Judul Buku : Rindu
Penulis : Tere-liye
Penerbit : Republika
Tahun terbit : 2014
Jumlah halaman : 544 halaman
Cerita dalam buku ini berlatar pada sebuah kapal
penumpang BLITAR HOLLAND yang mengangkut jemaah Haji Indonesia ke kota suci
Mekah tahun 1938. Zaman penjajahan belanda. Ketika itu perjalan ke Mekah pulang
balik memakan waktu 9 bulan. Kapal yang panjangnya 136 meter dan lebar 16 meter
memulai perjalanan tanggal 1 Desember 1938 dengan pertama singgah mengambil
penumpang di Pelabuhan Makasar. Setelah itu melanjutkan perjalanan ke Surabaya
memungut penumpang, seterusnya ke Semarang dan Betawi (Jakarta). Dari Jakarta
Kapal Belanda itu akan menyinggahi Lampung, Padang dan terkhir di Banda Aceh
untuk selanjutnya menuju tanah suci.
Semua cerita yang yang digambarkan novel 544 halaman ini
terjadi selama perjalanan dari Makasar ke Mekah. Tokoh yang terlibat dan
menjadi tokoh sentral adalah Ahmad
Karaeng. Ulama termashur ketika itu di Makasar dan biasa dipanggil dengan Gurutta. Penupang berikutnya adalah Daeng Andipati. Pedagang terkaya di
Makasar. Ia pergi ke Mekah dengan
membawa istri dan dua anaknya yang masih remaja Anna dan Elsa. Tokoh lainnya
adalah kelasi yang baru direkrut ketika
kapal singgah di Makasar Ambo Uleng.
Berikut adalah seorang perempuan
keturunan China muallaf yang cantik berumur sekitar 40-an bernama Bonda Upe.
Tokoh-tokoh yang disebutkan diatas punya permasalah
tersendiri ketika naik kapal, disamping pertanyan-pertanyaan kehidupan yang
menyesak di benak mereka yang selama ini tidak terjawab. Dalam perjalanan
selama berbulan-bulan dalam kapal ini satu
persatu permasalahan dan pertanyaan yang mengganggu ketenangan hidup mereka
akhirnya menemukan jawabannya.
Ahmad Kareang yang merupakan tokoh sentral sebenarnya
juga terganggu oleh permasalahan yang perlu jawaban. Ulama tua itu ketika masuk
kapal saja hampir tidak diizinkan oleh serdadu Belanda yang bertugas sebagai
penjaga keamanan. Sersan Lukas sang komandan masih truma dengan pemberontakan
kerajaan Gowa yang menewaskan ribuan tentara belanda. Pemberontakan itu menurut
nya dipicu oleh hasutan seorang ulama terkenal Sekh Yusuf. Dan ia cemas kalau
nanti Ulama tua ini menghasut penompang pula untuk membrontak dalam kapal. Tapi ketika Ulama itu
memperlihatkan surat dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda ketika itu De
Jonge, terpaksa ia membiarkan orang tua itu naik kapal.
Dalam kapal Ahmad Karaeng yang selalu dipanggi Guruta
oleh semua penumpang mengornisir kegiatan sehari-hari agar hari-hari berlalu
dengan bermanfaat dan sekaligus menambah pengetahuan penumpang. Maka ia dengan
dibantu oleh Daeng Andipati membentuk majelis pengajian untuk jamaah. Untuk
anak-anak dibuatkan sekolah untuk menggantikan sekolah mereka yang terputus
selama perjalanan. Demikian pula pengajian al-quran disore hari juga untuk
anak-anak. Yang bersedia menjadi guru membaca al-Quran adalah Bonda Upe.
