengan kondisi lingkungan yang berisi lingkungan kondusif, kondisi tingkat kesukaran, kondisi belajar yang dengan strategi bermakna Dengan kata lain motivasi merupakan dorongan yang terdapat dalam diri seorang siswa untuk berusaha mengadakan perubahaan tingkah laku yang dapat diiterpretasikan dalam tingkah laku berupa optimasi rangsangan, dorongan dan keingintahuan. Berikut ini beberapa upaya guru untuk mempertahankan dan meningkatkan motivasi belajar (Hamalik, 2001) :
(1) Mengkaitkan tujuan belajar dengan tujuan siswa, sehingga tujuan belajar menjadi menjadi tujuan siswa atau sama dengan tujuan siswa
(2) Membuat pelajaran penuh arti, yaitu :
(a) Mengkaitkan bahan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari , (b) Mengkaitkan bahan pelajaran dengan pengalaman siswa, (c) Membuat penyajian lebih menarik, yaitu dengan memilih model atau metode pembelajaran yang membuat siswa lebih perhatian.
2. 2 Otak Kanan dan Otak Kiri Manusia
Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linier dan rasional, cara berpikirnya sesuai dengan ekspresi verbal, menulis, membaca, , menempatkan detail dan fakta, fonetik dan simbolisme. Cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik, sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang), kesadaran spesial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi. Kedua belahan otak penting artinya, orang yang sering memanfaatkan kedua belahan otak ini juga akan “seimbang” dalam setiap aspek kehidupan mereka. Belajar juga terasa sangat mudah bagi mereka karena mempunyai pilihan untuk menggunakan bagian otak yang diperlukan setiap pekerjaan yang dihadapi.
Untuk menyeimbangkan terhadap otak kiri, perlu dimasukkan musik dan estetika dalam pengalaman belajar, semua itu menimbulkan emosi positif yang membuat otak bekerja efektif. (DePorter & Hernacki,2002, h. 14).
Gambar 1 : Otak Kanan dan Otak Kiri Manusia
2. 3 Quantum Learning
Quantum Learning adalah metode belajar temuan Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebut suggestology atau suggestopedia. Prinsipnya adalah bahwa sugesti adalah dapat mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun menghasilkan sugesti positif atau negatif. Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster/joke-joke untuk memberi kesan sambil menonjolkan informasi dan menyediakan guru-guru yang terlatih dalam seni pengajaran sugestif. (DePorter & Hernacki, 2002).
Gambar 2 : Model Quantum Leaning versi penelitian Jeannette Vos
Quantum Teaching bersandar pada konsep : “Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka”, maksudnya adalah agar mengingatkan kita pada pentingnya memasuki dunia murid sebagai “langkah pertama”, masuki dahulu dunia murid, maka mereka akan memberi ijin untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanan mereka menuju kesadaran dan ilmu pengetahuan yang lebih luas. Guru perlu memiliki Emotional Intelligence, yaitu kemampuan untuk mengelola emosi.
Gambar 3 : Model Quantum Leaning versi De Porter & Hernacki
2.4 Kerangka Berfikir
Berdasarkan tinjauan teori dari buku-buku dan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan permasalahan tersebut maka peneliti berasumsi : Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satuya adalah motivasi, sarana prasarana serta fasilitas belajar mengajar, didukung faktor guru terutama metoda pembelajaran yang digunakan guru.
Model Stimulus otak kanan dan otak kiri sebagai salah satu komponen proses belajar Mengajar merupakan faktor yang mempengaruhi motivasi siswa. Dalam model Stimulus otak kanan dan otak kiri terdapat unsur-unsur yang secara efektif dapat merangsang keterlibatan siswa dalam proses belajar yang diharapkan, menyebabkan peningkatan semangat dan motivasinya. Peningkatan motivasi belajar diharapkan memberikan pengaruh pada meningkatnya hasil belajar pada pembelajaran matematika,
2. 5 Hipotesis
Berdasarkan kerangka teoritik tersebut maka hipotesis tindakan kelas dalam penelitian ini adalah:
a. Terdapat pengaruh perilaku dan sikap pembentukan karakter pada pembelajaran matematika menggunakan Stimulus otak kanan dan otak kiri di SMA kelas XI terhadap hasil belajar matematika.
b. Penerapan Stimulus otak kanan dan otak kiri ini dapat mencapai ketuntasan pembelajaran matematika di SMA.
c. Penerapan model pembelajaran Optimasi stimulus otak kanan dan otak kiri ini dapat mencapai target prestasi.

III. METODE PENELITIAN

3. 1 Setting Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMA Taruna Nusantara Magelang. Subyek penelitian ini siswa kelas XI IPA-6 SMA Taruna Nusantara tahun pelajaran 2009/2010 sebanyak 30 orang, 23 siswa putra dan 7 siswa putri. Penelitian tindakan kelas ini terdiri atas 2 siklus, tiap siklus dilaksanakan sesuai dengan dinamika yang ingin dicapai yang mengacu pada tujuan penelitian.
Faktor siswa yang akan diselidiki yaitu sejauh mana keterlibatan pembentukan karakter dalam proses belajar Stimulus otak kanan dan otak kiri diamati dengan pedoman pemantauan proses, tanggapan siswa-siswa setelah diajar dengan strategi Stimulus otak kanan dan otak kiri dijaring dengan menggunakan angket. Konsep pokok penelitian menggunakan konsep Kurt Lewin (Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1990:20), yaitu : (a) perencanaan (planning), (b) tindakan (acting), (c) observasi (observising) dan (d) refleksi (reflecting). Divisualisasikan sebagai berikut :
Gambar 4 : Konsep Penelitian Kurt Lewin
3. 2 Variabel Penelitian
1. Variabel indepeden /varibel bebas adalah motivasi siswa kelas XI-IPA-6 SMA Taruna Nusantara Magelang tahun pelajaran 2010/2011 selama dua siklus.
2. Variabel dependen / variabel terikat hasil belajar berbentuk aspek kognitif siswa kelas XI-6 IPA SMA Taruna Nusantara Magelang Tahun Pelajaran 2010/2011 selama dua siklus
3. 3 Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini menggunakan beberapa metoda adalah : dokumentasi, tes, angket dan pengamatan serta hasil kompetisi. Untuk instrumen penelitian yang adalah angket dan pengamatan untuk mengetahui seberapa besar motivasi siswa, sedangkan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai selama menggunakan “Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri digunakan instrumen Tes.
3. 4 Analisis Instrumen Soal Perangkat Uji
Sebelum diuji cobakan pada kelas penelitian instrumen soal diujicobakan dengan kelas lain, selanjutnya dianalisis. Untuk instrumen variabel motivasi di atas, uji validitasnya akan dilakukan dengan cara konsultasi ahli/dosen pembimbing, sedangkan untuk instrumen variabel hasil belajar dilakukan uji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya pembeda. Menggunakan program Analisis ITEMAN. Ver 3.0
3. 5 Pengujian Hipotesis.
Setelah berakhirnya tiap siklus tindakan selanjutnya adalah menganalisis hipotetis. Pada penelitian ini analisis yang dipakai adalah sebagai berikut:
a. Analisis Regresi untuk Mengetahui pengaruh yang positif optimasi pembentukan karakter terhadap hasil belajar pada pembelajaran matematika pada materi statistika pada pembelajaran “ Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri “ terhadap hasil belajar.
b. Uji t pihak kanan dipakai One-Sample Test Indikator Ketuntasan Belajar dengan Optimasi Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri, digunakan untuk mengetahui ketuntasan belajar matematika.
3. 6 Indikator Kinerja
1). Indikator kinerja ketuntasan belajar
a. Ketuntasan secara individu, yaitu siswa dikatakan tuntas belajar apabila pada akhir eksperimen memperoleh nilai hasil belajar berdasarkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 70
b. Ketuntasan secara klasikal, yaitu apabila siswa yang mengalami tuntas belajar individu mencapai Target indikator tuntas, 75 % dari seluruh jumlah siswa di kelas tersebut. Penilaian skoring dengan rentang 0 sd 100.
2). Indikator kinerja aktivitas, motivasi dan ketrampilan proses siswa. Terdapatnya pengaruh yang positif aktivitas, motivasi dan ketrampilan proses siswa terhadap hasil belajar. Kadar motivasi dengan skala likert (1 – 5). Target keberhasilan 70%.
3) Dengan pembelajaran Optimasi Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri .Target Prestasi siswa dapat memenangkan dalam kompetisi lomba matematika minimal regional
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1. Hasil Penelitian
Berikut telah dilakukan penelitian tindakan kelas tentang Optimasi pembentukan karakter menggunakan penerapan Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri dalam memberikan pengaruh pada meningkatnya hasil belajar pada pembelajaran matematika di SMA Taruna Nusantara Magelang kelas XI IPA tahun pelajaran 2009/2010.
4. 1. 1 Regresi.
Pengujian ini ingin mengetahui persamaan regresi, korelasi, serta seberapa besar pengaruh karakter terhadap hasil belajar tiap siklus. Untuk mengetahui seberapa kelinearan regresi .
