Showing posts with label Laporan Penelitian. Show all posts
Showing posts with label Laporan Penelitian. Show all posts

PENGEMBANGAN MODEL PENANGGULANGAN PERILAKU KEKERASAN BERBASIS OPTIMALISASI POTENSI SOFT SKILLS

Oleh:
Syamsul Bachri Thalib

ABSTRAK
 Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model penanggulangan perilaku kekerasan. Subjek/informan dalam penelitian adalah siswa-siswa SMAN, guru mata pelajaran/orangtua siswa, wali kelas, dan guru BK. Instrumen dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara dan pedoman FGD, dan alat perekam pengambilan data di lapangan. Di samping itu, juga digunakan skala, yakni skala soft skills (kontrol diri dan kematangan emosional, konsep diri, komunikasi interpersonal, dan keterampilan sosial), dan skala perilaku kekerasan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa (1) faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kekerasan siswa adalah (a) ketidakpedulian orangtua berkaitan dgn faktor status sosial ekonomi, (b) kehidupan keluarga yang kurang harmonis, (c)  pengaruh pergaulan dengan teman sebaya, (d) tayangan peristiwa kekerasan di media massa, (e)  pengasuhan orangtua yang otoriter, (f) pengaruh faktor lingkungan sosial, (g) pembelajaran yang lebih berorientasi pada aspek kognitif, (h) kurangnya kontrol dari orangtua, (i) rendahnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama di kalangan siswa, (j) kurangnya aktivitas pengembangan diri, (k) faktor kepribadian, temperamental, sulit mengontrol diri, dan emosional, (l) faktor personal, hubungan antar pribadi, dan (m) penggunaan minuman keras dan obat-obat terlarang. (2) Terdapat pengaruh negatif keterampilan soft skills terhadap kecenderungan perilaku kekerasan. (3) Terdapat pengaruh negatif kontrol diri terhadap perilaku kekerasan. (4) Terdapat pengaruh negatif konsep diri terhadap perilaku kekerasan. (5) Terdapat pengaruh negatif keterampilan komunikasi terhadap perilaku kekerasan. (6) Terdapat pengaruh negatif keterampilan sosial terhadap perilaku kekerasan.

Katakunci: Perilaku kekerasan, soft skuills.

Overcome Model for Violence Behavior based on Optimalization of Soft Skills Potential
By
Syamsul Bachri Thalib
Ahmad Razak
M. Ahkam
Abdullah Sinring
 
This study aimed at improving overcome model for violence behavior.            Subjects/informant of this study were senior high school students, teachers/student’s parents, and teacher of counseling and guidance. Instruments of this study were guidance interview, focus group discussion guidance and recorder for data collecting on field. In addition, soft skills scale (self control and emotional maturity, self concept, interpersonal communication, social skill) and violence behavior scale were also used.
The result of data analysis showed that (1) Causation factors of student’s behavior violence. Causation factors could be classified into 2 categories, i.e. internal factor and external factor. Those factors including family factor, school, social cultural, and student personality. Influenced factors to the violence behavior of student, i.e. (a) parents’ ignorance concerning social economy factor, (b) inharmonious family life, (c) affectation of peer group, (d) publication of violence behavior in mass media, (e) authoritative caring of parents, (f) influence of social factor, (g) less control from parents, (h) low level of understanding and application of religion values among students, (i) less self improvement activities, (j) personality factor, temperamental, less self control, and emotional, (k) personal factor, interpersonal relationship, and (l) addictive drugs and alcohol abuse. (2) Negative affectation of soft skill ability to violence behavior tendency was found. (3) Negative affectation of self control to violence behavior was found. (4) Negative affectation of self concept to violence behavior was found. (5) Negative affectation of communication skill to violence behavior was found. (6) Negative affectation of social skill to violence behavior was found.Key words: Violence, soft skills.

Pendahuluan
Secara faktual diakui bahwa perilaku kekerasan remaja tidak terbatas hanya di negara-negara berkembang. Data statistik tentang kekerasan berdasarkan laporan kepolisian internasional  mencatat hal penting keberadaan variasi mengenai tingkat kekerasan di dunia. Catatan tersebut mengungkapkan bahwa tingkat kekerasan di AS yang melibatkan remaja sebanyak 10 hingga 20 kali lebih tinggi daripada di negara-negara industri lainnya dan jauh lebih tinggi lagi dibandingkan negara-negara berkembang (Gilligan, 1997; Wimbarti, 1997). Menurut survei nasional AS, sekitar 3 juta peristiwa kekerasan terjadi di lingkungan persekolahan setiap tahun, 16.000 peristiwa kekerasan di sekolah  setiap hari, atau satu peristiwa setiap 6 menit (APA Public Communications, 1999).
Di Indonesia, seiring dengan peningkatan perilaku kekerasan di masyarakat pada umumnya, perilaku kekerasan  di kalangan siswa juga tampak semakin meningkat. Berbagai bentuk peristiwa kekerasan secara fisik dan verbal tidak hanya terjadi secara musiman, melainkan dapat terjadi setiap saat, di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Di Sulawesi Selatan, sebagaimana halnya di wilayah-wilayah lainnya, fenomena perilaku kekerasan yang melibatkan siswa-siswa juga tampak semakin meningkat. Selama periode Nopember 1999-Juni 2000 terdapat 101 kasus kekerasan yang melibatkan remaja seperti tawuran siswa antar sekolah, pencurian dengan kekerasan, pembunuhan, perampokan, pelecehan seksual, dan berbagai tindak kekerasan lainnya (Tompo, dalam Thalib, 2007).
Penelitian ini berfokus pada faktor-faktor dan model penanggulangan perilaku kekerasan berbasis optimalisasi potensi soft skills. Masalah rendahnya aktualisasi potensi soft skills siswa merupakan faktor utama dalam pengembangan secara utuh karakter kepribadian siswa, bahkan menjadi sumber berbagai permasalahan, termasuk perilaku kekerasan, gangguan psikologis lainnya seperti depresi, kecemasan, konflik dengan teman sebaya, guru, dan orangtua siswa. Soft skills merupakan keunggulan personal seseorang yang terkait dengan hal-hal non-teknis, termasuk di antaranya kemampuan berkomunikasi, bersosialisasi, dan kemampuan kontrol diri. 

Kajian Pustaka
a. Perilaku kekerasan

Perilaku kekerasan sebagai perilaku yang dialami oleh anggota kelompok lain dalam budaya yang sama sebagai pelanggaran norma perilaku interpersonal yang dipolakan secara kultural, menggambarkan perilaku destruktif yang sulit dikontrol, perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain yang bervariasi mulai dari kekerasan yang tergolong ringan hingga yang tergolong serius seperti ancaman verbal, keinginan bunuh diri atau tindakan pembunuhan, perilaku kekerasan menggambarkan dorongan kekuasaan dan kekuatan untuk melukai dan menyakiti orang lain (Acher dan Brown, dalam Semin & Fiedler, 1996; Berkowitz (1993a; Naverson, 1980; Lore dan Schults, 1993; Whitaker,1993; Ursin & Olff, 1995; Mead, dalam Roark, 1993). 
Perilaku kekerasan sebagai perilaku yang bersifat mengancam atau secara aktual menimbulkan dampak negatif, baik secara fisik, psikis, sosial, integritas pribadi, objek atau lingkungan, perilaku kekerasan sebagai tindakan atau perbuatan yang menyebabkan rasa sakit, kerusakan, mengandung bahaya, ataupun tindakan destruktif lainnya yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain (Berkowitz, 1993a; Berkowitz, 1993b; Bushman & Baumeister,1998; Gilligan, 1997; Lystad, dalam Roark, 1993; Marshall, 1993; Bishop, 1992; Harris, 1992; Truscott, 1992; Wimbarti, 1997; Suryabrata, 2000).
Perilaku kekerasan menggambarkan fenomena yang multidimensional yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat kompleks. Secara umum Allan et al. (1997) menjelaskan faktor-faktor keluarga, sekolah, sosial budaya, dan kepribadian sebagai faktor utama yang mempengaruhi perilaku kekerasan siswa. Selain itu, variabel demografis seperti jenis kelamin, urutan kelahiran, usia, pengalaman prasekolah, jumlah saudara kandung, tingkat pendidikan orangtua, status sosial ekonomi orangtua dan lingkungan fisik seperti iklim, cuaca, kepadatan penduduk berhubungan pula dengan perilaku kekerasan (Conger et al., 1999; Cohen, 1998; Rivinus & Larimer, 1993; Bishop, 1992; Kinoshita, 1999; Marzuki, 1995; Inomata, 1996; Grusec, 1997; Patterson & Stouthamer-Loeber, 1984; Murray, 2000; Beckham et al., 1997; Conger et al., 1999; Edleson, 2000; Thalib, 2000; Wimbarti, 1996).
Konsep diri berhubungan dengan perilaku kekerasan. Hal ini dimungkinkan karena siswa yang memiliki konsep diri positif akan memandang dirinya secara positif, penuh percaya diri dan selalu ingin mencoba pengalaman baru yang berguna. Sebaliknya siswa yang memiliki konsep diri negatif akan memandang dirinya secara negatif yang dapat menimbulkan kecenderungan perilaku antisosial termasuk perilaku kekerasan (Bridges, 2000; Partosuwido, 1993). Kontrol diri yang rendah secara bersama-sama dengan religiusitas dan harga diri yang rendah berkorelasi secara signifikan dengan perilaku kekerasan siswa. Siswa yang memiliki kontrol diri rendah tidak akan mampu mengarahkan dan mengatur perilakunya secara positif serta mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin dihadapi (Thompson, 1981; Augustin, 1998; Winfree & Frances, 1998; Bushman & Baumeister, 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kekerasan siswa SMU diklasifikasikan dalam dua kelompok utama, yaitu (a) faktor ekstrinsik atau faktor-faktor yang bersumber dari luar diri siswa termasuk faktor demografis, seperti jenis kelamin, pendidikan orangtua, usia, status sosial ekonomi orangtua, faktor  sosial, seperti pengalaman perilaku kekerasan, pengasuhan orangtua, interaksi guru-siswa, dan pengaruh teman sebaya, (b) faktor intrinsik atau faktor-faktor yang bersumber pada diri siswa termasuk sifat-sifat kepribadian, temperamen, konsep diri, kontrol diri, dan harga diri. Aspek-aspek psikologis ini termasuk dalam ketegori soft skills.

