KEBERLANJUTAN SEKOLAH PEKERJA ANAK: Studi Kasus Dinamika Psikologis Pekerja Anak Sektor Batik di Kabupaten Pekalongan

Siti Mumun Muniroh, S.Psi., MA
(Dosen/Peneliti STAIN Pekalongan)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika psikologis keberlangsungan sekolah pekerja anak sektor batik di Pekalongan. Pekerja anak adalah sebuah fenomena universal di beberapa negara bagian di dunia. International Labour Organization mengemukakan terdapat sekitar 210 milyar anak-anak di dunia berusia di bawah 15 tahun telah bekerja dan menjadi pekerja anak. Dari segi pendidikan, anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung mudah putus sekolah, baik putus sekolah karena bekerja terlebih dahulu atau putus sekolah dahulu baru kemudian bekerja.
Penelitian ini menggunakan paradigma dan pendekatan kualitatif dengan tradisi studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan tiga metode yaitu interview, observasi dan dokumentasi. Kriteria responden yang dipilih adalah pekerja anak di sektor batik, berusia 9-15 tahun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja anak yang putus sekolah pada umumnya memiliki motivasi kerja untuk mendapatkan penghasilan. Sedangkan pekerja anak yang masih sekolah, lebih termotivasi oleh perasaan iba terhadap orang tuanya ketika bekerja. Kondisi afektif pekerja anak menghadapi masalah keberlangsungan sekolahnya berbeda-beda. Ada yang merasa kecewa tidak bisa melanjutkan sekolahnya, biasa-biasa saja atau malah justru senang karena sudah terbebas dari kewajiban bersekolah. Pandangan pekerja anak terhadap orang tua, guru dan juragan pada umumnya positif. Orang tua, guru dan juragan dipandang sebagai orang yang baik dan peduli terhadap pendidikan meskipun bentuk kepedulian yang ditunjukkan berbeda-beda.
Pekerja anak putus sekolah cenderung tidak memiliki harapan untuk kembali ke sekolah karena mereka telah merasa senang bekerja. Berbeda dengan pekerja anak yang masih sekolah, mereka memiliki harapan ingin melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dan memiliki cita-cita ingin menjadi guru dan polwan.
Kata Kunci : Keberlanjutan sekolah, Dinamika psikologis, Pekerja anak
SCHOOL CONTINUITY OF CHILD LABOUR:
The Case Study of Psychological Dinamics of Child Labour in Batik Sector
in Pekalongan Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know the psychological dynamics of child labour in Batik sector in Pekalongan. Child labour is a universal phenomenon in many countries in the world. International Labour Organization proposes that there are 210 billions of underage 15 years old children in the world worked and had been children labour. On educational perspective, child labour is pointed out to prone to break their school, either breaking their school firstly because of working or breaking their school and working then.
This case study research applied interview, observation and documentation for collecting data. The subjects were 9-15 years old child labour in Batik sector.
The findings of this research show that school breakout child labour generally motivated to work only to earn, whereas the school child labour, more motivated by pity feeling of their parents. The children labour affective condition has different ways in order to face the problems of school continuity. Some felt disappointed on failure to continue their school, some felt so-so, and some others felt happy because of school duties-free.
Generally, child labour was excited when they help their parents or when they work in the owner of the interprise. They also felt proud because they could help out their parents’ burdens. Commonly, the school breakout child labour have a positive thinking about their parents, teachers and the owner of Batik inteprise. Parents, teachers and the owner of Batik inteprise was viewed as a kind person and care to education although they show the different ways in caring.
The school breakout child labour tend to have no any desires for coming back to their school because of feeling happy in working. It differs with the school children, which still have an expectation to continue to the higher education and have aspiration to be a teacher or policewoman.
Keywords: School continuity, psychological dynamis, child labour
PENDAHULUAN
Menurut Langeveld (Hasbullah, 2009) pendidikan pada masa anak-anak sangat penting karena dapat membantu membekali anak menuju kedewasaan dan dapat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Tim Penyusun Sisdiknas, 2003). Salah satu lingkungan yang mendapatkan mandat dari orang tua untuk melakukan pendidikan pada anak-anak mereka adalah sekolah.
Kebiasaan untuk mencapai sukses harus ditanamkan sejak usia anak, mengingat kebiasaan ini cenderung akan menetap sampai dewasa (Hurlock, 2006). Prestasi belajar di sekolah menjadi penting untuk dicapai karena anak yang berprestasi cenderung lebih tekun dan memiliki motivasi yang tinggi (Lens. dkk., 2005). Selain itu, menurut Nylor (Desmita, 2009) anak yang berprestasi juga memiliki penilaian diri yang tinggi serta menunjukkan hubungan antar pribadi yang positif pula. Oleh karena itu pencapaian prestasi belajar di sekolah menjadi sangat penting (El-Anzy, 2005; Shih, 2005)
Lens. dkk., (2005) mengungkapkan bahwa proses pembelajaran dan pencapaiannya akan terganggu ketika siswa memadukan dua aktivitas yaitu bekerja dan sekolah. Hal ini khususnya terjadi pada siswa yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah dan menghadapi kesulitan ekonomi (Slavin, 2009). Dalam keluarga tersebut, anak terpaksa harus membantu orang tua dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan menjadi pekerja anak.
Pekerja anak adalah sebuah fenomena universal dan sebuah realita di beberapa negara bagian di dunia. International Labour Organization mengemukakan terdapat sekitar 210 milyar anak-anak di dunia berusia di bawah 15 tahun telah bekerja dan menjadi pekerja anak. Fenomena ini tersebar di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Selatan (Nimbona, dkk. 2005). Terdapat sekelompok anak di Amerika bekerja menjadi pedagang asongan dan industri jasa (Rauscher, dkk. 2008). Anak-anak di Ethiopia selatan banyak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi keluarga, seperti membantu berjualan di pasar, membantu pekerjaan orang tua di rumah serta kegiatan produktif lainnya (Abebe & Kjorholt, 2009). Sebagian anak-anak di India bekerja di industri penggosokan mutiara (Tiwari. dkk.,, 2009) sebagian lainnya bekerja di industri pembakaran batu bata (Brukuth, 2005). Hasil penelitian Mehrotra dan Biggeri (2002) menunjukkan sejumlah anak-anak bekerja di beberapa negara Asia seperti India, Pakistan, Thailand, Filipina dan Indonesia.
Anak-anak yang bekerja di Indonesia tersebar di beberapa sektor seperti industri mebel rotan, industri kerajinan keramik, industri batik dan sebagainya (Mehrotra & Biggeri, 2002). Akar masalah ini dapat ditelusuri semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997. Salah satu dampak krisis yang paling menonjol adalah meningkatnya jumlah rakyat yang miskin. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik, 2009) pada maret 2009 angka kemiskinan berjumlah 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia.
Data mengenai jumlah pekerja anak di Indonesia ini senantiasa mengalami perubahan, karena setiap waktu selalu terjadi peningkatan jumlah pekerja anak. Berdasarkan data Depnakertrans, menunjukkan pada tahun 1995 jumlah pekerja anak mencapai 1.644 juta jiwa, meningkat menjadi 1.768 juta jiwa pada tahun 1996, menjadi 1.802 juta jiwa pada tahun 1997 dan mencapai 2.183 juta jiwa pada tahun 1998. Sedangkan menurut BPS tahun 2000 jumlah pekerja anak mencapai 2,3 juta jiwa (www.disnakertrans-jateng.go.id.2010).
Mencermati data-data hasil survey Badan Pusat Statistik di atas, perlu diwaspadai dan dikritisi, mengingat data BPS tersebut hanya dilakukan pada jenis pekerjaan tertentu dan hanya pada wilayah tertentu yang dijadikan sampel. Hal ini bisa diibaratkan dengan fenomena gunung es, dimana jumlah pekerja anak di lapangan jauh lebih banyak dibandingkan dengan angka yang tertera dipermukaan.
Seiring perkembangan ketenagakerjaan di Indonesia, anak yang bekerja merupakan salah satu fenomena sosial yang eksistensi permasalahannya masih terus berlangsung bahkan menjadi kompleks. Berbagai persoalan dihadapi oleh anak yang bekerja, salah satunya adalah persoalan keberlangsungan pendidikan mereka di sekolah. Keluarga-keluarga miskin mengalami dilema besar antara mengirim anak-anak mereka ke sekolah atau membantu memikul beban ekonomi keluarga. Bagi kaum miskin, biaya untuk mengirim anak ke sekolah begitu tinggi, baik dari segi biaya untuk sekolah ataupun hilangnya pendapatan yang bisa dipakai untuk keperluan lain. Pendidikan di sekolah sepertinya menjadi sesuatu yang sangat mahal dan sulit untuk dijangkau.
Alhasil tidak sedikit dari keluarga miskin yang memilih mendorong anak-anak mereka untuk membantu memikul beban ekonomi keluarga dengan bekerja dan meninggalkan bangku sekolah. Melalui data BPS diketahui, jika pada bulan Agustus 1997 pekerja anak yang masih bersekolah berjumlah 59,3 persen, kemudian pada tahun 1998 diantara mereka yang bersekolah telah berkurang menjadi 51,6 persen. Untuk anak usia 10 – 14 tahun, mereka yang bersekolah telah menurun 8 persen dalam satu setengah tahun terakhir. Pada Februari 1998 pekerja anak usia 5–9 tahun lebih dari 80 persen yang bersekolah, pada Desember 1998 mereka yang tetap bersekolah menurun menjadi 68,8 persen untuk anak laki-laki dan 74,1 persen untuk pekerja anak perempuan (Suyanto, 2003).
Negara Indonesia termasuk salah satu negara yang meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak-hak anak, melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 36 tanggal 25 Agustus 1990. Selain peraturan di atas, Indonesia juga telah meratifikasi konvensi ILO No. 138 (1973) dengan UU No. 20 tahun 1999 Tentang Batas usia Minimun Anak di Perbolehkan Bekerja, serta konvensi ILO No.182 dengan UU No. 1 Tahun 2000 Tentang Penghapusan Pekerja Terburuk Untuk Anak. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut berarti secara hukum negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak, baik hak sipil, politik, sosial, budaya, dan ekonomi (Usman & Nachrowi, 2004).
Meskipun berbagai peraturan telah ditetapkan dan berbagai macam agenda pemerintah telah dicanangkan, akan tetapi pada kenyataanya negara masih belum mampu memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak-hak anak terutama permasalahan pekerja anak. Hal ini terlihat pada sikap pemerintah yang ambivalensi, di satu sisi Indonesia turut berpartisipasi dalam program IPEC ILO dan menunjukkan keinginan untuk mengenali dan berbuat sesuatu terhadap persoalan pekerja anak, di sisi lain masih ada kecenderungan untuk menganggap remeh bahkan mengingkari persoalan karena ancaman sanksi internasional berkaitan dengan hilangnya pasar ekspor (White & Tjandraningsih, 1998).
