PRIYONO
Pelatih PAUD pada National Education Specialist
Team (NEST)
Abstract
Dengan menggunakan teori
reproduksi budaya yang dikembangkan oleh ahli sosiologi pendidikan, Pierre
Bourdieu, penelitian ini ingin menjelaskan bagaimana sumberdaya keluarga
mempengaruhi hasil pendidikan anak usia dini berupa kesiapan sekolah. Dengan
memilih orangtua murid berdasarkan kelas sosialnya, yang dianggap memiliki
budaya dominan, dicoba digali bagaimana para orangtua mempraktekan pendidikan
anaknya, dimana kemudian kesiapan
sekolah anaknya dinilai secara berbeda oleh guru di sekolah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
berbagai strategi: field research, survey rumah tangga, dan FGD dengan
mengambil setting di wilayah perdesaan dan peri-urban di provinsi Banten. Field
research dipergunakan untuk memahami konteks budaya dari persekolahan, survey
rumah tangga dipergunakan untuk memahami pola-pola kelas sosial, dan FGD
dipergunakan untuk memahami persepsi kelas sosial menurut masyarakat.
Hasilnya mendukung teori reproduksi budaya dimana pada
anak dari kelas sosial tinggi (urang beunghar)
telah mendapatkan bekal modal budaya dominan di rumah sehingga memungkinkan
berprestasi lebih baik di sekolah. Sedangkan anak dari kelas sosial rendah (urang leutik), mendapatkan hambatan bagi
pengembangan kesiapan sekolahnya. Namun demikian karena terjadinya perbedaan
antara pengajaran di PAUD dengan di SD, para orangtua menuntut dijalankannya
pembelajaran Calistung sebagai bagian dari kesiapan sekolah yang bertentangan
dengan prinsip pembelajaran anak usia dini. Walupun sudah ada kebijakan untuk
mengatasinya tetapi masih parsial, untuk penelitian ini berusaha mencari
rekomendasi penyelesaian yang menyeluruh terhadap Calistung.
Kata Kunci: Modal budaya, Kesiapan Sekolah, Kelas Sosial,
Pendidikan anak usia dini dan Budaya Banten.
Ingin dapat tambahan uang dengan modal hanya 25 ribu rupiah, bisa
menghasilkan Rp.800 Juta,- Dari Bisnis Iklan ?
Silahkan klik : https://muslimpromo.com/?ref=8076
Silahkan klik : https://muslimpromo.com/?ref=8076
ABSTRACT
Title : Early Childhood Education
(ECE): Operations of Cultural Capital and School Readiness in Bantam
Using the cultural
reproduction theory developed by France’s educational sosiologist, Pierre
Bourdieu, this research trying to answer how family cultural resources
influence the outcomes of early childhood education in terms of school
readiness. Among the selected parents according to their social class origins,
they are assumed posses the cultural dominance – they are explored how they
practice family education toward their children and at school, how their
children performances are treated by teacher.
Qualitative approach are
employed by this research using multiple strategies: field research, household
survey, and Focused Group Disscusion (FGD) in a setting in Bantamesse province.
Two areas in rural and peri-urban sub-district as a sample. Field research is
used for understanding the cultural context of schooling, household survey is
used for understanding the pattern of social class, and FGD is used for
determining social class perception according to local people notions.
The results support the
theory of cultural reproduction in which children from higher social class (urang beunghar) receieved cultural
dominant capital at their home, make them ability to perform better in school.
While children from lewer class (urang leutik),
having disadvantage for their school readiness development. However, there is a
big discrepancy between primary school learning which is perceived to be more
cognitive, while in early childhood education to be as merely playing. The
parents reinforced to impose instant literacy (Calistung) among their children which is contradiction with early
childhood education principles. Indeed, there is policy to overcome this
problem but it is still partially implementation. This research suggest recommendation
for more holistic policy toward instant literacy (Calistung).
Keyword: Cultural Capital, School Readiness, Social Class, Early
Childhood Education, Bantamesse Culture.
A. Pendahuluan
Salah satu
permasalahan utama yang dihadapi murid pada jenjang Sekolah Dasar adalah
tingginya angka mengulang kelas dan putus sekolah dimana yang paling parah
terjadi di kelas 1 dan 2. Jika angka mengulang kelas dari kelas 1 hingga kelas
6 dikumpulkan maka dapat mencapai sekitar 1,5 – 2 juta anak (7%), suatu jumlah
yang cukup besar. Para ahli bersepakat bahwa suatu penyebab tingginya angka
mengulang kelas di SD atau MI adalah ketidaksiapan anak untuk masuk sekolah (Suyanto 2007).
Suatu upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan kesiapan sekolah adalah melalui program PAUD dimana studi
longitudinal pernah dilakukan menunjukkan pengaruh positif terhadap perkembangan
kognisi anak. Contohnya pada North Carolina Abecedarian Project dan memberikan dampak positif jangka pendek berupa
kesiapan sekolah (Ramey et al. 2000). Serta dampak PAUD jangka panjang setelah
40 tahun sebagaimana digambarkan pada Perry Preschool Project - High/Scope
Study (Schweinhart 2005).
Studi-studi tersebut
telah menunjukkan pengaruh posistif PAUD terhadap kesiapan sekolah. Dengan
pelayanan yang hanya beberapa jam sehari – di Indonesia 2½ jam sehari – sementara anak lebih banyak
berada di lingkungan keluarganya, sesungguhnya pengaruh latar belakang keluarga
tidak dapat dikesampingkan, bahkan dapat menjadi faktor yang penting untuk
digali lebih jauh. Studi serupa di Indonesia yang membandingkan kesiapan sekolah
anak-anak memperoleh PAUD dengan Non PAUD, menunjukkan hasil yang tidak
signifikan antara keduanya. Namun demikian jika digali lebih jauh pada latar
belakang keluarganya, diantaranya pada perbedaan tingkat pendidikan orangtua,
terlihat secara jelas perbedaan kesiapan sekolah pada anaknya (Harianti et al. 2004).
Sebagian hasil
penelitian Harianti et al (2004) ditampilkan pada Gambar 1 di halaman berikut,
dimana terlihat bahwa skor kesiapan sekolah pada anak yang tidak mengikuti PAUD
dari orangtua yang berpendidikan perguruan tinggi, memiliki skor kesiapan
sekolah yang hampir sama pada anak yang mengikuti PAUD dengan latar belakang
orangtua lulus SD. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui
pendidikannya, orangtua sejak awal telah membekali anak-anaknya secara berbeda
untuk mempersiapkan dirinya dalam proses persekolahan. Seperti pada gambar
tersebut, jika orangtua memiliki sumberdaya (yang dapat diartikan sebagai
modal) memadai, tidak tertutup kemungkinan hasilnya akan menyamai atau melebihi
anak-anak yang mendapat pelayanan PAUD, demikian pula sebaliknya.
Gambar 1. Perbedaan Skor Kesiapan Sekolah PAUD dan Non-PAUD berdasarkan Latar Belakang
Pendidikan Orang tua
Faktor pendidikan
orangtua hanyalah salah satu contoh sumberdaya keluarga yang dapat dijadikan
modal budaya untuk kesiapan sekolah dan masih banyak sumber budaya keluarga
lainnya yang dapat. Penelitian tentang modal budaya yang pernah dilakukan adalah
pada murid SD dan keluarganya (Reay 2000), siswa SMP (Sullivan 2001) dan siswa SMA
(De Graaf et al. 2000). Sedangkan penelitian pada anak usia dini masih sedikit,
sehingga dipandang penting untuk memahaminya bagi penyelenggaraan pendidikan
anak usia dini yang lebih baik.