Ho : β = 0 dimana β = ( persamaan adalah tidak linier.)
Ho : β ¹ 0 dimana β = ( persamaan adalah linier)
a. Table anova dengan tingkat signifikan dibawah 0,05. berarti Ho ditolak artinya persamaan merupakan persamaan linier.
b. Output Cofficients untuk mengetahui koofisien regresi dan persamaan regresi
c. Output Model Summary untuk mengetahui pengaruh Motivasi (R) dan seberapa besar pengaruh kontribusi R2 ( Xi = karakter) terhadap Hasil belajar matematika.
Siklus I rata-rata motivasi : 69,63 dan rata-rata hasil belajar : 72,83
Siklus II rata-rata motivasi : 74,53 dan rata-rata hasil belajar : 79,50
Gambar 5 :
Diagram Rata-rata Motivasi dan Hasil belajar Rekap Output SPSS Analisis Pengaruh Pembentukan karakter pada Penerapan Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri terhadap Hasil Belajar
Tabel 1 : Rekap Output SPSS Analisis
TABEL
SIKLUS I
SIKLUS II
a. Output
Anova
F hitung = 37,8
Tingkat sig 0,00
F hitung = 99,53
Tingkat sig 0,00
b. Output
Cofficients
Model B
Constant = 0,9
Motiv 1 = 1,045
Model B
Constant = 0,629
Motiv 1 = 1,039
c. Output Model Summary
R = 0,758
R2 = 0,575
R = 0,883
R2 = 0,780
(Rekap Dari lampiran 1,2 dan 3)
Pada siklus I nilai rata-rata nilai 72,83, siswa yang tuntas belajar 19 orang dengan ketuntasan klasikal 64%. Pada akhir siklus II nilai rata-rata hasil belajar 71,7 yang tuntas ada 23 orang dengan ketuntasan klasikal 77%. Siklus ke II nilai rata-rata hasil belajar 79,5 dengan 24 orang tuntas dengan ketuntasan klasikal 80%. Hasil angket /kuisoner yang diberikan pada siswa menunjukkan tanggapan yang positif dari siswa mengenai pembelajaran menggunakan Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri . Selain itu terjadi perubahaan sikap dan karakter rasa menyukai dam memiliki terhadap kegiatan pembelajaran matematika tersebut, ditandai adanya peningkatan motivasi siswa yang mengalami ketuntasan. Angka korelasi yang positif menunjukkan semakin besar karakter dalam memotivasi siswa akan membuat nilai hasil belajar cenderung meningkat..
4. 1. 2. One- Sample Test
Untuk mencapai ketuntasan variable motivasi terhadap hasil belajar di uji dengan statistic t compere mean one sample. Dalam penelitian Tindakan kelas ini kasus terdiri atas satu sampel yang akan dipakai dengan nilai pembanding 70. Hasil belajar siklus II, siswa memiliki nilai rata-rata 79,5. Hipotesis penelitian
Uji Ketuntasan Hasil Belajar
Ho : μ = 70 (target indikator hasil belajar 7,0 tidak tercapai )
Ha : μ ¹ 70 (target indikator hasil belajar 7,0 tercapai )
Analisis Uji Ketuntasan Hasil belajar :
Pada lampiran 3 terlihat di uji dengan uji One –Samlpe test Indikator Ketuntasan t-test berkorelasi uji pihak kanan. Dari output tabel SPSS ver. 11.5 terlihat t hitung adalah 4,532 dengan nilai signifikansi 0%, derajat kebebasan 29, t tabel = 2,045. Oleh karena t hitung > t tabel, maka Ho ditolak, atau target indikator hasil belajar 70 tercapai, dalam hal ini memenuhi target ketuntasan. Rata-rata klasikal 79,5 dengan standar deviasi 11,48 dapat dikatakan bahwa setelah diterapkan Optimasi Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri dalam meningkatkatkan hasil belajar siswa dapat mencapai ketuntasan .
4. 2 Pembahasan
Pembelajaran yang dipakai pada pembelajaran ini dengan obsesi “Ingin menjadikan pelajaran Matematika yang tadinya dianggap sulit akan menjadi mudah, matematika yang menakutkan dan membosankan menjadi menyenangkan”. Pembelajaran yang dipakai Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri kunci utamanya menggunakan musik, music digunakan untuk meningkatkan semangat, merangsang pengalaman, menumbuhkan relaksasi, meningkatkan focus, membina hubungan, member inspirasi dan membuat rasa nyaman. Realisasi diwujudkidalam kegiatan dikelas sebagai berikut :

a. Menciptakan suasana rileks dan nyaman dengan memutarkan musik pop, instrumen atau klasik pelan-pelan selama proses belajar mengajar, Pada awalnya di awali musik pembuka berupa tayangan slide serta selipkan sentuhan emosi agar memberikan awal pembelajaran yang indah
Gambar 6: Pembukaan dalam Optimasasi pembentukan karakter menggunakan Stimulus Otak kanan dan Otak Kiri dengan sentuhan emosional dan kasih sayang
b. Pembelajaran secara klasikal dengan menyampaikan konsep-konsep informatif menggunakan LCD dengan program power point, usahakan menarik perhatian siswa dengan audiovisual. Bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti video compact disk, film.gambar dan animasi yang berhubungan dengan materi pembelajaran atau menyisipkan joke-joke. Misalnya disajikan dalam desain animasi audio visual yang dijadikan berupa trip film yang di-skenariokan. Dengan clip tayangan yang berbeda dari biasanya. Contohnya sebagai berikut :
Gambar 7 : Trip audiovisual bergerak yang di scenario
c. Mengorkestrasi keadaan ruang kelas, yaitu pengaturan tempat duduk sesuai dengan metode pembelajaran yang diterapkan.
d. Meningkatkan pembentukan karakter dalam hal motivasi dan minat dengan menceritakan kegunaan materi yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari dan hubungannya dengan ilmu lain atau topik matematika lain, atau kata kunci untuk konsep, model, rumus matematika, memberi kesempatan bagi siswa untuk maju mengerjakan di papan tulis, memberikan pengakuan untuk penyelesaian, perolehan.dengan point nilai, hadiah kecil atau pujian.
Bila sedang berbicara guru memberi rangsangan visual yang mengingatkan siswanya bahwa “ Anda mampu untuk menjadi orang yang istimewa”. Langkah-langkah lain yang dapat dilakukan dalam :
- Pemacu semangat ( slogan atau kata-kata mutiara). Dimana siswa diarahkan memiliki kecerdasan, kekuatan dan keajaiban didalam dirinya untuk menciptakan karakter pantang menyerah.
- Menghargai prestasi yang diterima. Hal ini mengingatkan bahwa kepada siswa “ Anda orang yang berbakat dan mampu berprestasi”.
- Dukungan “ Saat Puncak”. Saat puncak adalah saat dalam hidup dapat melakukan sesuatu dengan sangat baik, hal ini termasuk peng-anugrahaan penghargaan yang menyertainya pada siswa, dalam Stimulus Otak kanan dan Otak Kiri yang disajikan dalam tampilannya sebagai berikut
Gambar 8 : Contoh Tampilan untuk Memotivasi siswa
e.. Meningkatkan daya dengar orang dengan mengikuti prinsip-prinsip karakter komunikasi ampuh , memperhatikan tinggi rendah suara, cepat-lambat.
f. Meningkatkan kehalusan transisi mempengaruhi perilaku dan karakter siswa melalui contoh tindakan guru. Meningkatkan daya ingat dan pemahaman dengan menggunakan media dan yang sesuai dengan materi, Salah satu contohnya sebagai awal pembuka materi dalam slide power point.
Dengan penerapan Stimulus Otak kanan dan Otak Kiri, siswa lebih antusias dalam mengikuti pelajaran. Secara umum Optimalisasi membentukan karakter menggunakan Stimulus Otak kanan dan Otak Kiri menguntungkan siswa, sebab siswa lebih termotivasi selama pembelajaran, siswa tidak ada yang mengantuk karena otak kanan dan otak kiri dikonsentrasikan. Siswa dibuat tereaksi terpukau dengan hal-hal yang menyenangkan tanpa terpaksa dengan disertai alunan musik selama pembelajaran tersebut.
Pembelajaran ini, cara mengajar guru menjadi lebih bervariasi tidak lagi hanya mengajar siswa dengan ceramah yang monoton dan membosankan. Dengan diterapkan pembelajaran Stimulus Otak kanan dan Otak Kiri antara guru dan siswa tidak lagi terlihat kesenjangan jarak.
Model pembelajaran ini berbantuan multimedia (laptop/computer, LCD, Speaker), dengan program power point (disini power pointnya bukan sekedar power point biasa yang hanya berisi slide-slide atau rumus-rumus dengan soal-soal monoton, tapi ada musik instrumental yang enak didengar dan dinikmati, animasi gerak memperindah tayangan, yang berhubungan dengan materi dan situasi pada saat itu. Itulah langkah awal untuk merebut arah pandangan mata siswa, yang pada akhirnya membawa siswa ke arah pembelajaran yang kita inginkan.