Di sisi lain, para pengusaha juga lebih senang mempekerjakan anak-anak. Alasan yang selalu dilontarkan adalah karena pekerja anak cenderung mudah diatur, penurut, murah dan mudah didapatkan. Selain itu, anak-anak cenderung mudah diintimidasi karena mereka tergantung secara ekonomi, baik makanan atau tempat tinggal serta terkadang butuh dukungan secara emosional (Dottridge & Stuart, 2005).
Mengacu pada Konvensi Hak Anak (PBB) 20 November tahun 1989 disebutkan dan diakui bahwa anak-anak pada hakekatnya berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan mereka seyogyanya tidak terlibat dalam aktivitas ekonomi secara dini. Senada dengan itu berdasarkan teori tugas perkembangan Havighurst, usia anak-anak seharusnya masih dalam tahap mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan, belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya, mengembangkan pengertian-pengertian untuk kehidupan sehari-hari dan mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung (Monks. dkk., 2004)
Namun demikian, akibat tekanan kemiskinan, kurangnya animo orang tua terhadap arti penting pendidikan, dan sejumlah faktor lain, maka secara suka rela maupun terpaksa anak menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga yang penting. Senada dengan itu, dalam UU no 23 tahun 2002 pasal 9 juga disebutkan bahwasannya setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadiannya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Dari segi pendidikan, anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung mudah putus sekolah, baik putus sekolah karena bekerja terlebih dahulu atau putus sekolah dahulu baru kemudian bekerja. Bagi anak-anak, sekolah dan bekerja adalah beban ganda yang seringkali dinilai terlalu berat, sehingga setelah ditambah tekanan ekonomi dan faktor-faktor lain yang sifatnya struktural, tak pelak mereka terpaksa memilih putus sekolah di tengah jalan. Persoalan putus sekolah biasanya, meski tidak selalu, diawali oleh proses mengulang atau tidak naik kelas.
Fenomena pekerja anak ini menyebar di seluruh wilayah Indonesia termasuk juga di Pekalongan. Daerah Pekalongan yang berada di Provinsi Jawa tengah dikenal dengan industri batiknya, sampai-sampai kota ini dijuluki dengan kota batik. Daerah ini memiliki berbagai industri batik baik skala besar, menengah maupun kecil yang menghampar di desa-desa. Menurut data BPS, pada tahun 2009, jumlah unit usaha industri batik di Kabupaten Pekalongan sebanyak 12.448, di luar unit usaha lain yang sangat terkait dengan industri batik, seperti pakaian jadi, jahit, pertenunan, percetakan kain, dan lain-lain.
Seiring dengan upaya mempertahankan eksistensinya sebagai kota batik, ternyata hal ini harus dibayar mahal. Semakin banyaknya jumlah home industri yang dijalankan oleh masyarakat setempat ternyata banyak menyedot tenaga kerja dari anak-anak usia sekolah. Kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk bekerja dari pada melanjutkan sekolah. Mereka juga rela dibayar dengan upah yang rendah, dengan jam kerja yang panjang dan bahkan terkadang mendapat perlakuan tidak semestinya dari juragan demi memperoleh pekerjaan sebagai bentuk kemandirian dan bakti mereka terhadap orang tua. Alhasil, jumlah anak-anak yang lebih memilih bekerja dari pada sekolah semakin meningkat (Maghfur. dkk.,2006).
Anak-anak yang tidak bersekolah atau yang tidak melanjutkan sekolah sangat potensial untuk menjadi pekerja anak (Jha, 2008). Keberlangsungan sekolah pekerja anak ini menjadi persoalan yang sangat penting, mengingat pekerja anak ini masih masuk dalam kategori usia sekolah dan semestinya mereka dapat mengembangkan berbagai macam keterampilan yang mereka miliki.
Aktivitas bekerja pada anak-anak dapat menghambat proses dan pencapaian hasil belajar di sekolah, dan akhirnya akan berdampak pada keberlanjutan sekolah mereka. Berdasarkan hasil penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak yang bekerja cenderung memperoleh prestasi yang rendah dan dapat menurunkan kemungkinan mereka untuk melanjutkan sekolah (Khanam, 2008). Namun, karena banyaknya persoalan yang harus dihadapi sehingga tidak sedikit pekerja anak yang lebih memilih untuk bekerja dan meninggalkan sekolahnya.
Hal ini dipicu oleh kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan, yang menuntut orang tua untuk lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dari pada memperhatikan pendidikan anaknya. Kondisi seperti ini menyebabkan motivasi anak untuk belajar menjadi menurun tajam (Santrock, 2008).
Sikap orang tua yang cenderung tidak peduli terhadap aktivitas belajar anak, kurang hangat dan tidak disiplin dapat menghambat pekerja anak yang masih sekolah untuk dapat mencapai prestasi di sekolahnya (Fan & Chen, 2001; Garg, dkk, 2005).
Berdasarkan uraian mengenai fenomena dan permasalahan tentang pekerja anak inilah, peneliti tertarik untuk mengetahui dinamika psikologis keberlangsungan sekolah pekerja anak, mengungkap arti penting sekolah pada pekerja anak dan menggali pandangan pekerja anak terhadap orang tua, guru dan juragan batik mengenai keberlangsungan sekolahnya.
KAJIAN PUSTAKA
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Mather (dalam Suyanto, 2003) di Tangerang, menemukan sejumlah pengusaha secara sengaja memilih mempekerjakan buruh anak wanita dengan pertimbangan karena pekerja di bawah umur itu rata-rata dinilai lebih penurut, lebih rajin, mudah diatur, dan yang terpenting bersedia dibayar dengan upah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan buruh dewasa atau buruh laki-laki.
Selain itu adanya sikap keluarga yang masih berpandangan bahwa anak diperlukan untuk memberikan kontribusi bagi kesejahteraan keluarga, khususnya keluarga miskin, dan adanya anggapan bahwa pemerintah tidak sepatutnya mencampuri keinginan orang tua terhadap apa yang dirasakan paling bermanfaat bagi anak-anak mereka sendiri (Suyanto, 2003). Hal inilah yang turut menyumbangkan ketersediannya para pekerja anak.
Hasil penelitian lainnya mengungkapkan bahwa kemalasan dan keengganan belajar serta melanjutkan sekolah juga dipengaruhi oleh iklim dan situasi di sekolah yang kurang baik. Mereka menganggap kondisi dan fasilitas belajar yang tersedia di sekolah kurang memadai. Beberapa kekurangan yang sangat dirasakan adalah suasana kelas yang terbiasa gaduh, fasilitas buku yang minim, kondisi bangku dan meja belajar banyak yang rusak, dan bahkan ada sebagian yang menyatakan setiap harinya selalu belajar di lantai karena sudah setahun lebih di kelasnya tidak ada bangku dan meja belajar lagi. Selain itu, sebagian anak juga mengaku sangat terganggu dengan berbagai kewajiban PR yang dirasa merepotkan (Suyanto, 2003).
Para pekerja anak umumnya, selain dalam posisi tidak berdaya, juga sangat rentan terhadap eksploitasi (Rauscher, dkk, 2008). Di sektor industri formal, mereka umumnya berada dalam kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah, menghadapi risiko kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan atau menjadi sasaran pelecehan dan kesewenang-wenangan orang dewasa (White & Tjandraningsih, 1998). Studi yang dilakukan oleh Irwanto (dalam Usman dan Nachrowi, 2004) menemukan sekitar 71,9 % pekerja anak bekerja selama lebih dari 7 jam sehari. Pekerja anak yang menjadi pembantu rumah tangga dan mereka yang bekerja di Jermal (anjungan penangkapan ikan lepas pantai) bahkan bekerja lebih dari 12 jam sehari. Anak-anak yang bekerja di Jermal selain dengan waktu kerja yang sangat panjang, mereka juga rentan terhadap perlakuan kasar baik secara fisik, mental mapun seksual serta penipuan.
Begitu juga dengan kajian yang dilakukan oleh Rauscher, dkk (2008) terhadap para pekerja anak di industri retail dan servis. Mereka mengalami resiko mendapatkan kekerasan dalam pekerjaan, bekerja dengan waktu yang sangat panjang dan dengan peraturan yang sangat ketat.
Tak jauh berbeda juga terjadi pada para pekerja anak di India. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tiwari, Saha dan Parikh, (2009) di industri penggosokan batu permata, setelah sekian waktu bekerja kemudian diadakan pemeriksaan, para pekerja anak ini mengalami simtom-simpom serta kelainan pada pernafasannya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, besar kemungkinan pekerja anak di berbagai sektor pekerjaan yang lainnyapun mendapatkan dampak-dampak fisik yang mengganggu tumbuh kembang mereka.
Dari sisi perkembangan psikologis, bekerja juga memberikan dampak yang luar biasa dan hal ini akan berakibat buruk terhadap masa depan anak. Seperti diungkapkan oleh Bequele (dalam Usman & Nachrowi, 2004), bahwasannya beban pekerjaan dengan adanya unsur eksploitasi di dalamnya akan menimbulkan berbagai gangguan pada anak, baik fisik maupun psikis dan hal ini akan berakibat buruk terhadap tumbuh kembang anak.
Sekalipun banyak kekhawatiran yang muncul, permasalahan pekerja anak di Indonesia ternyata tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak. Kenyataan menunjukkan bahwa keluarga miskin sangat membutuhkan pekerjaan bagi anak-anaknya, baik untuk membantu perekonomian keluarga maupun kelangsungan hidupnya sendiri. Idealnya anak-anak memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi memaksa mereka bekerja maka menghapus pekerja anak merupakan tindakan yang tidak logis (Putranto dalam Usman & Nachrowi, 2004).
METODE PENELITIAN
1. Paradigma dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan paradigma dan pendekatan kualitatif sebagai sebuah preferensi yang dipilih oleh peneliti. Pendekatan kualitatif dapat menggambarkan backround sosial penelitian yang natural dan dapat mengungkap suatu gambaran yang lengkap tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kerja lapangan (Fraenkel & Wallen, 2007). Dengan demikian, penelitian akan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai suatu konsep yang abstrak bagi peneliti untuk membuat interpretasi (McMillan & Schumacher, 2006).
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, riset ini menggunakan paradigma dan pendekatan kualitatif melalui tradisi studi kasus. Studi kasus merupakan pendekatan yang digunakan untuk mempelajari, menerangkan dan menginterpretasikan suatu ’kasus’ dalam konteksnya yang alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar (Yin, 2009).