Pertanyaan penelitian yang
diajukan adalah:
1. Karena kepemilikan modal budaya
tidak didistribusikan secara merata diantara kelas sosial orangtua, bagaimana perbedaan
kelas kelas sosial orangtua memfasilitasi kesiapan sekolah anaknya?
2. Bagaimana sumberdaya keluarga yang
diwujudkan dalam modal budaya ditanamkan kepada kemampuan anak dalam bentuk
kesiapan sekolah (school readiness)?
3. Mengingat pelayanan PAUD mengenal
bentuk-bentuk formal dan nonformal, bagaimana kedua jenis lembaga tersebut memfasilitasi
modal budaya agar mempengaruhi kesiapan sekolah?
Ruang lingkup
penelitian ini adalah anak-anak dalam keluarga dan sekolah yang mendapat
layanan, baik PAUD formal maupun PAUD nonformal. Anak-anak tersebut akan
menamatkan pendidikan PAUD, jika di TK (PAUD formal) adalah anak-anak yang
menduduki kelas B, sedangkan pada PAUD nonformal adalah anak-anak yang akan
berusia 6 – 7 yang dianggap oleh gurunya atau orangtuanya siap untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya.
B. Kerangka Pemikiran
Menurut Pierre
Bourdieu – seorang ahli sosiologi pendidikan Perancis – peran utama sistem
pendidikan adalah sebagai reproduksi budaya dari ‘kelas dominan,’ karena kelompok
ini memiliki kekuasaan untuk ‘memaksakan makna dan keabsahannya.’ Mereka memiliki
kemampuan menafsirkan budaya-nya sebagai “sesuatu yang berharga untuk dicapai
dan dimiliki,” serta membangunnya sebagai basis pengetahuan dalam sistem
pendidikan PAUD (Bourdieu 2004).
Boudieu mengacu kepada
kepemilikan budaya dominan sebagai modal budaya, dimana melalui sistem
pendidikan budaya tersebut dapat diterjemahkan menjadi kekuasaan dan kekayaan.
Modal budaya tidaklah didistribusikan secara merata pada struktur kelas sosial sehingga
menjadi pembeda yang mendasar dalam pencapaian pendidikan. Dengan demikian murid
PAUD dengan latar belakang kelas atas memiliki keuntungan yang menyatu (built in), karena disosialisasikan dalam
kelas dominan. Bagi murid-murid dari kelas dominan, maka kesiapan masuk
sekolahnya menjadi lebih mudah, karena adanya korespondensi antara modal budaya
yang ditanamkan dalam keluarga dengan persyaratan-persyaratan dan aturan-aturan
yang berlakukan di lembaga PAUD (Lareau & Weininger 2003, Lareau 2000).
Bourdieu berpendapat ‘keberhasilan
pendidikan sekolah secara mendasar tergantung pada pendidikan yang diperoleh pada
usia dini.’ Pendidikan di sekolah semata-mata dibuat terlebih dahulu berdasarkan
pada keterampilan dan pengetahuan ini, jadi tidak dibuat berdasarkan
serpihan-serpihan. Anak-anak dari kelas dominan telah menginternalisasi
keterampilan dan pengetahuan ini selama tahun-tahun pra-sekolah. Sehingga
mereka memiliki kunci untuk membukanya terhadap pesan-pesan yang ditransmisikan
di dalam ruang kelas; dengan kata-kata Bourdieu, mereka ‘memiliki kode-kode
pesan.’ Dengan demikian pencapaian pendidikan suatu kelompok secara langsung
berhubungan dengan jumlah modal budaya yang dimilikinya. Sehingga murid kelas
menengah memiliki keberhasilan lebih tinggi dibandingkan dengan murid kelas
pekerja karena subkultur kelas menengah lebih dekat kepada budaya dominan.
Modal budaya dalam penelitian ini dapat dipahami
sebagai segenap unsur-unsur budaya yang dapat digunakan sebagai modal, dimana
menurut Bourdieu modal budaya berada dalam tiga bentuk yang berbeda. Dalam bentuk menyebadan (embodied), modal budaya yang merupakan
suatu “kompetensi” atau keahlian yang tidak dapat dipisahkan dari “penyandang”
(yaitu orang yang “memiliki”nya). Sehingga perolehan modal budaya membutuhkan
suatu investasi waktu yang memadai untuk belajar dan atau pelatihan. Bourdieu
menyatakan bahwa objek itu sendiri dapat berfungsi sebagai suatu bentuk modal
budaya, sejauh penggunaan atau konsumsinya mengasumsikan suatu jumlah modal
budaya yang menyebadan. Contoh lainnya adalah portofolio karya anak PAUD dapat
merupakan suatu bentuk modal budaya yang
diobjektifkan (objectified) karena
membutuhkan suatu latihan menggambar dan menulis terlebih dahulu untuk menguasainya.
Akhirnya, dalam masyarakat yang memiliki pendidikan formal, modal budaya berada
didalam suatu bentuk yang dilembagakan (institutionalized).
Hal ini dapat dijelaskan ketika sekolah meluluskan kompetensi dan keahlian
individu dengan memberikan ijazah, modal budaya yang menyebadan mengambil
bentuk nilai objektifnya. Dalam kasus PAUD dimana tidak ada ijazah yang
dilegitimasi, maka bentuk modal budaya ini berdasarkan bentuk-bentuk lembaga
pelayanan PAUD, formaf dan nonformal yang memberikan kesiapan sekolah anak
(Bourdieu 2004).
Melalui karya Bourdieu memberikan suatu konteks
dalam menelaah dampak dari posisi kelas sosial terhadap kesiapan sekolah.
Modelnya memberikan perhatian kepada konflik, perubahan, dan ketimpangan
sistematis, serta memperjelas hubungan alamiah yang cair antara struktur dan
agensi. Sebagaimana telah dikemukakan alinea terdahulu, Bourdieu berpendapat bahwa
anak-anak yang berada pada lokasi kelas yang berbeda, disosialisasikan secara
berbeda. Sosialisasi ini
memberikan kepekaan anak apa yang dianggapnya nyaman atau alamiah (menurut istilahnya
habitus). Habitus ini dapat pula
dibedakan habitus badaniah, yang
berkembang selaras pertambahan usia, serta habitus
sekolastik yang berkembang karena disposisi pembelajaran yang lama selama
di rumah dan di sekolah yang keduanya membentuk kesiapan sekolah. Kemudian latar
belakang pengalaman anak juga membentuk sejumlah dan bentuk-bentuk sumberdaya (modal) individu yang diwariskan dan
dipergunakan pada saat berkonfrontasi dengan berbagai pengaturan kelembagaan (ranah, medan perjuangan) dalam dunia
sosial (Lareau 2003: 275)
Kesiapan sekolah dapat dilihat dari dampak posisi
kelas orangtua dalam menanamkan modal budayanya. Kesiapan sekolah sebagai habitus,
merupakan penengah antara anak sebagai agensi penanaman modal orangtua dalam
menghadapi struktur dalam penilaian guru. Proses negosiasi antara agensi dan
strukur ini, memungkinkan kesiapan sekolah merupakan konstruksikan secara. Menurut M. Elizabeth Graue sesungguhnya
kesiapan sekolah dikonstruksi secara sosial yang mengkaitkan antara informasi
yang tersedia pada orangtua, hubungan antara orangtua dan sekolah, serta
pengalaman anak (Graue dkk 2002).
