WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA DALAM FILM LASKAR PELANGI PRODUKSI MILES FILMS

 OLEH 
MAHFUD ALY
SMA NEGERI 1 CERME GRESIK

ABSTRAK

WAJAH PENDIDIKAN INDONESIA DALAM FILM LASKAR PELANGI PRODUKSI MILES FILMS


.


Film Laskar Pelangi telah menjadi sebuah fenomena tersendiri dalam dunia perfilman Nasional Indonesia. Penelitian ini berusaha menganalisa apa isi dan pesan dari film tersebut dan hubungannya sebagai bentuk visualisasi dari wajah pendidikan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif Analisis dengan menggunakan metode penggumpulan berupa studi pustaka. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengetahui (1) wajah pendidikan Indonesia dalam Film Laskar Pelangi; (2) realitas kesenjangan sosial  dalam film Laskar Pelangi dan (3) solusi apa yang ditawarkan oleh film Laskar Pelangi untuk memperbaiki pendidikan Indonesia menuju kecemerlangan pendidikan Indonesia di masa yang akan datang
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa (1) wajah pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Banyak sekali keterbatasan-keterbtasan yang menjadikan pendidikan tidak lagi menjadi solusi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia; (2) kesenjangan sosial masyarakat Indonesia merupakan masalah yang mendasar dan akut dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia. dan (3) beberapa solusi yang ditawarkan oleh film Laskar pelangi produksi Miles Films diantaranya (a) pendidikan harus tetap diutamakan meskipun dijumpai keterbatasan-keterabatasan yang sangat memberatkan, (b) dalam setiap keterbatasan, selalu ada nilai lebih yang jika mampu diolah dengan baik akan menjadikan sebuah prestasi yang menggembirakan dan (c) ketersedian fasilitas yang memadai dan berlebih belum merupakan jaminan tercapai tujuan pendidikan yang diinginkan.
Dan penelitian ini memberikan rekomendasi pada pemerintah (dinas pendidikan) untuk memberikan dukungan dana, fasilitas serta perhatian kepada institusi pendidikan baik swasta maupun negeri secara tepat khususnya di daerah terpencil/ perbatasan dan komite, sekolah dan guru harus selalu memberi motivasi dan semangat pada siswa untuk memaksimalkan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.




Kata Kunci: Film Laskar Pelangi, Pendidikan dan, keterbatasan.   

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Film adalah salah satu dokumentasi realitas kehidupan. Rentetan fakta kehidupan merupakan salah sumber utama pembuatan film dalam mengolah pengalaman-pengalaman dan ide-ide untuk memproduksi film yang bagus. Akhir-akhir ini, ada kecenderungan bahwa Industri Film kreatif mulai menjadikan novel sebagai sumber ide yang kemudian diangkat ke layar lebar. Beberapa judul film yang sukses di negera Indonesia yang diangkat dari karya sastra antara lain: Jomblo, Ayat-ayat cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Gie, dan yang paling fenomenal yaitu Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi produksi Miles Films. Tema Pendidikan Indonesia secara luas juga merupakan salah-satu tema yang diangkat dalam sastra kemudian film meski jumlahnya tidak banyak. Maka kemudian, film dapat dijadikan tolok ukur untuk mengukur realitas. Untuk menuju sebuah kecemerlangan pendidikan di masa yang akan datang, terlebih dahulu perlu ditinjau realitas yang berlaku sekarang dan masa lalu (Darma, 2004: 1). Realitas ini tentu berkaitan pula dengan masa lalu. Dan untuk mengetahui realitas masa lalu, maka salah satu caranya adalah dengan membaca dokumentasi masa lalu yang berupa teks karya sastra. Dan sekarang ini bisa dilakukan melalui studi terhadap film sebagai salah satu dokumentasi realitas kehidupan.
Untuk itu, penulis merasa perlu menganalisa dan mempelajari potret pendidikan masa lalu dalam digambarkan secara visual dalam  film berjudul ”Laskar Pelangi” untuk memahami realitas pendidikan masa lalu untuk memprediksi masa depan guna mencari solusi yang tepat sebagai bentuk pemecahan masalah yang terjadi menuju kecemerlangan pendidikan Indonesia di masa depan.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
  1. Bagaimanakah wajah pendidikan Indonesia dalam Film Laskar Pelangi produksi Miles Films?
  2. Bagaimanakah realitas ketidakterjangkauan pendidikan dalam Film Laskar Pelangi produksi Miles Films?
  3. Solusi apakah yang ditawarkan oleh Film Laskar Pelangi produksi Miles Films untuk memperbaiki wajah pendidikan Indonesia menuju keterjangkauan pendidikan Indonesia di masa yang akan datang?

1.3  Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka peneliti mengadakan penelitian ilmiah dengan tujuan untuk:
  1. Untuk mengetahui bagaimanakah wajah pendidikan Indonesia dalam Film Laskar Pelangi produksi Miles Films.
  2. Untuk mengetahui bagaimanakah realitas ketidakterjangkauan pendidikan dalam Film Laskar Pelangi produksi Miles Films.
  3. Untuk mengetahui apa saja solusi yang ditawarkan oleh Film Laskar Pelangi produksi Miles Films untuk memperbaiki wajah pendidikan Indonesia menuju keterjangkauan pendidikan Indonesia di masa yang akan datang

1.4  Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk:
  1. Memperluas kajian tentang karya film secara luas khususnya film Indonesia
  2. Memberikan sumbangsih terhadap kedudukan kritik film Indonesia
  3. Memberi wawasan pada pembaca tentang wajah sebagian besar pendidikan Indonesia berdasarkan kajian mendalam terhadap film sebagai dokumentasi realitas kehidupan masyarakat.
  4. Menunjukkan realitas ketidakterjangkauan masyarakat Indonesia terhadap akses pendidikan.
  5. Sebagai sumbangsih penulis dalam memberi gambaran tentang wajah pendidikan Indonesia dari film untuk mencari solusi pemecahan masalah demi kecemerlangan pendidikan Indonesia.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1   Wajah Pendidikan di Indonesia
Ada beberapa hal yang perlu dibahas mengenai wajah pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Hal-hal penting tersebut di antaranya:
1.        Efektifitas Pendidikan di Indonesia
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan di bidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya.