2. Fokus Penelitian (kasus)
Fokus utama masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah memetakan situasi problematik yang dihadapi anak yang dalam usia belia telah bekerja. Berdasarkan fokus utama tersebut, kemudian diperinci dalam tiga sub masalah, Pertama, dinamika psikologis anak yang berprofesi sebagai pekerja. Kedua, bagaimana arti penting sekolah bagi pekerja anak. Ketiga, bagimana pandangan pekerja anak terhadap orang tua, guru dan juragan mengenai keberlangsungan sekolah pekerja anak.
Kasus yang akan diteliti merupakan kasus khusus pada anak-anak yang bekerja di sektor batik, khususnya home industry yang ada di desa nyencle. Pekerja anak ini dipisahkan antara yang bekerja paruh waktu dan masih bersekolah (laki-laki dan perempuan) dan yang bekerja penuh waktu dan putus sekolah (laki-laki dan perempuan).
3. Metode Pengumpulan Data dan Prosedur Analisis
Sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata, ungkapan, pandangan dan perilaku pekerja anak berkaitan dengan persoalan keberlangsungan sekolahnya.
Penentuan responden dalam penelitian ini menggunakan prosedur purposive sampling yaitu cara memperoleh subyek riset berdasarkan kriteria dan tujuan yang telah ditentukan. Prosedur yang dipilih adalah prosedur campuran (combination or mix sampling) yaitu memadukan dua cara pengambilan sample yaitu kriteria (criterion) dan confenience. Kriteria responden yang dipilih adalah anak-anak yang bekerja di sektor batik, berusia 9-15 tahun, waktu bekerjanya dan jenis kelamin. Selain itu responden diusahakan berasal dari wilayah Pekalongan khususnya yang berdomisili di desa nyencle.
Lokasi penelitian ini di Wilayah Pekalongan khususnya di desa Nyencle kabupaten Pekalongan. Pekalongan merupakan daerah sentra industri batik, baik dalam sekala kecil maupun besar. Pekalongan dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa di wilayah tersebut terdapat pekerja anak yang jumlahnya sangat besar.
Untuk menganalisis dan interpretasi data, peneliti menggunakan model analisis interaktif yang diperkenalkan Miles & Huberman (dalam Denzin & Lincoln, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Hasil Penelitian
1. Sejarah Home Industri dan Pekerja Anak Sektor Batik
Pada tahun 1967 Pabrik Indahtek berdiri. Kehadiran pabrik ini menandai dimulainya proses industrialisasi di desa Nyencle, sebuah proses yang juga melanda hampir di semua wilayah di Nusantara seiring dengan kebijakan industrialisasi yang digulirkan pemerintahan pusat.
Pada tahun 1980-an, saat pengrajin batik mencapai kejayaannya anak-anak secara massal berhenti sekolah dan sedikit dari mereka yang masih mempertahankan sekolahnya. Kebiasaan sekolah sambil bekerja sudah lazim di daerah Pekalongan. Pengalaman yang dilakukan oleh MT adalah contoh nyata yang terjadi di daerah tersebut. Menurutnya, kebiasaan nyambi (belajar dan sekolah) bukan hanya dialami dirinya, bahkan juga teman-teman yang lainnya. Namun demikian, dari sisi jumlahnya, pekerja anak di sektor batik sekarang relatif berkurang jika dibandingkan dengan tahun 1980-an. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Dampak teknologi informasi, kesadaran masyarakat terhadap sekolah, serta pengaruh kampanye yang dilakukan berbagai pihak tentang pentingnya pendidikan bagi anak menjadi faktor penting menurunnya kuantitas pekerja anak.
2. Motivasi Kerja bagi Pekerja Anak
Dari hasil pengumpulan data di lapangan memperoleh temuan bahwa anak memutuskan untuk bekerja disebabkan oleh beberapa alasan: a). Membantu Orang Tua, b). Memenuhi Kebutuhan Ekonomi, c). Pengaruh Teman Sebaya, d). Sekedar Mengisi Waktu Luang, e). Belajar Mandiri dan Membangun Jiwa Wirausaha.
3. Arti Penting Sekolah bagi Pekerja Anak
Pekerja anak menilai bahwa sekolah sangat penting bagi masa depan seseorang. Menurut mereka sekolah merupakan tempat yang dapat memperluas pengetahuan, wawasan dan pergaulan. Beberapa arti penting sekolah menurut pekerja anak adalah sebagai berikut: a). Sekolah sarana memperoleh pengetahuan, b). sekolah dapat menambah teman pergaulan, c). sekolah sebagai kunci sukses dan memperoleh kerjaan, d). sekolah untuk bekal mendidik anak, e). sekolah, saat dan tempat yang menyenangkan.
4. Prestasi Sekolah Pekerja Anak
Prestasi sekolah para pekerja anak sangat variatif, ada yang bagus, sedang bahkan juga ada yang jelek. Tentu, banyak faktor yang mempengaruhi. Misalnya, perioritas antara kerja atau sekolah, membagi waktu, etos belajar, fasilitas belajar dan tentu juga dukungan dari pihak juragan, orang tua dan guru.
5. Harapan Pekerja Anak
Temuan penelitian juga menghasilkan imajinasi masa depan pekerja anak. Pekerja anak yang sekolah mengharapkan masa depannya ada perubahan. Kerja yang lebih baik dibandingkan kedua orang tuanya. Dan tentunya juga gaji yang lebih tinggi. Namun pertimbangan pekerja anak tentang kerja yang ia inginkan bukan semata uang melainkan juga ada unsur pengabdian, mencerdaskan anak bangsa bahkan panggilan agama. Cita-cita mereka ingin menjadi guru, dokter dan polwan. Sedang yang lelaki seperti MR tidak spesifik menyebutkan profesi. MR ingin menjadi lebih cerah, sukses, pinter dan menjadi bos. Selain itu pekerja anak yang tidak bekerja juga berharap ingin pekerjaan yang lebih baik, jika ada peluang. Namun ada juga pekerja anak yang pesimis dan memandang pekerjaan sekarang adalah sebuah takdir yang tidak bisa dirubah.
6. Kondisi Afektif Pekerja Anak
Keadaan psikologis dan perasaan yang dialami oleh pekerja anak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu perasaan ketika sekolah dan perasaan ketika kerja di sektor batik.
Kondisi dan perasaan pekerja anak ketika belajar di sekolah sangat beragam. Ada yang senang, bahkan lebih senang di banding kerja, namun demikian kondisi dan perasaan anak juga ada yang capek mikir, ada beban dan selalu pusing ketika berada dan belajar di sekolah. Ketika bekerja pekerja anak pada umumnya merasa senang. Mereka merasa bangga bisa membantu orang tua dan bangga. Alih-alih merasa malu, bekerja di usia anak, selama masih memprioritaskan sekolah justeru membuat rasa bangga bagi anak dan juga keluarga. Hal ini karena dalam kultur orang Pekalongan, bekerja dan berdagang adalah sudah menjadi indentitas masyarakat setempat.
7. Persepsi Anak terhadap Orang Tua, Juragan dan Guru
Pekerja anak memiliki pandangan bahwa orang tua mereka ada yang peduli dengan sekolah anaknya, namun juga ada yang tidak mempedulikan. Ada yang menganjurkan untuk sekolah ada yang membiarkan saja. Pandangan pekerja anak terhadap juragan dan gurunya sangat baik. Juragan sering membantu kebutuhan ekonominya dan memberi nasehat tentang sekolahnya. Pekerja anak yang masih sekolah menuturkan gurunya sangat peduli dan juga membantu. Mereka menilai gurunya sebagai sosok yang baik dan tidak pernah marah kalau sedang mengajar.
Pembahasan Hasil Penelitian
1. Dinamika psikologis pekerja anak yang putus sekolah
Khusus pada pekerja anak yang sudah tidak melanjutkan sekolah atau putus sekolah, mereka bekerja didorong oleh keinginan untuk bisa mengakses uang atau memperoleh penghasilan di samping keinginan untuk membantu orang tua. Motivasi lain adalah adanya dorongan dari orang tua, waktu luang yang dimiliki karena telah putus sekolah, ketersediaan pekerjaan bagi mereka, serta adanya pengaruh dari teman sebaya.
Bagi pekerja anak yang putus sekolah terdapat dua pola harapan yaitu optimis dan pesimis terhadap masa depannya. Bagi mereka yang optimis, mereka memandang pekerjaan yang sekarang digeluti adalah bersifat sementara dan berharap suatu saat bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Bagi mereka yang pesimis, mereka memandang pekerjaan saat ini adalah takdir yang harus mereka terima, meskipun sebelumnya mereka memiliki cita-cita seperti ingin menjadi guru atau dokter.
Pekerja anak putus sekolah memaknai sekolah secara beragam, namun pada umumnya mereka memaknai sekolah sebagai tempat untuk menimba ilmu, menambah pengetahuan, wawasan, menambah teman dan bekal mendidik anak. Pandangan pekerja anak putus sekolah terhadap pekerjaannya sendiri berbeda-beda. Sebagian mengatakan bahwa bekerja pada awalnya adalah sesuatu yang berat untuk dilakukan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu mereka mencoba membiasakan diri dengan kondisi yang ada, bahkan saat ini mereka sudah bisa menikmati pekerjaan itu sendiri.
Menghadapi konflik keberlanjutan sekolah pekerja anak putus sekolah mengalami perasaan yang berbeda-beda. Ada yang merasa sangat kecewa karena tidak bisa melanjutkan sekolahnya, ada yang merasa senang sudah terbebas dari sekolah ada juga yang biasa-biasa saja.
Pandangan pekerja anak putus sekolah terhadap orang tuanya menunjukkan pandangan yang berbeda-beda. Pekerja anak putus sekolah perempuan memandang orang tuanya sebenarnya peduli terhadap keberlangsungan sekolah mereka, akan tetapi kepedulian itu hanya ditunjukkan melalui ucapan semata tidak ada bentuk konkrit seperti dukungan biaya atau menemani belajar setiap harinya. Juragan tempat mereka bekerja juga dinilai baik karena tidak pernah memarahi mereka ketika melakukan kesalahan. Salah seorang pekerja anak laki-laki juga mengaku juragannya pernah mananyakan tentang keberlangsungan sekolahnya dan menasehati untuk meninggalkan pekerjaannya dan kembali melanjutkan sekolah. Berbeda dengan hasil penelitian Rauscher, dkk (2008) pada pekerja anak di industri retail dan servis di Amerika yang menunjukkan adanya unsur eksploitasi karena mereka mendapatkan kekerasan dalam pekerjaan, bekerja dengan waktu yang sangat panjang dan dengan peraturan yang sangat ketat.