Gambar 6 :
Karakter “Pantang Menyerah “ yang ditampilkan secara kreatif dan beda cara penyampaiannya disertai music instrumental.
Pada saat pembelajaran ini siswa merasa gembira, tanpa adanya keterpaksaan dan tanpa tekanan sehingga terlihat tidak ada siswa yang mengantuk disaat pelajaran ini, muskipun pelajaran ini diajarkan pada jam terakhir siang hari. Pembelajaran ini dapat bergantian dengan metode klasikal, cooperative learning, atau belajar mandiri, karena saya juga menyempatkan membuat CD pembelajaran yang dapat dipelajari diluar kelas. Ternyata tanpa saya sadari pertemuan saya di kelas pada pembelajaran matematika berikutnya, kehadiran di depan kelas mereka nantikan.
Pembelajaran Stimulus Otak kanan dan Otak Kiri dapat berhasil dengan baik, sebelum melaksanakan kegiatan guru mempersiapkan dengan matang. Suasana belajar dengan iringan musik ternyata disukai oleh siswa. Dengan pemanfaatan iringan musik disesuaikan dengan materi dan waktu yang ada. Sebaiknya jenis musik disesuai dengan kegemaran siswa atau lagu-lagu yang sedang popular saat itu, misalnya sountrac film yang lagi trend saat itu, untuk mendorong siswa belajar lebih semangat. Apapun kreatifitas dan aktifitas yang dilakukan guru untuk membawa siswanya Jika siswa merasa aman, mereka akan lebih berani mengambil risiko dan lebih banyak menginginkan belajar matematika. kearah yang diinginkan baik berupa pembelajaran matematika maupun karakter yang diinginkan,
5. 3 Pembentukan Karakter menghargai Prestasi dengan Target Prestasi
a. Menciptakan Iklim kompetisi. Tujuan utama mengikuti berbagai kompetisi yaitu meningkatkan citra kelembagaan (image building) dalam rangka untuk meraih pengakuan masyarakat ini adalah prestasi pengakuan dan kepercayaan masyarakat luas adalah melalui berbagai prestasi. Salah satunya upaya untuk meraih pengakuan adalah memenangkan setiap lomba, baik bersifat lokal (regional), nasional maupun internasional.
b. Memupuk Sikap Juara. Mantapkan pada siswa mempunyai karakter untuk mempunyai sikap positif, dan segalanya akan berubah. Tanamkan karakter pada diri siswa “ Apa yang akan anda lakukan jika anda tahu anda tak mungkin gagal”. Berpikir seperti seorang juara membuat anda menjadi juara. Itulah pentingnya mengetahui bagaimana memupuk karakter mengharhai prestasi dan mempunyai sikap juara.
Gambar 9 :
Suasana kelas Optimalisasi membentuk karakter menggunakan Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri pada pembelajaran Matematika.
c. Mempersiapkan siswa ke target Prestasi dalam ajang Kompetisi..
Persiapan menghadapi lomba bagi siswa adalah hal yang tidak mudah dilakukan langkah awal pemacu motivasi. Beberapa Prinsip Motivasi dalam Mengembangan Dalam Pencapaian Target Prestasi yang dilakukan untuk mengembangkan karakter “ kreatif” dalam belajar menggunakan Stimulus Otak Kanan dan Otak Kiri.
4. 3. Hasil yang telah dicapai
Hasil prestasi siswa membawa Tim Matematika SMA Taruna Nusantara Magelang yang telah dicapai membentuk karakter dalam efek menggunakan Stimulus Otak kanan dan otak kiri dalam target prestasi sebagai berikut :
( Bukti otentik foto terdapat di lampiran )
1. OSN 2010 di Medan mendapat medali perak
2. Medali Emas dan Perak 2010 Internasional Competitions and Assessment for School (ICAS) penyelenggara Australia
3. Juara 1, 2 dan 3 Lomba Matematic Logic di Universitas Sugiopranoto. 2010
4. No 2 dan 4 Competisi Matematika se Jawa 2010 di UNNES di Semarang
5. Juara 2 Competisi Matematika se Indonesia 2010 di ITB Bandung.
6. Juara Harapan 1 Competisi Matematika se Jateng 2010 dii UNS, Surakarta
7. Juara 3 Competisi Matematika 2010 se Jawa di UNDIP, Semarang.
8. Juara 1 Competisi Matematika se Jateng dan DIY 2011 di UNY Yogyakarta.
9. Perwakilan Indonesia Internasional Matematics Olimpiade (IMO) ke Belanda 2011 (mendapatkan Perunggu)
V. SIMPULAN DAN SARAN
5. 1 . Kesimpulan
1. Dengan diterapkannya pembelajaran model Optimasi Stimulus Otak kanan dan Otak Kirisiswa mengalami peningkatan dalam setiap siklusnya berturut-turut 69,63%, dan 74,53%. Rata-rata hasil belajar siswa setiap siklusnya berturut-turut 72,83 dan 79,5 dengan jumlah siswa yang memperoleh nilai ketuntasan individu sebanyak 19 siswa (64%) meningkat sampai pada siklus II menjadi 24 siswa (80%). Sehingga dengan target ketuntasan nilai 70 dapat tercapai.
2. Terdapat pengaruh yang positif dengan pembentukan karakter dengan hasil belajar siswa kelas XI IPA SMA Taruna Nusantara Magelang. Motivasi siswa dalam pembentukan karakter siswa memiliki pengaruh/kontribusi yang besar terhadap hasil belajar.
5. 2. Saran
1. Stimulus Otak Kanan dan Otak kiri ini sangat bermanfaat dalan pendidikan, dapat dikembangkan dan dilaksanakan tidak hanya pada pembelajaran Matematika akan tetapi dapat dipakai pada mata pelajaran lain.
2. Sekolah SMA/SMP perlu mempunyai LCD agar dapat mendukung pembelajaran ini agar kreatifitas guru dapat dikembangkan untuk mendukung pembelajarannya agar guru agar dapat mendukung dalam pembentukan karakter.
3. Diknas Kabupatem/ Kodya memberi kesempatan seluasnya guru-gurunya untuk melihat dan mengikutsertahan dalam workshop/ pelatihan yang bertema model pembelajaran dengan menerapkan karakter dalan dunia pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
De Porter, Bobbi. & Mike Hernacki. 2002. Quantum Learning. Penerbit Kaifa. Bandung
De Porter, Bobbi. & Mark Reardon, Sarah Singer Nourie . 2002. Quantum Teaching. Penerbit Kaifa. Bandung.
De Porter, Bobbi. dkk . 2004. Quantum Teaching Mempraktekkan Quantum Learningdi Ruang- Ruang Kelas. Penerbit Kaifa. Bandung.
De Porter, Bobbi. dkk . 2010. Quantum Teaching Mempraktekkan Quantum Learningdi Ruang- Ruang Kelas. Penerbit Kaifa. Bandung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia cetakan ke-4. Jakarta, Balai Pustaka.
Hamzah U, 2007. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Hamalik, O. 2001. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta : Bumi Aksara.
Sindhunata, 2004. Mengasah Rasa Matematika. BASIS Edisi Khusus Pendidikan Matematika 07-08.53. Juli-Agustus 2004. Hal 3
Suryandari, 2008. Efektifitas Pembelajaran Matematika Cooperative Learning STAD Berbasis Teknologi dan Keunggulan pada matei Volume Banda Putar di Sekolah Berasrama Penuh ( Boarding School). Tesis: jurusan Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang.
Waluya. S.B. 2006. Multimedia Pembelajaran. FPMIPA UNNES
.

KEBERLANJUTAN SEKOLAH PEKERJA ANAK: Studi Kasus Dinamika Psikologis Pekerja Anak Sektor Batik di Kabupaten Pekalongan

Siti Mumun Muniroh, S.Psi., MA
(Dosen/Peneliti STAIN Pekalongan)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis keberlangsungan sekolah pekerja anak sektor batik di Pekalongan. Pekerja anak adalah sebuah fenomena universal di beberapa negara bagian di dunia. International Labour Organization mengemukakan terdapat sekitar 210 milyar anak-anak di dunia berusia di bawah 15 tahun telah bekerja dan menjadi pekerja anak. Dari segi pendidikan, anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung mudah putus sekolah, baik putus sekolah karena bekerja terlebih dahulu atau putus sekolah dahulu baru kemudian bekerja.
Penelitian ini menggunakan paradigma dan pendekatan kualitatif dengan tradisi studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode yaitu interview, observasi dan dokumentasi. Kriteria responden yang dipilih adalah pekerja anak di sektor batik, berusia 9-15 tahun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja anak yang putus sekolah pada umumnya memiliki motivasi kerja untuk mendapatkan penghasilan. Sedangkan pekerja anak yang masih sekolah, lebih termotivasi oleh perasaan iba terhadap orang tuanya ketika bekerja. Kondisi afektif pekerja anak menghadapi masalah keberlangsungan sekolahnya berbeda-beda. Ada yang merasa kecewa tidak bisa melanjutkan sekolahnya, biasa-biasa saja atau malah justru senang karena sudah terbebas dari kewajiban bersekolah. Pandangan pekerja anak terhadap orang tua, guru dan juragan pada umumnya positif. Orang tua, guru dan juragan dipandang sebagai orang yang baik dan peduli terhadap pendidikan meskipun bentuk kepedulian yang ditunjukkan berbeda-beda.