2. Efisiensi Pengajaran di Indonesia
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi Efisiensi Pengajaran di Indonesia. Jika kita berbiara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tentang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat dilihati bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relatif lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarannya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, Karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebenarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.

2.2  Film dan Masyarakat
Sebagai media kesenian, film adalah salah satu bentuk kesenian yang paling populer di kalangan masyarakat. Walaupun keadaan perfilman di Indonesia sempat mengalami situasi yang fluktuatif, bukan berarti dunia perfilman di Indonesia mati. Perfilman Indonesia saat ini justru sedang mengalami perkembangan pesat baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sehingga apresiasi masyarakat pun semakin tinggi. Disamping itu, film memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan media lain. Selain bersifat audio juga ada aspek visual, sehingga masyarakat bisa mendengar sekaligus melihat wajah dan ekspresi peran yang ditampilkan. Keunggulan film pada saat yang tepat inilah yang yang dapat kita manfaatkan sebagai momentum perubahan Indonesia menuju ke arah yang lebih baik (Sueb, dkk. 2010: 2).
Salah satu film yang mampu menyedot perhatian masyarakat pada tahun 2008 adalah film Laskar Pelangi. Film yang sarat akan nilai-nilai edukasi, moral, perjuangan kemanusiaan, kekeluargaan dan bahkan nasionalisme ini dikemas dalam sajian yang ringan, sehingga mampu diterima masyarakat tanpa mengurangi makna yang terkandung di dalamnya. Film ini diharapkan mampu menggugah kesadaran masyarakat untuk menghayati dan mencontoh semangat serta kegigihan tokoh dalam film Laskar Pelangi dalam memperjuangkan pendidikan ditengah keterbatasan sosial, ekonomi dan budaya sebagai realitas kehidupan masyarakat di Indonesia. Dan tentunya media film sebenarnya memiliki kekuatan lebih dibandingkan media lain dalam melakukan representasi terhadap kenyataan (Sasono, 2005). Sehingga media film dapat digunakan sebagai kritik sosialoleh masyarakat film sebagai usaha untuk melakukan kontrol dan perbaikan dalam masyarakat secara umum. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan film dalam masyarakat sangat penting dan memiliki fungsi yang sejalan dengan perkembangan jaman dan teknologi. 
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1  Metode Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam penelitian deskriptif analisis. Penelitian ini bertujuan untuk memahami, kemudian mendeskripsikan objek penelitian lebih cenderung menggunakan kata-kata daripada angka (Moelong, 2000: 112). Penelitian ini lebih cenderung melihat dan memahami (1) wajah  pendidikan Indonesia dalam film Laskar Pelangi (2) menggali nilai-nilai sosial yang terkandung dalam film Laskar Pelangi dan (3) mencari solusi-solusi yang ditawarkan film Laskar Pelangi terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan dan sosial.
3.2  Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode kepustakaan. Penulis melihat dan menganalisa film Laskar Pelangi kemudian mengklasifikasikan isinya berdasarkan urutan masalah penelitian kemudian penulis memberi penafsiran berdasarkan teori-teori yang ada dan memberikan analisis dengan menggunakan pembanding berupa novel asli yaitu Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata untuk memperkuat penafsiran penulis. Penulis juga menggunakan pembanding lain yang berupa film, maupun bahan pembanding lain yang sesuai dengan isi pembahasan.
Penulis menggunakan beberapa film, buku dan karya sastra lain sebagai bahan pendukung analisis data penelitian. Sumber-sumber penunjang penelitian diperoleh penulis dari perpustakaan dan sumber-sumber yang lain.
3.3  Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian ini ada dua (2) yaitu:
1.             Sumber data primer yaitu film Laskar Pelangi produksi Miles Films.
2.             Sumber data skunder yaitu novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
3.4  Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis adalah secara deskriptif yaitu penulis menggunakan data yang diambil dari film yaitu film Laskar Pelangi produksi Miles Films apa adanya tanpa menambah atau mengurangi. Kemudian penulis memberi penafsiran dan menguraikan dengan menggunakan teori yang ada dan juga penulis menggunakan teks novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan sumber data pembanding yang lain sebagai penunjang analisis penulis terhadap teks novel yang sedang dianalisis sehingga penulis memperoleh kadar kejelasan yang diinginkan.
Penulis melakukan beberapa langkah analisis data penelitian sebagai berikut:
1.      Tahap Persiapan
Dalam tahap ini, penulis melakukan beberapa persiapan yaitu (1) menyiapkan sumber data primer yang berupa film Laskar Pelangi (LP) produksi Miles Films (2) mencari teori-teori film yang sesuai sebagai pijakan penulis untuk menganalisis film yang penulis teliti yaitu novel film Laskar Pelangi (LP) produksi Miles Films dan (3) menyiapkan novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang telah penulis baca sebagai pendukung dan pembanding yang memiliki fungsi sebagai penguat analisis penulis terhadap film yang penulis teliti.
2.      Tahap Perencanaan
Penulis membuat outline atau skema rancangan awal penelitian yang penulis susun berdasarkan masalah penelitian. Outline ini sebagai pijakan penulis untuk melihat film Laskar Pelangi (LP) produksi Miles Films.
3.      Tahap Pelaksanaan
Dalam tahap ini, penulis mempelajari alur cerita, mencari gambaran umum, memahami tokoh cerita film Laskar Pelangi sebagai salah satu cara memperoleh pemahaman lebih terhadap isi cerita film Laskar Pelangi. Dalam tahap ini, penulis juga berusaha membuat klasifikasi isi film berdasarkan outline yang telah dibuat berdasarkan rumusan masalah penelitian. Dalam tahap ini, penulis kemudian memasukkan data penelitian yang sesuai dengan rumusan masalah ke dalam pokok-pokok pembahasan yang telah disusun sebelumnya untuk memudahkan analisis data.
4.      Tahap  Analisia dan penulisan hasil penelitian
Setelah itu, penulis menganalisa dan memasuki kegiatan penulisan laporan penelitian. Penulis kemudian menuliskan hasil analisis dan kajian secara sistematis dan teratur untuk memudahkan pembaca dan sebagai hasil penelitian.
5.      Tahap membuat simpulan penelitian
Kemudian penulis membuat simpulan sebagai jawaban masalah penelitian.
6.      Tahap membuat saran penelitian
Kemudian penulis menuliskan saran-saran penelitian untuk perbaikan penelitian di kemudian hari menuju kecemerlangan pendidikan dan perfilman Indonesia berdasarkan hasil penelitian.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
     