Pekerja anak putus sekolah baik laki-laki maupun perempuan hanya memiliki sedikit waktu luang dan kesempatan untuk bermain dengan teman-teman seusianya. Padahal pada umumnya, anak-anak yang memasuki usia remaja membutuhkan waktu lebih banyak untuk berinteraksi dan menjalin persahabatan dengan teman sebaya. Remaja yang mempunyai persahabatan yang memuaskan dan harmonis menunjukkan tingkat harga diri yang lebih tinggi, kurang merasa kesepian, mempunyai kemampuan sosial yang lebih matang dibandingkan dengan remaja yang tidak mempunyai persahabatan yang mendukung (Kerr, dkk dalam Slavin, 2008).
2. Dinamika Psikologis Pekerja Anak yang Masih Sekolah
Bagi pekerja anak perempuan yang masih bersekolah mereka bekerja lebih didorong oleh perasaan iba atau empati atas penderitaan yang dialami oleh orang tuanya. Proses membantu orang tuanya ini dilakukan sepulang dari sekolah sampai selesai dan ketika libur sekolah. Waktu luang yang dimiliki digunakan untuk belajar, mengaji dan bermain dengan teman-teman. Perasaan pekerja anak yang masih sekolah ketika berinteraksi dengan teman-teman tidak mengalami hambatan yang berarti. Evaluasi terhadap diri pekerja anak yang masih sekolah ini termasuk tinggi. Hal ini disebabkan teman-teman yang lainpun sering membantu orang tuanya bekerja di sektor batik sehingga pekerja anak tidak merasa malu atau tidak percaya diri. Berdasarkan teori motivasi menurut Herzberg, dkk (1959) anak-anak yang bekerja membantu orang tuanya karena didorong oleh keinginan dirinya sendiri dan perasaan ingin memiliki ketrampilan bekerja memiliki motovasi yang tergolong pada motivasi intrinsik. Mesin penggerak motivasi intrinsik ini berupa perasaan turut bertanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup keluarga, adanya perasaan bangga bisa membantu orang tua serta adanya penilaian positif dari masyarakat bagi anak-anak yang bekerja.
Pekerja anak sektor batik di Pekalongan baik laki-laki maupun perempuan memiliki motif yang hampir sama yaitu keinginan untuk meringankan beban orang tua. Mereka melihat dan merasakan langsung penderitaan yang dialami orang tuanya. Teori kognitif Piaget mengatakan bahwa anak usia 7-11 tahun berada pada tahap operasional konkret. Anak-anak pada tahap ini dapat membentuk konsep, melihat hubungan, dan memecahkan masalah, tetapi sejauh mereka melibatkan objek dan situasi yang sudah dikenal (Slavin, 2008). Anak yang memutuskan bekerja dengan motivasi membantu orang tuanya mengetahui bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, orang tua pekerja anak, baik bapak maupun ibunya harus bekerja dan berusaha keras. Atas usaha orang tuanya, anak juga paham bahwa hasil yang diperoleh dari kerja orang tua masih jauh dari cukup untuk memenuhi biaya makan, sandang, papan dan kebutuhan lainnya.
Pekerja anak perempuan yang masih sekolah pada umumnya bercita-cita ingin menjadi guru karena figur guru dianggap sebagai orang yang turut mencerdaskan anak-anak bangsa. Akan tetapi mereka juga menyadari dengan kondisi keluarganya yang serba kekurangan. Mereka juga merasa khawatir dan kecewa jika tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi karena mereka memiliki harapan yang besar untuk bisa melanjutkan sekolahnya. Pekerja anak laki-laki maupun perempuan yang masih sekolah memaknai sekolah sebagai sesuatu yang penting untuk menunjang masa depannya supaya lebih baik, mudah mendapatkan pekerjaan dan sukses. Sekolah dianggap sesuatu yang menyenangkan karena bisa bertemu dengan teman-teman, bermain serta belajar bersama dan mendapatkan ilmu pengetahuan.
Pekerja anak yang sekolah memandang orang tuanya sangat peduli terhadap pendidikannya. Hal ini dibuktikan dengan orang tua rela bersusah payah demi membiayai sekolah, senantiasa mendukung serta tidak lupa mengingatkan waktu belajar meskipun tidak bisa membantu menyelesaikan tugas-tugas sekolah karena pendidikan yang rendah.
Proses kelangsungan sekolah pekerja anak juga dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap guru dan juragan tempat mereka bekerja. Pekerja anak yang masih sekolah memandang guru sebagai figur yang harus ditiru, menyenangkan dan baik. Guru dipandang sebagai orang yang memiliki banyak ilmu dan dengan sepenuh hati mendidik murid-murid supaya menjadi pandai. Pandangan pekerja anak yang masih sekolah terhadap juragannya juga positif. Juragan dipandang sebagai seorang yang baik karena memberinya pekerjaan, terkadang memberi nasehat supaya rajin sekolah, dan terkadang memberi tambahan uang untuk jajan. Pandangan-pandangan positif inilah yang juga memberi pengaruh pada pekerja anak untuk tetap bekerja membantu orang tuanya dan tetap melanjutkan sekolahnya.
SIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI
Simpulan
Dari hasil dan pembahasan penelitian sebagaimana dalam bagian di atas, maka penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, dinamika psikologis keberlangsungan sekolah anak yang berprofesi sebagai pekerja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antara faktor yang dimaksud adalah motivasi kerja, arti penting sekolah menurut pekerja anak, kondisi afektif anak ketika bekerja dan sekolah, serta pandangan pekerja anak terhadap orang tua, guru dan juragan.
Kedua, hasil penelitian memperoleh pemahaman bahwa menurut pekerja anak, sekolah memiliki arti penting sebagai tempat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, wawasan, serta bisa dijadikan bekal untuk mendidik anak. Melalui sekolah, pekerja anak juga dapat menambah teman pergaulan, sehingga sekolah dinilai sebagai tempat yang menyenangkan. Di samping itu, pekerja anak menganggap bahwa institusi sekolah merupakan lembaga yang dapat mengantarkan masa depan seseorang menjadi lebih sukses.
Ketiga, pekerja anak memiliki pandangan positif terhadap orang tua, guru dan juragannya. mereka menganggap orang tuanya peduli terhadap sekolah meskipun bentuk kepedulian itu berbeda-beda. Guru di sekolah juga dipandang sebagai seorang yang baik karena memberikan pendidikan bagi mereka meskipun terkadang guru tidak mengetahui bahwa anak didiknya memiliki profesi lain sebagai pekerja di sektor batik. Begitu juga dengan juragan di tempat kerja. Pekerja anak memandang juragan sebagai seorang yang baik karena memberi mereka kesempatan untuk bekerja dan tidak memarahinya ketika melakukan kesalahan. Kondisi psikologis pekerja anak di sektor batik juga tergolong baik, mereka merasa nyaman ketika bekerja, senang dan tidak tertekan.
Saran-saran/Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan penelitian di atas, peneliti menyampaikan saran-saran berikut.
Pertama, bahwa sekolah bagi anak adalah persoalan penting. Sebab itu, perlu pendidikan alternatif yang dapat memfasilitasi pekerja anak agar dapat terus melanjutkan sekolahnya.
Kedua, bagi pekerja anak yang masih melanjutkan sekolah, agar dapat menggabungkan kegiatan bekerja dan sekolah secara proporsional. Mengelola waktu antar belajar dan bekerja semestinya dilakukan dengan baik.
Ketiga, bagi pekerja anak yang telah berhenti sekolah, tidak semestinya berhenti belajar. Anak diharapkan tetap belajar tentang keterampilan membaca dan menulis secara informal atau otodidak. Pekerja anak dapat belajar di lembaga-lembaga pendidikan alternatif yang sekarang mulai dikembangan oleh beberapa kalangan.
Keempat, bagi para orang tua yang memiliki anak sekolah dan juga menjadi pekerja, hendaknya tetap mempertimbangkan kondisi psikologinya. Dunia anak yang mestinya bermain dan bersenang-senang, jangan sampai dibebani tugas baik belajar maupun berkerja di luar kemampuan anak.
Kelima, bagi guru di sekolah perlu mengidentifikasi siswanya, apakah anak didiknya ada yang sekolah sambil kerja, atau tidak. Jika terdapat anak yang sekolah berprofesi sebagai pekerja anak, maka guru harus dapat membimbing, memotivasi dan memperlakukan anak secara khusus, sesui dengan kondisi psikologisnya yang disebabkan beban ganda, yaitu belajar dan bekerja.
Keenam, bagi juragan batik yang mempekerjakan anak, agar mendorong mereka untuk melanjutkan sekolah dan menjaga kondisi psikologis pekerja anak.
Ketujuh, kepada akademisi, peneliti atau peminat kajian psikologis pekerja anak agar melakukan riset lebih lanjut, untuk mengembangkan hasil temuan ini.
Kedelapan, bagi pembuat kebijakan pendidikan di semua level, mulai dari tingkat legislatif, eksekutif: presiden, kementerian atau dinas pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat yang akan melakukan pendampingan terhadap keberlangsungan pendidikan pekerja anak, agar memanfaatkan hasil kajian yang telah dilakukan, termasuk hasil penelitian ini. Sehingga dalam menginisiasi terpenuhinya harapan-harapan dan kebutuhan pekerja anak terhadap sekolah sesuai sasaran dan tidak sia-sia.
DAFTAR PUSTAKA
Abebe, T., & Kjorholt, T. (2009). Social actors and victims of exploitation: working children in the cash economy of Ethiopia’s South. Journal of Childhood. Vol. 16;175
Anoraga, P. (2006). Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta
Badan Pusat Statistik (2009). Survey Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta.
Brukuth, A. (2005). Child labour and debt bondage: A case study of brick klin workers in Southeast India. Journal of Asian and African studies. 40, 287
Crain, W. (2007). Teori Perkembangan; Konsep dan Aplikasi. Alih bahasa: Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (2009). Handbook of Qualitative Research. Alih bahasa: Dariyanto, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Depdikbud, (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Desmita, (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Panduan bagi Orang tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP, dan SMA. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Dottridge, M., & Stuart, L. (2005). End child exploitation; child labour today. UK: UNICEF.
El-Anzy, F.O. (2005). Academic achievement and its relationship with anxiety, self esteem, optimism and pesimism in kuwaiti students. Social Behavior and Personality. Vol. 33 (1) hal: 95 – 104
Fan, X., & Chen, M. (2001). Parental involvement and students’ academic achievement: meta-analiysis. Educational Psychology Review. Vol.13, No. 1, hal: 1-21
Fraenkel, J.R., & Wallen N.E. (2007). How to Design and Evaluate Research in Education (6th ed.). New York: McGraw Hill.