C. Metode Penelitian
Penelitian tentang modal budaya, tidak terlepas
dari analisa kelas sosial, karena posisi kelas dapat menentukan selera dalam
praktek pendidikan. Sehingga dihindari pendekatan positivistik, sebagaimana
dikemukakan:
“Bourdieu
menghindari orientasi metodologi positivistik yang menjadi titik masuk
kebanyakan analisa kelas berbahasa Inggris: pada Ĺ“uvre yang terbentang ribuan halaman, seseorang tidak dapat
menemukan sandaran pada teknik-teknik multivariat standar. Pada saat yang sama
dia tidak menganjurkan metode “kualitatif.” Sesungguhnya risetnya berdasarkan
pada amalgamasi data kuantitatif dan data kualitatif…” (Weininger 2005:83).
Kelas sosial menurut Bourdieu menjadi semakin kompleks,
karena struktur objektifnya memiliki prinsip homologi dan berdasarkan akumulasi
bermacam modal. Menghadapi kompleksitas gejala, maka dipilih metode kualitatif
dengan strategi ganda (multiple strategy)
yaitu: field research, survey rumah
tangga, dan FGD.
Penelitian field
research dilakukan selama 6 bulan pertama di awal 2010 dengan memilih setting wilayah dimana disparitas penduduk
kaya dan miskin tidak besar di dua kecamatan di propinsi Banten yaitu kecamatan
perdesaan dan kecamatan peri-urban (Kabupaten
Serang). Disamping itu wilayah Banten ini, angka partisipasi kasar (APK) PAUD masih
sebesar 32% yang termasuk terendah di Indonesia (Laporan Diknas 2009).
Sedangkan untuk dapat mengetahui pola-pola
penilaian guru terhadap kesiapan sekolah dilakukan dengan mengumpulkan
data-data kuantitatif dan kualitatif dari rapor anak. Luasnya wilayah dan
beragamnya layanan PAUD membutuhkan ‘peta’ data dari masing anak sebagaimana
biasanya dilakukan dalam penelitian tentang kesiapan sekolah (Farkas &
Hibel 2008). Kebetulan rapor PAUD yang dibuat berdasarkan pembelajaran sentra
(representasi kelas dominan) memuat unsur-unsur kesiapan sekolah seperti:
perkembangan perilaku, kemapuan dasar kognitif, kemampuan dasar fisik,
kemampuan dasar bahasa dan kemampuan dasar seni; yang dipantau tiap bulan dan
dapat dikuantitatifkan. Perubahan evolusioner perkembangan anak, sesuai
prinsip habitus anak.
Kesulitan menentukan
kerangka sample, diatasi dengan pengambilan sampel teoritis sebagaimana dalam metode
kualitatif agar lebih terpapar jika dibandingkan dengan sampel acak (Lincoln
dan Guba 1985: 40). Berdasarkan teori reproduksi sosial dalam pendidikan, sengaja membandingkan anak-anak
yang berprestasi tinggi dan berprestasi rendah. Guru bersangkutan yang menentukan
mana murid berprestasi dan tidak berprestasi, berdasarkan data murid yang
diserahkan. Setiap sekolah diusahakan mendapatkan 10 anak, walaupun ada yang
lebih dan yang kurang, akan tetapi tetap guru memilihnya secara acak dengan
tetap mempertahan prinsip sebanding.
Data dari guru tersebut
sesungguhnya adalah salinan rapor yang mencantumkan alamat orangtua murid.
Berdasarkan alamat ini dilakukan survey rumah tangga yang memuat latar belakang
sosial orangtua yang tercantum dalam kuesioner sederhana dengan dibantu seorang
asisten peneliti. Dari 150 kuesioner yang disebarkan 144 layak untuk diolah. Kuesioner
tersebut disebarkan berdasarkan distribusi perdesaan dan peri-urban secara
merata, termasuk jenis-jenis lembaga layanan PAUD formal dan nonformal. Setelah
data kuantitatif terkumpul, untuk melakukan penggolongan kelas sosial dilakukan
melalui FGD. Kegiatan diskusi ini dengan mengundang informan yang dipandang
mengetahui kondisi masyarakat seperti tokoh masyarakat, guru dan tokoh pemuda
pada dua wilayah penelitian. Setelah diperoleh data kuantitatif, dapat
ditentutkan persilangan antara prestasi anak (dinilai oleh guru) dengan kelas
sosial orangtua (diperoleh dari data survey). Dari seluruh data tersebut
kemudian dipilih 12 anak untuk studi mendalam yang mewakili dari berbagai
faktor: kelas sosial, wilayah, layanan PAUD dan prestasi anak.
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Kelas Sosial dan Praktek Pendidikan
Anak
Kesimpulan hasil FGD terdapat tiga kelas sosial
orangtua di Banten: faksi kelas dominan urang
beunghar (orang kaya), faksi kelas menengah urang
tengah (orang menengah) dan faksi kelas didominasi urang leutik (orang kecil). Masing-masing kelas tersebut ditentukan
berdasarkan kepada jenis matapencarian dan tingkatan prestisenya, kepemilikan
material, pendapatan keluarga, serta tingkat pendidikan orangtua; yang
kesemuanya dijadikan dasar kelas sosial. Data-data kualitatif menunjukkan bahwa
perbedaan kelas sosial tersebut tidaklah mutually
exclusive, terutama pada kelas urang
tengah. Hal ini dapat terjadi pada jenis pekerjaan tertentu seperti PNS guru,
dimana pada wilayah peri-urban termasuk urang
tengah, tetapi di perdesaan termasuk urang
beunghar. Berdasarkan data kuantitatif menggunakan analisa klaster, gradasi
perbedaan penghasilan dan tingkat
pendidikan urang tengah dengan
kelas-kelas lainnya tidaklah mencolok. Artinya atribut-atribut yang membedakan
kelas ini dengan kelas-kelas lainnya sukar untuk dibedakan. Dengan demikian,
kelas sosial orangtua yang jelas terlihat perbedaannya adalah urang beunghar dan urang leutik, sehingga untuk analisa selanjutnya dijadikan dasar
kelas sosial. Pada alinea-alinea berikut adalah pembahasan temuan faktor-faktor
dua kelas sosial ini yang mempengaruhi praktek pendidikan anak dalam keluarga.
Penghasilan keluarga. Penghasilan keluarga memiliki kemampuan
yang besar dalam praktek pendidikan anak yang digunakan berbeda menurut kelas
sosialnya. Dalam mempersiapkan sekolah anaknya, bagi urang leutik yang porsi penghasilan pas-pasan, hampir dapat dikatakan tidak ada alokasi dana bagi
pendidikan anaknya. Ironisnya pada kebanyakan keluarga ini, proporsi
pengeluaran yang digunakan ayah untuk konsumsi tembakau cukup besar, bahkan ada
yang hampir mencapai sepertiga dari keseluruhan pengeluaran. Hal ini secara tidak langsung akan mengurangi
kesempatan kesiapan sekolah anaknya. Karena pertama, menjadikan anaknya sebagai
perokok pasif yang berimplikasi terhadap penurunan kesehatan anak, dan kedua,
besarnya pengeluaran untuk tembakau akan mengurangi alokasi pengeluaran lainnya
termasuk pendidikan anak.
