Mengikuti pelatihan penyegaran Kurikulum 2013 di Medan pada
era Mendikbud Anis Baswedan, ada yang membuat saya terkesan, yaitu kata-kata
pada sebuah cover materi yang dibagikan “TIDAK ADA SISWA YANG BODOH HANYA SAJA
MEREKA TIDAK MENEMUKAN GURU YANG TEPAT” Singkat tapi sangat dalam maknanya.
Selama puluhan tahun menjadi guru, apakah saya sudah menjadi
guru yang tepat bagi siswa? Apakah saya sudah memotivasi siswa dengan memadai?
Apakah saya sudah mengembangkan potensi siswa secara maksimal?
Ini rentetan-rentetan pertanyaan yang muncul dibenak ketika
membaca kalimat singkat itu. Ketika KTSP diluncurkan berulang kali pada materi
presentasi yang dibagikan penatar bahwa fungsi utama seorang guru adalah memotivasi
anak dan mengembangkan potensi yang ada pada mereka secara maksimal.
Anak/Siswa tidak semangat belajar, ini adalah kewajiban guru
memotivasi mereka agar bersemangat dan rajin belajar, guru yang berhasil adalah guru
yang sukses membuat siswa mencintai mata pelajaran yang di ampunya. Kemampuan
memotivasi dan membuat siswa menicintai pelajaran yang diampu, inilah
sebenarnya tolok ukur guru yang berhasil. Dengan mereka termotivasi dan
mencintai pelajaran tersebut, mereka akan punya gairah dan energy yang lebih untuk mempelajarinya secara mendalam.
Saya kenal seorang dosen di UIN dulunya IAIN pernah mengjar
Bahasa Inggris di sebuah SMA di sebuah desa.
Menakjubkan sekali sebagian besar
siswa sekolah itu menyukai dan ambisius mempelajari dan memprkatekan Bahasa
Inggris. Hampir semua mereka demam Bahasa Inggris. Tamat SMA mereka melanjutkan
di ke jurusan Bahasa Inggris Baik yang ada di UNRI maupun di UIN. Dan sekarang
ada beberapa dari siswa itu yang menjadi guru bahasa Inggris di Riau ini malah
ada yang jadi dosen di almamaternya.
Namun juga saya banyak mengenal kawan-kawan guru yang gagal membuat siswa mencintai pelajaran yang
diampunya. Sebaliknya, jangan kan siswa mencintai mata pelajaran tersebut, tapi
mereka menjadi antipati pada pelajaran tersebut. Jangan potensi siswa yang
muncul malah potensi yang ada menjadi tenggelam. Inilah guru yang gagal. Sayangnya lagi ada guru yang yang mengatakan hampir semua
siswanya bodoh dan tidak bisa diatur. Yang berbicara ini bukan dari sekolah
sembarangan, tapi guru salah satu sekolah favorite di kotanya.
Ketika saya memberi masukan yang mungkin bermanfaat baginya,
ia lansung memotong,” siswa sekarang lain Pak, berbeda dengan siswa ketika
Bapak menjadi guru dulu. Dulu Bapak bebas bisa menampar anak. Sekarang jangankan
ditampar, dikasari sedikit saja melapor kepada polisi. Sehingga anak sekarang
mejadi-jadi perangainya.”
Rupanya bagi guru tipe ini cara kekeransan adalah cara ampuh
menghadapi anak, namun saya tidak mau berdebat karena yang saya hadapi adalah
guru yang pesimis. Apapun masukan dari kita dia selalu ada jawabnya. Ini tidak
termasuk tipe guru pembelajar seperti yang dikampanyekan oleh Pak Anis Baswedan
ketika menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Guru kelompok ini tidak suka
membaca. Padahal kalau dia mau, pada modul-modul guru pembelajar, pada setiap
modul ada bagian Padagogi. Pada bagian ini ada berbagai pengetahuan tentang mengenal anak
dan strategi menghadapi anak, sehingga kalau itu dibaca dan pelajari oleh guru,
maka guru tidak lagi beranggapan bahwa cara terampuh mengahadapi anak adalah
dengan kekerasan.
Saya yakin kalau
sepuluh modul itu dipelajari dengan seksama, membaca dengan cermat bagian
pedagogi maupun bagian professional, guru akan setuju dengan moto diatas,
“TIDAK ADA SISWA YANG BODOH HANYA SAJA MEREKA BELUM MENEMUKAN GURU YANG TEPAT”
Marilah kita menjadi guru pembelajar
yang belajar sepanjang hayat