Garg, R., Levin, E., Urajnik, D., & Kauppi, C., (2005). Parenting style and academic achievement for east indian and canadian adolescencets. Journal of Comparative Family Studies. Hal: 653-661
Gibson, J.L. Ivancevich, J.M., & Donelly, J.M., (1994). Organization, Behavior, Structure, Processes. Illionis: Richard D. Irvin
Hasbullah. (2009). Dasar-dasar ilmu Pendidikan. Edisi revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Herzberg, F., Mausner, B., & Snyderman, B., (1959). The Motivation to Work. New York: Jhon Willey and Sons
Hurlock, E.B. (2006). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa: istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Jha, M. (2008). Child worker in India; Contex and Complexities. Springer Science and Bussines Media
Khanam, R. (2008). Child Labour and Schooling Attendance; Evidence from Bangladesh. Journal of Social Economics. Vol. 35. No. 1/2. hal: 77-98
Lens, W., Lacante, M., Vansteenkiste, M., & Herrera, D., (2005). Study persistence and academic achievement as a function of the type of competing tendencies. European. Journal of Psychology of Education. Vol. XX. hal : 275 - 287
Maghfur, Basyir. M., Zuhri., Ula. M., & Koirul B., (2006). Nestapa Masyarakat Pekalongan, di Balik Kantung Tebal Pengusaha Batik: Pekalongan: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) STAIN Pekalongan
Maslow, A.H. (1954). Motivation and Personality. New York: Herper & Row
McKenna, E., & Beech, N., (2002). The Essence of Human Resource Management. Yogyakarta: Andi Ofset & Pearson Education Asia
McMillan, J, H. and Schumacher, S. (2006). Research in Education: Evidence-Based Inquiry. Sixth Edition. New York: Pearson..
Mehrotra, S. & Biggeri, M. (2002). The subterranian child labour force: subcontracted home based manufacturing in asia. Innocenti Working Paper. No.96. Florence: Unicef Innocenti Research Center
Monks, F.J., Knoer, A.M.P & Haditono, S.R., (2004). Psikologi Perkembangan; Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Nimbona, G., Berge, M., Roschanski, H., Lange, A., & Groot, A (2005). Studying child labour: policy implication of child centered Research. Foundation of International Research on Working Children (IREWOC).
Qorashi, B.S. (2007). Keringat Buruh: Hak dan Peran Pekerja dalam Islam. Penerjemah : Ali Yahya. Jakarta: Al-Huda
Rauscher, K.J; Runyan C.W; Schulman, M.D & Bowling, J.M . (2008). Us child labour violations in the retail and service industries, findings from a national survey of working adolescents. American Journal of Public Healt. Vol. 98. No. 9.
Salmon, C. (2005). Child labour in bangladesh; are children the last economic resource of the household ? www.sagepublications.com. Vol. 21 (1-2) hal: 33-54
Santrock, J.W. (2008). Perkembangan Anak. Edisi Ketujuh. Jilid Dua. Alih Bahasa : Mila Rahmawati & Anna Kuswanti. Jakarta: Erlangga.
Shih, S.S., (2005). Role of Achievement Goals in Children’s Learning in Taiwan. The Journal of Educational Research. Vol.98 (no.5).
Slavin, R.E. (2009). Psikologi Pendidikan ; Teori dan Praktek. Edisi kedelapan. Penerjemah : Marianto Samosir. Jakarta : Indeks
Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basics of Qualitative Reasearch: Grounded Theory Procedures and Techniques. CA: Sage. Newbury Park.
Suyanto, B. (2003). Pekerja Anak dan Kelangsungan Pendidikannya. Surabaya: Airlangga University Press.
Tim Penyusun Sisdiknas (2003). Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Yogyakarta: Media Wacana
Tiwari, RR, Saha A. & Parikh JR. (2009). Respiratory morbidities among working chilren of gem polishing industries, India. Journal of Taziology and Industrial Healt: 25: 81-84.
Usman, H, & Nachrowi, D.N. (2004). Pekerja Anak di Indoensia: Kondisi Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif). Jakarta: Gramedia.
White, B. & Tjandraningsih, I. (1998). Child Workers in Indonesia. Bandung: Akatiga.
Yin, R.K., (2009). Studi Kasus; Desain & Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Jumlah Pekerja Anak di Indonesia masih tinggi. http://www.disnakertrans-jateng.go.id. Diunduh tanggal 20 Januari 2010

KINERJA GURU PASCA SERTIFIKASI (STUDI TERHADAP KINERJA GURU MADRASAH DAN GURU PAIS PADA SEKOLAH UMUM DI PROPINSI SUMATERA SELATAN)

Oleh: Dr. Nyayu Khodijah, S.Ag, M.Si
(Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang)
Abstrak
Berbagai upaya peningkatan kualitas guru telah dilakukan pemerintah, salah satunya adalah melalui program sertifikasi guru. Namun kenyataan yang berkembang adalah bahwa program sertifikasi ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, guru yang telah lolos sertifikasi ternyata tidak menunjukkan kualitas yang diharapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja guru madrasah dan guru Pendidikan Agama Islam di sekolah umum setelah memperoleh tunjangan profesional melalui program sertifikasi guru. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif komparatif. Populasinya adalah guru-guru madrasah dan guru Pendidikan Agama Islam di Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin yang telah mengikuti program sertifikasi dan menerima tunjangan profesi. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik multistage sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner, wawancara, dan telaah dokumentasi, sedang analisis datanya dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kinerja guru pasca sertifikasi, baik secara keseluruhan, maupun dilihat dari aspek perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian pembelajaran, dan pengembangan profesi, semuanya menunjukkan kinerja yang masih di bawah standar. Penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kinerja antara guru madrasah dan guru Pendidikan Agama Islam, antara guru yang tinggal di perkotaan dan di pedesaan, dan antara guru yang lulus sertifikasi melalui jalur portofolio dan melalui jalur PLPG. Rekomendasi yang diajukan adalah hendaknya pelaksanaan program sertifikasi lebih ditujukan pada peningkatan kesadaran guru akan pentingnya peningkatan kinerja mereka dalam peningkatan kualitas pendidikan di sekolah/madrasah.
Kata-kata Kunci: kinerja guru, program sertifikasi guru
Abstract
Various efforts to improve the quality of teachers have been done by the Government, and the program of teacher certification is one of them. But the reality show that the certification program was not as expected, teachers who have passed the certification did not demonstrate expected quality. This research aims to figure out the performance teachers after receiving the profession subsidy through the program of teacher certification. This research applies descriptive-comparative method. The population is a number of madrasah and PAIS teachers in Palembang City and Banyuasin Regency who have passed the certification program and received the profession subsidy. The sample is taken through the application of multistage sampling. Research data is collected through questioner, interview, and documentation analysis, and then analyzed quantitatively and qualitatively. Research results show that teachers’ performance after passed the program, either as a whole, and viewed from the aspect of lesson planning, implementation of learning, learning assessment, and professional development, all indicate that the performance is still below standard. Beside that, this research show that there is no difference after receiving profession subsidy between madrasah teachers’ performance and PAIS teachers’ performance, between teachers who live in urban and in rural areas, and between those who pass the certification program through portfolio and PLPG. The recommendation proposed is the implementation of the certification program should be aimed more at increasing teacher awareness of the importance of increasing their performance in improving the quality of education in schools/madrasah.
Keywords: teacher’s performance, teacher certification program
Pendahuluan
Sebagai figur sentral dalam proses pendidikan di sekolah/madrasah, guru merupakan komponen ataupun unsur yang sangat menentukan keberhasilan suatu pendidikan. Figur yang satu ini akan senantiasa menjadi sorotan strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan itu sendiri. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah/madrasah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas.
Begitu pentingnya peran guru dalam proses pendidkan, maka seorang guru dituntut untuk selalu meningkatkan kemampuannya sebagai tenaga yang bermartabat dan profesional. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidkan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas.
Berbagai upaya peningkatan kalitas guru telah dilakukan. Seperti peningkatan kemampuan/penguasaan tentang berbagai macam strategi ataupun metode pembelajaran melalui berbagai kegiatan (workshop, diklat, dsb), dan tidak kalah menariknya adalah peningkatan kualitas guru melalui program sertifikasi guru. Namun program sertifikasi tersebut yang sejatinya adalah untuk meningkatkan kompetensi guru ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan, guru yang telah lolos sertifikasi ternyata tidak menunjukkan kompetensi yang signifikan (Kompas, 13 November 2009). Menurut Prof. Dr. Baedhowi, dalam pidato pengukuhan guru besar pada FKIP Universitas Sebelas Maret Solo, memaparkan kajiannya, bahwa motivasi para guru mengikuti sertifikasi umumnya terkait aspek finansial, yaitu segera mendapat tunjangan profesi (Kompas, 13 November 2009). Motivasi yang sama ditemukan oleh Direktorat Jenderal PMPTK Depdiknas ketika melakukan kajian serupa di Propinsi Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat tahun 2008. Hasilnya menunjukkan, walaupun alasan mereka bervariasi, secara umum motivasi mereka mengikuti sertifikasi ialah finansial. Tujuan utama sertifikasi untuk mewujudkan kompetensi guru tampaknya masih disikapi sebagai wacana (Kompas, 13 November 2009).
Kenyataan tersebut, menunjukkan bahwa sertifikasi guru tidaklah cukup sebagai upaya mewujudkan dan meningkatkan kompetensi guru. Meski telah dinyatakan lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi, bukan berarti guru telah memiliki kompetensi yang dipersyaratkan undang-undang. Untuk mewujudkan guru yang benar-benar profesional, pasca sertifikasi perlu adanya upaya sistematis dan sinergis dan berkesinambungan yang menjamin guru tetap profesional.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dikaji lebih lanjut tentang dampak sertifikasi. Salah satunya adalah mengkaji kinerja guru setelah memperoleh tunjangan profesional melalui program sertifikasi guru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja guru madrasah dan guru PAIS di sekolah umum setelah memperoleh tunjangan profesional melalui program sertifikasi guru. Mengingat diduga adanya perbedaan kinerja antara guru yang tinggal di kota dan yang tinggal di desa, antara yang lulus sertifikasi melalui jalur portofolio dan jalur PLPG, dan antara guru madrasah dan guru PAIS di sekolah umum, maka penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui perbedaan kinerja setelah memperoleh tunjangan profesional melalui program sertifikasi guru antara guru madrasah dan guru PAIS di sekolah umum, antara guru yang tinggal di kota dan yang tinggal di desa, dan antara guru yang lulus sertifikasi melalui jalur portofolio dan jalur PLPG.
Kajian Pustaka
Guru adalah sebuah profesi. Profesionalisme guru mendapat pengakuan karena sejumlah alasan: (1) lapangan pekerjaan keguruan atau kependidikan bukan merupakan suatu lapangan kerja rutin yang dapat dilakukan karena pengulangan-pengualangan atau pembiasaan. Lapangan pekerjaan inipun tidak dapat dilaksanakan berdasarkan amatirisme dan coba-coba (trial and errors) tetapi memerlukan perencanaan, manajemen yang mempertimbangkan komponen-komponen sistemnya (in-put, process, out-put, user); (2) lapangan pekerjaan ini memerlukan dukungan ilmu atau teori yang akan memberi konsepsi teoritis ilmu kependidikan dengan cabang-cabangnya; dan (3) lapangan pekerjaan ini memerlukan waktu pendidikan dan latihan yang lama, berupa pendidikan dasar (basic education) untuk taraf sarjana yang memiliki suatu pengetahuan dan ketrampilan tertentu kadang kala memerlukan tambahan pendidikan professional (Idi, 2006: 136).