Dengan penghasilan terbatas, keluarga urang leutik kurang dapat menyediakan
sarapan bagi anaknya. Hal ini mendorong sebagian orangtua untuk memberi
kompensasi uang jajan secara reguler yang dibelikan beraneka panganan yang
umumnya hasil pabrikan murah, tetapi dikemas dengan menarik. Hal inilah yang menjadi
salah satu penyebab kebiasaan mengudap (snack
habit) anak. Sebagian anak lain tertarik untuk membeli jajanan tidak sehat
ini karena melihat teman sebayanya (peer
group), sehingga mendesak orantuanya untuk menyediakan uang serupa seperti
temannya. Dengan kebiasaan seperti ini tentunya dapat mengganggu selera makan
dan asupan gizi anak.
Pada keluarga urang
beunghar, dengan kemampuan penghasilan keluarga, memiliki keleluasaan dalam
menentukan pilihan-pilihan konsumsi. Banyak orangtua yang menyadari gejala snack habit ini pada anaknya dengan
berusaha meredamnya melalui pengaturan sarapan dan bekal makanan ke
sekolah. Sedangkan di sekolah, orangtua ini mendukung sekolah untuk melakukan
kegiatan yang mendorong anak untuk menyantap makanan yang dibawa dari rumah.
Sekolah seringkali meresponnya dengan kegiatan makan bersama.
Benda-benda budaya. Kepemilikan atau konsumsi budaya seperti
seni budaya tingkat tinggi (highbrow
culture) mempunyai hubungan yang erat dengan prestasi pendidikan (De Graaf
et al. 2000, dan Sullivan 2001). Dengan kemampuan penghasilan dan pengetahuan-nya, orangtua dapat memberikan
dukungan kepada kepemilikan benda-benda budaya yang mengarah kepada kesiapan
sekolah. Dalam penelitian ini, benda-benda tersebut adalah meja belajar anak,
buku bacaan anak, majalah anak, dan poster-poster tentang abjad dan dunia
binatang. Jenis dan jumlah kepemilikan benda-benda tersebut secara signifikan
berhubungan dengan kelas sosial orangtua dan secara simbolis dapat
menggambarkan praktek-praktek pendidikan anak dalam keluarga (Ho 2009). Tabel berikut adalah
jenis dan jumlah benda-bendan budaya yang dikumpulkan pada informan yang
terbatas:
Tabel 1. Kepemilikan Benda-benda Budaya
Pendukung Kesiapan Sekolah
No.
|
Kelas Sosial
|
Meja Belajar
|
Buku Anak
|
Majalah Anak
|
Poster
|
1
|
Urang beunghar
(4 keluarga)
|
5
|
13
|
28
|
12
|
2
|
Urang tengah
(4 keluarga)
|
2
|
5
|
11
|
6
|
3
|
Urang leutik
(4 keluarga)
|
1
|
3
|
4
|
4
|
Sumber: Wawancara dan Pengamatan 12 Keluarga di
Perdesaan dan Peri-urban
Pekerjaan orangtua. Jenis-jenis pekerjaan orangtua tertentu dapat
memberikan keleluasaan untuk mendukung kesiapan sekolah. Bentuk-bentuk dukungan
dapat berbentuk curahan waktu, kedekatan interaksi dengan sekolah, hingga
kepada dukungan finansial. Secara umum jika ayah yang bekerja maka
pendelegasian urusan sekolah anak diberikan kepada ibu, karena sebagai ibu
rumah tangga memiliki waktu untuk mengurusnya. Pada ibu rumah tangga urang leutik, urusan sekolah anak sering
terganggu dengan kegiatan pencarian nafkah tambahan keluarga. Sedangkan pada
ibu rumah tangga urang beunghar,
kegiatan untuk mencari penghasilan tambahan tidak ada jadi urusan sekolah
relatif bisa diatasi dengan mudah.
Bagi ibu yang juga bekerja pada keluarga urang leutik, kebanyakan menjadi buruh
di pabrik, dimana mejadi tidak memiliki waktu untuk anaknya. Sedangkan bagi ibu
yang juga bekerja pada keluarga urang
beunghar, jenis-jenis pekerjaan ibu memberikan peluang bagi kedekatannya
dengan sekolah. Jenis pekerjaan sebagai PNS atau guru adalah jenis pekerjaan umumnya dapat memberi peluang untuk antar-jemput karena kedekatan tempat bekerja,
serta menghadiri pertemuan orangtua murid. Disamping itu pada ibu-ibu yang
bekerjan dari urang beunghar, dapat
menunjukkan kedekatan interaksi dengan guru karena kesamaan tingkat pendidikan
dan kelas sosial, sehingga mendekatkan antara keluarga dengan sekolah.
Pendidikan orangtua. Pendidikan orangtua memiliki pengaruh
yang paling besar dalam praktek pendidikan anak di rumah sehingga merupakan
komponen yang paling penting dalam kesiapan sekolah anak. Dengan tingkat
pendidikannya, orangtua memiliki pengetahuan untuk bisa mempersiapkan anak pada
berbagai macam segi kemampuan seperti mengajarkan perilaku anak yang sopan dan
baik sehingga pada saat di sekolah guru menjadi senang. Anak-anak dari orangtua
terdidik akan memiliki kesiapan fisik yang lebih baik, contohnya orangtua yang
berpendidikan yang paling menyadari pengaruh buruk snack habit terhadap asupan gizi anaknya sehingga melakukan berbagai
upaya untuk mencegahnya. Disamping itu, anak-anak dari orangtua terdidik ini, sejak di rumah sudah
dibekali dengan dasar-dasar perkembangan kognitif yang diperoleh dari proses
interaksi sehari, sehingga dapat merangsang perkembangan kognitif anak.
Adanya kesesuaian antara tingkat pendidikan
orangtua, penghasilan keluarga dengan kelas sosial, pada diri kelas urang beunghar, secara menyeluruh akan
memiliki kekuatan yang semakin besar dalam mempersiapkan sekolah anaknya. Sedangkan
pada keluarga urang leutik dengan rata-rata
tingkat pendidikannya SD hingga lulusan SLTP, tidak cukup memiliki pengetahuan
yang merangsang perkembangan kognitif anaknya di rumah.
Penggunaan Bahasa di Rumah. Praktek pendidikan anak yang paling
membedakan antar kelas sosial adalah penggunaan bahasa Indonesia di rumah. Faktor
historis keluarga dan tuntutan pekerjaan, menjadikan penggunaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar yang dominan di keluarga menjadikan
anak-anak urang beunghar mudah memahami
semua percakapan dan instruksi guru di sekolah. Sedangkan pada keluarga urang leutik, walaupun orangtuanya
bekerja sebagai buruh menggunakan bahasa Indonesia, akan tetapi ketika di rumah didominasi penggunaan
bahasa daerah.
Penelitian Basil Bernstein tentang pola-pola
pembicaan berdasarkan kelas sosial orangtua yang memberikan pengaruh terhadap
pencapaian pendidikan anaknya. Pada keluarga urang beunghar disamping lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia,
juga dengan pola-pola pembicaraan interaktif antara orangtua dengan anaknya.
Sedangkan pada keluarga urang leutik,
disamping keterbatasan waktu bersama keluarga, pola-pola pembicaraan yang
dipraktekkan lebih banyak monolog dari orangtua kepada anaknya.