4.1  Wajah Pendidikan Indonesia dalam Film Laskar Pelangi
Pendidikan di Indonesia adalah salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan Indonesia. Pendidikan Indonesia juga dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun bagaimanakah sebenarnya wajah pendidikan Indonesia dalam film Laskar Pelangi sebagai salah satu dokumentasi sejarah dan realitas yang ada dalam masyarakat.
  1. Wajah Pendidikan dari Segi Fasilitas Proses Belajar Mengajar
Realitas sering kali berbeda dengan pandangan umum yang ada dalam teori keumuman. Banyak sekali dilema dan ironi yang penulis temukan antara teori dan realitas yang ada dalam film Laskar Pelangi. Gedung sekolahan sebagai salah satu fasilitas pendukung utama terhadap proses pendidikan seharusnya memiliki standar tertentu agar proses pendidikan berjalan dengan baik. Namun kondisi yang penulis dapatkan dalam deskripsi gedung sekolahan yang ada dalam film Laskar Pelangi ternyata tidak memenuhi standar ideal sebuah gedung sekolahan. Film Laskar Pelangi telah mampu memvisualkan naskah teks novel ke dalam bentuk visual dengan sangat baik.
  1. Wajah Pendidikan dari Segi Tenaga Pendidik
Guru-guru telah demikian besar melakukan pengorbanan demi tercapai pendidikan bagi siswa-siswanya dan pengorbanan itu harus ditebus dengan melakukan kerja sampingan sebagai tukang jahit hingga malam (Bu Mus) dan sebagai pengarap sebidang kebun palawija (Pak Harfan) sebagai pemenuhan kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya karena penghargaan yang mereka terima atas pengorbanan mereka yang sedemikian besar sebagai guru hanya berupa 15 kilogram beras tiap bulannya. Memang benar bahwa mereka berjuang demi cita-cita mereka untuk kemajuan syiar Islam dan mengharap keridloan dari Allah SWT tetapi guru-guru itu (Bu Mus dan Pak Harfan) adalah manusia-manusia mulia yang juga membutuhkan penenuhan kebutuhannya sebagai manusia dan juga keluarganya. Berikut beberapa penggalan isi novel yang menggambarkan ironi hidup yang mereka terima atas cita-cita mereka menegakkan syiar Islam dan perbaikan pendidikan di Belitong.  Selain guru-guru di SD Muhammadiyah itu hanya dua orang dan mereka harus mengajar semua Mata Pelajaran di enam kelas yang berbeda dan pada waktu yang bersamaan, mereka juga harus membuat silabus dan perangkat pengajaran sendiri dengan fasilitas seadanya, mereka juga harus bekerja sampingan sebagai usaha pemenuhan kebutuhan mereka.
Emosi dan kenyataan bahwa penghargaan terhadap guru SD Muhammadiyah sangat memprihatinkan semakin diperkuat dalam film  (tidak ada dalam novel) dengan munculnya dua tokoh guru yaitu:
1.                  Mahmud (Tora Sudiro)
Menurut pendapat produser film LP, Mira Lesmana ”Karakter Mahmud sengaja dibuat untuk memperlihatkan betapa kuatnya pendirian Muslimah. Mahmud digambarkan sebagai guru SD PN Timah yang tertarik pada muslimah. Dalam pengertian Mahmud sangat kasihan melihat keadaan bu Muslimah. Dia pun berusaha mengajak Muslimah untuk meninggalkan SD Muhammadiyah dan menawarkan padanya untuk mengajar di SD PN Timah yang memberi penghargaan lebih.
Menurut Mira Lesmana, untuk memerankan tokoh Mahmud sebenarnya MILES telah mengaudisi beberapa nama seperti Wingky Wiryawan, Indra Birowo, Darius Sinatriya, Tora Sudiro dan Rifnu Wikana dan akhirnya Tora Sudiro yang memenangkan peran itu dengan alasan, menurut Mira Lesmana, karena Tora secara wajah bisa dibawa menjadi orang melayu, screen presents-nya juga bisa dapat. Dan menurut penulis, meski tokoh Mahmud hanya muncul empat sampai lima adegan, tetapi kehadirannya sungguh sangat kuat untuk memperkuat keseluruhan film (Budiarti, 2008: 57).
2.                  Zulkarnaen (Slamet Raharjo)
Zulkarnaen adalah pejabat PN Timah yang bersimpati terhadap perjuangan Pak Harfan dan Ibu Muslimah menjaga kelangsungan Sekolah Dasar Muhammadiyah. Sebagai orang yang berada, secara rutin ia menyumbang beras untuk guru-guru sekolah itu. Zulkarnaen tak sekedar bersimpati, karena ternyata ia juga melupakan Perguruan Muhammadiyah di Yogyakarta, satu almamater dengan PakHarfan.
Kehadiran tokoh Zulkarnaen dalam film dinilai cukup penting, karena dialah yang membangkitkan semangat Muslimah ketika nyaris putus asa karena ditinggal oleh Pak Harfan. Ia juga yang menjadi penyelamat SD Muhammadiyah ketika hendak berlaga dalam perlombaan cerdas cermat melawan SD PN Timah.
3.                  Bakri (Rifnu Wikana)
Tak banyak tokoh dalam novel Laskar Pelangi. Untuk kepentingan plot cerita, penulis skenario Laskar Pelangi kemudian menciptakan tokoh antagonis guru SD Muhammadiyah bernama Bakri. Ia adalah guru senior yang tidak mau disaingi oleh guru yang lebih muda. Meskipun sebenarnya bukan siapa-siapa. Pak Bakri digambarkan sebagai lelaki sombong.
Peran Bakri dimainkan oleh Rifki Wikana yang sebelumnya menjalani casting untuk peran Mahmud. Sebenarnya ide kemunculan peran Bakri adalah untuk mempersempit ruang cerita Novel Laskar pelangi yang cukup lebar. Di sini juga, peran Bakri untuk memberikan visualisasi tentang betapa beratnya menjadi guru di SD Muhammadiyah. Bakri kemudian mengundurkan diri dari SD Muhammadiyah karena memilih untuk mengambil tawaran menjadi guru SD Negeri.