Pekerja anak putus sekolah cenderung tidak memiliki harapan untuk kembali ke sekolah karena mereka telah merasa senang bekerja. Berbeda dengan pekerja anak yang masih sekolah, mereka memiliki harapan ingin melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dan memiliki cita-cita ingin menjadi guru dan polwan.
Kata Kunci : Keberlanjutan sekolah, Dinamika psikologis, Pekerja anak
SCHOOL CONTINUITY OF CHILD LABOUR:
The Case Study of Psychological Dinamics of Child Labour in Batik Sector
in Pekalongan Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know the psychological dynamics of child labour in Batik sector in Pekalongan. Child labour is a universal phenomenon in many countries in the world. International Labour Organization proposes that there are 210 billions of underage 15 years old children in the world worked and had been children labour. On educational perspective, child labour is pointed out to prone to break their school, either breaking their school firstly because of working or breaking their school and working then.
This case study research applied interview, observation and documentation for collecting data. The subjects were 9-15 years old child labour in Batik sector.
The findings of this research show that school breakout child labour generally motivated to work only to earn, whereas the school child labour, more motivated by pity feeling of their parents. The children labour affective condition has different ways in order to face the problems of school continuity. Some felt disappointed on failure to continue their school, some felt so-so, and some others felt happy because of school duties-free.
Generally, child labour was excited when they help their parents or when they work in the owner of the interprise. They also felt proud because they could help out their parents’ burdens. Commonly, the school breakout child labour have a positive thinking about their parents, teachers and the owner of Batik inteprise. Parents, teachers and the owner of Batik inteprise was viewed as a kind person and care to education although they show the different ways in caring.
The school breakout child labour tend to have no any desires for coming back to their school because of feeling happy in working. It differs with the school children, which still have an expectation to continue to the higher education and have aspiration to be a teacher or policewoman.
Keywords: School continuity, psychological dynamis, child labour
PENDAHULUAN
Menurut Langeveld (Hasbullah, 2009) pendidikan pada masa anak-anak sangat penting karena dapat membantu membekali anak menuju kedewasaan dan dapat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Tim Penyusun Sisdiknas, 2003). Salah satu lingkungan yang mendapatkan mandat dari orang tua untuk melakukan pendidikan pada anak-anak mereka adalah sekolah.
Kebiasaan untuk mencapai sukses harus ditanamkan sejak usia anak, mengingat kebiasaan ini cenderung akan menetap sampai dewasa (Hurlock, 2006). Prestasi belajar di sekolah menjadi penting untuk dicapai karena anak yang berprestasi cenderung lebih tekun dan memiliki motivasi yang tinggi (Lens. dkk., 2005). Selain itu, menurut Nylor (Desmita, 2009) anak yang berprestasi juga memiliki penilaian diri yang tinggi serta menunjukkan hubungan antar pribadi yang positif pula. Oleh karena itu pencapaian prestasi belajar di sekolah menjadi sangat penting (El-Anzy, 2005; Shih, 2005)
Lens. dkk., (2005) mengungkapkan bahwa proses pembelajaran dan pencapaiannya akan terganggu ketika siswa memadukan dua aktivitas yaitu bekerja dan sekolah. Hal ini khususnya terjadi pada siswa yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah dan menghadapi kesulitan ekonomi (Slavin, 2009). Dalam keluarga tersebut, anak terpaksa harus membantu orang tua dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan menjadi pekerja anak.
Pekerja anak adalah sebuah fenomena universal dan sebuah realita di beberapa negara bagian di dunia. International Labour Organization mengemukakan terdapat sekitar 210 milyar anak-anak di dunia berusia di bawah 15 tahun telah bekerja dan menjadi pekerja anak. Fenomena ini tersebar di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Selatan (Nimbona, dkk. 2005). Terdapat sekelompok anak di Amerika bekerja menjadi pedagang asongan dan industri jasa (Rauscher, dkk. 2008). Anak-anak di Ethiopia selatan banyak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi keluarga, seperti membantu berjualan di pasar, membantu pekerjaan orang tua di rumah serta kegiatan produktif lainnya (Abebe & Kjorholt, 2009). Sebagian anak-anak di India bekerja di industri penggosokan mutiara (Tiwari. dkk.,, 2009) sebagian lainnya bekerja di industri pembakaran batu bata (Brukuth, 2005). Hasil penelitian Mehrotra dan Biggeri (2002) menunjukkan sejumlah anak-anak bekerja di beberapa negara Asia seperti India, Pakistan, Thailand, Filipina dan Indonesia.
Anak-anak yang bekerja di Indonesia tersebar di beberapa sektor seperti industri mebel rotan, industri kerajinan keramik, industri batik dan sebagainya (Mehrotra & Biggeri, 2002). Akar masalah ini dapat ditelusuri semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997. Salah satu dampak krisis yang paling menonjol adalah meningkatnya jumlah rakyat yang miskin. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik, 2009) pada maret 2009 angka kemiskinan berjumlah 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia.
Data mengenai jumlah pekerja anak di Indonesia ini senantiasa mengalami perubahan, karena setiap waktu selalu terjadi peningkatan jumlah pekerja anak. Berdasarkan data Depnakertrans, menunjukkan pada tahun 1995 jumlah pekerja anak mencapai 1.644 juta jiwa, meningkat menjadi 1.768 juta jiwa pada tahun 1996, menjadi 1.802 juta jiwa pada tahun 1997 dan mencapai 2.183 juta jiwa pada tahun 1998. Sedangkan menurut BPS tahun 2000 jumlah pekerja anak mencapai 2,3 juta jiwa (www.disnakertrans-jateng.go.id.2010).
Mencermati data-data hasil survey Badan Pusat Statistik di atas, perlu diwaspadai dan dikritisi, mengingat data BPS tersebut hanya dilakukan pada jenis pekerjaan tertentu dan hanya pada wilayah tertentu yang dijadikan sampel. Hal ini bisa diibaratkan dengan fenomena gunung es, dimana jumlah pekerja anak di lapangan jauh lebih banyak dibandingkan dengan angka yang tertera dipermukaan.
Seiring perkembangan ketenagakerjaan di Indonesia, anak yang bekerja merupakan salah satu fenomena sosial yang eksistensi permasalahannya masih terus berlangsung bahkan menjadi kompleks. Berbagai persoalan dihadapi oleh anak yang bekerja, salah satunya adalah persoalan keberlangsungan pendidikan mereka di sekolah. Keluarga-keluarga miskin mengalami dilema besar antara mengirim anak-anak mereka ke sekolah atau membantu memikul beban ekonomi keluarga. Bagi kaum miskin, biaya untuk mengirim anak ke sekolah begitu tinggi, baik dari segi biaya untuk sekolah ataupun hilangnya pendapatan yang bisa dipakai untuk keperluan lain. Pendidikan di sekolah sepertinya menjadi sesuatu yang sangat mahal dan sulit untuk dijangkau.
Alhasil tidak sedikit dari keluarga miskin yang memilih mendorong anak-anak mereka untuk membantu memikul beban ekonomi keluarga dengan bekerja dan meninggalkan bangku sekolah. Melalui data BPS diketahui, jika pada bulan Agustus 1997 pekerja anak yang masih bersekolah berjumlah 59,3 persen, kemudian pada tahun 1998 diantara mereka yang bersekolah telah berkurang menjadi 51,6 persen. Untuk anak usia 10 – 14 tahun, mereka yang bersekolah telah menurun 8 persen dalam satu setengah tahun terakhir. Pada Februari 1998 pekerja anak usia 5–9 tahun lebih dari 80 persen yang bersekolah, pada Desember 1998 mereka yang tetap bersekolah menurun menjadi 68,8 persen untuk anak laki-laki dan 74,1 persen untuk pekerja anak perempuan (Suyanto, 2003).
Negara Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak-hak anak, melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 36 tanggal 25 Agustus 1990. Selain peraturan di atas, Indonesia juga telah meratifikasi konvensi ILO No. 138 (1973) dengan UU No. 20 tahun 1999 Tentang Batas usia Minimun Anak di Perbolehkan Bekerja, serta konvensi ILO No.182 dengan UU No. 1 Tahun 2000 Tentang Penghapusan Pekerja Terburuk Untuk Anak. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut berarti secara hukum negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak, baik hak sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi (Usman & Nachrowi, 2004).
Meskipun berbagai peraturan telah ditetapkan dan berbagai macam agenda pemerintah telah dicanangkan, akan tetapi pada kenyataanya negara masih belum mampu memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak-hak anak terutama permasalahan pekerja anak. Hal ini terlihat pada sikap pemerintah yang ambivalensi, di satu sisi Indonesia turut berpartisipasi dalam program IPEC ILO dan menunjukkan keinginan untuk mengenali dan berbuat sesuatu terhadap persoalan pekerja anak, di sisi lain masih ada kecenderungan untuk menganggap remeh bahkan mengingkari persoalan karena ancaman sanksi internasional berkaitan dengan hilangnya pasar ekspor (White & Tjandraningsih, 1998).