Antar-jemput dan Pembentukan
Kelompok Orangtua. Praktek
antar jemput merupakan bagian budaya Indonesia, dan praktek antar jemput tidak
terlepas dari kelas sosial keluarga yang melakukannya (Shiraishi 2009). Melalui proses antar-jemput yang
berlangsung lama, dapat menjadi dasar bagi pembentukan kelompok orangtua. Bagi urang beunghar yang tinggal di
peri-urban dimana kebanyakan menyekolahkan anaknya ke TK. Kelompok antar-jemput
ini mengembangkan dasar solidaritas yang secara sadar memperjuangkan kesiapan
sekolah anaknya. Sedangkan menurut beberapa guru, kelompok ini dipandang sebagai vokal dan penuntut.
Berdasarkan kepentingan bersama, biasanya orangtua
kelompok beunghar memberikan perhatian secara aktif terhadap praktek pendidikan
sekolah. Secara kolektif mereka mampu mengartikulasikan kepentingannya sebagai
kelompok penekan kepada sekolah untuk menjalankan Calistung. Mereka merasa
kurikulum sekolah yang ada tidak dapat mengakomodasi kesiapan anaknya ketika
memasuki sekolah SD yang sejak kelas awal menonjolkan pengajaran aspek kognitif.
Bagi orangtua yang peduli pendidikan anaknya, kondisi ini mengkhawatirkan bagi
masa depan anaknya, terlebih lagi jika orangtua berambisi memasukan anaknya ke
sekolah favorit. Disamping itu, dari percakapan kelompok ibu-ibu antar-jemput yang
anaknya sudah dapat melakukan Calistung, memamerkannya kepada sesama
antar-jemput. Kondisi ini juga dapat merangsang orangtua lainnya untuk mendorong
diselenggarakannya Calistung di PAUD.
Kelompok antar-jemput ini saling bekerja-sama
menjalin tukar menukar informasi tentang kependidikan. Kerjasama tersebut
meliputi penitipan pembelian alat-alat sekolah anak, turut mengantar anak
pulang dari sekolah hingga kepada peminjaman uang untuk pengeluaran sekolah
yang mendadak. Kerjsama tersebut termasuk juga tukar-menukar informasi tentang
proses dan syarat memasukan anak ke
sekolah favorit. Hal-hal inilah yang diidentifikasi oleh James S. Coleman
sebagai intergenerational closure,
dimana kedekatan orangtua terbentuk karena kesamaan sekolah anak-anaknya
(Lareau & Weininger 2003).
Pada PAUD nonformal yang umumnya berada di
perdesaan, gejala antar-jemput kurang terlihat. Penyebabnya karena faktor
geografis dimana wilayah jangkaun PAUD yang alamiah biasanya terbatas hanya
pada tingkat dusun atau RW, ditambah dengan sepinya lalulintas menyebabkan
tidak diperlukannya antar-jemput. Dari kondisi sosial masyarakat perdesaan
dengan solidaritas mekanisnya, artikulasi kepentingan orangtua tidak harus dilakukan
melalui kelompok antar-jemput. Para orangtua dan para guru sudah saling mengenal secara biografis.
2. Beroperasinya Modal Budaya dan Kesiapan
Sekolah
Kesiapan sekolah merupakan
akumulasi dari habitus anak yang merupakan disposisi yang membentuk sikap dan
perilaku termasuk juga selera. Dalam bagian ini dibahas tentang perkembangan
usia (habitus badaniah) dan perkembangan sekolastik yang dikonstruksikan
melalui proses pembelajaran (habitus skolastik) yang merupakan bagian dari kesiapan
sekolah sebagai cerminan dari modal budaya yang telah diinvestasikan keluarga
ketika diberi penilaian oleh guru (Albright & Luke 2008: 17).
Usia dan Academic Redshirt. Usia sebagai wujud habitus badaniah
sesungguhnya merupakan investasi modal budaya yang diturunkan kepada anak,
sedangkan sekolah akan menangkap sinyal-sinyal budaya tersebut yang
dipersepsikan guru sebagai anak yang ‘siap sekolah’. Dengan asumsi anak tidak mengalami berbagai
hambatan perkembangannya karena masalah kesehatan dan gizi; maka anak semakin
bertambah usia akan semakin siap sekolah. Asumsi inilah yang dijadikan acuan
bagi kebanyakan guru kelas 1, untuk menerima murid baru degnan persyaratan berusia
antara 6-7 tahun.
Bagi anak-anak yang belum
mencapai usia 6 tahun pada saat dimulainya tahun pelajaran baru dikenal sebagai
academic redshirt, suatu kondisi
dimana memungkinkan anak yang belum cukup umur untuk diperpanjang masa
belajarnya di PAUD sampai tingkat kematangannya dianggap mampu untuk
melanjutkan ke SD (Graue et
all 2002 dan Lareau 2003). Di Indonesia gejala academic redshirt belum dipandang penting, mungkin karena lebih
berfokus kepada wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (Wajar Dikdas. Padahal jika
dicermati secara signifikan dapat mempengaruhi tingkat mengulang dan tingkat
drop-out sekolah secara keseluruhan.
Gejala lain yang ditemukan
dalam penelitian ini adalah penilaian kesiapan sekolah murid-murid yang usianya
lebih tua, justru dinilai lebih rendah oleh guru dibandingkan dengan anak-anak
yang lebih muda. Gambar 2 memperlihatkan linearitas antara usia dengan kesiapan
sekolah. Hal ini sepertinya bertentangan
asumsi teori modal budaya dimana semakin bertambah usia akan semakin matang
kesiapan sekolahnya. Akan tetapi dari pengamatan lapangan gejala tersebut masih
sejalan dengan teori modal budaya, karena anak-anak yang lebih muda usianya
cenderung dari keluarga urang beunghar
yang secara sengaja orangtuanya memasukan anaknya ke sekolah PAUD formal dengan
pertimbangan usia tertentu. Sedangkan anak-anak yang lebih tua cenderung
berasal dari keluarga urang leutik
yang bisa saja masuk secara ‘tidak sengaja’ di PAUD nonformal.
Gambar 2. Linearitas Penilaian Guru terhadap Kesiapan Sekolah
Berdasarkan
Usia Anak
Gejala ini menunjukkan bahwa kematangan
usia anak adalah wujud dari investasi modal budaya keluarga, sehingga anak urang beunghar yang memiliki modal lebih
banyak, dapat relatif lebih dini mempersiapkan diri dan lebih baik dibandingkan
dengan anak-anak dari kelas urang leutik.
Sebaliknya, anak-anak urang leutik masuk
ke dalam PAUD non formal dengan usia yang lebih tinggi, tetapi dinilai lebih
rendah kesiapan sekolahnya, karena orangtuanya kurang memberikan perhatian
tentang umur ini.
Gejala hubungan yang negatif
antara umur anak dengan kesiapan sekolah dapat dilihat dari dua sisi. Pertama,
memang anak tersebut berkemampuan rendah sebagai akibat dari kekurangnya modal
budaya yang ditanamkan. Sehingga
ketika ‘ditemukan’ pada kegiatan PAUD, anak tersebut sudah berusia ‘tua.’ Kedua, karena faktor pendidik dan faktor
prasarana sekolah yang tidak mampu menangkap berkembangnya anak. Prinsip
pembelajaran PAUD yang diterima secara internasional adalah Developmentally Appropriate Practice
(DAP) yang menekankan kepada proses yang sesuai dengan usia anak (Bruce 2005). Sedangkan
pembelajaran PAUD (terutama) nonformal masih jauh dari prinsip pembelajaran tersebut, karena gurunya
lebih mengenal pembelajaran Calistung.