Cobaan yang pertama mereka alami adalah ketika singgah di
Surabaya. Sementara jemaah haji dari surabaya
masuk, penumpang dari Makasar diberi kesempatan untuk keluar dari kapal. Daeng
Andipati menggunakan kesempatan itu untuk pergi ke pasar membeli pakaian untuk
anaknya Elsa yang kebetulan koper pakaiannya tidak ditemukan. Malang ketika itu
di pasar tempat mereka berbelanja diserang oleh pejuang kemerdekaan. Dalam
kerusuhan itu Elsa hilang. Semua yang dalam kapal berusaha membantu menemukan
kembali, namun anak bungsu pedagang kaya itu tidak ditemukan. Dan disaat mereka
sudah putus asa, Ambo Uleng kelasi baru nampak berjalan terhuyung-huyung
menggendong anak yang hilang. Karena peristiwa ini nantinya hubungan Andipati
menjadi sangat akrab dengan kelasi pendiam itu.
Bonda Upe, guru menngaji dalam kapal, tidak seperti
penumpang-penumpang lainnya. Ia hanya keluar sore hari untuk mengajar anak-anak
membaca al-quran. Ia tidak ikut berjemaah di musallah yang ada di kapal. Bila
jam makan tiba ia tidak makan dikantin umum yang disediakan dikapal baik pagi
waktu sarapan, atau siang maupun pada waktu makan malam. Dan ini menjadi tanda
tanya bagi jemaah lainnya. Dan permasalahan baru terkuak ketika kapal jemaah
haji itu singgah di jakarta, dan mereka makan berombongan di kota. Seorang
mengenali Bonda Upe dengan panggilan Ling ling, rupanya beberapa tahun sebelumnya
ia bekerja di Batavia sebagai wanita penghibur. Jadi selama ini ia
menyemburnyikan diri dalam kabinnya di kapal dan tidak mau bergabung dengan
peumpang lain karena takut dikenali. Setelah semuanya terkuak, ia sangat sedih
dan mengurung diri di kabin dan tidak mau keluar lagi untuk mengajar mengaji
bahkan tidak mau makan. Dia mulai ragu apakah perjalanannya tidak percuma ke
tanah suci Mekah, apakah Tuhan akan mau menerima hajinya. Dengan sabar suaminya
berusaha membesarkan hatinya demikian juga Garuta berusaha membantu pemulihan
jiwanya.
Guruta mengatakan bahwa apakah haji kita diterima atau
tidak itu urusan tuhan, Tidak seorang pun yang tahu. Kita hanya bisa berharap
akan ampunanNYA. Guruta menambahkan ada sebuah hadis yang bercerita. Seokor anjing hampir mati kehausan. Kemudian
datanglah seorang wanita pelacur dari bani Israil. Perempuan itu mengambil air
dari sumur dengan sepatunya kemudian memberrikan pada anjing itu. Maka
diampunkanlah dosa perempuan itu lanataran perbuatannya.
Mengenai masalalu, adalah bagian dari hidup. Kita harus bisa berdamai dengannya. Kita
tidak harus lari darinya “Ketahuilah,
semakin keras kau berusaha lari, maka semakin kuat cengkeramannya. Semakin
kencang kau berteriak melawan, maka semakin kencang pula gemanya memantul,
memantul, dan memantul lagi memenuhi kepala.” Cara terbaik menghadapi masa lalu
adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa
lalumu. Buat apa dilawan? Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu.
Nak, saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis
apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam
seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama,
hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi
kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar.
Maka, tidak relevan kalau kita selalu memikirkan penilaian orang lain. Kitalah
yang tahu persis perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang
tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita
sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia
sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri. Kita
tidak perlu membuktikan apa pun kepada setiap orang bahwa kita itu baik. Buat
apa? Sama sekali tidak perlu. “
Bonda Upe merasa lega dengan wejangan Guruta ini.
Semenjak itu ia tidak lagi menyembunyikan diri. Ia berdiri tegar menghadapi
kehidupan ini. Terjawab sudah satu masalah.
Suatu malam yang gelap ketika Daeng Andipati melewati lorong
kapal. Tiba-tiba dari kegelapan muncul sesosok bayangan lansung menyerang
saudagar itu dengan sebilah pisau. Serangan pertama berhasil melukai tangannya
dan menyebabkan orang terkaya di Makasar itu jatuh dan sang penyerang siap
untuk menghabisinya. Namun tuhan masih menyelamatkan jiwanya. Disaat yang
kritis itu Ambo Uleng muncul dan berhasil melumpuhkan dan menghajar penyerang.