Karena itu, untuk menjadi seorang guru seseorang dituntut memiliki keahlian sebagai guru yang disebut dengan kompetensi. Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Bab IV Pasal 10 ayat 1 disebutkan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru “meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”.
Guna melaksanakan profesinya tersebut, guru dihadapkan pada berbagai tugas dengan tuntutan kinerja yang optimal. Kinerja diartikan sebagai suatu pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu yang akhirnya secara langsung dapat tercermin dari output yang dihasilkan baik kuantitas maupun kualitasnya (Simamora, 2000:423). Sejalan dengan ini Bernardin dan Russel dalam Rucky (2002: 15) memberikan definisi kinerja: Performance is defined as the record of outcomes produced on a specific job function or activity during a specific time period (kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian, kinerja adalah prestasi kerja, yaitu hasil yang dicapai seseorang setelah melakukan pekerjaan.
Untuk mengetahui apakah kinerja seorang guru sudah cukup optimal atau belum dapat dilihat dari berbagai indikator. Menurut Simamora (2000: 423), indikator-indikator kinerja meliputi: 1) keputusan terhadap segala aturan yang ditetapkan organisasi; 2) dapat melaksanakan pekerjaan atau tugasnya tanpa kesalahan (atau dengan tingkat kesalahan yang paling rendah); dan 3) ketepatan dalam menjalankan tugas. Ukuran kinerja secara umum yang kemudian diterjemahkan ke dalam penilaian perilaku secara mendasar meliputi: 1) mutu kerja; 2) kuantitas kerja; 3) pengetahuan tentang pekerjaan; 4) pendapat atau pernyataan yang disampaikan; 5) keputusan yang diambil; 6) perencanaan kerja; dan 7) daerah organisasi kerja. Sedang kinerja untuk tenaga guru umumnya dapat diukur melalui: 1) kemampuan membuat perencanaan; 2) kemampuan melaksanakan rencana pembelajaran; 3) kemampuan melaksanakan evaluasi; dan 4) kemampuan menindaklanjuti hasil evaluasi.
Moh. Uzer Usman (2006: 10-19) mengemukakan beberapa indikator kinerja untuk dapat dilihat peran guru dalam meningkatkan kemampuan dalam proses belajar-mengajar. Indikator kinerja tersebut adalah: 1) Kemampuan merencanakan belajar mengajar, yang meliputi: a) menguasai garis-garis besar penyelenggaraan pendidikan, b) menyesuaikan analisa materi pelajaran, c) menyusun program semester, d) menyusun program atau pembelajaran; 2) Kemampuan melaksanakan kegiatan belajar mengajar, yang meliputi: a) tahap pra instruksional, b) tahap instruksional, c) tahap evaluasi dan tidak lanjut; dan 3) Kemampuan mengevaluasi, yang meliputi: a) evaluasi normatif, b) evaluasi formatif, c) laporan hasil evaluasi, dan d) pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan. Nana Sudjana (2004: 50) mengemukakan seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru profesional, yaitu: 1) menguasai bahan, 2) mengelola program belajar mengajar, 3) mengelola kelas, 4) mengunakan media atau sumber belajar, 5) menguasai landasan pendidikan, 6) mengelola interaksi belajar-mengajar, 7) menilai prestasi belajar-mengajar, 8) mengenal fungsi bimbingan dan penyuluhan, 9) mengenal dan meyelenggarakan admistrasi sekolah, dan 10) memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pengajaran.
Depdiknas (2000: 89) mengemukakan tujuh unsur yang merupakan indikator kinerja guru, yaitu: 1) penguasaan landasan kependidikan, 2) penguasaan bahan pembelajaran, 3) pengelolaan proses belajar mengajar, 4) penggunaan alat pelajaran, 5) pemahaman metode penelitian untuk peningkatan pembelajaran, dan 6) pemahaman administrasi sekolah. Schacter (2000: 14) membagi indikator kinerja guru dalam tiga bagian, yaitu: 1) keterampilan, pengetahuan, dan tanggung jawab guru, 2) pencapaian prestasi siswa pada level kelas, dan 3) pencapaian prestasi sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa kinerja guru adalah hasil yang dicapai oleh guru dalam pelaksanaan tugas mengajar yang bermutu. Dalam penelitian ini, kinerja guru dimaksudkan sebagai unjuk kerja oleh guru dalam pelaksanaan tugas mengajar setelah lulus dan memperoleh tunjangan profesional melalui program sertifikasi guru yang dilihat dari empat indikator, yaitu: 1) kinerja dalam perencanaan pembelajaran, yang meliputi: a) menguasai garis-garis besar penyelenggaraan pendidikan, b) menyesuaikan analisa materi pelajaran, c) menyusun program tahunan dan program semester, dan d) menyusun program atau pembelajaran mencakup silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran; 2) kinerja dalam pelaksanaan pembelajaran, yang meliputi: a) tahap pra instruksional, b) tahap instruksional, c) tahap evaluasi dan tidak lanjut; 3) kinerja dalam penilaian pembelajaran, yang meliputi: a) evaluasi normatif, b) evaluasi formatif, c) laporan hasil evaluasi, dan d) pelaksanaan program perbaikan dan pengayaan; serta 4) kinerja dalam pengembangan profesi.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed methods (Creswell & Clark, dalam Creswell, 2008: 552), yaitu penggunaan pendekatan baik kuantitatif maupun kualitatif dalam satu penelitian guna memahami masalah penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dekriptif komparatif, yaitu menggambarkan fenomena yang ada disertai dengan upaya untuk membandingkan berdasarkan keadaan yang mungkin mempengaruhi perbedaannya.
Lokasi penelitian adalah Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin. Populasi adalah guru yang mengajar di madrasah (MI, MTs, maupun di MA), dan guru PAIS di sekolah (SD, SMP, maupun SMA) di lokasi penelitian yang sudah lulus sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi. Artinya, mereka yang mengikuti program sertifikasi pada tahun 2007 dan 2008 dan mendapatkan tunjangan setahun setelahnya. Berdasarkan yang diperoleh dari Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Fatah Palembang sebagai penyelenggara kegiatan sertifikasi guru di propinsi Sumatera Selatan, jumlah guru madrasah dan guru PAIS yang sudah lulus sertifikasi pada tahun 2007 dan 2008 dan mendapatkan tunjangan profesi di Kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin adalah sebanyak 330 orang.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah multistage sampling dengan cara proportional probability. Pengambilan sampel dilakukan 2 (dua) tahapan sebagai berikut: Pertama, pemilihan sampel kota/kabupaten, dilakukan secara purposive dan dipilih kota Palembang dan Kabupaten Banyuasin dengan pertimbangan mewakili kondisi perkotaan dan pedesaan. Kedua, pemilihan sampel responden, baik responden guru madrasah dan guru PAIS. Dalam hal ini digunakan teknik random sampling sebesar ±12,5% dari total populasi. Sehingga jumlah total sampel responden penelitian ini adalah 41 orang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi: kuesioner, wawancara, dan telaah dokumentasi. Kuesioner untuk menggali data tentang kinerja guru setelah lulus sertifikasi dan memperoleh tunjangan. Dalam hal ini, yang dijadikan indikator kinerja guru meliputi; kinerja guru dalam perencanaan pembelajaran, kinerja guru dalam pelaksanaan pembelajaran, kinerja guru dalam penilaian pembelajaran, serta kinerja guru dalam pengembangan profesi. Untuk memastikan validitas dari instrumen yang digunakan, maka sebelum dianalisis dengan analisis deskriptif terlebih dahulu dianalisis validitasnya.
Wawancara untuk mengali data tentang penilaian kepala madrasah/sekolah terhadap kinerja guru setelah lulus dan memperoleh tunjangan profesi melalui program sertifikasi, serta faktor-faktor penghambat dan pendukungnya.
Telaah dokumen untuk menggali data pendukung penelitian berkaitan dengan kinerja guru dalam perencanaan pembelajaran. Dalam hal ini, telaah dokumen dilakukan berdasarkan penilaian kepala madrasah/sekolah.
Sedang analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan. Data kuantitatif yang dikumpulkan melalui kuesioner dianalisis secara kuantitatif dengan teknik statistik distribusi frekuensi dan persentase, sedang data hasil wawancara dan telaah dokumentasi dianalisis secara kualitatif dengan teknik analisis deskriptif kualitatif dari Miles dan Huberman.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil Kuesioner
Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap data kinerja guru yang dikumpulkan melalui kuesioner yang diisi oleh 41 orang responden, diketahui bahwa kinerja guru secara keseluruhan, baik guru madrasah maupun guru PAIS di sekolah umum mencapai rata-rata 95,02, median 99, modus 99, dengan rentangan skor terletak antara 66 - 111 dalam rentang teoritik 0 – 117. Data kinerja guru selengkapnya tergambar pada tabel dan histogram berikut ini.
Tabel 1. Statistik Deskriptif Skor Kinerja Guru
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Skor Kinerja Guru
Gambar 1. Histogram Skor Kinerja Guru
Berdasarkan skor persentil dari masing-masing responden, dilakukan kategorisasi kinerja guru dengan perhitungan: skor maksimal = 117, skor minimal = 0, mean = 95,02, deviasi standar = 13,07. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka batasan kategori tinggi adalah: Mean + 1 Deviasi Standar = 95,02 + 13,07 = 108,09, sedang batasan kategori rendah adalah: Mean - 1 Deviasi Standar = 95,02 – 13,07 = 81,95. Dengan demikian, batasan kategori kinerja guru adalah:
Tinggi
Sedang
Rendah
:
:
:
108, 10 – 117
81,96 – 108,09
0 – 81,95
Berdasarkan kategori tersebut, diketahui bahwa rata-rata kinerja guru (95,02) berada pada kategori Sedang.
Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik persentase untuk masing-masing kategori. Hasilnya, dari 41 guru yang menjadi responden, hanya 3 orang (7,32%) menunjukkan kinerja yang mendekati standar kinerja yang berlaku, sedang sisanya 38 orang (92,68%) menunjukkan kinerja yang masih jauh di bawah standar kinerja. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kinerja sebagian besar guru pasca sertifikasi masih di bawah standar kinerja. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Kinerja Guru Pasca Sertifikasi
No.
Kinerja Guru
Frekuensi
Persentase
1.
2.