b. Soft skills
Dewasa ini keunggulan sumber daya manusia menjadi fokus perhatian agar memiliki daya saing dan daya sanding yang kompetitif dan komparatif. Hal ini menuntut peningkatan kompetensi sumber daya manusia, termasuk dalam bidang pendidikan. Kompetensi merupakan serangkaian kemampuan seseorang yang memungkinkannya melakukan sesuatu yang membawa hasil seperti yang diharapkan dalam tujuan pembelajaran. Hal ini berarti proses pembelajaran di sekolah diharapkan lebih berorientasi pada penguasaan kompetensi secara holistik yang tercakup dalam seluruh aspek pembelajaran, termasuk penguasaan atas pengetahuan intelektual yang bersifat kognitif, kemampuan afektif, sikap dan karakter pribadi yang dimilikinya. Aspek afektif, sikap, dan karakter pribadi dapat dikembangkan melalui layanan aktivitas non-intelektual. Salah satu layanan pengembangan aspek non-intelektual ini dapat dilakukan melalui kegiatan soft skills. Soft skills merupakan keunggulan personal seseorang yang terkait dengan hal-hal non-teknis, termasuk di antaranya kemampuan berkomunikasi, bersosialisasi, dan kemampuan mengendalikan diri sendiri. Secara lebih rinci, Soelistyiyowati (2008) menjelaskan hakikat dan komponen, serta indikator soft skills. Soft skills adalah suatu kemampuan yang bersifat afektif yang dimiliki seseorang, selain kemampuannya atas penguasaan teknis formal intelektual suatu bidang ilmu, yang memudahkan seseorang untuk dapat diterima di lingkungan hidupnya dan lingkungan kerjanya, soft skills berpengaruh kuat terhadap kesuksesan seseorang dan memperkuat pembentukkan pribadi yang seimbang dari segi hard skill. Jadi, soft skills adalah kemampuan yang dimiliki seseorang, yang tidak bersifat kognitif, tetapi lebih bersifat afektif yang memudahkan seseorang untuk mengerti kondisi psikologis diri sendiri, mengatur ucapan, pikiran, dan sikap serta perbuatan yang sesuai dengan norma masyarakat, berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Selanjutnya, Swiderski (dalam Soelistiyowati, 2008) menjelaskan bahwa soft skills terdiri atas 3 faktor utama, yaitu: (a) Kemampuan psikologis, yakni kemampuan yang dapat membuat seseorang bertindak atas pertimbangan pemikiran sehingga tercipta perilaku yang sesuai dengan apa yang ada di pikirannya, termasuk kemampuan kontrol diri dan konsep diri. Kemampuan psikologis lebih pada apa yang ada di dalam diri manusia, yang dapat membantu seseorang tersebut untuk mengerti diri sendiri dan orang lain dalam hubungannya dengan orang lain, dan lingkungannya. (b) Kemampuan sosial, yaitu kemampuan seseorang untuk berinteraksi dan membawa diri dalam pergaulan dalam kelompoknya. (c) Kemampuan komunikasi, yaitu kemampuan yang meliputi upaya penyampaian pesan dan informasi baik yang tertulis, tidak tertulis, verbal maupun non verbal; kemampuan seseorang dalam mengemukakan maksud dalam berkomunikasi sehingga dapat terhindar dari kemungkinan terjadinya kesalahpahaman. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada 4 klaster utama pembentuk soft skills siswa, yaitu interaksi, manajemen pribadi, kemampuan komunikasi, dan kemampuan mengorganisasikan sesuatu. Keempat klaster ini secara bersama-sama menambah kualitas lulusan terutama dalam hal-hal yang non ilmu di dalam dunia kerja. (a) Interaksi (interaction) yang meliputi kesadaran bersikap, kemampuan mengatasi konflik, kemampuan bekerja sama, kemampuan mentolerir perbedaan, etika, kemauan bekerja dalam tim. Kemampuan berinteraksi ini disebut sebagai kemampuan sosial karena lebih tentang kaitannya dalam berhubungan dengan lingkungannya. (b) manajemen pribadi (self-management), kemampuan membuat keputusan, kemauan untuk belajar, disiplin diri, kemampuan untuk introspeksi diri, kemampuan menanggulangi stres. Deskripsi ini disebut juga sebagai kemampuan psikologis, yang berusaha untuk mengerti diri sendiri dan orang lain dalam rangka menjalin hubungan dengan orang lain ddalam kehidupan dan dunia kerja. (c) kemampuan berkomunikasi (communication skills), termasuk kemampuan mendelegasikan tugas, kemampuan mendengarkan, dan kemampuan melakukan presentasi. (d) kemampuan mengorganisasi segala sesuatu (organization), termasuk kemampuan mengatasi masalah berdasarkan pertimbangan nilai dan kepentingan, proses berpikir yang sistematis, dan kemampuan untuk mengenali sumber permasalahan.

Metode Penelitian
a.    Subjek/Informan penelitian

Subjek/informan dalam penelitian adalah siswa-siswa SMAN, guru mata pelajaran/orangtua siswa, wali kelas, dan guru BK. Pengambilan siswa sebagai subjek penelitian dilakukan dengan memilih salah satu kelas pada sekolah yang menjadi lokasi penelitian. Jumlah siswa seluruhnya yang terpilih sebagai sampel penelitian sebanyak 296 orang (laki-laki sebanyak 130 dan perempuan sebanyak 166). 
b. Definisi operasional
a. Perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah bentuk khusus perilaku agresi yang secara aktual menimbulkan dampak negatif, termasuk merusak, menyakiti, melukai dan atau merugikan orang lain atau obyek perilaku kekerasan secara fisik maupun verbal. Aspek-aspek kekerasan fisik termasuk menjambak rambut, melemparkan sesuatu, mendorong, menampar, menggigit, menghajar, meninju, dan serangan dengan benda tajam. Aspek kekerasan verbal termasuk merengut, menolak berbicara, berteriak, menjerit, mengutuk, menghina, mencaci-maki, dan memfitnah.   
b. Soft skills adalah kemampuan yang dimiliki seseorang, yang tidak bersifat kognitif, tetapi lebih bersifat afektif yang memudahkan seseorang untuk mengerti kondisi psikologis diri sendiri, mengatur ucapan, pikiran, dan sikap serta perbuatan yang sesuai dengan norma masyarakat, berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Soft skills terdiri atas 4 faktor utama, yaitu, (a) kemampuan kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan dorongan-dorongan, baik dari dalam diri maupun dari luar diri individu. Individu yang memiliki kemampuan kontrol diri akan membuat keputusan dan mengambil langkah tindakan yang efektif untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan dan menghindari akibat yang tidak diinginkan; kontrol diri berkaitan pula dengan keterampilan emosional, yaitu kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan perasaan. Melalui keterampilan emosional, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati; (b) konsep diri, yaitu konsep diri merupakan gambaran diri, penilaian diri, dan penerimaan diri yang berifat dinamis, terbentuk melalui persepsi dan interpretasi terhadap diri sendiri dan lingkungan, mencakup konsep diri umum (general self-concept) dan konsep diri yang lebih spesifik (specific self-concep ) termasuk konsep diri akademis, sosial, dan fisik; (c) keterampilan sosial, yaitu kemampuan seseorang untuk berinteraksi dalam pergaulan sosial; (d) keterampilan komunikasi, yaitu kemampuan yang meliputi upaya penyampaian pesan dan informasi baik yang tertulis, tidak tertulis, verbal maupun non verbal, kemampuan seseorang dalam mengemukakan maksud dalam berkomunikasi sehingga dapat terhindar dari kemungkinan terjadinya kesalahpahaman
c. Teknik pengumpulan data dan analisis data
Berdasarkan tujuan penelitian, maka pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara dan FGD. Wawancara mendalam (in-dept interview) dilakukan secara individual dengan orangtua siswa, wali kelas, dan guru BK. Di samping itu juga dilakukan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion, disingkat FGD) terhadap siswa-siswa. Wawancara mendalam dilakukan untuk mengumpulkan data tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku responden mengenai perilaku kekerasan yang mencakup jenis dan bentuk-bentuk perilaku kekerasan, faktor-faktor penyebab perilaku kekerasan, frekuensi terjadinya perilaku kekerasan, usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi perilaku kekerasan, dampak perilaku kekerasan, dan model penanggulangan perilaku kekerasan. FGD digunakan untuk mengumpulkan data tentang faktor-faktor penyebab perilaku kekerasan, usaha mengatasi perilaku kekerasan, dampak perilaku kekerasan, dan optimalisasi potensi soft skills siswa.  Selanjutnya, skala digunakan untuk mengumpulkan data tentang kecenderungan perilaku kekerasan dan potensi soft skills siswa. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif interpretatif dan analisis kuantitatif. 