Berdasarkan intograsi petugas keamanan kapal diketahuilah
bahwa orang yang ingin melenyapkan nyawa saudagar kaya itu adalah bekas tukang pukul
bapaknya yaitu Gory Jagal. Dari peristiwa ini terkuak bahwa
Daeng Andipati di luar nampak begitu sempurna, gagah, kaya; meemilki
segalanya, istri cantik anak yang sehat, harta berlimpah. Namun kenyataannya
hidupnya tidak bahagia. Semenjak remaja ia memendam kebencian yang mendalam
terhadap almarhum ayahnya. Ayahnya seoran pengusaha sukses , namun menurut
pandangannya, ayahnya tak lebih dari seorang bajingan. Ia menjalankan bisnisnya
dengan culas dan licik. Ia tidak segan-segan berbuat curang untuk mendapatkan
sesuatu. Ia sengaja menjerat orang dengan hutang, kemudian mengambil paksa
harta benda mereka. Ayahnya memelihara banyak tukang pukul. Mereka diminta
untuk menghajar dan bahkan menghabisi mereka yang dikehndaki.
Gori Penjagal adalah kepala tukang pukul bayaran
bapaknya. Suatu kali Gori gagal menjalankan perintah, orang tua itu marah besar
dan mengusirnya. Gori menyembah-nyembah minta maaf dan minta diberi sekali lagi
kesampatan karena ia punya istri yang baru melahirkan untuk dinafkahinya. Namun
Daeng Patoto bapak Daeng Andipati ini tetap menghukumnya tanpa ampun. Ia
menyuap banyak tentara Belanda agar Gori bisa dijebloskan ke Penjara. Lelaki
tukang pukul ini mendekam di penjara sepuluh tahun. Ketika ia dipenjara bayinya
meninggal.
Yang paling menyakitkan hatinya Daeng Andipati, orang
tuanya itu suka melakukan kekerasan terhadap ibunya bahkan kepada anak-anaknya.
Karenanya Daeng Andipati bersaudara, satu persatu meninggalkan rumah dan pergi
mencari hidup sendiri. Daeng Andipati pergi merantau ke Jawa. Kemudian pergi ke
Belanda melanjutkan kesekolah bisnis yang terkenal. Sepeserpun tanpa biaya dari
orang tua yang sangat dibencinya. Demikian juga ketika memulai usaha, ia
mengharamkan untuk dapat bantuan sang
ayah.
Ambo Uleng ikut berlayar dengan motivasi yang berbeda
dengan penumpang lainnya. Dia ingin meninggalkan Makasar sejauh mungkin. Karena
cintanya kandas, tidak diterma oleh orang tua gadis yang dicintainya. Orang tua
sang gadis sudah terlanjur berjanji dengan seorang ulama dan bangsawan terkenal
untuk menjodohkannya dengan murid terbaik ulama tersebut. Dan dalam kapal ia
berjumpa dengan Guruta dan mereka akhirnya akrab. Di kapal pada waktu
senggangnya ia mulai belajar membaca al-quran dan sholat. Guruta menjadi
pembimbing spritualnya dan menganggapnya sebagai murid.
Ahmad Karaeng, yang biasa dipanggil guruta
bukan tidak ada masalah. Cinta pertamanya kandas. Ketika muda ia nyantri di
Aceh di pesantren Syekh Raniri. Tujuh tahun ia belajar disana. Setelah selesai
dia akan melanjutkan pelajarannya ke Yaman. Sebelum berangkat gurunya itu akan
menjodohkannya dengan anak kandungnya Cut Keumala. Namun nasib berkata lain,
cintanya kepada gadis Aceh yang cantik jelita itu kandas dengan menyedihkan.
Beberapa hari sebelum mereka menikah Belanda menyerbu Aceh. Guru dan anak
gadisnya itu serta ratusan santri lainnya gugur sebagai suhada.