Mendekati standar kinerja
Jauh di bawah standar kinerja
3
38
7,32
92,68
Jumlah
41
100
Secara khusus, dilihat dari masing-masing indikator, hasil analisis data kinerja guru menunjukkan sebagai berikut:
1. Kinerja guru dalam perencanaan pembelajaran
Berdasarkan standar kinerja yang berlaku, diketahui bahwa mean (rata-rata) kinerja guru dalam melaksanakan perencanaan pembelajaran adalah 25,39, median 27, modus 28, dengan rentangan skor terletak antara 16 – 30, dalam rentang teoritik 0 – 30. Histogramnya tergambar berikut ini.
Gambar 2. Histogram Skor Kinerja Guru
dalam Perencanaan Pembelajaran
Selanjutnya dilakukan kategorisasi kinerja guru dengan perhitungan: skor maksimal = 30, skor minimal = 0, mean = 25,39, dan deviasi standar = 3,67. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka batasan kategori tinggi adalah: Mean + 1 Deviasi Standar = 25,39 + 3,67 = 29,06, sedang batasan kategori rendah adalah: Mean - 1 Deviasi Standar = 25,39 - 3,67 = 21,72. Dengan demikian, batasan kategori kinerja guru adalah:
Tinggi
Sedang
Rendah
:
:
:
29,07 - 30
21,73 - 29,06
0 - 21,72
Berdasarkan kategori tersebut, diketahui bahwa rata-rata kinerja guru dalam perencanaan pembelajaran (25,39) berada pada kategori Sedang.
Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik persentase untuk masing-masing kategori. Hasilnya, 33 orang (80,49%) menunjukkan kinerja yang sedang, 7 orang (17,07%) menunjukkan kinerja yang rendah, dan hanya 1 orang (2,44%) menunjukkan kinerja yang tinggi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kinerja sebagian besar guru pasca sertifikasi tergolong kategori sedang.
2. Kinerja guru dalam pelaksanaan pembelajaran
Berdasarkan standar kinerja yang berlaku, diketahui bahwa mean (rata-rata) kinerja guru dalam melaksanakan proses pembelajaran adalah 43,20, median 44, modus 49, dengan rentangan skor terletak antara 33 – 50, dalam rentang teoritik 0 – 51. Histogramnya tergambar berikut ini.
Gambar 3. Histogram Skor Kinerja Guru
dalam Pelaksanaan Pembelajaran
Selanjutnya dilakukan kategorisasi kinerja guru dengan perhitungan: skor maksimal = 51, skor minimal = 0, mean = 43,20, dan deviasi standar = 5,49. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka batasan kategori tinggi adalah: Mean + 1 Deviasi Standar = 43,20 + 5,49 = 48,69, sedang batasan kategori rendah adalah: Mean - 1 Deviasi Standar = 43,20 - 5,49 = 37,71. Dengan demikian, batasan kategori kinerja guru adalah:
Tinggi
Sedang
Rendah
:
:
:
48,70 - 51
37,72 – 48,69
0 – 37,71
Berdasarkan kategori tersebut, diketahui bahwa rata-rata kinerja guru dalam pelaksanaan pembelajaran (43,20) berada pada kategori Sedang.
Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik persentase untuk masing-masing kategori. Hasilnya, 23 orang (56,10%) menunjukkan kinerja yang sedang, 10 orang (24,39%) menunjukkan kinerja yang tinggi, dan 8 orang (19,51%) menunjukkan kinerja yang rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kinerja sebagian besar guru pasca sertifikasi tergolong kategori sedang, meskipun yang kinerjanya tinggi dan rendah jumlahnya juga cukup signifikan.
3. Kinerja guru dalam penilaian pembelajaran
Berdasarkan standar kinerja yang berlaku, diketahui bahwa mean (rata-rata) kinerja guru dalam melaksanakan penilaian pembelajaran adalah 23,12, median 23, modus 28, dengan rentangan skor terletak antara 15 – 30, dalam rentang teoritik 0 – 30. Histogramnya tergambar berikut ini.
Gambar 4. Histogram Skor Kinerja Guru
dalam Penilaian Pembelajaran
Selanjutnya dilakukan kategorisasi kinerja guru dengan perhitungan: skor maksimal = 30, skor minimal = 0, mean = 23,12, dan deviasi standar = 4,44. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka batasan kategori tinggi adalah: Mean + 1 Deviasi Standar = 23,12 + 4,44 = 27,56, sedang batasan kategori rendah adalah: Mean - 1 Deviasi Standar = 23,12 - 4,44 = 18,68. Dengan demikian, batasan kategori kinerja guru adalah:
Tinggi
Sedang
Rendah
:
:
:
27,57 - 30
18,69 – 27,56
0 – 18,68
Berdasarkan kategori tersebut, diketahui bahwa rata-rata kinerja guru dalam penilaian pembelajaran (23,12) berada pada kategori Sedang.
Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik persentase untuk masing-masing kategori. Hasilnya, 23 orang (56,10%) menunjukkan kinerja yang sedang, 12 orang (29,27%) menunjukkan kinerja yang tinggi, dan 6 orang (14,63%) menunjukkan kinerja yang rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kinerja sebagian besar guru pasca sertifikasi tergolong kategori sedang, meskipun yang kinerjanya tinggi dan rendah jumlahnya juga cukup signifikan.
4. Kinerja guru dalam pengembangan profesi
Berdasarkan standar kinerja yang berlaku, diketahui bahwa mean (rata-rata) kinerja guru dalam pengembangan profesi adalah 3,32, median 3, modus 3, dengan rentangan skor terletak antara 0 - 6, dalam rentang teoritik 0 – 6. Histogramnya tergambar berikut ini.
Gambar 5. Histogram Skor Kinerja Guru
dalam Pengembangan Profesi
Selanjutnya dilakukan kategorisasi kinerja guru dengan perhitungan: skor maksimal = 6, skor minimal = 0, mean = 3,32, dan deviasi standar = 1,439. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka batasan kategori tinggi adalah: Mean + 1 Deviasi Standar = 3,32 + 1,44 = 4,76, sedang batasan kategori rendah adalah: Mean - 1 Deviasi Standar = 3,32 - 1,44 = 1,88. Dengan demikian, batasan kategori kinerja guru adalah:
Tinggi
Sedang
Rendah
:
:
:
4,77 - 6
1,89 – 4,76
0 – 1,88
Berdasarkan kategori tersebut, diketahui bahwa rata-rata kinerja guru dalam pengembangan profesi (3,32) berada pada kategori Sedang.
Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik persentase untuk masing-masing kategori. Hasilnya, 31 orang (75,61%) menunjukkan kinerja yang sedang, 6 orang (14,63%) menunjukkan kinerja yang tinggi, dan 4 orang (9,76%) menunjukkan kinerja yang rendah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kinerja sebagian besar guru pasca sertifikasi tergolong kategori sedang, meskipun yang kinerjanya tinggi dan rendah jumlahnya juga cukup signifikan.
Selanjutnya, dilihat dari perbedaan kinerja berdasarkan perbedaan tempat tugas (madrasah atau guru PAIS di sekolah umum), perbedaan lingkungan sosial budaya (di lingkungan perkotaan atau pedesaan), dan perbedaan jalur sertifikasi (jalur portofolio atau PLPG), maka diperoleh hasil penelitian berikut.
1. Perbedaan kinerja guru madrasah dan kinerja guru PAIS
Hasil uji-t terhadap perbedaan skor kinerja guru madrasah dan guru PAIS diperoleh harga t = -0,967 dengan taraf signifikansi = 0,339. Dengan demikian, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan kinerja antara guru yang bertugas di madrasah dengan guru PAIS yang bertugas di sekolah umum. Dengan kata lain, perbedaan tempat tugas guru tidak menyebabkan perbedaan kinerja mereka pasca sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi. Namun jika dilihat dari mean (rata-rata) skor kinerja guru, diketahui bahwa rata-rata kinerja guru PAIS (97,60) lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kinerja guru madrasah (93,50).
2. Perbedaan kinerja guru yang tinggal di perkotaan dan yang tinggal di pedesaan
Hasil uji-t terhadap perbedaan skor kinerja guru yang tinggal di perkotaan dan yang tinggal di pedesaan diperoleh harga t = 1,276 dengan taraf signifikansi = 0,209. Dengan demikian, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan kinerja antara guru yang tinggal di perkotaan dan yang tinggal di pedesaan. Dengan kata lain, perbedaan lingkungan sosial budaya guru tidak menyebabkan perbedaan kinerja mereka pasca sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi. Namun jika dilihat dari mean (rata-rata) skor kinerja guru, diketahui bahwa rata-rata kinerja guru yang tinggal di perkotaan (96,96) lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kinerja guru yang tinggal di pedesaan (91,60).
3. Perbedaan kinerja guru yang lulus sertifikasi melalui jalur portofolio dan jalur PLPG
Hasil uji-t terhadap perbedaan skor kinerja guru yang lulus sertifikasi melalui jalur portofolio dan jalur PLPG diperoleh harga t = 0,716 dengan taraf signifikansi = 0,479. Dengan demikian, tidak ditemukan perbedaan yang signifikan kinerja antara guru yang lulus sertifikasi melalui jalur portofolio dan jalur PLPG. Kinerja guru yang lulus sertifikasi melalui jalur portofolio tidak lebih baik dibandingkan dengan kinerja guru yang lulus melalui jalur PLPG, demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain, perbedaan jalur kelulusan dalam sertifikasi tidak menyebabkan perbedaan kinerja guru pasca sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi. Namun jika dilihat dari mean (rata-rata) skor kinerja guru, diketahui bahwa rata-rata kinerja guru yang lulus melalui jalur PLPG (96,93) lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kinerja guru yang lulus melalui jalur portofolio (93,88).
Hasil Wawancara
1. Penilaian Kepala Madrasah/Sekolah terhadap Kinerja Guru Pasca Sertifikasi
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan kepala madrasah/sekolah, diketahui bahwa sebagian besar kepala madrasah/sekolah menilai kinerja guru yang sudah lulus sertifikasi sudah mendekati standar kinerja yang berlaku. Peningkatan yang dinilai telah dialami diantaranya adalah: a) pada aspek perencanaan pembelajaran, guru telah mampu menyusun program tahunan, program semester, silabus dan RPP, dan hasilnya sudah cukup lebih baik serta disusun lebih awal dari sebelumnya (Wawancara, 20 September 2010). Selain itu, RPP yang sebelumnya disusun untuk satu semester sekaligus, sekarang sudah dibuat pada setiap tatap muka (disesuaikan dengan kebutuhan) (Wawancara, 26 Agustus 2010), serta b) pada aspek pelaksanaan pembelajaran, guru sudah menggunakan berbagai media/alat peraga (Wawancara, 20 September 2010).
Meski demikian, tidak satupun dari responden kepala madrasah/sekolah menyatakan kinerja guru sudah mencapai kinerja yang optimal atau mencapai standar kinerja yang berlaku, bahkan masih ada yang menilainya hanya mendekati standar kinerja.