  1. Wajah Pendidikan dari Segi Peserta Didik

Bagaimana dengan kondisi siswanya? Kekurangan dan keterbatasan telah menjadi hal yang tak terpisahkan dari potret pendidikan di beberapa daerah di Indonesia. Selain kekurangan  biaya pendidikan, fasilitas gedung, bahan ajar, ketersediaan guru, perangkat pengajaran, dan lain sebagainya. Para siswa juga menghadapi beberapa keterbatasan yang sangat mempengaruhi proses keberhasilan mereka dalam mengikuti kegiatan belajar dan mengajar (KBM) di antaranya: (1) siswa masih tidak memakai sepatu (masih menggunakan sandal; (2) siswa tidak menggunakan seragam sebagaimana mestinya; (3) kurang tersedianya fasilitas pendukung seperti ketersediaan kotak P3K; (4) tidak terpenuhinya alat-lat belajar standar yang harus dimiliki seorang siswa semacam pencil, buku dan lain sebagainya dan (5) kendala jarak antara rumah siswa dan sekolah tanpa dukungan fasilitas transportasi yang memadai. Karena rumahnya yang terletak di Tanjong Kelumpang yaitu sekitar empat puluh kilometer dari sekolah maka Lintang harus berangkat bersepeda dari subuh untuk bisa sampai di sekolah tepat waktu.
 Berikut beberapa penggalan isi novel yang memberikan gambaran realitas mereka dalam memperjuangkan pendidikan mereka. Mereka belajar dan menjadi manusia Indonesia seutuhnya dalam keterbatasan.
"Kami kekurangan guru dan sebagaian besar siswa SD Muhammadiyah ke sekolah memakai sandal. Kami bahkan tak punya seragam. Kami juga tak mempunyai kotak P3K (Hirata, 2008: 17-18).

”Perasaan ngilu karena sepatu baru yang dibelikan ibuku. Sepatu ini selalu aku sembunyikan ke belakang. Aku selalu menekuk lututku karena warna sepatu itu hitam bergaris-garis putih maka ia nampak seperti sepatu sepak bola, jelek sekali. Bahannya pun dari plastik yang keras............... Kakiku sakit dan hatiku malu dibuat sepatu ini (Hirata, 2008: 12)

Dalam film laskar pelangi emosi dan perasaan miris tentang keberadaan serta keadaan para tokoh 10 anak yang sekolah di SD Muhammadiyah telah berhasil divisualisasi dengan baik. Bahkan penonton rata-rata meneteskan airmata haru setelah melihat betapa berat perjuangan Lintang, anak yang berjuang untuk meraih pendidikannya dengan bersepeda berkilo-kilo meter melewati padang savana, harus merawat adik-adiknya dan harus ketakutan karena di hadang oleh buaya.

  1. Wajah Pendidikan dari Segi Orang Tua Peserta Didik
Meskipun dalam keadaan yang sangat memprihatinkan karena kondisi ekonomi keluarga yang sangat berat, para orang tua tetap berusaha sekuat tenaga untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Pendidikan Indonesia ini telah sampai pada satu kondisi di mana ”komersilisasi pendidikan” telah terjadi di mana-mana. Biaya pendidikan yang sangat tinggi telah memisahkan keluarga yang miskin dari pendidikan.
”Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun dan hal itu bukan perkara gampang bagi keluarga kami (Hirata, 2008: 3)”

Padahal jika keluarga miskin ini tidak menyekolahkan anaknya, mereka akan mendapat celaan dari aparat. Jadi mereka menyekolahkan anaknya lebih karena motif terpaksa setelah melihat kondisi yang tidak memihak pada mereka sama sekali.
”Pagi ini mereka [para orang tua] terpaksa berada di sekolah ini untuk menghidarkan diri dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak (Hirata, 2008: 3)

Para orang tua itu tidak merasa yakin bahwa dengan menyekolahkan anaknya serta merta masa depan kehidupan mereka akan menjadi lebih baik. Mereka tetap menganggap bahwa ”Pendidikan adalah sebuah enigma, sebuah misteri (Hirata, 2008: 13). Mereka merasa sebagai pihak ”yang terjebak dalam tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf (Hirata, 2008: 3). Para orang tua yakin bahwa pendidikan bukanlah solusi untuk mendapatkan kehidupan masa depan yang cerah.
”Para orang tua ini sama sekali tidak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling tinggi sampai SMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga (Hirata, 2008: 3).