Hasil Penelitian

Hasil analisis data menunjukkan bahwa (1) Jenis-jenis dan bentuk perilaku kekerasan Berbagai jenis dan bentuk perilaku kekerasan  tersebut dapat pula dibedakan ke dalam empat jenis kekerasan, yaitu (a) kekerasan instrumental yaitu kekerasan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti siswa yang meninju dinding kelas hanya karena bermaksud memperlihatkan kehebatannya, (b) kekerasan ekspresif, yaitu kekerasan yang bertujuan menyakiti orang lain, seperti siswa yang meninju siswa lainnya sebagai tindakan balas dendam, (c) kekerasan secara kultural, yaitu kekerasan yang diterima secara kultural, seperti ucapan-ucapan yang bernada kekerasan tetapi sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat tertentu, dan (d) kekerasan non-kultural, yaitu kekerasan yang tidak dilegitimasi sesuai dengan norma-norma kultural, seperti memukul, menendang, meninju, mencaci-maki, menggertak/ mengancam, dan bentuk-bentuk kekerasan fisik dan verbal lainnya, (e) kekerasan simbolik, seperti membawa badik, merokok di lingkungan persekolahan, minum minuman keras, mengkonsumsi obat-obat terlarang, dan (f) kekerasan seksual, baik secara fisik maupun verbal. (2) Faktor-faktor penyebab perilaku kekerasan siswa. Faktor-faktor penyebab perilaku kekerasan dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yakni faktor internal atau faktor yang bersumber pada diri siswa dan faktor eksternal atau faktor yang bersumber dari luar diri siswa. Faktor-faktor tersebut mencakup baik faktor keluarga, sekolah, sosial budaya, dan kepribadian siswa. Secara lebih rinci, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kekerasan siswa adalah (a) ketidakpedulian orangtua berkaitan dgn faktor status sosial ekonomi, (b) kehidupan keluarga yang kurang harmonis, (c)  pengaruh pergaulan dengan teman sebaya, (d) tayangan peristiwa kekerasan di media massa, (e)  pengasuhan orangtua yang otoriter, (f) pengaruh faktor lingkungan sosial, (g) pembelajaran yang lebih berorientasi pada aspek kognitif, (h) kurangnya kontrol dari orangtua, (i) rendahnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama di kalangan siswa, (j) kurangnya aktivitas pengembangan pengembangan diri (soft skills), (k) faktor kepribadian, temperamental, sulit mengontrol diri, dan emosional, (l) faktor personal, hubungan antar pribadi, dan (m) penggunaan minuman keras dan obat-obat terlarang. (3) Pengetahuan, sikap, dan perilaku guru/orangtua terhadap perilaku kekerasan. Pengetahuan, sikap, dan perilaku guru dan orangtua terhadap perilaku kekerasan adalah (a) perilaku kekerasan termasuk di kalangan siswa sudah semakin memprihatinkan, (b) kekerasan mencakup kekerasan fisik dan non fisik, (c) perlu pencegahan dan tindakan korektif karena tindakan kekerasan ditinjau dari segi manapun itu tidak baik sangat tercela. (d) perilaku kekerasan merupakan tindakan tercela, dosa, amoral, (e) kemampuan yang harus dimiliki siswa sehingga tidak melakukan kekerasan adalah memperbaiki hubungan interpersonal dan antarpersonal, dan (f) perlunya pembelajaran yang berorientasi pengembangan ragam kemampuan dan keterampilan siswa. (4) Usaha-usaha untuk menanggulangi perilaku kekerasan siswa. Usaha-usaha untuk menanggulangi perilaku kekerasan siswa adalah (a) penerapan tata tertib dan aturan dengan tegas, (b) mengintensifkan layanan bimbingan pribadi dan keagamaan, (c) mengaktifkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler (kegiatan sosial, dan pelatihan pengembangan diri), (d) melakukan pendekatan personal dan persuasif kepada siswa yang cenderung melakukan perilaku kekerasan, (e) orangtua dan guru menjalankan fungsinya dengan baik (fungsi mengajar, mendidik, dan membimbing), (f) meningkatkan kompetensi guru, (g) meningkatkan kerja sama sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat, (h) meningkatkan kegiatan bimbingan, dan konseling psikologis bagi siswa-siswa bermasalah. (5)  Model penanggulangan perilaku kekerasan siswa. Model penanggulangan perilaku kekerasan siswa dapat dilakukan, baik secara preventif maupun korektif. Model preventif atau perncegahan secara konkrit dapat dilakukan melalui pengembangan potensi soft skills siswa oleh semua staf sekolah, baik guru mata pelajaran, guru BK, dan staf sekolah lainnya. Di samping itu, tindakan korektif melalui layanan konseling, baik secara individual maupun konseling kelompok juga dapat dilakukan, terutama oleh konselor sekolah dan psikolog. (6) Terdapat pengaruh negatif keterampilan soft skills terhadap kecenderungan perilaku kekerasan. (7) Terdapat pengaruh negatif kontrol diri terhadap perilaku kekerasan. (8) Terdapat pengaruh negatif konsep diri terhadap perilaku kekerasan. (9) Terdapat pengaruh negatif keterampilan komunikasi terhadap perilaku kekerasan. (10) Terdapat pengaruh negatif keterampilan sosial terhadap perilaku kekerasan.
Kesimpulan dan Saran
a. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian, dikemukakan kesimpulan, sebagai berikut:
1. Jenis-jenis dan bentuk perilaku kekerasan
Berbagai jenis dan bentuk perilaku kekerasan  tersebut dapat pula dibedakan ke dalam empat jenis kekerasan, yaitu (a) kekerasan instrumental yaitu kekerasan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti siswa yang meninju dinding kelas hanya karena bermaksud memperlihatkan kehebatannya, (b) kekerasan ekspresif, yaitu kekerasan yang bertujuan menyakiti orang lain, seperti siswa yang meninju siswa lainnya sebagai tindakan balas dendam, (c) kekerasan secara kultural, yaitu kekerasan yang diterima secara kultural, seperti ucapan-ucapan yang bernada kekerasan tetapi sudah menjadi kelaziman dalam masyarakat tertentu, dan (d) kekerasan non-kultural, yaitu kekerasan yang tidak dilegitimasi sesuai dengan norma-norma kultural, seperti memukul, menendang, meninju, mencaci-maki, menggertak/ mengancam, dan bentuk-bentuk kekerasan fisik dan verbal lainnya, (e) kekerasan simbolik, seperti membawa badik, merokok di lingkungan persekolahan, minum minuman keras, mengkonsumsi obat-obat terlarang, dan (f) kekerasan seksual, baik secara fisik maupun verbal.
2. Faktor-faktor penyebab perilaku kekerasan siswa
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab perilaku kekerasan dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yakni faktor internal atau faktor yang bersumber pada diri siswa dan faktor eksternal atau faktor yang bersumber dari luar diri siswa. Faktor-faktor tersebut mencakup baik faktor keluarga, sekolah, sosial budaya, dan kepribadian siswa. Secara lebih rinci, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kekerasan siswa adalah (a) ketidakpedulian orangtua berkaitan dgn faktor status sosial ekonomi, (b) kehidupan keluarga yang kurang harmonis, (c)  pengaruh pergaulan dengan teman sebaya, (d) tayangan peristiwa kekerasan di media massa, (e)  pengasuhan orangtua yang otoriter, (f) pengaruh faktor lingkungan sosial, (g) pembelajaran yang lebih berorientasi pada aspek kognitif, (h) kurangnya kontrol dari orangtua, (i) rendahnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama di kalangan siswa, (j) kurangnya aktivitas pengembangan pengembangan diri (soft skills), (k) faktor kepribadian, temperamental, sulit mengontrol diri, dan emosional, (l) faktor personal, hubungan antar pribadi, dan (m) penggunaan minuman keras dan obat-obat terlarang.
b. Usaha-usaha untuk menanggulangi perilaku kekerasan siswa
Usaha-usaha untuk menanggulangi perilaku kekerasan siswa adalah (a) penerapan tata tertib dan aturan dengan tegas, (b) mengintensifkan layanan bimbingan pribadi dan keagamaan, (c) mengaktifkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler (kegiatan sosial, dan pelatihan pengembangan diri), (d) melakukan pendekatan personal dan persuasif kepada siswa yang cenderung melakukan perilaku kekerasan, (e) orangtua dan guru menjalankan fungsinya dengan baik (fungsi mengajar, mendidik, dan membimbing), (f) meningkatkan kompetensi guru, (g) meningkatkan kerja sama sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat, (h) meningkatkan kegiatan bimbingan, dan konseling psikologis bagi siswa-siswa bermasalah.
5. Model penanggulangan perilaku kekerasan siswa
Model penanggulangan perilaku kekerasan siswa dapat dilakukan, baik secara preventif maupun korektif. Model preventif atau perncegahan secara konkrit dapat dilakukan melalui pengembangan potensi soft skills siswa oleh semua staf sekolah, baik guru mata pelajaran, guru BK, dan staf sekolah lainnya. Di samping itu, tindakan korektif melalui layanan konseling, baik secara individual maupun konseling kelompok juga dapat dilakukan, terutama oleh konselor sekolah dan psikolog.
6.  Terdapat pengaruh negatif keterampilan soft skills terhadap kecenderungan perilaku kekerasan.
7.  Terdapat pengaruh negatif kontrol diri terhadap perilaku kekerasan.
8.  Terdapat pengaruh negatif konsep diri terhadap perilaku kekerasan.
9.  Terdapat pengaruh negatif keterampilan komunikasi terhadap perilaku kekerasan.
10. Terdapat pengaruh negatif keterampilan sosial terhadap perilaku kekerasan.
B. Saran-saran
1. Adanya berbagai jenis/bentuk perilaku kekerasan yang terjadi di kalangan siswa-siswa, baik kekerasan fisik maupun verbal, kiranya diperlukan upaya intensif untuk mengatasi dan atau mencegah terjadinya perilaku kekerasan tersebut. Perilaku kekerasan siswa berdampak negatif negatif, baik bagi siswa itu sendiri (prestasi belajar dan masa depannya), sekolah, keluarga, dan masyarakat pada umumnya.
2. Upaya mengatasi dan mencegah perilaku kekerasan siswa kiranya disesuaikan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku kekerasan yang cukup beragam, termasuk  (a) ketidakpedulian orangtua, (b) kehidupan keluarga yang kurang harmonis, (c)  pengaruh pergaulan dengan teman sebaya, (d) tayangan peristiwa kekerasan di media massa, (e) pengaruh faktor lingkungan sosial, (f) pembelajaran yang lebih berorientasi pada aspek kognitif, (g) kurangnya kontrol dari orangtua, (h) rendahnya pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama di kalangan siswa, (i) kurangnya aktivitas pengembangan pengembangan diri (soft skills), (j) faktor kepribadian, temperamental, sulit mengontrol diri, dan emosional, (k) faktor personal, hubungan antar pribadi, dan (l) penggunaan minuman keras dan obat-obat terlarang.
3. Perlunya peningkatan kerja sama pihak sekolah dan orangtua siswa/masyarakat dalam mengatasi dan mencegah perilaku kekerasan. Kerja sama dapat diwujudkan melalui kegiatan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan pengasuhan/bimbingan bagi para orangtua, keterampilan soft skills bagi siswa dan guru di sekolah.
4. Perlunya peningkatan aktivitas bimbingan dan konseling psikologis di sekolah, termasuk bimbingan sosial, pribadi, dan keagamaan, dan pengembangan potensi soft skills siswa.
5. Adanya pengaruh secara signifikan soft skills terhadap perilaku kekerasan,  kiranya tidaklah berlebihan jika faktor-faktor tersebut perlu dicermati dan menjadi fokus perhatian dalam upaya mencegah dan mengatasi perilaku kekerasan dengan segala risiko yang ditimbulkannya bagi semua pihak termasuk pihak keluarga, sekolah, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan unsur pemerintah dalam upaya pengembangan sumber daya manusia yang lebih berkualitas.
6. Ditemukannya pengaruh kontrol diri, konsep diri, keterampilan komunikasi dan keterampilan sosial terhadap perilaku kekerasan, kiranya faktor-faktor tersebut mendapat perhatian dalam upaya menetapkan strategi belajar mengajar dan kepembimbingan siswa. Peran aktif berbagai pihak termasuk orangtua, guru bidang studi, konselor sekolah, dan tenaga profesional lainnya untuk mendorong peningkatan kualitas temperamen, konsep diri dan ciri-ciri pribadi lainnya ke arah yang lebih positif. Kecenderungan perilaku kekerasan merupakan implementasi temperamen dan konsep diri dan faktor-faktor psikologis lainnya sehingga pembinaan dan pengembangan ciri-ciri pribadi merupakan faktor penting. Jadi, kehadiran dan peran psikolog sebagai tenaga profesional di sekolah amat diperlukan dalam upaya mencegah dan atau mengatasi kecenderungan perilaku kekerasan siswa. Sejauh ini peran psikolog sebagai tenaga profesional di sekolah, khususnya di tingkat SMTA tampaknya masih sangat terbatas.
5. Mengintensifkan keefektifan layanan bimbingan dan konseling bagi siswa dan orangtua siswa, khususnya bagi orangtua yang menunjukkan hambatan dalam pengasuhan dan pembinaan kepribadian siswa.