2. Faktor Penghambat Peningkatan Kinerja Guru
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan kepala madrasah/sekolah, diketahui bahwa ada berbagai faktor penghambat peningkatan kinerja guru.
Dalam perencanaan pembelajaran, beberapa faktor penghambat yang dirasakan adalah: 1) kurangnya sarana prasarana pendukung, seperti media pembelajaran (Wawancara, 20 September 2010), 2) untuk guru kelas terlalu banyak materi yg akan disiapkan (Wawancara, 20 September 2010), dan 3) sebagian guru masih kurang berkeinginan melakukan perubahan positif (Wawancara, 1 September 2010).
Dalam pelaksanaan pembelajaran, faktor penghambat yang dirasakan antara lain adalah: 1) masih rendahnya kemampuan guru dalam menyusun RPP (Wawancara, 20 September 2010), 2) perbedaan karakteristik siswa yang menyulitkan guru (Wawancara, 1 September 2010), dan 3) kurangnya alokasi waktu yang tersedia (Wawancara, 25 Agustus 2010).
Dalam penilaian pembelajaran, faktor penghambat yang antara lain dirasakan adalah: 1) masih rendahnya kemampuan guru dalam melakukan penilaian (Wawancara, 25 Agustus 2010), terutama penilaian proses (Wawancara, 20 September 2010), dan 2) perbedaan karakteristik siswa yang menyulitkan guru (Wawancara, 1 September 2010).
Dalam pengembangan profesi, faktor penghambat yang antara lain dirasakan adalah: 1) kurangnya akses informasi terbaru (Wawancara, 1 September 2010), karena berada di daerah terpencil (Wawancara, 20 September 2010), dan 2) kesibukan lain di luar kegiatan madrasah/sekolah (Wawancara, 1 September 2010).
3. Faktor Pendukung Peningkatan Kinerja Guru
Sebagaimana faktor-faktor penghambat, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan kepala madrasah/sekolah juga ditemukan berbagai faktor pendukung peningkatan kinerja guru.
Dalam perencanaan pembelajaran, faktor-faktor pendukungnya adalah: 1) adanya kemauan untuk maju sehingga mendorong guru tsb berbuat lebih baik (Wawancara, 20 September 2010), 2) kerjasama yang baik antara guru dan kepala (Wawancara, 25 Agustus 2010), dan 3) adanya supervisi yang dilakukan baik oleh kepala maupun pengawas (Wawancara, 25 Agustus 2010).
Dalam pelaksanaan pembelajaran, faktor pendukungnya antara lain adalah: 1) pengalaman mengajar yang dimiliki oleh guru telah cukup lama (Wawancara, 20 September 2010), dan 2) kerjasama yang baik antara guru dan kepala madrasah/sekolah (Wawancara, 25 Agustus 2010).
Dalam penilaian pembelajaran, faktor pendukungnya adalah: kerjasama yang baik antara guru & kepala (Wawancara, 20 September 2010).
Dalam pengembangan profesi, faktor pendukungnya antara lain adalah: 1) adanya kegiatan KKG, penataran, dan lain-lain yang diadakan oleh Diknas maupun Depag (Wawancara, 20 September 2010), 2) adanya tunjangan profesi (Wawancara, 20 September 2010) yang berarti peningkatan kesejahteraan guru (Wawancara, 25 Agustus 2010), dan 3) kerjasama yang baik antara guru dan kepala madrasah/sekolah (Wawancara, 25 Agustus 2010).
Hasil Telaah Dokumen
Telaah dokumen dilakukan untuk menilai kualitas perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, khususnya dalam penyusunan RPP. Dalam hal ini, telaah dokumen dilakukan berdasarkan penilaian kepala madrasah/sekolah, sedang standar yang digunakan adalah lembar penilaian RPP yang digunakan oleh para asesor sertifikasi guru dalam penilaian portofolio. Skor standar kualitas RPP adalah skor teoritik tertinggi, yaitu 40.
Dari hasil penilaian 13 orang kepala madrasah/sekolah terhadap dokumen RPP yang disusun oleh guru yang telah lulus sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi, diketahui bahwa rata-rata skor kualitas RPP adalah 35,08. Dibandingkan dengan skor standar, terdapat selisih sebesar 40 – 35,08 = 4,92, atau baru mencapai 87,7% kualitas yang diharapkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kulitas RPP yang disusun oleh para guru yang sudah sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi masih belum optimal.
Pembahasan
Berdasarkan data yang dipaparkan di atas, diketahui bahwa kinerja guru pasca sertifikasi, baik secara keseluruhan, maupun dilihat dari aspek perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian pembelajaran, dan pengembangan profesi, semuanya menunjukkan kategori Sedang. Artinya, kinerja guru setelah lulus sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi tidak terlalu baik tapi juga tidak terlalu buruk. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan program sertifikasi yang digelontorkan pemerintah dengan dana yang tidak sedikit tidak membuat kinerja para guru semakin baik.
Hal ini juga didukung oleh hasil wawancara dan hasil telaah dokumen. Hasil wawancara dengan kepala madrasah/sekolah menunjukkan bahwa sebagian besar kepala madrasah/sekolah menilai kinerja guru yang sudah lulus sertifikasi sudah lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, namun tidak satupun dari mereka yang menilai kinerja guru sudah mencapai kinerja yang optimal atau sangat baik, bahkan masih ada yang menilainya hanya cukup baik. Hasil telaah dokumen menunjukkan bahwa kualitas RPP yang disusun oleh guru baru mencapai 87,7% dari kualitas yang diharapkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kulitas RPP yang disusun oleh para guru yang sudah sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi masih belum optimal.
Penilaian terhadap tidak adanya peningkatan kinerja guru pasca sertifikasi jelas terlihat dari hasil wawancara dengan salah seorang kepala MAN di Kota Palembang berikut ini:
“Saya tidak melihat adanya perbedaan kinerja yang jelas antara guru yang sudah lulus sertifikasi dengan yang belum. Bisa dikatakan, tidak adanya jaminan bahwa yang lulus sertifikasi itu kinerjanya lebih baik, apalagi jika lulus melalui jalur portofolio” (Wawancara, 25 Agustus 2010).
Ada berbagai faktor yang menyebabkan belum optimalnya kinerja guru pasca sertifikasi. Dari hasil wawancara diketahui bahwa faktor utamanya adalah rendahnya kemampuan atau kompetensi guru, terutama guru yang lulus melalui jalur portofolio. Karenanya, salah seorang responden kepala madrasah/sekolah menyarankan agar diadakan pelatihan juga bagi yang lulus sertifikasi melalui jalur portofolio (Wawancara, 25 Agustus 2010).
Selanjutnya, dilihat dari perbedaan kinerja antara guru madrasah dan guru PAIS di sekolah umum, antara guru di lingkungan perkotaan dan guru di pedesaan, dan antara guru yang lulus sertifikasi melalui jalur portofolio dan jalur PLPG, semuanya tidak ditemukan perbedaan yang signifikan, meskipun perbedaan yang nampak dari skor rata-rata kinerja mereka tetap ada. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berbagai faktor luar, baik tempat tugas, lingkungan sosial budaya, maupun pelatihan yang diperoleh guru tidak cukup dapat mempengaruhi peningkatan kinerja guru. Akan tetapi faktor keinginan untuk berkembang dari guru sendiri, itulah yang terpenting. Menurut salah seorang kepala SDN di Kota Palembang, peningkatan kinerja guru yang sudah sertifikasi lebih karena guru yang bersangkutan sendirilah yang selalu berusaha untuk berbuat lebih baik dalam mengajar (Wawancara, 4 September 2010). Dengan demikian, jika guru kurang berupaya meningkatkan kinerjanya sendiri, maka peningkatan kinerja tidak mungkin dicapai (Wawancara, 2 September 2010).
Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis data, dapat ditarik kesimpulan: 1) Kinerja guru pasca sertifikasi, baik secara keseluruhan, maupun dilihat dari aspek perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, penilaian pembelajaran, dan pengembangan profesi, semuanya menunjukkan yang masih di bawah standar. 2) Tidak terdapat perbedaan kinerja antara guru madrasah dan guru PAIS di sekolah umum setelah memperoleh tunjangan profesional melalui program sertifikasi guru, 3) Tidak terdapat perbedaan kinerja antara guru yang tinggal di lingkungan perkotaan dan guru yang tinggal di pedesaan setelah memperoleh tunjangan profesional melalui program sertifikasi guru, dan 4) Tidak terdapat perbedaan kinerja antara guru yang yang lulus sertifikasi melalui jalur portofolio dan guru yang lulus melalui jalur PLPG.
Berdasarkan kesimpulan di atas, saran kebijakan dari penelitian ini adalah agar pemerintah, khususnya Kementerian Agama RI, disarankan hendaknya pelaksanaan program sertifikasi lebih ditujukan pada peningkatan kesadaran guru akan pentingnya peningkatan kinerja mereka dalam peningkatan kualitas pendidikan di sekolah/madrasah. Selain itu, karena tidak adanya perubahan kinerja guru pasca sertifikasi diduga lebih disebabkan tuntutan tugas mengajar 24 jam yang tidak sesuai, maka hendaknya tuntutan jumlah jam mengajar ini juga memperhitungkan jumlah jam yang dipergunakan untuk mempersiapkan pembelajaran dan memeriksa hasil pekerjaan siswa.
Bagi Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi Sumatera Selatan, hendaknya dilakukan pembinaan terus-menerus dalam bentuk pendidikan dan pelatihan secara merata, berkesinambungan, dan berjenjang guna peningkatan kompetensi pedagogik dan profesional, baik melalui jalur formal (pendidikan S2) maupun non formal, sehingga kinerja guru dapat meningkat.


Daftar Pustaka Acuan
Creswell, John W. Educational Research, Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research, USA: Prentice Hall, 2008
Depdikbud, Pembinaan Profesionalisme Guru. Jakarta: Depdiknas, 2000
Idi, Abdullah. ″UU No. 14/2005 Tentang Guru/Dosen: Antara Cita dan Fakta″ Intizar: Jurnal Kajian Agama Islam dan Masyarakat, Vol. 12/No.2/Desember 2006, hlm. 136
Nugroho Susanto. 2000. Pelaksanaan Penilaian Jabatan Fungsional Guru. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Rucky, Ahmad S. Sistem Manajemen Kinerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
Schacter, John. Teacher Performance-Based Accountability: Why What and How, http://www.mff.org/pubs/performance_assessment.pdf. diakses tanggal 12 Februari 2010
Sedarmayanti. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandor Maju, 2001
Simamora, Henry. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN, 2000
Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Penerbit Rosda, 2004
Toto Toharuddin. Kinerja Profesional Guru. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2002.
Usman, Moh. Uzer. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.