Para orang tua itu menghadapi dilema ketidakmampuan pendidikan sebagai solusi peraih masa depan keluarga yang lebih baik dan terdesaknya mereka akan kebutuhan untuk memenunuhi nafkah hidup. Sehingga mereka merasa lebih suka menyerahkan anak mereka ke tauke pasar sebagai kuli daripada menyerahkan anak mereka untuk bersekolah.
”Aku [Ikal] tahu beliau [ayah Ikal] sedang gugup dan aku maklum bahwa tidak mudah bagi seorang yang berusia empat puluh tujuh tahun, seorang buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anaknya laki-lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi keluarga (Hirata, 2008: 2-3).”

Meski dalam keterbatasan, tapi mereka semua (sekolah, guru, orang tua, siswa) tetap bersemangat untuk melanjutkan pendidikan meski kadang mereka juga mengalami satu kondisi dimana mereka merasa nasib tidak memihak mereka dan mereka harus menyerah karena keadaan mereka benar-benar sulit.
”Kasihan ayahku....”
Maka aku [Ikal] tak sampai hati memandang wajahnya.
”Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan untuk sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abangku dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli....(Hirata, 2008: 3)

Sungguh kasus ayah Lintang dan keluarga dalam film menjadi fokus utama sutradara Riri Riza untuk memberi gambaran dramatis akan keterbatasan tersebut. Kemudian yang akhirnya merenggut Lintang dari Laskar Pelangi yang berarti membuatnya tidak melannjutkan sekolah karena ayahnya (Alex Komang) yang pergi melaut kemudian tidak pernah kembali lagi. Dan sebagai kakak tertua, Lintang kecil harus mengurus adik-adiknya yang malang. Si Jenius asal SD Muhammadiyah tersebut akhirnya tidak meneruskan sekolahnya.
  1. Wajah Pendidikan dari Segi Pemerintah (Dinas Pendidikan)

Keadaan pendidikan telah menjadi hal yang menakutkan, menghawatirkan serta menjadi satu masalah dan bukan solusi. Tetapi kemudian, keadaan itu semakin parah karena respon dari pemerintah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat, pejabat terkait, anggota dewan dan seterusnya juga tidak positif. Mereka semua seakan tidak merasa bertanggungjawab terhadap keberadaan pendidikan di sekitarnya. Terasa menjadi satu dilema tersendiri dalam perkembangan pendidikan, kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua serta masyarakat.
Dalam film Laskar Pelangi memang tidak pernah di datangi oleh pejabat, yang ada hanya seorang pegawai PN Timah yang juga ternyata alumni perguruan Muhammadiyah Yogyakarta dan juga orang-orang yang membantu memasang kayu peyanggah agar sekolah yang reot itu tidak ambruk.
Dalam novel Laskar Pelangi, penulis dengan jelas memberi penjalasan gamblang sebagai berikut:
”Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi pejabat, penjual kaligrafi, pengawas sekolah, apalagi anggota dewan (Hirata, 2008: 18)”

”Guru-guru yang sederhana ini dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di Belitong itu harus ditutup (Hirata, 2008: 4).

4.2  Kesenjangan Sosial dalam Film Laskar Pelangi
Manusia sebagai mahluk sosial dapat berarti tiap individu memegang nilai-nilai yang ada dalam masyarakat sebagai bentuk pernyataan sebagai mahluk yang membutuhkan orang lain dan sebagai mahluk yang selalu mempengaruhi dan terpengaruhi antara satu dengan yang lain. Dari proses interaksi dan perbandingan antar komunitas maupun individu dalam masyarakat kemudian muncul beberapa nilai-nilai yang bisa menjadi patokan dalam masyarakat bahkan mungkin sekali terjadi kesenjangan-kesenjangan, perbedaan dan lain sebagainya. Dalam bab ini, penulis akan memberikan penjelasan terhadap wajah sosial masyarakat Indonesia yang ada dalam film Laskar Pelangi produksi Miles Films dan novel laskar Pelangi karya Andrea Hirata, sebagai satu realitas yang ada di dalam masyarakat Indonesia.
Kesenjangan sosial adalah kondisi yang sangat ada dan selalu menjadi pokok permasalahan utama bangsa Indonesia. Sesuatu yang selalu ada dalam masyarakat Indonesia. Kesenjangan sosial juga merupakan satu kenyataan dari masyarakat Indonesia secara umum. Wajah dalam film Laskar Pelangi produksi Miles Films dan novel laskar Pelangi karya Andrea Hirata memberi kita gambaran umum tentang kesenjangan masyarakat Indonesia secara umum. Perbedaan yang mencolok antara kehidupan masyarakat kecil di Belitong dengan kehidupan penduduk di kawasan PN Timah yang disimbolkan dengan perbedaan keadaan bangunan rumah penduduknya, dan bangunan sekolah serta fasilitas-fasilitas pendukung yang lain yang sangat mencolok dengan diberi batas penegasan sebuah tembok tinggi ditancapi pecahan-pecahan kaca dan empat jalur kawat berduri dan disana bergantung tulisan papan peringatan yang berbunyi ”DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK”. Penulis akan memberikan beberapa penggalan isi novel Laskar Pelangi tentang kesenjangan sosial masyarakat di Belitong. Hal tersebut juga dengan sangat jelas dapat penonton lihat dalam film Laskar Pelangi.

1.            Kesenjangan di Bidang Kehidupan Sosial
Keadaan sosial kemasyarakatan masyakat Belitong terbagi menjadi dua. Pertama, masyarakat biasa. Golongan ini berasal dari berbagai suku dan keturunan. Golongan ini ditandai dengan kemiskinan dan keterbatasan.
”Cuaca cenderung semakin memburuk akhir-akhir ini maka hasil melaut tak pernah memadai. Apalagi ia hanya semacam petani penggarap, bukan karena ia [ayah Lintang] tak punya laut, tapi karena ia tak punya perahu (Hirata, 2008: 11)”

”Kami [Ikal dan Syahdan] adalah tetangga dan kami adalah orang-orang asli Melayu Belitong dari komunitas yang paling miskin di pulau ini (Hirata, 2008: 4)”

Sementara golongan kedua, golongan PN Timah atau orang Gedong yang rata-rata berasal dari luar Belitong. Mereka ini adalah golongan elit. Mereka adalah simbol kekayaan, kekuasaan, dan kelebihan uang dan fasilitas. Meskipun mereka adalah pendatang tapi merekalah yang memiliki dan menikmati segalanya.
”Sekolah-sekolah PN Timah yaitu TK, SD, dan SMP berada dalam kawasan Gedong (Hirata, 2008: 58).”

”Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh para Polsus (Polisi Khusus) Timah (Hirata, 2008: 42).”

Deskripsi tentang Gedong sangat berbeda dengan gambaran umum tentang kondisi masyarakat di luar tembok tinggi dan panjang sebagai pemisah antara yang miskin dan yang kaya. Maka ”setiap rumah memiliki empat bangunan terpisah yang disambungkan oleh selasar-selasar panjang (Hirata, 2008: 43) Dan ”halaman setiap rumah sangat luas dan tak dipagar. Kebanyakan didekorasi dengan karya seni instalasi dari konstruksi logam yang maknanya tak mudah dicerna orang awam (Hirata, 2008: 45) dan ”mereka [orang Gedong] makan dengan tenang sembari mendengarkan musik klasik yang elegen: Mozart: Haffner No. 35 in D Major. Mereka mematuhi table manner (Hirata, 2008: 44).
Karena perbedaan itu maka ”tersaji pemandangan yang kontras seprti langit dan bumi (Hirata, 2008: 49).” yaitu sebuah kenyataan bahwa kesenjangan sosial yang sedemikian besar telah ada Belitong sebagai representasi negara Indonesia. Kesenjangan sosial itu disimbolkan dengan keberadaan tembok besar yang menjadi pemisah. Berikut deskripsi simbolisasi dari kesenjangan sosial masyarakat Belitong antara Gedong dan kawasan yang berada di luar Gedong.
”Persis bersebelahan dengan toko-toko kelontong milik warga Tionghoa berdiri tembol tinggi yang panjang........Namun tidak seperti Tembok Besar Cina yang melindungi berbagai dinasti dari serbuan suku-suku Mongol dari utara, di Belitong tembok yang angkuh dan berkelok-kelok sepanjang kiloan meter ini adalah pengukuhan  sebuah dominasi dan perbedaan status sosial (Hirata, 2008: 36).”

Sesungguhnya Pulau Belitong adalah pulau yang kaya raya akan sumber daya alam mineral yang dideskripsikan dengan ironi jika ”Orang Melayu yang merogohkan tangannya ke dalam lapisan dangkal aluvium, hampir di sembarang tempat, akan mendapati lengannya berkilauan karena dilumuri ilmenit dan timah kosong (Hirata, 2008: 37)” dan kemudian sebuah ironi muncul lagi ketika ”Tak disangsikan, jika di-zoom out, kampung kami adalah kampung terkaya di Indonesia. Inilah kampung yang menghasilkan timah dengan harga segenggam lebih mahal puluhan kali lipat dibanding segantang padi. ........ Namun jika di-zoom in, kekayaan itu terperangkap di satu tempat, ia tertimbun di dalam batas tembok-tembok tinggi Gedong (Hirata, 2008: 49). Ironi inilah kemudian menjadi menyakitkan karena ”Semua ini sangat kontradiktif dengan kemiskinan turun temurun penduduk asli Melayu Belitong yang hidup berserakan di atasnya. Kami seperti sekawanan tikus yang paceklik di lumbung padi (Hirata, 2008: 38-39).”
2.            Kesenjangan di Bidang Pendidikan
Bangunan sekolah di SD Muhammadiyah sebagai representasi sekolah umum yang ada di Belitong sangat berbeda dengan kondisi dan fasilitas sekolah PN Timah.
”Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan (Hirata, 2008: 17)

Sementara sekolah PN Timah memiliki fasilitas yang sangat mendukung terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik. Karena didukung dengan keuangan yang memadai.
”Sekolah-Sekolah PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan gedong. Sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Agathis berusia ratusan tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan kedisiplinan dan mutu pendidikan tinggi. Sekolah PN merupakan center of exelllence atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini sedemikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN Timah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina (Hirata, 2008: 57)”

Ada satu hal yang menarik sebagai bentuk ”Atribut diskriminasasi sosial (Hirata, 2008: 41)” yaitu bagaimana deskripsi perbedaan dalam penyambutan siswa baru di Sekolah PN Timah (Gedong) dan di SD Muhammadiyah (di luar Gedong). Keduanya sangat berlainan.
”Guru-guru yang sederhana itu berada dalam situasi genting karena Pengawas Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah hanya mendapatkan murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua di Belitong harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedang para orang tua cemas karena biaya, dan kami, [siswa] sembilan anak-anak kecil ini --- yang terperangkap di tengah ---- cemas kalau-kalau kami tak jadi sekolah (Hirata, 2008: 4-5).”

Tapi kemudian riwayat sekolah tua itu tidak serta berakhir pada hari ”Inisiasi” itu karena kemudian penyelamat itu datang. Satu murid yang sangat spesial yang telah ditunggu sedemikian lama. Pahlawan itu adalah Harun, seorang siswa dan sahabat yang spesial dan jenaka.
”Harun!”
Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan cepat setengah berlari tak sabar menghampiri kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang tercepuk-cepuk kewalahan menggandengnya (Hirata, 2008: 6-7).”