Di sisi lain, para pengusaha juga lebih senang mempekerjakan anak-anak. Alasan yang selalu dilontarkan adalah karena pekerja anak cenderung mudah diatur, penurut, murah dan mudah didapatkan. Selain itu, anak-anak cenderung mudah diintimidasi karena mereka tergantung secara ekonomi, baik makanan atau tempat tinggal serta terkadang butuh dukungan secara emosional (Dottridge & Stuart, 2005).
Mengacu pada Konvensi Hak Anak (PBB) 20 November tahun 1989 disebutkan dan diakui bahwa anak-anak pada hakekatnya berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan mereka seyogyanya tidak terlibat dalam aktivitas ekonomi secara dini. Senada dengan itu berdasarkan teori tugas perkembangan Havighurst, usia anak-anak seharusnya masih dalam tahap mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan, belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya, mengembangkan pengertian-pengertian untuk kehidupan sehari-hari dan mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung (Monks. dkk., 2004)
Namun demikian, akibat tekanan kemiskinan, kurangnya animo orang tua terhadap arti penting pendidikan, dan sejumlah faktor lain, maka secara suka rela maupun terpaksa anak menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga yang penting. Senada dengan itu, dalam UU no 23 tahun 2002 pasal 9 juga disebutkan bahwasannya setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadiannya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Dari segi pendidikan, anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung mudah putus sekolah, baik putus sekolah karena bekerja terlebih dahulu atau putus sekolah dahulu baru kemudian bekerja. Bagi anak-anak, sekolah dan bekerja adalah beban ganda yang seringkali dinilai terlalu berat, sehingga setelah ditambah tekanan ekonomi dan faktor-faktor lain yang sifatnya struktural, tak pelak mereka terpaksa memilih putus sekolah di tengah jalan. Persoalan putus sekolah biasanya, meski tidak selalu, diawali oleh proses mengulang atau tidak naik kelas.
Fenomena pekerja anak ini menyebar di seluruh wilayah Indonesia termasuk juga di Pekalongan. Daerah Pekalongan yang berada di Provinsi Jawa tengah dikenal dengan industri batiknya, sampai-sampai kota ini dijuluki dengan kota batik. Daerah ini memiliki berbagai industri batik baik skala besar, menengah maupun kecil yang menghampar di desa-desa. Menurut data BPS, pada tahun 2009, jumlah unit usaha industri batik di Kabupaten Pekalongan sebanyak 12.448, di luar unit usaha lain yang sangat terkait dengan industri batik, seperti pakaian jadi, jahit, pertenunan, percetakan kain, dan lain-lain.
Seiring dengan upaya mempertahankan eksistensinya sebagai kota batik, ternyata hal ini harus dibayar mahal. Semakin banyaknya jumlah home industri yang dijalankan oleh masyarakat setempat ternyata banyak menyedot tenaga kerja dari anak-anak usia sekolah. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk bekerja dari pada melanjutkan sekolah. Mereka juga rela dibayar dengan upah yang rendah, dengan jam kerja yang panjang dan bahkan terkadang mendapat perlakuan tidak semestinya dari juragan demi memperoleh pekerjaan sebagai bentuk kemandirian dan bakti mereka terhadap orang tua. Alhasil, jumlah anak-anak yang lebih memilih bekerja dari pada sekolah semakin meningkat (Maghfur. dkk.,2006).
Anak-anak yang tidak bersekolah atau yang tidak melanjutkan sekolah sangat potensial untuk menjadi pekerja anak (Jha, 2008). Keberlangsungan sekolah pekerja anak ini menjadi persoalan yang sangat penting, mengingat pekerja anak ini masih masuk dalam kategori usia sekolah dan semestinya mereka dapat mengembangkan berbagai macam keterampilan yang mereka miliki.
Aktivitas bekerja pada anak-anak dapat menghambat proses dan pencapaian hasil belajar di sekolah, dan akhirnya akan berdampak pada keberlanjutan sekolah mereka. Berdasarkan hasil penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak yang bekerja cenderung memperoleh prestasi yang rendah dan dapat menurunkan kemungkinan mereka untuk melanjutkan sekolah (Khanam, 2008). Namun, karena banyaknya persoalan yang harus dihadapi sehingga tidak sedikit pekerja anak yang lebih memilih untuk bekerja dan meninggalkan sekolahnya.
Hal ini dipicu oleh kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan, yang menuntut orang tua untuk lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dari pada memperhatikan pendidikan anaknya. Kondisi seperti ini menyebabkan motivasi anak untuk belajar menjadi menurun tajam (Santrock, 2008).
Sikap orang tua yang cenderung tidak peduli terhadap aktivitas belajar anak, kurang hangat dan tidak disiplin dapat menghambat pekerja anak yang masih sekolah untuk dapat mencapai prestasi di sekolahnya (Fan & Chen, 2001; Garg, dkk, 2005).
Berdasarkan uraian mengenai fenomena dan permasalahan tentang pekerja anak inilah, peneliti tertarik untuk mengetahui dinamika psikologis keberlangsungan sekolah pekerja anak, mengungkap arti penting sekolah pada pekerja anak dan menggali pandangan pekerja anak terhadap orang tua, guru dan juragan batik mengenai keberlangsungan sekolahnya.
KAJIAN PUSTAKA
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Mather (dalam Suyanto, 2003) di Tangerang, menemukan sejumlah pengusaha secara sengaja memilih mempekerjakan buruh anak wanita dengan pertimbangan karena pekerja di bawah umur itu rata-rata dinilai lebih penurut, lebih rajin, mudah diatur, dan yang terpenting bersedia dibayar dengan upah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan buruh dewasa atau buruh laki-laki.
Selain itu adanya sikap keluarga yang masih berpandangan bahwa anak diperlukan untuk memberikan kontribusi bagi kesejahteraan keluarga, khususnya keluarga miskin, dan adanya anggapan bahwa pemerintah tidak sepatutnya mencampuri keinginan orang tua terhadap apa yang dirasakan paling bermanfaat bagi anak-anak mereka sendiri (Suyanto, 2003). Hal inilah yang turut menyumbangkan ketersediannya para pekerja anak.
Hasil penelitian lainnya mengungkapkan bahwa kemalasan dan keengganan belajar serta melanjutkan sekolah juga dipengaruhi oleh iklim dan situasi di sekolah yang kurang baik. Mereka menganggap kondisi dan fasilitas belajar yang tersedia di sekolah kurang memadai. Beberapa kekurangan yang sangat dirasakan adalah suasana kelas yang terbiasa gaduh, fasilitas buku yang minim, kondisi bangku dan meja belajar banyak yang rusak, dan bahkan ada sebagian yang menyatakan setiap harinya selalu belajar di lantai karena sudah setahun lebih di kelasnya tidak ada bangku dan meja belajar lagi. Selain itu, sebagian anak juga mengaku sangat terganggu dengan berbagai kewajiban PR yang dirasa merepotkan (Suyanto, 2003).
Para pekerja anak umumnya, selain dalam posisi tidak berdaya, juga sangat rentan terhadap eksploitasi (Rauscher, dkk, 2008). Di sektor industri formal, mereka umumnya berada dalam kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah, menghadapi risiko kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan atau menjadi sasaran pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa (White & Tjandraningsih, 1998). Studi yang dilakukan oleh Irwanto (dalam Usman dan Nachrowi, 2004) menemukan sekitar 71,9 % pekerja anak bekerja selama lebih dari 7 jam sehari. Pekerja anak yang menjadi pembantu rumah tangga dan mereka yang bekerja di Jermal (anjungan penangkapan ikan lepas pantai) bahkan bekerja lebih dari 12 jam sehari. Anak-anak yang bekerja di Jermal selain dengan waktu kerja yang sangat panjang, mereka juga rentan terhadap perlakuan kasar baik secara fisik, mental mapun seksual serta penipuan.
Begitu juga dengan kajian yang dilakukan oleh Rauscher, dkk (2008) terhadap para pekerja anak di industri retail dan servis. Mereka mengalami resiko mendapatkan kekerasan dalam pekerjaan, bekerja dengan waktu yang sangat panjang dan dengan peraturan yang sangat ketat.
Tak jauh berbeda juga terjadi pada para pekerja anak di India. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tiwari, Saha dan Parikh, (2009) di industri penggosokan batu permata, setelah sekian waktu bekerja kemudian diadakan pemeriksaan, para pekerja anak ini mengalami simtom-simpom serta kelainan pada pernafasannya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, besar kemungkinan pekerja anak di berbagai sektor pekerjaan yang lainnyapun mendapatkan dampak-dampak fisik yang mengganggu tumbuh kembang mereka.
Dari sisi perkembangan psikologis, bekerja juga memberikan dampak yang luar biasa dan hal ini akan berakibat buruk terhadap masa depan anak. Seperti diungkapkan oleh Bequele (dalam Usman & Nachrowi, 2004), bahwasannya beban pekerjaan dengan adanya unsur eksploitasi di dalamnya akan menimbulkan berbagai gangguan pada anak, baik fisik maupun psikis dan hal ini akan berakibat buruk terhadap tumbuh kembang anak.