Daftar Pustaka
Allan, J., Nairne, J., and Majcher, J. (1997). Violence and violence prevention: A review of the literature. APA Public Communications. Retrieved September 13, 2000, from the World Wide Web: http: //www. fmhi. usf. edu/ intitute/ pubs/rudo-powel-violence.html.
American Psychological Association (1996). Violence and the family: Report of the American Psychological Association presidential task force on violence and the family. Washington: APA
Augustin, B. (1998). Self-control, social-control and evolutionary psychology: Towards an integrated perspective on crime. Canadian Journal of Criminology, 34, 403-431. (From Psychological Abstracts, 1998, Abstrak 4, No. 7958).
Baumeister, R.F., Smart, L., and Boden, J.M. (1996). Relation of threaned egotism to violence and aggression: The dark side of high self-esteem. Psychological Review, 103, 5-33.
Beckham, J.C., Felman, M.E., Kirby, A.C., Herzberg, M.A., and Moore, S.D. (1997). Interpersonal violence and its correlates in Vietnam veterans with chronic posttraumatic stress disorder. Journal of Clinical Psychology, 58, 859-869.
Bishop, J.B. (1992). The changing student culture: Implications for counselors and administrators. Journal of College Student Psychotherapy,6, 37-57.
Conger, R.D., Rueter, M.A. & Elder, G.H. (1999). Couple resilience to economic pressure. Journal of Personality and Social Psychology, 76(1), 54-71.
Edleson, J.L. (2001). Should childhood exposure to adult domestic violence be defined as child maltreatment under the law? Manuscript submitted for editorial review at Child & Youth Services Review. Minneapolis: The Minnesota Center Against Violence & Abuse.
Elkin, D. dan Weiner, I.B. (1978). Development of the child. New York: John Wiley & Sonc. Inc.
Farver, J.A., Welles-Nystrom, B., Frosch, D.L., Wimbarti, S., and Hoppe-Graff, S. (1997). Toy stories: Aggression in children's narratives in the United States, Sweden, Germany, and Indonesia. Journal of Cross-Cultural Psychology, 28, 393-420.
Feldman, R. S. (1985). Social psychology. New York: McGraw-Hill Book Company.
Gilligan, J. (1997). Violence. New York: Vintage Books
Harris, J.A., Rushton, J.P., Hampson, E., and Jackson, D.N. (1996). Salivary testosterone and self-report aggressive and pro-social personality characteristics in men and women. Aggressive Behavior, 22, 321-331.
Harris, M.B. (1992). Sex, race, and experiences of aggression. Aggressive Behavior, 18, 201-217.
Inomata, J. (1996). School violence and juvenile delinquency. Asian Medical Journal, 39, 14-21.

Murray, B. (2000). Mix of sibling and parental conflict help explain aggression in boys. Monitor on Psychology, 31. 1-12.
Myers-Walls, J.A., Hinkley, K.R., and Reid, W.H. (2000). Encouraging positive self-concept in children. Paper. West Lafayette: Purdue University.
NewComb, T. M., Turner, R.H., & Converse, P.E. (1965). Social pschohology. The studi of human interaction. New York: Holt, Rinehart and Wiston, Inc.
Partosuwido, S.R. (1993). Penyesuaian diri mahasiswa dalam kaitannya dengan konsep diri, pusat kendali, dan status perguruan tinggi. Jurnal Psikologi, 1, 32-47.
Raven, J. (1977). Education, Values, and Society : The Objectives of Education and the Nature and Development of Competence. London : HK Lewis & Co. Ltd.
Roark, M.L. (1993). Conceptualizing campus violence: Definitions, underlying factors, and effects. In Leighton C. Whitaker and Jeffrey W. Pollard (Eds.) Campus violence: Kinds, causes, and cures (pp. 1-28). New York: The Haworth Press.
Soelistiyowati, E. 2008. Model evaluasi soft skills mahasiswa Bahasa Inggris. Makalah. Jakarta: Panitia Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia VI.
Thalib, S. (2000). Atribusi personal dan pengalaman agresif sebagai prediktor perilaku agresif siswa. Jurnal Ilmu Pendidikan, 7, 251-262.
Thalib, SB. (2007). Pengenalan diri. Makalah (tidak dipublikasikan). Fakulktas Ilmu Pendidikan: Ujung Pandang.
Thompson, S.C. (1981). Will it hurt less if I can control it? A complex answer to a simple question. Psychological Bulletin, 90, 89-101.
Ursin, H., and Olff, M. (1995). Aggression, defense, and coping in humans. Aggressive Behavior, 21, 13-19.
Whitaker, L.C. (1993). Violence is golden: Commercially motivated training in impulsive cognitive style and mindless violence. In L. C. Whitaker and J. W. Pollard (Eds.) Campus violence: Kinds, causes, and cures (pp. 45-69). New York: The Haworth Press.
Wimbarti, S. (1996). Children's aggression in Indonesia: The effect of culture, familial factors, peers, TV violence viewing, and temperament.   Dissertation. California: University of Southern California. 
Wimbarti, S. (1997). Child-rearing practices and temperament of children: Are they really determinants of children’s aggression? Psikologika: Jurnal KPemikiran dan Penelitian Psikologi,  2, 5-18.
 