Dalam film, kesenjangan itu dapat kita lihat dalam scene ketika ada dua gambar visual yang berbeda. Di SD PN Timah, pak Mahmud (Tora Sudiro) sedang di dalam kelas. Dia menyuruh Flo (Marcella El Jolia Kondo) untuk membagikan Kalkulator (alat hitung) yang masih baru ke semua siswa secara gratis. Sementara di tempat yang jauh ada seorang guru yang bernama Bu Muslimah (Cut Mini) membagikan sabu lidi yang telah dipotong-potong sebagai media yang efektif untuk mengajar Ilmu Hitung dan media itulah yang menghasilkan anak super jenius, sang juara cerdas cermat seperti Lintang.
4.3  Solusi-solusi yang ditawarkan Film Laskar Pelangi terhadap masalah Pendidikan dan Kesenjangan Sosial
Film selain memberi kritik terhadap situasi sosial masyarakat dan masalah-masalah umum maupun khusus yang terjadi dalam masyarakat. . Maka kemudian salah satu tugas film adalah mengangkat permasalahan jaman. Sastra juga kemudian tidak bisa terlepas dari nilai-nilai sejarah dan nilai kearifan lokal ke-Indonesiaan jika sastra itu termasuk dalam sastra Indonesia. Maka kemudian permasalahan jaman dan nilai sejarah Indonesia tidak akan mungkin bisa dipisahkan dari film Indonesia.
Untuk mengatasi permasalahan pendidikan dan kesenjangan sosial, film Laskar Pelangi produksi Miles Films, dan novel laskar Pelangi karya Andrea Hirata, memberikan beberapa solusi-solusi yang patut untuk dipertimbangkan sebagai rujukan dalam melakukan usaha pembenahan terhadap status dan keberadaan pendikan dan kesenjangan sosial di masyarakat Indonesia. Beberapa solusi itu adalah sebagai berikut:
A.    Jadikan kendala dan hambatan sebagai pendorong
Meski dalam keterbatasan, kita tidak boleh menyerah pada keadaan. Pandangan ini merupakan solusi awal masyarakat Indonesia agar tidak cepat menyerah manakala menjumpai kendala-kendala yang menjadikannya sulit. Maka yang terbaik adalah menjadikan kendala dan hambatan sebagai tantangan dan pendorong tercapainya kecemerlangan masa depan Indonesia yang cerah. Dalam keterbatasan selalu muncul karakter-karakter ampuh dan kuat untuk memberi sebuah persembahan yang terbaik dengan melakukan sesuatu yang menghasilkan sebuah prestasi yang gemilang. Dalam film Laskar Pelangi produksi Miles Films dan novel laskar Pelangi karya Andrea Hirata, ada dua tokoh opportunis yang menjadikan SD Muhammadiyah berjaya melalui keahlian Lintang dan Mahar. Lintang, dengan kemampuan otak kiri yang dinamis serta logis dan Mahar, dengan kemampuan otak kanannya yang yang estetis dan nyentrik.
Maka kemudian sutradara film Laskar Pelangi produksi Miles Films dan penulis novel laskar Pelangi karya Andrea Hirata sampai memberikan gambaran tentang betapa spesialnya mereka berdua dengan mengatakan bahwa ”Lintang dan Mahar. Pelajaran apa yang mereka tawarkan? Mereka adalah pria-pria muda yang sangat istimewa. Memerlukan bab tersendiri untuk menceritakannya (Hirata, 2008: 86).” Hal itu karena keduanya adalah konsep dualitas yang sempurna yang seimbang, harmonis, saling menutupi dan lain sebagainya.
Maka kemudian kita tidak boleh mengeluh apabila kita mengahadapi kendala dan hambatan dalam proses menuju kecermelangan masa depan kita.
”Mulai saat itu (saat Bu Mus menunjukkan gambar sel tahanan presiden Soekarno di Bandung yang sempit dan jelek), kami tak pernah memprotes keadaan sekolah kami (Hirata, 2008: 32).”

”(Setelah semua baju mereka basah kuyup karena hujan dan sekolah mereka bocor) Tapi seharipun kami tak pernah bolos, dan kami tak pernah mengeluh, tidak, sedikitpun kami tak pernah mengeluh (Hirata, 2008: 32).”

Meskipun keadaan sekolah dan segala fasilitas SD Muhammadiyah, sekolah mereka sangat memprihatinkan. Dan merekalah siswa yang akan mampu mengatasi perjalanan kehidupan yang panjang dan menyakitkan.

”Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan (Hirata, 2008: 17)

”Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumbang karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka seolah sekolah kami mirip gedung kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci? (Hirata, 2008: 19)”