Sekalipun banyak kekhawatiran yang muncul, permasalahan pekerja anak di Indonesia ternyata tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak. Kenyataan menunjukkan bahwa keluarga miskin sangat membutuhkan pekerjaan bagi anak-anaknya, baik untuk membantu perekonomian keluarga maupun kelangsungan hidupnya sendiri. Idealnya anak-anak memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi memaksa mereka bekerja maka menghapus pekerja anak merupakan tindakan yang tidak logis (Putranto dalam Usman & Nachrowi, 2004).
METODE PENELITIAN
1. Paradigma dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma dan pendekatan kualitatif sebagai sebuah preferensi yang dipilih oleh peneliti. Pendekatan kualitatif dapat menggambarkan backround sosial penelitian yang natural dan dapat mengungkap suatu gambaran yang lengkap tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kerja lapangan (Fraenkel & Wallen, 2007). Dengan demikian, penelitian akan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai suatu konsep yang abstrak bagi peneliti untuk membuat interpretasi (McMillan & Schumacher, 2006).
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, riset ini menggunakan paradigma dan pendekatan kualitatif melalui tradisi studi kasus. Studi kasus merupakan pendekatan yang digunakan untuk mempelajari, menerangkan dan menginterpretasikan suatu ’kasus’ dalam konteksnya yang alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar (Yin, 2009).
2. Fokus Penelitian (kasus)
Fokus utama masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah memetakan situasi problematik yang dihadapi anak yang dalam usia belia telah bekerja. Berdasarkan fokus utama tersebut, kemudian diperinci dalam tiga sub masalah, Pertama, dinamika psikologis anak yang berprofesi sebagai pekerja. Kedua, bagaimana arti penting sekolah bagi pekerja anak. Ketiga, bagimana pandangan pekerja anak terhadap orang tua, guru dan juragan mengenai keberlangsungan sekolah pekerja anak.
Kasus yang akan diteliti merupakan kasus khusus pada anak-anak yang bekerja di sektor batik, khususnya home industry yang ada di desa nyencle. Pekerja anak ini dipisahkan antara yang bekerja paruh waktu dan masih bersekolah (laki-laki dan perempuan) dan yang bekerja penuh waktu dan putus sekolah (laki-laki dan perempuan).
3. Metode Pengumpulan Data dan Prosedur Analisis
Sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata, ungkapan, pandangan dan perilaku pekerja anak berkaitan dengan persoalan keberlangsungan sekolahnya.
Penentuan responden dalam penelitian ini menggunakan prosedur purposive sampling yaitu cara memperoleh subyek riset berdasarkan kriteria dan tujuan yang telah ditentukan. Prosedur yang dipilih adalah prosedur campuran (combination or mix sampling) yaitu memadukan dua cara pengambilan sample yaitu kriteria (criterion) dan confenience. Kriteria responden yang dipilih adalah anak-anak yang bekerja di sektor batik, berusia 9-15 tahun, waktu bekerjanya dan jenis kelamin. Selain itu responden diusahakan berasal dari wilayah Pekalongan khususnya yang berdomisili di desa nyencle.
Lokasi penelitian ini di Wilayah Pekalongan khususnya di desa Nyencle kabupaten Pekalongan. Pekalongan merupakan daerah sentra industri batik, baik dalam sekala kecil maupun besar. Pekalongan dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa di wilayah tersebut terdapat pekerja anak yang jumlahnya sangat besar.
Untuk menganalisis dan interpretasi data, peneliti menggunakan model analisis interaktif yang diperkenalkan Miles & Huberman (dalam Denzin & Lincoln, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Hasil Penelitian
1. Sejarah Home Industri dan Pekerja Anak Sektor Batik
Pada tahun 1967 Pabrik Indahtek berdiri. Kehadiran pabrik ini menandai dimulainya proses industrialisasi di desa Nyencle, sebuah proses yang juga melanda hampir di semua wilayah di Nusantara seiring dengan kebijakan industrialisasi yang digulirkan pemerintahan pusat.
Pada tahun 1980-an, saat pengrajin batik mencapai kejayaannya anak-anak secara massal berhenti sekolah dan sedikit dari mereka yang masih mempertahankan sekolahnya. Kebiasaan sekolah sambil bekerja sudah lazim di daerah Pekalongan. Pengalaman yang dilakukan oleh MT adalah contoh nyata yang terjadi di daerah tersebut. Menurutnya, kebiasaan nyambi (belajar dan sekolah) bukan hanya dialami dirinya, bahkan juga teman-teman yang lainnya. Namun demikian, dari sisi jumlahnya, pekerja anak di sektor batik sekarang relatif berkurang jika dibandingkan dengan tahun 1980-an. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Dampak teknologi informasi, kesadaran masyarakat terhadap sekolah, serta pengaruh kampanye yang dilakukan berbagai pihak tentang pentingnya pendidikan bagi anak menjadi faktor penting menurunnya kuantitas pekerja anak.
2. Motivasi Kerja bagi Pekerja Anak
Dari hasil pengumpulan data di lapangan memperoleh temuan bahwa anak memutuskan untuk bekerja disebabkan oleh beberapa alasan: a). Membantu Orang Tua, b). Memenuhi Kebutuhan Ekonomi, c). Pengaruh Teman Sebaya, d). Sekedar Mengisi Waktu Luang, e). Belajar Mandiri dan Membangun Jiwa Wirausaha.
3. Arti Penting Sekolah bagi Pekerja Anak
Pekerja anak menilai bahwa sekolah sangat penting bagi masa depan seseorang. Menurut mereka sekolah merupakan tempat yang dapat memperluas pengetahuan, wawasan dan pergaulan. Beberapa arti penting sekolah menurut pekerja anak adalah sebagai berikut: a). Sekolah sarana memperoleh pengetahuan, b). sekolah dapat menambah teman pergaulan, c). sekolah sebagai kunci sukses dan memperoleh kerjaan, d). sekolah untuk bekal mendidik anak, e). sekolah, saat dan tempat yang menyenangkan.
4. Prestasi Sekolah Pekerja Anak
Prestasi sekolah para pekerja anak sangat variatif, ada yang bagus, sedang bahkan juga ada yang jelek. Tentu, banyak faktor yang mempengaruhi. Misalnya, perioritas antara kerja atau sekolah, membagi waktu, etos belajar, fasilitas belajar dan tentu juga dukungan dari pihak juragan, orang tua dan guru.
5. Harapan Pekerja Anak
Temuan penelitian juga menghasilkan imajinasi masa depan pekerja anak. Pekerja anak yang sekolah mengharapkan masa depannya ada perubahan. Kerja yang lebih baik dibandingkan kedua orang tuanya. Dan tentunya juga gaji yang lebih tinggi. Namun pertimbangan pekerja anak tentang kerja yang ia inginkan bukan semata uang melainkan juga ada unsur pengabdian, mencerdaskan anak bangsa bahkan panggilan agama. Cita-cita mereka ingin menjadi guru, dokter dan polwan. Sedang yang lelaki seperti MR tidak spesifik menyebutkan profesi. MR ingin menjadi lebih cerah, sukses, pinter dan menjadi bos. Selain itu pekerja anak yang tidak bekerja juga berharap ingin pekerjaan yang lebih baik, jika ada peluang. Namun ada juga pekerja anak yang pesimis dan memandang pekerjaan sekarang adalah sebuah takdir yang tidak bisa dirubah.
6. Kondisi Afektif Pekerja Anak
Keadaan psikologis dan perasaan yang dialami oleh pekerja anak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu perasaan ketika sekolah dan perasaan ketika kerja di sektor batik.
Kondisi dan perasaan pekerja anak ketika belajar di sekolah sangat beragam. Ada yang senang, bahkan lebih senang di banding kerja, namun demikian kondisi dan perasaan anak juga ada yang capek mikir, ada beban dan selalu pusing ketika berada dan belajar di sekolah. Ketika bekerja pekerja anak pada umumnya merasa senang. Mereka merasa bangga bisa membantu orang tua dan bangga. Alih-alih merasa malu, bekerja di usia anak, selama masih memprioritaskan sekolah justeru membuat rasa bangga bagi anak dan juga keluarga. Hal ini karena dalam kultur orang Pekalongan, bekerja dan berdagang adalah sudah menjadi indentitas masyarakat setempat.
7. Persepsi Anak terhadap Orang Tua, Juragan dan Guru
Pekerja anak memiliki pandangan bahwa orang tua mereka ada yang peduli dengan sekolah anaknya, namun juga ada yang tidak mempedulikan. Ada yang menganjurkan untuk sekolah ada yang membiarkan saja. Pandangan pekerja anak terhadap juragan dan gurunya sangat baik. Juragan sering membantu kebutuhan ekonominya dan memberi nasehat tentang sekolahnya. Pekerja anak yang masih sekolah menuturkan gurunya sangat peduli dan juga membantu. Mereka menilai gurunya sebagai sosok yang baik dan tidak pernah marah kalau sedang mengajar.