Habitus Kesiapan Sekolah. Sisi lain dari kesiapan sekolah anak adalah habitus sekolastik yang merupakan disposisi yang telah ditanamkan secara
sengaja (culturaly arbitrer) dan diberi
penilaian oleh guru berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan
kelompok dominan. Pada habitus sekolastik ini, perkembangan penilaiannya disesuaikan
penemuan dalam bidang psikologi dan pedagogi melalui program pembelajaran ‘Sentra’
(BCCT). Unsur-unsur penilaiannya adalah: Kemampuan dasar fisik (habitus
badaniah), Pembentukan Perilaku, kemampuan dasar kognitif, kemampuan dasar
berbahasa, dan kemampuan seni.
Pembentukan Perilaku. Kriteria tentang perilaku baik dan sopan di sekolah yang ditetapkan oleh
guru merupakan konsep yang abstrak bagi anak urang leutik. Dari gaya bicara seorang anak urang leutik di rumah sering mendengar kata-kata “aing” dan “dia,” dua kata yang menunjukkan kekasaran berbicara. Sementara di
sekolah guru memberikan penilaian yang baik terhadap kata-kata yang jarang
diucapkannya “maaf,” “tolong,” serta mengucapkan “terima kasih” jika menerima
sesuatu. Sebaliknya bagi anak
urang beunghar, kata-kata sopan dan
perilaku santun sudah dikenal sejak berada di rumah. Karena di rumah sering
diajari orangtuanya tentang sopan dan santun, ketika guru mengajarkan kata ”terima
kasih” pada saat menerima sesuatu, instruksi ini langsung ditanggapi anak,
karena bukanlah merupakan suatu konsep yang abstrak.
Contoh lain adalah guru
memberikan penilaian terhadap kepatuhan terhadap etiket makan dan jadwal makan
teratur, yang merupakan cerminan dari nilai-nilai kelas dominan. Etiket makan
kurang dikenal oleh anak urang leutik,
karena komposisi makannya sederhana; tidak ada makanan pembuka, tidak ada
makanan penutup. Kegiatan makannya kadang-kadang di ruang tamu, karena tidak
memiliki ruang makan. Jadwal makan teratur yang diajarkan oleh guru, berlainan
dengan kebiasaan sehari-hari di rumahnya dengan makanan seadanya tergantung
dari ketersediaan makanan.
Nilai-nilai individualitas
dari kelas dominan terlihat ketika guru memberikan penilaian untuk tidak
mengganggu teman dengan sengaja. Bagi anak urang
leutik nilai komunalitas atau kebersamaan sudah menjadi kegiatan
sehari-hari, konsep privasi kurang dikenal karena keterbatasan ruangan sehingga
anggota keluarga bebas mengintervensi suatu kegiatan anggota lainnya. Ketika di
tempat bermain, kebersamaan dengan teman-teman merupakan kegiatan yang biasa
dilakukan. Semua kegiatan di rumah dan di lingkungan telah membentuk habitus
bagi anak urang leutik.
Sebaliknya bagi anak urang beunghar, kebiasan untuk tidak mengganggu teman dengan
sengaja merupakan kebiasaan yang telah terbangun sejak ada di rumah. Kondisi
fisik rumah memungkinkan anak memiliki kamar sendiri dan juga meja belajar
sendiri. Pengetahuan dan praktek tentang konsep ‘privasi’ dapat terbentuk dalam
keluarga ketika anggota keluarga lain meminta izin jika ingin masuk ke kamar
anak. Orangtua juga dapat mengajarkan penghargaan terhadap individualitas orang
lain.
Penilaian guru lainnya, adalah
kebiasaan menggunakan toilet (WC) merupakan suatu kebiasaan yang masih dibilang
aneh oleh anak urang leutik karena di
rumahnya masih menggunakan WC helikopter di atas empang ikan. Penilaian ini
menjadi tidak relevan ketika penyelenggaraan PAUD tidak menyediakan toilet atau
WC. Sementara bagi anak urang beunghar,
kebiasaan menggunakan WC sudah bukan merupakan kegiatan asing. Sejak kecil
orangtuanya telah mengajarkan bagaimana menggunakan toilet.
Guru memberikan penilaian
terhadap anak yang dapat memilih kegiatan sendiri. Sesuai dengan sistem
pembelajaran Sentra, anak didorong berinisiatif memilih kegiatannya sendiri.
Akan tetapi di dalam kelas, anak-anak urang
leutik kurang dapat memilih kegiatan sendiri (dinilai lebih pasif), mereka
biasanya meniru kegiatan teman-temanya yang lebih aktif yang kebanyakan anak urang beunghar.
Kebiasaan anak-anak ketika
bermain untuk tidak mengembalikan barang-barang yang sudah digunakan. Kebiasaan
tersebut terjadi pada anak-anak dari dua kelas sosial, namun bagi urang beunghar kebiasaan tersebut lebih
memungkinan untuk dilaksanakan karena biasanya fasilitas rumahnya mendukung. Jika
tujuan penilaian agar anak-anak
merapihkan kegiatan bermainnya, dan tentu saja meringankan pekerjaan guru PAUD,
maka hal ini dapat dimasukan sebagai kekerasan simbolik.
Kemampuan Dasar Kognitif. Komponen-komponen kemampuan kognitif yang dinilai oleh guru adalah sebagai
berikut:
o
Mengelompokkan
benda yang sama dan sejenis.
o
Menyebutkan
7 bentuk (lingkaran, bujur sangkar, segitiga, segi panjang, segi enam, belah
ketupat, trapesium).
o
Membedakan
besar-kecil, panjang-pendek, berat-ringan.
o
Membedakan penyebab rasa.
o
Membedakan sumber bau.
o
Menyebutkan
bilangan 1 – 10 tanpa mengenal konsep.
o
Dikenalkan lambang bilangan.
o
Mengelompokkan warna (lebih 5 warna) dan
membedakan warna.
Keseluruhan komponen penilaian guru yang berjumlah
delapan ini ternyata tingkatannya lebih sederhana dibandingkan dengan
pembelajaran Calistung di SD. Sehingga aspek kemampuan kognitif merupakan
bagian yang paling kontroversial bagi penilaian guru, khususnya jika dikaitkan
dengan relasi pembelajaran PAUD, dan pembelajaran di SD, serta harapan
orangtua. Dengan perbedaan yang dianggap terlalu besar, hal inilah yang dapat dikatakan menjadi penyebab kenapa
orangtua menginginkan pembelajaran Calistung di PAUD. Sebagaimana dijelaskan bagian
terdahulu, selera ini secara terbuka dikemukakan oleh urang beunghar, karena mereka khawatir anaknya tidak dapat
mengikuti pelajaran di SD dan adanya kompetisi ke sekolah favorit.
Menghadapi kekhawatiran ini para urang
beunghar bereaksi melalui beragam bentuk; menyediakan lebih banyak
benda-benda budaya yang mendukung kemampuan kognitif anak, seperti meja belajar
anak, senantiasa memberikan anak dengan materi pembelajaran kognitif seperti
buku-buku anak, majalah anak, serta berbagai macam poster-poster tentang huruf,
angka, bentuk, warna, dunia binatang, dsb. Bentuk lainnya adalah dengan diberikannya les tambahan dengan materinya
Calistung sederhana. Sedangkan les tambahan seperti les musik, olah raga, dan
seni belum dikenal pada daerah penelitian ini.
Kemampuan Dasar Seni.