B.     Yakinilah bahwa dalam setiap kekurangan, ada kelebihan
Dalam setiap kekurangan dan keterbatasan selalu muncul potensi-potensi yang jika dimaksimalkan dengan baik akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Hal ini terlihat dari hampir semua karakter sepuluh sahabat yang tergabung dalam film Laskar Pelangi produksi Miles Films dan novel laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang rata-rata memiliki kekurangan. Namun dalam kekurangan mereka, tersimpan potensi-potensi yang sangat luar biasa.
Hal itu juga terjadi pada kehebatan Lintang dan Kepiawaian Mahar. Dua kutup kehebatan dan jaminan kualiatas dari SD Muhammadiyah. Orkes kecil Laskar Pelangi, kemudian kehebatan pawai Agustusan  dan kemenangan yang tak terduga dalam kejuaraan cerdas cermat adalah fakta bahwa dalam keterbatasan selalu ada peluang untuk meraih kesuksesan. Dramatisasi scene perayaan agustusan dan scene cerdas cermat dalam film Laskar Pelangi telah cukup membuat penonton merasakan pesan tersebut.
C.    Ketersedian fasilitas yang menunjang bukanlah sebuah jaminan
Pengajaran dan pembelajan yang baik adalah proses  pendidikan yang diusahakan dalam kondisi sadar karena motif keinginan yang kuat dari dalam dan disertai keihlasan untuk menuntut ilmu karena ingin mendapatkan pahala dari Allah serta ingin memperbaiki kualitas diri untuk mengahadapi masa depan. Maka kemudian pendidikan di SD Muhammadiyah adalah proses pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan hati, fokus pada praktek, pemberian contoh langsung, penuh kegairahan, melakukan hal-hal baru yang menyenangkan, penuh keihlasan dan kompetisi.
Pendidikan adalah perbuatan. Nilai inilah yang selalu menjadi prioritas utama pendidikan di SD Muhammadiyah. Pendidikan itu sedemikian menyatu dan berhasil membangun karakter-karakter tiap anak dalam film Laskar Pelangi produksi Miles Films dan novel laskar Pelangi karya Andrea Hirata mengajari mereka, bahkan kita semua untuk menjadi menerima, ikhlas, dan tidak mengeluh menanggapi kelemahan dan hambatan serta kendala yang mereka jumpai tetapi kemudian memaksimalkan semua kendala itu menjadi sebuah prestasi yang membanggakan. Keberhasilan itu dapat terihat dari dua kutub magnet Laskar Pelangi dan juga dua kekuatan dan lambang supremasi kemenangan SD Muhammadiyah.
Fakta inilah kemudian yang menjadikan penulis berkesimpulan bahwa fasilitas bukanlah jaminan keberhasilan pendidikan di Indonesia. Kebanyakan sekolah yang dalam keterbatasan justru mampu unjuk gigi untuk mengalahkan sekolah-sekolah yang memiliki segala fasilitas yang memadai. Karena disadari atau tidak ternyata pemaksimalan semua potensi sumber daya manusia dan segala pendukungnya akan mampu memjadikan sekolah yang meskipun dengan input yang jelek tetapi akan mampu menghasilkan output yang baik. Sementara banyak sekolah unggulan yang meski mendapatkan input siswa dengan prestasi yangt baik namun karena pengajaran yang hanya mengandalkan pada fasilitas tetapi tidak ada muatan ahklaq, contoh yang baik serta doa yang ikhlas kepada Allah oleh guru, orangtua dan semua orang yang berkaitan dengan sekolah.
Dan dalam beberapa scene film seperti penggalan scene cerdas cermat, pawai Agustusan dan beberapa scene lainnya membuktikan bahwa meskipun SD Muhammadiyah serba kekurangan tetapi kemudian mampu menjadikan sekolah itu menjadi lebih baik. Bahkan kehilangan guru (Pak Harfan) yang meninggal dunia dan kehilangan guru (Pak Bakri) tidak menyurutkan tekat bu Muslimah seorang diri untuk menantang dunia bersama Laskar Pelangi-nya yang tidak genap lagi.
Dan selanjutnya, penulis memberi penekanan akhir bahwa pendidikan Indonesia akan bisa mencapai masa kecemerlangan asalkan ada niat, usaha dan doa yang berkelanjutan dari siapa saja.


BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1  SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan film Laskar Pelangi dan membandingkan dengan Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata maka penulis dapat membuat simpulan penelitian sebagai berikut :
1.        Wajah pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. Banyak sekali sekolah dengan infrastruktur dan fasilitas yang tidak memadai untuk tercapainya pendidikan yang lebih baik.
2.        Kesenjangan sosial menjadi salah satu masalah yang sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
3.        Solusi yang diberikan film Laskar Pelangi untuk mengatasi masalah keterpurukan pendidikan dan kesenjangan sosial yaitu: Menjadikan kendala dan hambatan sebagai pendorong, meyakini bahwa dalam setiap kekurangan ada kelebihan, serta yakin bahwa ketersediaan fasilitas bukanlah sebuah jaminan.

5.2  SARAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan film Laskar pelangi, penulis akan memberikan saran dan rekomendasi sebagai berikut:
1.    Pemerintah (Dinas Pendidikan) harus memberikan dukungan dana, fasilitas serta perhatian kepada institusi pendidikan baik swasta maupun negeri secara tepat khususnya di daerah terpencil/ perbatasan.
2.    Pemerintah harus mengatur pemberdayaan tenaga kependidikan secara merata secara nasional sehingga tidak ada pemusatan guru di titik tertentu.
3.    Komite dan Kepala Sekolah atau lembaga pendidikan harus tetap memberi prioritas lebih pada siswa yang memiliki bakat dan kemampuan meskipun mereka dari keluarga yang kurang mampu.
4.    Guru harus selalu memberi motivasi dan semangat pada siswa untuk selalu memaksimalkan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik.
5.    Siswa harus mencari serta menggali potensi yang ada dalam dirinya dan mengembangkannya untuk dirinya dan orang lain.
6.      Orangtua harus memberikan dukungan baik semangat maupun biaya kepada anak dan penyelengggara pendidikan demi suksesnya tujuan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Budiarti, Rita. 2008. Di Balik Layar Laskar Pelangi. Yogyakarta: PT. Bentas Pustaka.
Darma, Budi. 2004. Solilokui: Kumpulan Esai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Jakarta: Penerbit Bentang.
Moloeng, L.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sasono, Erick. 2005. Film sebagai kkritik sosial dalam http://ericsasono.blogspot.com/2005/07/film-sebagai-kritik-sosial.html pada tanggal 12 Juni 2010.
Sueb, dkk. 2010. Peran Film sebagai Media Seni untuk Mengembalikan Rasa Nasionalisme. Malang: UM Press. .
DVD Film ”Laskar Pelangi” Produksi Miles Films.





 BIODATA PEMAKALAH
“SIMPOSIUM NASIONAL HASIL PENELITIAN DAN INOVASI PENDIDIKAN 2011”





NAMA                        : Mahfud Aly, S.Pd
JENIS KELAMIN      : Laki-Laki
ALAMAT                    : SMA NEGERI 1 CERME GRESIK
                                      Jl. Raya Cerme Lor 167 Cerme Gresik Jawa Timur 61171
TELEPON                 : (031) 799 0034
HP                              : 085648140005
EMAIL                        : araaita_alie@yahoo.com



No comments:

Post a Comment