UPAYA PENINGKATAN MINAT MEMBACA DAN HASIL BELAJAR BAHASA INGGRIS SISWA MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH ( PROBLEM BASED LEARNING) KELAS X4 SMA NEGERI 3 TEBING TINGGI 2010/2011

Oleh: NORMA DEWI, S.S
(JARLIT TEBING TINGGI)


ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Upaya Peningkatan Minat Membaca dan Hasil Belajar Bahasa Inggris Siswa Melalui Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah ( Problem Based Learning/PBL )Kelas X4 SMAN 3 Tebing Tinggi 2010/2011. Penelitian ini berlatar belakang rendahnya nilai membaca peserta didik pada ujian nasional, sementara soal materi membaca memiliki porsi terbesar dalam ujian nasional (50%). Dalam kegiatan pembelajaran membaca, kinerja siswa juga rendah, baik pada minat maupun produk belajarnya. Hasil penilaian tingkat ketuntasan prasiklus dengan menggunakan lembar pengamatan yang berisi 8 (delapan) aspek penilaian menunjukkan minat membaca sebesar 13, 33%. Sementara pada siklus I yang telah menerapkan Pembelajaran Berbasis Masalah naik menjadi 46, 67%, terjadi peningkatan sebesar 33, 34%. Berdasarkan temuan ini dilakukan kegiatan pembelajaran siklus kedua dan menghasilkan minat membaca yang meningkat menjadi 83,33%; peningkatan sebesar 36,66% dari siklus I. Hasil penelitian siklus kedua menunjukkan bahwa seluruh siswa telah dikategorikan sebagai siswa yang aktif dalam pembelajaran, kemampuan guru mengelola pembelajaran berdasarkan masalah termasuk dalam kategori sangat baik, terdapat 26 orang siswa (86,67%) mencapai ketuntasan belajar. Temuan ini menunjukkan bahwa kriteria pencapain penelitian telah tercapai, sehingga peneliti dan guru mitra memutuskan bahwa PBL telah mampu meningkatkan minat membaca dan hasil belajar Bahasa Inggris siswa sehingga siklus selanjutnya tidak diperlukan lagi. Untuk itu disarankan kepada para guru Bahasa Inggris kiranya dapat mengadopsi strategi Pembelajaran Berdasarkan Masalah dalam melaksanakan pembelajaran materi Bahasa Inggris lain yang memiliki karakteristik seperti materi teks fungsional pendek dan teks monolog sederhana.
Kata-kata kunci: Minat baca, dan Pembelajaran Berbasis Masalah/PBL.

ABSTRACT
This study, entitled Improving Student Reading Interest and English Learning Outcomes through Problem-Based Learning Model / PBL Class X4 SMAN 3 Tebing Tinggi. The research background is the low reading scores of students on national exam, while reading material has the largest portion in the national exam (50%). During the reading activity, student performance is also low, both in reading interest and learning outcomes. The results of the assessment of precycle success using the observation sheet containing 8 (eight) aspects of assessment shows the level of passing of 13.33%. While on the cycle I which has implemented Problem-Based Learning the passing rate rose to 46.67%, an increase of 33.34%. Based on these findings, learning activities of the second cycle is conducted and generates the level of passing increased up to 83.33%, an increase of 36.66% from cycle I. The results of second cycle study showed that all students have been categorized as students who are active in learning, teachers' ability to manage a problem based learning is considered very good, there were 26 students (86.67%) achieving the passing grade. These findings suggest that the criteria for research achievement has been reached, so researchers and observers decided Problem Based Learning has been able to increase student interest in reading and their English learning outcomes that the next cycle is not needed anymore. It is recommended to English teachers to adopt Problem Based Learning strategy in implementing other English learning materials having same characteristics with short text materials and simple monologue texts.
Key words: Reading Interest, and Problem Based Learning strategy.

PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
Banyak orang bertanya-tanya, mengapa lulusan SMA sekarang tak mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris padahal salah satu bahasa dunia itu sudah diajarkan sejak SD. (Airlangga: 2009) Dimanakah letak permasalahannya?
Menurut Ibrahim (2000), salah satu persoalan kita adalah lemahnya pembelajaran. Proses pembelajaran di kelas cenderung teoritis dan konseptual. Akibatnya pembelajaran menjadi linear dan kering. Konsentrasinya lebih diarahkan mengasah ranah kognitif peserta didik, sementara psikomotoriknya agak terabaikan. Otak siswa ditimbun informasi. Siswa  pintar dalam berteori tetapi gagap dalam aplikasi.
Sementara itu, karakteristik pembelajaran Bahasa Inggris lebih mengarah pada performansi bahasa; meningkatkan kemampuan peserta didik berkomunikasi secara lisan maupun tulisan. Proses pembelajaran hendaknya bersifat variatif dan fleksibel, serta memenuhi standar pembelajaran (Permendiknas no 41 tahun 2007 tentang Standar Proses).
Ironisnya dalam kenyataan pelajaran Bahasa Inggris menjadi salah satu tantangan besar bagi peserta didik yang menghadapi ujian nasional (UN) setiap tahun. Ujian Nasional Bahasa Inggris dengan 50 butir soal, terdiri dari 15 butir soal mendengar, 25 butir soal membaca, dan 10 butir soal campuran antara gramatika dan fitur bahasa. Sementara data UN SMAN 3 Tebing Tinggi menunjukkan bahwa pada tahun 2008, nilai membaca anak-anak hanya sekitar 30% dari total nilai UN Bahasa Inggris, 33% pada tahun 2009, dan menjadi 38% di tahun 2010. (Sumber: Arsip SMAN3 T.T)
Berdasarkan hal di atas, penulis bermaksud memberikan satu solusi permasalahan pembelajaran Bahasa Inggris pada karya tulis ini guna mengembangkan kemampuan performansi berbahasa siswa; dalam hal ini performansi membaca siswa.  Solusi ini berangkat dari penelitian tindakan kelas yang dilakukan peneliti di kelas X4 SMA Negeri 3 Tebing Tinggi tahun pelajaran 2010/2011 semester genap. Kompetensi yang dilatihkan adalah kompetensi membaca, dilakukan dengan tipe Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL). Kompetensi ini penting karena merupakan salah satu dari empat kompetensi dalam berbahasa. Kedua, membaca adalah jendela dunia, semakin banyak membaca semakin banyak pengetahuan. Ketiga, membaca adalah petualangan; kita bisa menemukan banyak jawaban dengan bersenang-senang. Keempat, terlihat mudah dan sederhana tetapi sulit memperoleh kompetensinya.

B.                 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan, yaitu: (1) Rendahnya minat membaca siswa, (2) Rendahnya hasil belajar membaca siswa, (3) Aktifitas siswa cenderung pasif selama proses pembelajaran, (4) Pembelajaran bersifat monoton dan berpusat pada guru.
C.                Batasan Masalah
(1)               Minat membaca siswa diukur dengan menggunakan lembar observasi berisi 8 kriteria
(2)               Hasil belajar Bahasa Inggris dibatasi pada ranah kognitif.
(3)               Pembelajaran dilakukan dengan Pembelajaran Berbasis Masalah pada materi merespon makna dalam teks fungsional pendek dan teks monolog sederhana di kelas X4 SMAN 3 T.Tinggi.
D.                Perumusan Masalah
Permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1)               Apakah penggunaan Pembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan meningkatkan minat membaca siswa?
(2)               Apakah dengan menerapkan Pembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Inggris siswa?
E.                 Tujuan Penelitian
(1)               Untuk mengetahui minat membaca siswa yang dibelajarkan dengan Pembelajaran Berbasis Masalah dalam mempelajari materi membaca teks fungsional pendek dan teks monolog sederhana.
(2)               Untuk mengetahui hasil belajar Bahasa Inggris siswa yang dibelajarkan dengan Pembelajaran Berbasis Masalah.
F.                 Manfaat penelitian
Secara teoritis penelitian ini diharapkan menjadi bahan acuan bagi guru, pengelola lembaga pendidikan dan penelitian selanjutnya, yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap minat membaca dan hasil belajar Bahasa Inggris siswa.
 Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi guru Bahasa Inggris sebagai strategi pembelajaran alternatif dalam upaya peningkatan minat membaca dan hasil belajar Bahasa Inggris siswa.