Pembahasan Hasil Penelitian
1. Dinamika psikologis pekerja anak yang putus sekolah
Khusus pada pekerja anak yang sudah tidak melanjutkan sekolah atau putus sekolah, mereka bekerja didorong oleh keinginan untuk bisa mengakses uang atau memperoleh penghasilan di samping keinginan untuk membantu orang tua. Motivasi lain adalah adanya dorongan dari orang tua, waktu luang yang dimiliki karena telah putus sekolah, ketersediaan pekerjaan bagi mereka, serta adanya pengaruh dari teman sebaya.
Bagi pekerja anak yang putus sekolah terdapat dua pola harapan yaitu optimis dan pesimis terhadap masa depannya. Bagi mereka yang optimis, mereka memandang pekerjaan yang sekarang digeluti adalah bersifat sementara dan berharap suatu saat bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Bagi mereka yang pesimis, mereka memandang pekerjaan saat ini adalah takdir yang harus mereka terima, meskipun sebelumnya mereka memiliki cita-cita seperti ingin menjadi guru atau dokter.
Pekerja anak putus sekolah memaknai sekolah secara beragam, namun pada umumnya mereka memaknai sekolah sebagai tempat untuk menimba ilmu, menambah pengetahuan, wawasan, menambah teman dan bekal mendidik anak. Pandangan pekerja anak putus sekolah terhadap pekerjaannya sendiri berbeda-beda. Sebagian mengatakan bahwa bekerja pada awalnya adalah sesuatu yang berat untuk dilakukan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu mereka mencoba membiasakan diri dengan kondisi yang ada, bahkan saat ini mereka sudah bisa menikmati pekerjaan itu sendiri.
Menghadapi konflik keberlanjutan sekolah pekerja anak putus sekolah mengalami perasaan yang berbeda-beda. Ada yang merasa sangat kecewa karena tidak bisa melanjutkan sekolahnya, ada yang merasa senang sudah terbebas dari sekolah ada juga yang biasa-biasa saja.
Pandangan pekerja anak putus sekolah terhadap orang tuanya menunjukkan pandangan yang berbeda-beda. Pekerja anak putus sekolah perempuan memandang orang tuanya sebenarnya peduli terhadap keberlangsungan sekolah mereka, akan tetapi kepedulian itu hanya ditunjukkan melalui ucapan semata tidak ada bentuk konkrit seperti dukungan biaya atau menemani belajar setiap harinya. Juragan tempat mereka bekerja juga dinilai baik karena tidak pernah memarahi mereka ketika melakukan kesalahan. Salah seorang pekerja anak laki-laki juga mengaku juragannya pernah mananyakan tentang keberlangsungan sekolahnya dan menasehati untuk meninggalkan pekerjaannya dan kembali melanjutkan sekolah. Berbeda dengan hasil penelitian Rauscher, dkk (2008) pada pekerja anak di industri retail dan servis di Amerika yang menunjukkan adanya unsur eksploitasi karena mereka mendapatkan kekerasan dalam pekerjaan, bekerja dengan waktu yang sangat panjang dan dengan peraturan yang sangat ketat.
Pekerja anak putus sekolah baik laki-laki maupun perempuan hanya memiliki sedikit waktu luang dan kesempatan untuk bermain dengan teman-teman seusianya. Padahal pada umumnya, anak-anak yang memasuki usia remaja membutuhkan waktu lebih banyak untuk berinteraksi dan menjalin persahabatan dengan teman sebaya. Remaja yang mempunyai persahabatan yang memuaskan dan harmonis menunjukkan tingkat harga diri yang lebih tinggi, kurang merasa kesepian, mempunyai kemampuan sosial yang lebih matang dibandingkan dengan remaja yang tidak mempunyai persahabatan yang mendukung (Kerr, dkk dalam Slavin, 2008).
2. Dinamika Psikologis Pekerja Anak yang Masih Sekolah
Bagi pekerja anak perempuan yang masih bersekolah mereka bekerja lebih didorong oleh perasaan iba atau empati atas penderitaan yang dialami oleh orang tuanya. Proses membantu orang tuanya ini dilakukan sepulang dari sekolah sampai selesai dan ketika libur sekolah. Waktu luang yang dimiliki digunakan untuk belajar, mengaji dan bermain dengan teman-teman. Perasaan pekerja anak yang masih sekolah ketika berinteraksi dengan teman-teman tidak mengalami hambatan yang berarti. Evaluasi terhadap diri pekerja anak yang masih sekolah ini termasuk tinggi. Hal ini disebabkan teman-teman yang lainpun sering membantu orang tuanya bekerja di sektor batik sehingga pekerja anak tidak merasa malu atau tidak percaya diri. Berdasarkan teori motivasi menurut Herzberg, dkk (1959) anak-anak yang bekerja membantu orang tuanya karena didorong oleh keinginan dirinya sendiri dan perasaan ingin memiliki ketrampilan bekerja memiliki motovasi yang tergolong pada motivasi intrinsik. Mesin penggerak motivasi intrinsik ini berupa perasaan turut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup keluarga, adanya perasaan bangga bisa membantu orang tua serta adanya penilaian positif dari masyarakat bagi anak-anak yang bekerja.
Pekerja anak sektor batik di Pekalongan baik laki-laki maupun perempuan memiliki motif yang hampir sama yaitu keinginan untuk meringankan beban orang tua. Mereka melihat dan merasakan langsung penderitaan yang dialami orang tuanya. Teori kognitif Piaget mengatakan bahwa anak usia 7-11 tahun berada pada tahap operasional konkret. Anak-anak pada tahap ini dapat membentuk konsep, melihat hubungan, dan memecahkan masalah, tetapi sejauh mereka melibatkan objek dan situasi yang sudah dikenal (Slavin, 2008). Anak yang memutuskan bekerja dengan motivasi membantu orang tuanya mengetahui bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, orang tua pekerja anak, baik bapak maupun ibunya harus bekerja dan berusaha keras. Atas usaha orang tuanya, anak juga paham bahwa hasil yang diperoleh dari kerja orang tua masih jauh dari cukup untuk memenuhi biaya makan, sandang, papan dan kebutuhan lainnya.
Pekerja anak perempuan yang masih sekolah pada umumnya bercita-cita ingin menjadi guru karena figur guru dianggap sebagai orang yang turut mencerdaskan anak-anak bangsa. Akan tetapi mereka juga menyadari dengan kondisi keluarganya yang serba kekurangan. Mereka juga merasa khawatir dan kecewa jika tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi karena mereka memiliki harapan yang besar untuk bisa melanjutkan sekolahnya. Pekerja anak laki-laki maupun perempuan yang masih sekolah memaknai sekolah sebagai sesuatu yang penting untuk menunjang masa depannya supaya lebih baik, mudah mendapatkan pekerjaan dan sukses. Sekolah dianggap sesuatu yang menyenangkan karena bisa bertemu dengan teman-teman, bermain serta belajar bersama dan mendapatkan ilmu pengetahuan.
Pekerja anak yang sekolah memandang orang tuanya sangat peduli terhadap pendidikannya. Hal ini dibuktikan dengan orang tua rela bersusah payah demi membiayai sekolah, senantiasa mendukung serta tidak lupa mengingatkan waktu belajar meskipun tidak bisa membantu menyelesaikan tugas-tugas sekolah karena pendidikan yang rendah.
Proses kelangsungan sekolah pekerja anak juga dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap guru dan juragan tempat mereka bekerja. Pekerja anak yang masih sekolah memandang guru sebagai figur yang harus ditiru, menyenangkan dan baik. Guru dipandang sebagai orang yang memiliki banyak ilmu dan dengan sepenuh hati mendidik murid-murid supaya menjadi pandai. Pandangan pekerja anak yang masih sekolah terhadap juragannya juga positif. Juragan dipandang sebagai seorang yang baik karena memberinya pekerjaan, terkadang memberi nasehat supaya rajin sekolah, dan terkadang memberi tambahan uang untuk jajan. Pandangan-pandangan positif inilah yang juga memberi pengaruh pada pekerja anak untuk tetap bekerja membantu orang tuanya dan tetap melanjutkan sekolahnya.
SIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI
Simpulan
Dari hasil dan pembahasan penelitian sebagaimana dalam bagian di atas, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, dinamika psikologis keberlangsungan sekolah anak yang berprofesi sebagai pekerja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antara faktor yang dimaksud adalah motivasi kerja, arti penting sekolah menurut pekerja anak, kondisi afektif anak ketika bekerja dan sekolah, serta pandangan pekerja anak terhadap orang tua, guru dan juragan.
Kedua, hasil penelitian memperoleh pemahaman bahwa menurut pekerja anak, sekolah memiliki arti penting sebagai tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, wawasan, serta bisa dijadikan bekal untuk mendidik anak. Melalui sekolah, pekerja anak juga dapat menambah teman pergaulan, sehingga sekolah dinilai sebagai tempat yang menyenangkan. Di samping itu, pekerja anak menganggap bahwa institusi sekolah merupakan lembaga yang dapat mengantarkan masa depan seseorang menjadi lebih sukses.