Kemampuan seni diberi penilaian oleh guru terhadap muridnya. Banyak ahli
pendidikan yang percaya aspek seni memberikan kontribusi yang signifikan bagi
kecerdasan anak, sehingga pada keluarga beunghar di perkotaan yang peduli
terhadap pendidikan anaknya, dicarikan les musik seperti piano untuk anaknya.
Sedangkan dalam buku rapor aspek-aspek yang diberi penilaian adalah sebagai
berikut:
o
Menggerakan
tubuh mengikuti irama
o
Menyanyikan
lagu pendek sesuai irama
o
Bertepuk
tangan membentuk irama
o
Memainkan
alat musik
o
Melukis
dengan alat bervariasi.
Dari lima komponen penilaian
guru, yang sangat jelas mengandung bias kelas sosial adalah komponen 4 dan komponen 5 yaitu memainkan alat musik
dan melukis dengan alat bervariasi, merupakan cerminan pandangan dari kelompok
dominan. Bagi anak urang leutik,
memiliki salah satu alat musik yang sederhana seperti gendang atau rebana
merupakan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orangtuanya.
Kemampuan berkesenian anak hanya
dipacu untuk tampil setahun sekali pada saat istifalan (semacam pentas seni sekolah), itupun hanya bagi PAUD
yang mampu menyelenggarakannya. Sarana lain untuk mengekspresikan seni anak
adalah melalui pentas seni yang diselenggarakan mulai tingkat kecamatan hingga
propinsi yang juga ada di wilayah lain di Indonesia. Pada pentas seni seperti
ini setiap lembaga yang diundang memiliki kesempatan tampil yang sama.
Kebanyakan orangtua urang beunghar antusias dengan kegiatan
ini dengan mendorong anaknya tampil di panggung. Tidak sedikit orangtua urang beunghar menyewa kostum, agar
anaknya bisa tampil seperti Ibu kita Kartini dengan kebayanya, sedangkan
orangtua urang leutik biasanya hanya
pasif mengikuti kegiatan ini karena harus mengeluarkan biaya tambahan seperti
administrasi panitia, transportasi, konsumsi dan penyewaan kostum.
Perkembangan Bahasa.
Sebagaimana dibahas pada bagian terdahulu, faktor kelas sosial dan tingkat
pendidikan orangtua membuat anak lebih banyak terpapar pada penggunaan bahasa
nasional. Berdasarkan pengamatan pada rumah tangga kelas urang beunghar baik di perdesaan apalagi di peri-urban, penggunaan
bahasa Indonesia di rumah menjadi semakin meningkat dan semakin beragam konsep
yang dibicarakan. Kondisi ini diinternalisasi anak yang dapat menjadi modal budaya anak ketika sang anak
berada di sekolah, sehingga anak tidak mengalami kesulitan dalam proses
pembelajaran di PAUD karena menggunakan bahasa yang sama dengan bahasa di
rumahnya.
Kondisi sebaliknya menyulitkan
anak-anak kelas didominasi urang leutik
yang menggunakan bahasa ibu dan dipergaulan sehari-hari berupa bahasa sunda wewengkon atau bahasa jawa Serang.
Dengan demikian kelas sosial orangtua mempengaruhi ketimpangan keluaran-hasil
pendidikan di PAUD melalui penggunaan bahasa. Bagi yang menyadari kesulitan
komunikasi ini, banyak guru-guru kelas 1 di kecamatan peri-urban dan apalagi di
kecamatan perdesaan yang masih menggunakan bahasa ibu, terutama pada awal
pelajaran baru.
3. Perubahan Ranah PAUD
Berdasarkan pada Perpres No.
24 Tahun 2010 tentang kedudukan, tugas, dan fungsi kementerian negara, maka
pada tahun 2011 terjadi penggabungan PAUD formal dan PAUD nonformal di bawah
kewenangan Direktorat Pembinaan PAUD. Penggabungan tersebut menjadi empat
bidang:
o
Taman
Kanak-Kanak (Kindergarten)
o
Kelompok
Bermain (Play Group)
o Taman Penitipan Anak (Day
Care)
o PAUD
sejenis (Similar with Play Group)
Penggabungan kewenang
ini merupakan kemajuan dalam pengelolaan program PAUD di tingkat nasional, akan
tetapi belum tentu dapat mengubah orientasi pembelajaran di lapangan selama kebijakan
yang diterapkan masih parsial. Pada praktek pendidikan anak di Banten, aspek
seni dan olah raga tidak dikembangkan secara optimal, walaupun kurikulum PAUD
dapat mengakomodasi lebih banyak kegiatan ini dengan sumber belajar yang bisa
digali dari masyarakat sekitar dan dengan biaya yang murah. Pada masing-masing
satuan pendidikannya lebih banyak pada aspek pengembangan kognitif seperti
Calistung. Surat
edaran Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas
No. 1839/C.C2/TU/2009, telah berusaha meluruskan penyimpangan pembelajaran
PAUD, tetapi tidak efektif melarang Calistung.
E. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Dalam penelitian ini
terlihat bahwa kelas sosial orangtua menentukan proses sosialisasi anak yang
diindikasikan pada praktek pendidikan dalam keluarga. Faktor-faktor seperti
penghasilan keluarga, pendidikan orangtua, serta pekerjaan orangtua membentuk
kesatuan sebagai kelas sosial. Faktor-faktor tersebut merupakan bagian dari
proses pedagogis yang selanjutnya dapat dikonversikan sebagai modal budaya yang
didistribusikan secara tidak merata. Anak-anak dari kelas sosial urang leutik mendapatkan modal budaya
bisa dalam bentuk kekurangan dalam proses pendidikan keluarga dari segi gizi,
fasilitas belajar, serta perhatian orangtua. Sedangkan anak-anak dari keluarga urang beunghar dengan modal budaya yang
lebih besar, memperoleh keuntungan dari segi fasilitas belajar yang lebih
lengkap, dukungan sosial dan emosional, serta penggunaan bahasa yang sama
dengan di sekolah.
Dengan membandingkan
perolehan modal pada anak-anak urang
leutik dan anak-anak urang beunghar
di rumah sebenarnya sudah dapat menggambarkan faktor resiko yang membuat anak
siap atau tidak siap sekolah. Hal ini tampak dari penilaian guru, dimana
anak-anak urang beunghar sudah
dipersiapkan usia masuknya, orangtuanya sudah memperhitungkan saat umurnya
tepat masuk ke SD sementara kematangan mentalnya mamadai. Unsur-unsur kesiapan
sekolastik anak yang dirancang oleh kelas dominan seperti dasar berperilaku,
dasar perkembangan bahasa, kognitif dan seni telah dimiliki anak-anak dari
kelas urang beunghar, jadi ketika
guru di sekolah menilainya tidak ada kesulitan bagi anak-anak ini.
Sedangkan jenis-jenis
layanan PAUD formal dan nonformal, sesungguhnya sebagai faktor antara karena
pemilihan jenis PAUD tersebut tergantung kepada selera orangtua. Sebagaimana
Bourdieu, lokasi kelas sosial orangtua akan menentukan selera. Kelas urang beunghar akan rela mengeluarkan
biaya yang lebih agar anaknya dapat disekolahkan ke PAUD formal yang
disukainya. Dengan bahan mentah yang lebih baik, PAUD formal dapat lebih
leluasa mengembangkan programnya, terlebih lagi dengan latar belakang kelas
sosial orangtua murid yang memiliki budaya dari kelas dominan.