KAJIAN TEORI
A. Minat Baca
Crow and Crow berpendapat bahwa minat erat hubungannya dengan daya gerak yang mendorong seseorang untuk menghadapi atau berurusan dengan orang, benda atau bisa juga sebagai pengalaman efektif yang dipengaruhi oleh kegiatan itu sendiri. Minat dapat menjadi sebab kegiatan dan sebab partisipasi dalam kegiatan itu. Skinner juga berpendapat bahwa minat sebagai motif yang menunjukkan arah perhatian individu terhadap obyek yang menarik atau menyenangkannya, maka ia cenderung akan berusaha aktif dengan obyek tersebut. (dalam Wijaya Kusumah: 2009) Berdasarkan hal tersebut di atas, minat merupakan suatu faktor yang berasal dari dalam diri manusia dan berfungsi sebagai pendorong dalam berbuat sesuatu yang akan terlihat pada indikator “dorongan dari dalam”, “rasa senang”, “memberi perhatian”, dan”berperan serta dalam kegiatan”.
Gleen Doman (Sugiarto, www.depdiknas.go.id/jurnal/37/perbedaan hasil belajar membaca.htm) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca kita akan melangkah menuju masyarakat belajar (learning society). Dari terwujudnya masyarakat belajar (learning society) maka akan mencapai bangsa yang cerdas (educated nation) sesuai dengan amanat UUD 1945 menuju masyarakat Madani (Civil Society).
            Lilawati (Sandjaja: 2005) mengartikan minat baca sebagai suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai perasaan senang terhadap kegiatan membaca sehingga dapat mengarahkan seseorang untuk membaca dengan kemauannya sendiri. Sinambela (Sandjaja: 2005) mengartikan minat baca sebagai sikap positif dan adanya rasa keterikatan dalam diri terhadap aktivitas membaca dan tertarik terhadap buku bacaan. (Mathedu-Unila: 2009). Minat membaca merupakan kemampuan seseorang berkomunikasi dengan diri sendiri untuk menangkap makna yang terkandung dalam tulisan sehingga memberikan pengalaman emosi yang didapat akibat dari bentuk perhatian yang mendalam terhadap makna bacaan. Minat membaca merupakan karakteristik tetap dari proses pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning) yang berkontribusi pada perkembangan seperti memecahkan persoalan, memahami karakter orang lain, menimbulkan rasa aman, hubungan interpersonal yang baik, serta penghargaan yang bertambah terhadap aktivitas keseharian (Cole: 1963, Elliot, dkk;, dalam Sugiarto: 2000).
            Dari berbagi definisi di atas dapat disimpulkan bahwa minat membaca merupakan aktivitas yang dilakukan dengan penuh ketekunan dan cenderung menetap guna membangun pola komunikasi dengan diri sendiri agar pembaca dapat menemukan makna tulisan dan memperoleh informasi sebagai proses transmisi pemikiran untuk mengembangkan intelektualitas dan pembelajaran sepanjang hayat serta dilakukan dengan penuh kesadaran dan mendatangkan perasaan suka, senang dan gembira.
B. Pengertian Belajar Dan Hasil Belajar
            Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pembelajaran. Dapat juga dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif (Syah, 2009 dalam Rahmawati, 2011). Menurut Hamalik (2005), terjadinya perubahan tingkah laku pada seseorang, dari tidak tahu menjadi tahu, merupakan bukti bahwa orang tersebut belajar. Hasil belajar akan tampak pada perubahan aspek tingkah laku yaitu berupa pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani dan budi pekerti. Lebih lanjut William Burton (dalam Hamalik, 2009) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap, apresiasi, abilitas dan keterampilan hasil belajar diterima oleh siswa apabila memberi kepuasan pada kebutuhannya dan berguna serta bermakna baginya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya. Apabila setelah belajar, siswa tidak ada perubahan tingkah laku yang positif, dalam arti tidak memiliki kecakapan baru serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa belajarnya belum sempurna.
C.  Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Secara umum Pembelajaran Berdasarkan Masalah menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey (dalam Trianto, 2007:67), belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respons, merupakan hubungan antara dua arah, belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya. Pengalaman yang diperoleh dari lingkungan akan menjadi bahan dan materi untuk memperoleh pengertian dan bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Pembelajaran Berdasarkan Masalah didasarkan pada teori psikologi kognitif. Fokus pengajaran terletak pada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka) pada saat mereka melakukan kegiatan itu bukan pada apa yang sedang dilakukan (perilaku mereka). Walaupun peran guru pada pembelajaran ini kadang melibatkan presentasi dan penjelasan suatu hal, namun yang lebih lazim adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah.
PBL juga didasarkan pada konsep konstruktivisme yang dikembangkan oleh ahli psikologi Eropa Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Menurut Piaget, anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus-menerus berusaha memahami dunia sekitarnya. Rasa ingin tahu ini memotivasi mereka untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan mereka (Ibrahim dan Nur, 2005:16-17). Siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri. Pengetahuan mereka tidak statis, tetapi terus-menerus tumbuh dan berubah saat siswa menghadapai pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan awal. Pendidikan yang baik harus melibatkan siswa dengan situasi-situasi yang dapat membuat anak melakukan eksperimen mandiri; mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda/ simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain, membandingkan temuannya dengan temuan anak lain (Duckworth, dalam Ibrahim dan Muh. Nur, 2005: 17-18).
Arends (1997, dalam Trianto, 2007:68), menyatakan bahwa PBL merupakan pembelajaran yang menuntut siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Guru menekankan keterlibatan siswa secara  aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif.
PBL tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa, melainkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pembelajaran yang mandiri (Ibrahim, dkk., 2000:7).
Menurut Ibrahim dan Nur Pembelajaran Berbasis Masalah mempunyai beberapa karakteristik, dan masing-masing karakteristik tersebut mengandung makna. Karakteristik-karakteristik tersebut meliputi:
a. Pengajuan pertanyaan atau masalah (memahami masalah), merupakan hal penting baik  secara hubungan sosial maupun secara pribadi untuk siswa karena masalah yang diajukan merupakan situasi dunia nyata yang memungkinkan adanya berbagai macam solusi. Hal ini diperlukan untuk melatih siswa dalam memecahkan suatu masalah sama halnya dalam dunia nyata atau kerja.
b.  Berfokus pada keterkaitan antar disiplin, artinya masalah yang diajikan benar-benar nyata agar dalam pemecahannya dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang.
c. Penyelidikan autentik, artinya siswa harus menganalisis dan mengidentifikasi masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, membuat inferensi dan merumuskan kesimpulan.
d.   Menghasilkan produk atau karya kemudian memamerkannya. Produk dapat berupa laporan atau model fisik tentang apa yang telah mereka pelajari kemudian mendemonstrasikan pada teman-temannya.
e.    Kerja sama, artinya pada saat proses belajar mengajar siswa bekerja sama secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama dalam Pembelajaran Berbasis Masalah mendorong berbagai inkuiri dan dialog serta perkembangan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.
Dalam mengimplmentasikan Pembelajaran Berbasis Masalah, kejadian-kejadian yang harus muncul menurut Pierce dan Jones (Runi dalam Trianto) adalah:
a.      Keterlibatan (engagment), siswa berperan aktif sebagai pemecah masalah. Siswa diharapkan mampu menemukan masalah dan memecahkannya.
b.      Inkuiri dan investigasi (inquiri and investigation), siswa bekerja sama dengan yang lainnya untuk menemukan dan mengumpulkan informasi melalui kegiatan penyelidikan.
c.       Performansi (performance), siswa bekerjasama melakukan diskusi untuk menemukan penyelesaian masalah yang disajikan.
d.      Tanya jawab (debriefing), siswa melakukan sharing mengenai pendapat dan idenya dengan yang lain melalui kegiatan tanya jawab
e.       Presentation of finding, siswa menuliskan rencana, laporan kegiatan atau produk lain yang dihasilkan selama pembelajaran kemudian mempresentasikannya kepada yang lain.

METODE PENELITIAN
A.                Setting Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMAN 3 Tebing Tinggi pada pelajaran Bahasa Inggris dengan mengimplementasikan Pembelajaran Berbasis Masalah/PBL. Sebagai subyek adalah kelas X4 semester genap tahun pelajaran 2010/2011 dengan jumlah siswa sebanyak 30 orang, terdiri dari 11 siswa laki-laki dan 19 siswa perempuan.
B.                 Variabel Penelitian
      Variabel yang menjadi sasaran dalam rangka penelitian ini adalah:
1)        Input        : Implementasi Pembelajaran Berbasis Masalah.
2)       Proses       : Kegiatan Belajar Mengajar Bahasa Inggris.
3)       Out put    : Peningkatan minat membaca siswa.
Nilai-nilai minat membaca yang menjadi fokus penelitian ini adalah sebagai berikut:
ASPEK PENILAIAN

Aktif membaca teks
Menjawab pertanyaan
Paham kosakata
Aktif mencari kosakata
Selesai tugas
Aktif bertanya
Paham pengucapan
Senang dengan PBM
Skor
2
2
3
2
2
2
3
3

                                                Skor Perolehan
                                    Nilai = --------------------- x 100
                                                            18
                                                           
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan rancangan tindakan yang mengacu pada pendapat Kemmis dan MCTaggart (Aqib 2006) meliputi: (1) perencanaan, (2) tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi.
Perencanaan
Pada tahap ini peneliti melakukan hal-hal berikut: (*) bersama pengamat melakukan kegiatan pra observasi untuk mengumpulkan fakta-fakta lapangan guna memastikan adanya masalah yang terjadi dalam proses pembelajaran yang berlangsung selama ini, (*) merancang perangkat pembelajaran berorientasi model pembelajaran berdasarkan masalah, (*) menyiapkan fasilitas yang diperlukan, (*) membuat dan mendiskusikan format pengamatan yang akan digunakan.

Tindakan
Pendahuluan
Guru mengingatkan siswa tentang materi pelajaran lalu, memotivasi siswa, menyampaikan tujuan pembelajaran, menjelaskan model pembelajaran dan penilaian yang akan dilakoni.

Kegiatan inti
Bersama siswa membahas konsep/teori yang diperlukan dalam kegiatan pemecaham masalah dan memberikan contoh soal/masalah.
Tahap I: Mengorientasikan siswa pada masalah
Guru mengajukan masalah dan meminta siswa mencermatinya. Selanjutnya siswa diminta mengemukakan ide dan teori yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
Tahap 2: Mengorganisir siswa untuk belajar
Siswa dikelompokkan, (5 orang tiap kelompok) dengan memperhatikan kemampuan, dan jenis kelamin. Siswa secara berkelompok memecahkan masalah yang diajukan pada tahap 1.
Tahap 3: Membantu siswa memecahkan masalah
Siswa melakukan penyelidikan/pemecahan masalah secara berkelompok. Guru mendorong siswa mengumpulkan data dan mengajukan pertanyaan yang diperlukan siswa dalam menjelajah dan menemukan penyelesaian dari masalah yang dibahas.
Tahap 4: Membantu Siwa Mengembangkan / Menyajikan Hasil Pemecahan Masalah
Salah seorang anggota kelompok siswa diminta untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya dan membantu jika diperlukan.
Tahap 5: Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Pemecahan Msalah
Membantu menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir siswa, dan siswa menyusun kembali hasil pemikiran dari kegiatan yang telah dilakukan.
Penutup
Membimbing siswa menyimpulkan isi pembelajaran yang telah dilaksanakan dan memberikan tugas rumah. Siswa yang dianggap telah memahami materi diberikan materi pengayaan, sedang yang belum tuntas diberikan remedial.
c. Observasi
Observer mengamati perilaku guru dan siswa selama proses pembelajaran. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan lembar pengamatan untuk mendapatkan gambaran kemampuan guru melaksanakan pembelajaran, dan keaktifan guru/siswa.
d. Refleksi
Dilakukan setelah proses pembelajaran berakhir, peneliti bersama pengamat mendiskusikan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Hasil refleksi dijadikan dasar untuk merevisi kegiatan pembelajaran selanjutnya .