Ketiga, pekerja anak memiliki pandangan positif terhadap orang tua, guru dan juragannya. mereka menganggap orang tuanya peduli terhadap sekolah meskipun bentuk kepedulian itu berbeda-beda. Guru di sekolah juga dipandang sebagai seorang yang baik karena memberikan pendidikan bagi mereka meskipun terkadang guru tidak mengetahui bahwa anak didiknya memiliki profesi lain sebagai pekerja di sektor batik. Begitu juga dengan juragan di tempat kerja. Pekerja anak memandang juragan sebagai seorang yang baik karena memberi mereka kesempatan untuk bekerja dan tidak memarahinya ketika melakukan kesalahan. Kondisi psikologis pekerja anak di sektor batik juga tergolong baik, mereka merasa nyaman ketika bekerja, senang dan tidak tertekan.
Saran-saran/Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan penelitian di atas, peneliti menyampaikan saran-saran berikut.
Pertama, bahwa sekolah bagi anak adalah persoalan penting. Sebab itu, perlu pendidikan alternatif yang dapat memfasilitasi pekerja anak agar dapat terus melanjutkan sekolahnya.
Kedua, bagi pekerja anak yang masih melanjutkan sekolah, agar dapat menggabungkan kegiatan bekerja dan sekolah secara proporsional. Mengelola waktu antar belajar dan bekerja semestinya dilakukan dengan baik.
Ketiga, bagi pekerja anak yang telah berhenti sekolah, tidak semestinya berhenti belajar. Anak diharapkan tetap belajar tentang keterampilan membaca dan menulis secara informal atau otodidak. Pekerja anak dapat belajar di lembaga-lembaga pendidikan alternatif yang sekarang mulai dikembangan oleh beberapa kalangan.
Keempat, bagi para orang tua yang memiliki anak sekolah dan juga menjadi pekerja, hendaknya tetap mempertimbangkan kondisi psikologinya. Dunia anak yang mestinya bermain dan bersenang-senang, jangan sampai dibebani tugas baik belajar maupun berkerja di luar kemampuan anak.
Kelima, bagi guru di sekolah perlu mengidentifikasi siswanya, apakah anak didiknya ada yang sekolah sambil kerja, atau tidak. Jika terdapat anak yang sekolah berprofesi sebagai pekerja anak, maka guru harus dapat membimbing, memotivasi dan memperlakukan anak secara khusus, sesui dengan kondisi psikologisnya yang disebabkan beban ganda, yaitu belajar dan bekerja.
Keenam, bagi juragan batik yang mempekerjakan anak, agar mendorong mereka untuk melanjutkan sekolah dan menjaga kondisi psikologis pekerja anak.
Ketujuh, kepada akademisi, peneliti atau peminat kajian psikologis pekerja anak agar melakukan riset lebih lanjut, untuk mengembangkan hasil temuan ini.
Kedelapan, bagi pembuat kebijakan pendidikan di semua level, mulai dari tingkat legislatif, eksekutif: presiden, kementerian atau dinas pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat yang akan melakukan pendampingan terhadap keberlangsungan pendidikan pekerja anak, agar memanfaatkan hasil kajian yang telah dilakukan, termasuk hasil penelitian ini. Sehingga dalam menginisiasi terpenuhinya harapan-harapan dan kebutuhan pekerja anak terhadap sekolah sesuai sasaran dan tidak sia-sia.
DAFTAR PUSTAKA
Abebe, T., & Kjorholt, T. (2009). Social actors and victims of exploitation: working children in the cash economy of Ethiopia’s South. Journal of Childhood. Vol. 16;175
Anoraga, P. (2006). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta
Badan Pusat Statistik (2009). Survey Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta.
Brukuth, A. (2005). Child labour and debt bondage: A case study of brick klin workers in Southeast India. Journal of Asian and African studies. 40, 287
Crain, W. (2007). Teori Perkembangan; Konsep dan Aplikasi. Alih bahasa: Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (2009). Handbook of Qualitative Research. Alih bahasa: Dariyanto, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Depdikbud, (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Desmita, (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Panduan bagi Orang tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Dottridge, M., & Stuart, L. (2005). End child exploitation; child labour today. UK: UNICEF.
El-Anzy, F.O. (2005). Academic achievement and its relationship with anxiety, self esteem, optimism and pesimism in kuwaiti students. Social Behavior and Personality. Vol. 33 (1) hal: 95 – 104
Fan, X., & Chen, M. (2001). Parental involvement and students’ academic achievement: meta-analiysis. Educational Psychology Review. Vol.13, No. 1, hal: 1-21
Fraenkel, J.R., & Wallen N.E. (2007). How to Design and Evaluate Research in Education (6th ed.). New York: McGraw Hill.
Garg, R., Levin, E., Urajnik, D., & Kauppi, C., (2005). Parenting style and academic achievement for east indian and canadian adolescencets. Journal of Comparative Family Studies. Hal: 653-661
Gibson, J.L. Ivancevich, J.M., & Donelly, J.M., (1994). Organization, Behavior, Structure, Processes. Illionis: Richard D. Irvin
Hasbullah. (2009). Dasar-dasar ilmu Pendidikan. Edisi revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Herzberg, F., Mausner, B., & Snyderman, B., (1959). The Motivation to Work. New York: Jhon Willey and Sons
Hurlock, E.B. (2006). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa: istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Jha, M. (2008). Child worker in India; Contex and Complexities. Springer Science and Bussines Media
Khanam, R. (2008). Child Labour and Schooling Attendance; Evidence from Bangladesh. Journal of Social Economics. Vol. 35. No. 1/2. hal: 77-98
Lens, W., Lacante, M., Vansteenkiste, M., & Herrera, D., (2005). Study persistence and academic achievement as a function of the type of competing tendencies. European. Journal of Psychology of Education. Vol. XX. hal : 275 - 287
Maghfur, Basyir. M., Zuhri., Ula. M., & Koirul B., (2006). Nestapa Masyarakat Pekalongan, di Balik Kantung Tebal Pengusaha Batik: Pekalongan: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) STAIN Pekalongan
Maslow, A.H. (1954). Motivation and Personality. New York: Herper & Row
McKenna, E., & Beech, N., (2002). The Essence of Human Resource Management. Yogyakarta: Andi Ofset & Pearson Education Asia
McMillan, J, H. and Schumacher, S. (2006). Research in Education: Evidence-Based Inquiry. Sixth Edition. New York: Pearson..
Mehrotra, S. & Biggeri, M. (2002). The subterranian child labour force: subcontracted home based manufacturing in asia. Innocenti Working Paper. No.96. Florence: Unicef Innocenti Research Center
Monks, F.J., Knoer, A.M.P & Haditono, S.R., (2004). Psikologi Perkembangan; Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Nimbona, G., Berge, M., Roschanski, H., Lange, A., & Groot, A (2005). Studying child labour: policy implication of child centered Research. Foundation of International Research on Working Children (IREWOC).
Qorashi, B.S. (2007). Keringat Buruh: Hak dan Peran Pekerja dalam Islam. Penerjemah : Ali Yahya. Jakarta: Al-Huda
Rauscher, K.J; Runyan C.W; Schulman, M.D & Bowling, J.M . (2008). Us child labour violations in the retail and service industries, findings from a national survey of working adolescents. American Journal of Public Healt. Vol. 98. No. 9.
Salmon, C. (2005). Child labour in bangladesh; are children the last economic resource of the household ? www.sagepublications.com. Vol. 21 (1-2) hal: 33-54
Santrock, J.W. (2008). Perkembangan Anak. Edisi Ketujuh. Jilid Dua. Alih Bahasa : Mila Rahmawati & Anna Kuswanti. Jakarta: Erlangga.
Shih, S.S., (2005). Role of Achievement Goals in Children’s Learning in Taiwan. The Journal of Educational Research. Vol.98 (no.5).
Slavin, R.E. (2009). Psikologi Pendidikan ; Teori dan Praktek. Edisi kedelapan. Penerjemah : Marianto Samosir. Jakarta : Indeks
Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basics of Qualitative Reasearch: Grounded Theory Procedures and Techniques. CA: Sage. Newbury Park.
Suyanto, B. (2003). Pekerja Anak dan Kelangsungan Pendidikannya. Surabaya: Airlangga University Press.
Tim Penyusun Sisdiknas (2003). Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Yogyakarta: Media Wacana
Tiwari, RR, Saha A. & Parikh JR. (2009). Respiratory morbidities among working chilren of gem polishing industries, India. Journal of Taziology and Industrial Healt: 25: 81-84.
Usman, H, & Nachrowi, D.N. (2004). Pekerja Anak di Indoensia: Kondisi Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif). Jakarta: Gramedia.
White, B. & Tjandraningsih, I. (1998). Child Workers in Indonesia. Bandung: Akatiga.
Yin, R.K., (2009). Studi Kasus; Desain & Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Jumlah Pekerja Anak di Indonesia masih tinggi. http://www.disnakertrans-jateng.go.id. Diunduh tanggal 20 Januari 2010