Di kapal, disamping membina jemaah, Ahmad karaeng
menggunakan waktunya untuk menulis buku. Namun sebenarnya Ahmad Karaeng sendiri
memiliki peroblem kejiwaan sendiri. Ia menulis ratusan buku tentang dakwah dan
juga tentang keberanian bagi anak bangsa untuk merebut kemerdekaan. Namun jauh
dalam lubuk hatinya ia mempertanyakan, apakah ia punya nyali untuk berjuang
seperti yang ditulisnya itu. Ia merasa sebenarnya ia bukanlah seorang
pemberani. Dan ini akhirnya mendapat ujian ketika dua hari setelah meninggalkan
pelabuhan Kolombo kapal dibajak oleh perampok Somalia. Dan perjalanan kapal
akan dibelokkan dari seharusnya ke Mekah diorbah ke Somalia.
Ketika kejadian itu Ahmad karaeng atau guruta sedang
menghuni sel penajara di kapal. Sersan Lukas menemukan salah satu buku yang ditulis oleh ulama itu berjudul
“Kemerdekaan adalah hak segala bangsa” Kapten belanda yang tak kenal kompromi
itu menuduh guruta sedang mempersiapkan pemberontakan kepada pemerintahan
Hindia Belanda.
Perompak Somalia yang sudah berpengalaman itu hanya butuh
setengah jam untuk melumpuhkan aparat keamanan di kapal yang dikomandoi oleh
sersan Lukas. Diantara seratus kelasi kapal, hanya Ambo Uleng dan kepala koki
Chef Lars yang berpengalaman menghadapi
situasi seperti itu. Mereka sudah beberapa kali menghadapi perompak. Mereka
berdua akan mengatur perlawanan pembebasan kapal dari ruang bawah tempat Guruta
di tahan. Dengan beberapa serdadu Belanda mereka mendiskusikan serangan balik.
Nah disinilah nyali Guruta atau Ahmad Karaeng diuji.
“Ini berisiko, kau bisa mencelakakan puluhan penumpang
bahkan ratusan jika renacana itu gagal” Begitulah antara lain argumen ulama
besar itu menunjukkan kekhawatirannya. Namun Ambo Uleng terus mendesaknya,
“Guruta, kita tidak akan pernah bisa meraih kebebasan
kita tanpa peperangan! Tidak bisa. Kita harus melawan. Dengan air mata dan
darah Aku tahu sejak kejadian di Aceh, meninggalnya Syekh Raniri dan Cut
Keumala, Guruta berjanji tidak akan
menggunakan kekerasan lagi. Melawan lewat kalimat lembut,
tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri dari kaki kita dengan cara itu. Guruta, kita harus
mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi harus dilakukan” Itulah antara
lain argumen Ambo Uleng untuk meyakinkan gurunya itu. Adakalanya kemungkaran
harus dikalahkan dengan pedang.
Setelah Garuta berhasil diyakinkan, maka dibuatlah surat
edaran yang diedarkan secara rahasia kepada penumpang. Dengan strategi yang
jitu dan pengaruh Ulama Kharismatik itu akhirnya kapal dapat dikuasai kembali.
Cerita dalam novel ini ditutup denan Happy ending.
Setelah sembilan bulan dalam perjalanan bolak balik dari tanah air ke Mekah,
mereka sampai ke tanah air dengan selamat. Daeng Andipati telah memaaf kan
ayahnya, dia mengajak seluruh saudar-saudaranya untuk ziarah ke kuburan bapakmereka yang selama ini
mereka benci. Lebih beruntunng lagi nasib Ambo Uleng. Ulama yang berjanji untuk
menikahkan murid kesayangannya dengan kekasihnya itu adalah Ahmad Karaeng. Dan
murid kesayangannya adalah Ambo Uleng sendiri
Ahmat Karaeng ketika perjuangan kemedekaan tak lama
setelah itu aktif mendorong dan menkordinir perjuangan mengusir penjajah dari
tanah air..
Materi cerita dalam novel ini hanyalah kegiatan
sehari-hari dalam kapal, namun karena pengarang bertutur dengan handal, maka
terasa tidak membosankan. Cerita ini sangat bagus bagi mereka yang menyukai
philosofi kehidupan ini. Karena banyak permasalahan-permasalahan yang
sebenarnya kita hadapi adalam hidup ini menemukan jawabannya disini.