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
   Dalam penelitian  ini pembelajaran Bahasa Inggris yang menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah, dilaksanakan dengan menggunakan dua siklus. Gambaran hasil penelitian ini diuraikan seperti berikut ini:

A.    Siklus Pertama (6x45’)
1.      Perencanaan (Planning)
a.        Menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan disampaikan kepada siswa dengan menggunakan PBL. Standar kompetensi yang diteliti adalah memahami makna teks fungsional pendek dan essai sederhana (membaca) sedangakan Kompetensi dasar (KD) yang diteliti yaitu KD 11.1 Merespon makna dalam teks fungsional pendek (misalnya pengumuman, iklan, undangan dll) resmi dan tak resmi secara akurat, lancar dan berterima yang menggunakan ragam bahasa tulis dalam konteks kehidupan sehari-hari; dan  KD 11.2 Merespon makna dalam teks monolog sederhana yang menggunakan ragam bahasa lisan secara akurat, lancar dan berterima dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam teks berbentuk; narrative, descriptive, dan news item.
b.        Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran berorientasi PBL.
c.         Membuat lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran dan lembar pengamatan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran berlangsung.
d.       Membuat lembar kerja siswa (LKS)
e.         Menyusun alat evaluasi pembelajaran

2.      Pelaksanaan (Acting)
(1)     Menjelaskan hal-hal yang dibutuhkan, seperti pembentukan kelompok belajar dan   tugas dari masing-masing kelompok.
(2)     Guru mendistribusikan pengumuman tentang peraturan sekolah.
(3)     Guru mengarahkan siswa untuk menjawab pertanyaan tentang materi serta memberikan komentar atas materi yang diberikan.
(4)     Setiap kelompok diwajibkan memberikan pendapat
(5)     Siswa dan guru melakukan refleksi. Setiap kelompok harus menyampaikan pendapat tentang poin-poin dari peraturan sekolah logis atau tidak. Jika mereka tidak setuju dengan peraturannya, mereka diminta mengajukan beberapa peraturan yang lebih tepat untuk sekolah. Siswa juga dimintai pendapat tentang proses pembelajaran yang sudah dijalani, serta saran mereka untuk kegiatan selanjutnya. Guru memberikan penguatan dan simpulan.

3.           Observasi dan Evaluasi (Observation and Evaluation)
Dibandingkan dengan hasil perolehan pada data awal (sebelum tindakan siklus I dilakukan), tampak kemajuan yang berarti.
  Hasil observasi aktivitas siswa dalam Proses Belajar Mengajar selama siklus pertama dapat dilihat sebagai berikut:

  Pengamatan terhadap aktivitas siswa selama pembelajaran melalui PBL dengan menggunakan lembar pengamatan yang berisi 8 (delapan) aspek penilaian.
ASPEK
TINGKATAN
3
2
1
Aktif membaca teks

Ya
Tidak
Aktif menjawab pertanyaan

Ya
Tidak
Paham kosakata
Pemahaman tepat
Pemahaman kurang tepat
Pemahaman tidak tepat
Aktif mencari kosakata

Ya
Tidak
Menyelesaikan tugas

Ya
Tidak
Aktif bertanya

Ya
Tidak
Paham pengucapan
Pemahaman tepat
Pemahaman kurang tepat
Pemahaman tidak tepat
Senang dengan PBM

Ya
Tidak

Hasil penilaian minat membaca prasiklus = 13,33% sedangkan pada siklus I menjadi 46,67%  dengan demikian terjadi peningkatan sebesar 33,34%. Hasil belajar siswa juga mengalami kemajuan yang berarti. Dari angka-angka data dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan PBL membuat minat membaca siswa meningkat dan menjadikan mereka terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Keadaan ini jauh berbeda ketika guru hanya menyuruh siswa berkelompok dan menyerahkan proses pembelajaran sepenuhnya kepada siswa.
a.       Hasil observasi Aktivitas guru dalam Proses Belajar Mengajar
Hasil observasi aktivitas guru dalam kegiatan belajar mengajar pada siklus pertama masih tergolong sedang dengan perolehan skor 68,25%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keseluruhan aspek pengelolaan pembelajaran guru memperoleh penilaian dengan kategori cukup. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa guru cukup mampu mengelola pembelajaran melalui model pembelajaran berdasarkan masalah.
b.      Hasil Belajar Siswa
Hasil belajar siswa yaitu mencakup aspek (1) kemampuan menjawab pertanyaan, (2) usaha menemukan informasi-informasi tertentu seputar materi yang diberikan, dan (3) memberikan komentar terhadap isi materi.
Penilaian hasil belajar setiap siswa mengacu pada ketuntasan belajar yang ditetapkan sekolah yaitu paling sedikit siswa memperoleh nilai 75, maka dikatakan bahwa siswa tersebut tuntas dalam belajar. Hasil analisis terhadap hasil belajar siswa menunjukkan bahwa dari 30 orang siswa yang dikenai tindakan, ada sebanyak 13 orang siswa atau 43,33% mencapai kriteria ketuntasan belajar dan 17 orang atau sekitar 56,67% belum mencapai ketuntasan belajar.

4.      Refleksi (Reflecting)
Adapun keberhasilan dan kegagalan yang terjadi pada siklus pertama adalah sebagai berikut :
a.       Rencana pembelajaran yang disiapkan cukup terlaksana dengan baik.
b.      Guru belum terbiasa menciptakan suasana pembelajaran yang mengarah kepada PBL. Hal ini diperoleh dari hasil observasi terhadap aktifitas guru dalam proses belajar mengajar hanya mencapai 68,25 %.
c.       Aktifitas siswa menunjukkan kemajuan meski sebagian siswa belum terbiasa dengan kondisi belajar dengan menggunakan PBL. Mereka merasa senang dan antusias dalam belajar walaupun belum mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini bisa dilihat dari hasil observasi terhadap nilai minat baca siswa yang mencapai 46,67%
d.      Masih ada kelompok yang belum bisa menyelesaikan tugas dengan waktu yang ditentukan. Hal ini karena anggota kelompok tersebut kurang serius dalam belajar.
e.       Masih ada kelompok yang kurang mampu dalam mempresentasikan kegiatan, mereka merasa malu karena kurang memahami teks yang diberikan; sehingga tidak memiliki bahan untuk disampaikan.
f.       Dari pengakuan beberapa siswa saat refleksi, mereka merasa malu, gugup untuk mengemukakan pendapat mereka karena meruakan pengalaman baru.
     Untuk memperbaiki kelemahan dan mempertahankan keberhasilan yang telah dicapai     pada siklus pertama, maka pada pelaksanaan siklus kedua dapat dibuat perencanaan sebagai berikut.
1.      Memberikan motivasi kepada kelompok agar lebih aktif lagi dalam pembelajaran
2.      Lebih intensif membimbing kelompok yang mengalami kesulitan
3.      Memberi pengakuan atau penghargaan (reward).

B.     Siklus kedua (6x45’)
Seperti pada siklus pertama, siklus kedua ini terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi serta replanning. Hasil siklus 1 menjadi dasar pembuatan rencana baru untuk siklus 2 sebagai berikut:
1.      Perencanaan (Planning)
Hasil refleksi akhir pada siklus I menjadi dasar pembuatan rencana baru untuk siklus kedua sebagai berikut :
a.       Meningkatkan upaya memotivasi siswa agar lebih aktif lagi dalam pembelajaran.
b.      Memaksimalkan upaya mendorong siswa untuk bekerjasama/berdiskusi dengan teman sekelompok.
c.       Lebih intensif membimbing kelompok yang mengalami kesulitan.
d.      Memberi pengakuan atau penghargaan.
e.       Membuat perangkat pembelajaran dengan PBL yang lebih mudah dipahami oleh peserta didik.
f.       Menyiapkan materi dalam bentuk power poin.
g.      Mewajibkan setiap peserta didik untuk membawa kamus.
Memaksimalkan pembimbingan siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar   dengan cara mendorong dan membimbing mereka untuk menjawab pertanyaan, menemukan informasi-informasi tertentu seputar materi yang diberikan, dan mengomentari isi materi.


2.      Pelaksanaan (Acting)
a.       Memberikan penguatan agar setiap peserta didik terlibat dalam kelompok. Suasana pembelajaran sudah mengarah kepada PBL. Tugas yang diberikan guru kepada kelompok dengan menggunakan lembar kerja mampu dikerjakan dengan baik. Siswa dalam satu kelompok menunjukkan saling membantu untuk menguasai materi pembelajaran yang telah diberikan melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota kelompok.
b.      Sebagian besar siswa merasa termotivasi untuk bertanya dan menanggapi suatu presentasi dari kelompok lain; dan tidak ragu menyampaikan pertentangan ide.
c.       Suasana pembelajaran yang efektif dan menyenangkan sudah mulai tercipta.