2. Saran
Dukungan dan perhatian
orangtua sangat dibutuhkan bagi proses kesiapan sekolah. Hendaknya sekolah PAUD memasukan pendidikan
orangtua (parenting education) dalam
kurikulum yang dilakukan melalui berbagai media pembelajaran. Bagi sekolah yang
tidak mampu cukup dibuatkan dan ditempelkan poster pada papan pengumuman
tentang pentingnya kesiapan sekolah, prinsip belajar sambil bermain, serta bagaimana
orangtua mensikapi Calistung. Bagi sekolah mampu, contohnya, dilakukan melalui kegiatan
seminar yang mengundang orangtua untuk membahas permasalahan tersebut. Akan
tetapi sebelum kegiatan tersebut terlaksana, pengembangan kapasitas kelembagaan
kedalam perlu diperkuat; seperti peningkatan kompetensi guru dalam
mengembangkan kurikulum yang berdasarkan pada sumberbudaya setempat, serta
ditunjang dengan penatalaksanaan persekolahan yang baik. Dengan penatalaksaan yang baik, permasalahan
seperti academic redshirt dapat
dipecahkan secara tepat sesuai dengan kemampuan anak.
Bagi pemangku kepentingan di
pemerintahan, penanggulangan Calistung harus dilakukan secara menyeluruh:
1. Pemerintah daerah segera mengangkat posisi
penilik PAUD yang selama ini kosong. Penilik yang diangkat adalah orang yang
kompeten pada empat bidang PAUD (TK, Kober, TPA, dan SPS) dan penempatannya bukan
sebagai posisi batu loncatan PNS di daerah. Untuk meningkatkan kemampuannya, secara
reguler dilakukan pelatihan tentang perkembangan terkini praktek pendidikan dan
informasi kebijakan PAUD.
2. Segera mengembangkan kurikulum
pembelajaran tematik sesuai Permendiknas No. 22 Tahun 2006 mengenai Standar Isi
yang menyatakan bahwa kurikulum SD kelas 1, 2, dan 3 menggunakan pendekatan ini.
Untuk pengembangannya dapat bekerja sama dengan Tim Pengembangan Kurikulum
(TPK) tingkat propinsi dan kabupten/kota. Hasilnya disebarkan sebagai bahan rujukan
KTSP. Penilik PAUD dan Pengawas SD perlu bekerja sama untuk memantau
pelaksanaannya.
3. Untuk memperkaya bahan pembelajaran, perlu
dikembangkan bahan belajar PAUD melalui seni, cerita dan dongeng yang digali
dari sumber budaya masyarakat setempat yang inventarisasinya sudah banyak dilakukan
oleh berbagai pihak seperti, misalnya, Dirjen Kebudayaan; kemudian dikembangkan
dangan melibatkan lembaga-lembaga profesi PAUD yang selama ini dibina pemerintah.
Hasil-hasilnya perlu segera dipublikasikan atau dicetak ulang dalam bentuk buku
pedoman, buku rujukan, hingga kepada bentuk leaflet dan poster.
Diatas semua saran tersebut,
ideologi kurikulum yang menjadi arah pelayanan pembelajaran dalam PAUD perlu
diperjelas mengingat strategisnya pendidikan ini sebagai peletak dasar kewarganegaraan
seperti yang dilakukan oleh negara-negara maju. Jika memang ideologi Pancasila
sebagai dasarnya, maka pemilihan dan pemilahan terhadap pendekatan BCCT Florida
atau Motessori Italia tidak bermasalah. Sementara kita tidak melupakan upaya
pemribumian yang cerdas seperti pernah dilakukan oleh Bapak Pendidikan Nasional
Ki Hajar Dewantara ketika mendirikan PAUD percontohan, Taman Indria.
F. Daftar Pustaka
Berk, Laura E. (2000) Child Development, 4th Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Bourdieu, Pierre (2004)[1986]. “The Form of Capital”
dalam Stephen J. Ball (Ed) (2004). The
Routledge Falmer Reader in Sociology of Education, London: RoutledgeFalmer, hal. 15-29.
Brooks-Gunn, Jeanne, Allison S.
Fuligni, Lisa J. Berlin, Eds. (2003) Early
child Development in The 21st Century: Profiles of Current Research Initiatives.
New York and London:
Teachers College, Columbia
University.
Bruce, Tina (2005) Early Childhood Education 3th Edition. London: Palmers.
De Graaf, Nan
Dirk, Paul M. De Graaf, Gerbert Kraaykamp (2000) “Parental Cultural Capital and
Educational Attainment in the Netherlands:
A Refinement of the Cultural Capital Perspective,” Sociology
of Education, Vol. 73, No. 2 (April), pp. 92-111.
Farkas, George dan Jacob Hibel (2008) “Being
Unready for School: Factors Affecting Risk and Resilience,” dalam Alan Booth
dan Ann C. Crouter Eds. Disparities in
School Readiness: How Families Contribute to Transitions into School. New
York: Lawrence Erlbaum Associates
Graue, Elizabeth, J. Kroeger dan C. Brown (2002).
“Living the Gift of Time” Contemporary
Research in Early Childhood Education, Volume 3 Number, 338-353.
Harianti, Diah,
Priyono Sadjijo, dan Soemiarti Patmonodewo (2004) “Dampak Sosial
Pendidikan Anak Usia Dini.” Jakarta: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini
Departemen Pendidikan Nasional.
Ho, Esther Sui-chu
(2009) “Educational Leadership for Parental Involvement in an Asian Context:
Insights from Bourdieu’s Theory of Practice” The School Community Journal, Vol. 19, No. 2 hal 101-122.
Lareau, Annette dan Elliot B. Weininger (2008) “The
Context of School Readiness: Social Class Differences in Time Use in Family
Life” dalam Alan Booth dan Ann C. Crouter, Eds (2008)
Disparities in School Readinesss: How
Families Contribute to Transition into School. New
York: Lawrence
Erlbaum Associates, hal. 155-188.
Lareau, Annette dan Elliot B. Weininger (2003)
“Cultural Capital in Educational Research: A Critical Assessment” Theory
and Society, Vol. 32, No. 5/6, Special Issue on The Sociology of
Symbolic Power: A Special Issue in Memory of Pierre Bourdieu (Dec. 2003), hal.
567-606.
Lareau, Annette (2000) “Social Class Differences
in Family-School Relationships: The Importance of Cultural Capital” dalam A.H.
Halsey, et all (Eds). Education: Culture
Economy Society. New York: Oxford University Press,
hal.703-717.
Lincoln, Y. S. dan E. G. Guba (1985) Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA:
Sage
Reay, Diane (2000) Class Work: Mothers’ Involvement in Their
Children’s Primary Schooling. London: University College
London
Shiraishi, Saya Sasaki (2009) Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam
Politik. Jakarta:
Nalar
Sullivan, Alice (2001) “Cultural
Capital and Educational Attainment,” Sociology;
volume 35; hal. 893-912
Schweinhart, Lawrence J. (2005) Lifetime Effects: The High/Scope Perry Preschool Study Through
Age 40. President, High/Scope Educational
Research Foundation.
Suyanto (2007) Dinamika Pendidikan Nasional. Jakarta: Galang Press
Weininger, Elliot. (2005) “Foundations of Pierre Bourdieu’s class
analysis” dalam Erick Ollin Wright (ed) Approaches to Class Analysis. Cambridge: Cambridge
University Press. Hal
82-118
The World Bank (2007) Early Childhood Education and Development in Indonesia: An Investment fo A Better Life, Jakarta: The World Bank Office Jakarta.
No comments:
Post a Comment