3.      Observasi dan Evaluasi (Observation and Evaluation)
a.       Hasil observasi aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar selama siklus kedua dapat dilihat sebagai berikut:
Pengamatan terhadap aktivitas siswa selama pembelajaran melalui PBL dengan menggunakan lembar pengamatan yang berisi 8 (delapan) aspek penilaian. Hasil penilaian tingkat ketuntasan siklus II sebesar 83,33%  dengan demikian terjadi peningkatan sebesar 36,66% dibandingkan siklus I (46,67%). Hasil belajar siswa juga mengalami kemajuan yang berarti. Dari angka-angka data dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan PBL membuat minat membaca siswa meningkat dan menjadikan mereka terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. Keadaan ini jauh berbeda ketika guru hanya menyuruh siswa berkelompok dan menyerahkan proses pembelajaran sepenuhnya kepada siswa.

b.      Hasil observasi Aktivitas guru dalam Proses Belajar Mengajar :
Hasil observasi aktivitas guru dalam kegiatan belajar mengajar pada siklus kedua  masih tergolong baik dengan perolehan skor 82,76%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keseluruhan aspek pengelolaan pembelajaran guru memperoleh penilaian dengan kategori baik. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa guru mampu mengelola pembelajaran melalui model pembelajaran berdasarkan masalah.
c.       Hasil Belajar Siswa
Hasil belajar siswa yaitu mencakup aspek (1) kemampuan menjawab pertanyaan, (2) usaha menemukan informasi-informasi tertentu seputar materi yang diberikan, dan (3) memberikan komentar atas isi materi.
Hasil analisis terhadap nilai tugas siswa menunjukkan bahwa dari 30 orang siswa yang dikenai tindakan, ada sebanyak 26 orang siswa atau 86,67% mencapai kriteria ketuntasan belajar dan 4 orang atau sekitar 13,33% belum mencapai ketuntasan belajar. Namun bila diperhatikan nilai keempat orang siswa yang tidak tuntas ini tidak terlalu jauh dari batas kriteria ketuntasan minimal yang berlaku di sekolah tempat penelitian.
Selama pembelajaran di siklus 2, peserta didik mengalami kemajuan yang berarti. Ide, keaktifan, minat dan interaksi mereka dilakukan dengan sangat baik. Semua aspek pengamatan menunjukkan perkembangan yang positif.
Keluhan saat refleksi di siklus 1 tidak lagi muncul pada saat refleksi 2. Semua kelompok sudah bisa menyelesaikan tugas yang diberikan dalam waktu yang ditentukan. Setiap peserta didik berlomba-lomba menyampaikan pendapatnya; sekalipun itu bertentangan dengan mayoritas pendapat yang ada.
4.      Refleksi (Reflecting)
Adapun keberhasilan yang diperoleh selama siklus kedua ini adalah sebagai berikut :
a.      Aktivitas siswa dalam Proses Belajar Mengajar sudah mengarah ke Pembelajaran Berbasis Masalah secara lebih baik. Siswa mampu membangun kerjasama dalam kelompok untuk memahami tugas yang diberikan guru. Siswa mulai mampu berpartisipasi dalam kegiatan dan tepat waktu dalam melaksanakannya. Siswa juga mampu mempresentasikan hasil kerjanya. Hal ini dapat dilihat dari data hasil observasi terhadap nilai minat baca siswa meningkatkan dari 46,66% pada siklus pertama menjadi 83,33% pada siklus kedua.
b.     Meningkatnya aktivitas siswa dalam Proses Belajar Mengajar didukung oleh meningkatnya aktivitas guru dalam mempertahankan dan meningkatkan suasana pembelajaran yang mengarah pada Pembelajaran Berbasis Masalah. Guru intensif membimbing siswa, terutama saat siswa mengalami kesulitan dalam proses belajar mengajar dapat dilihat dari hasil observasi aktivitas guru dalam proses belajar mengajar meningkat dari 68,25% pada siklus pertama menjadi 82,76 % pada siklus kedua.
Temuan hasil penelitian siklus kedua ini dianalisis dan didiskusikan dengan guru mitra yang bertindak sebagai pengamat. Hasil diskusi tersebut menyepakati bahwa kegiatan pembelajaran melalui model pembelajaran berdasarkan masalah pada siklus kedua ini sudah sangat baik. Keseluruhan siswa telah mengambil bagian secara aktif selama pembelajaran berlangsung. Demikian juga dengan guru yang melaksanakan pembelajaran telah sangat aktif dan sangat mampu mengelola pembelajaran melalui model pembelajaran berdasarkan masalah.
c.     Keaktifan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran serta kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran melalui PBL juga memberikan pengaruh  pada hasil pencapaian belajar siswa yang meningkat. Hampir seluruh siswa telah mencapai kriteria ketuntasan belajar untuk materi teks fungsional pendek (mis, pengumuman, iklan, dan undangan) dan teks monolog sederhana (narrative, descriptive, dan news item). Dengan temuan ini maka pengamat dan guru mitra yang bertindak sebagai pengamat selama pembelajaran berlangsung menyepakati bahwa kriteria pencapain penelitian yang telah ditentukan diawal penelitian telah tercapai, sehingga kegiatan penelitian tindakan kelas dalam rangka meningkatkan minat membaca siswa pada materi teks fungsional pendek dan teks monolog sederhana melalui PBL tidak dilanjutkan lagi ke siklus berikutnya.
    Pembelajaran telah terlaksana dengan baik. Secara umum tindakan yang dilakukan menunjukkan peningkatan hasil yang sangat signifikan. Demikian pula pada aktivitas pembelajaran telah menunjukkan perkembangan yang sangat positif dan menyenangkan. Selain itu, model pembelajaran ini telah mampu mengaktifkan guru dan siswa dalam pembelajaran serta telah mampu merubah pola mengajar guru yang selama ini digunakan. Pola pembelajaran yang selama ini senantiasa berorientasi pada pencapaian target menyelesaikan materi sehingga kurang memperhatikan kompetensi yang dimiliki siswa ini mengakibatkan siswa kurang mampu menyatakan pendapat, ide, dan pertanyaan baik kepada guru maupun kepada sesama teman. Karena kriteria ketercapaiaan penelitian ini, yaitu peningkatan minat membaca siswa telah tercapai, maka peneliti dan pengamat memutuskan untuk mengakhiri penelitian tindakan kelas pada siklus 2 ini. 

SIMPULAN DAN SARAN
A.                Simpulan
Hasil analisis data yang diperoleh selama penelitian tindakan menunjukkan bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran Bahasa Inggris telah meningkatkan minat baca dan hasil belajar Bahasa Inggris siswa; khususnya dalam kompetensi membaca. Keberhasilan itu terjadi pada subjek penelitian tindakan yang dilakukan, yakni di kelas X4 SMAN 3 Tebing Tinggi pada semester genap t.p 2010/2011. Dari hasil observasi memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan minat membaca siswa yang pada siklus I hanya rata-rata 46, 67% menjadi 83, 33% pada siklus II. Aspek penilaian tertinggi terdapat pada aspek keaktifan siswa membaca teks dan timbulnya rasa senang mereka terhadap PBM. Peningkatan tidak hanya terjadi pada minat siswa dalam pembelajaran, melainkan juga pada hasil pembelajaran sesuai dengan kompetensi yang ada.  PBL memberikan manfaat bagi siswa salah satunya dalam pemahaman sehingga dapat meningkatkan hasil belajar mereka. Melalui wawancara dengan siswa ditemukan bahwa dengan penerapan model PBL kondisi kelas menjadi lebih aktif, siswa menjadi berani tampil dalam mengungkapkan pendapatnya. Sedangkan kesan dan tanggapan siswa menyatakan bahwa kegiatan belajar jadi lebih menyenangkan dan dapat meningkatkan minat membaca siswa.

B.                 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dipaparkan, penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) Dalam pembelajaran berbahasa PBL bisa digunakan untuk mengaplikasikan pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan. (2) Guru perlu berupaya membuat strategi/metode yang lebih kreatif dan efektif sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar Bahasa Inggris siswa sehingga pembelajaran bahasa yang menuju performansi bahasa bisa tercapai. (3) Pentingnya meningkatkan kemampuan performansi siswa karena bahasa adalah berbicara dengan lisan atau tulisan.

DAFTAR PUSTAKA
Airlangga, 2009. Mengungkap Rendahnya Kualitas Lulusan SMU dalam Berbahasa Asing. www.kabarindonesia.com / diakses 20 Maret 2011
Arends, Richard, I. 2007. Classroom Instruction and Management. New-York: McGraw-Hill.
Aqib, Zainal. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widia.
Hamalik, O. 2005. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Ibrahim, Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Ibrahim, Muslimin dan Muhammad Nur. 2005. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press.
Kasdi, S. Dan Muhammad Nur. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: University Press.
Kusumah, Wijaya. 2009. Apakah Minat Itu? http://edukasi.kompasiana.com / 20 Maret 2011
Rahmawati. 2011. Pengaruh Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Hasil Belajar Biologi, Kemampuan Berpikir Kritis, Aktivitas dan Sikap Ilmiah Mahasiswa di Universitas AlMuslim Bireun.
Sugiarto. 2010. Perbedaan Hasil Belajar Membaca. www.depdiknas.go.id/jurnal/37/ diakses 20 Maret 2011
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya: Prestasi Pustaka Publisher.
……….. 2009. Pengertian Minat Membaca. www.mathedu-unila.blogspot.com / diakses 20 Maret 2011