Oleh:
Mukhamad
Murdiono, M. Pd.
Program Studi Pendidikan
Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi, Universitas Negeri
Yogyakarta
HP. 08156870193
Abstrak
Pendidikan
multikultural perlu diwujudkan untuk menciptakan kedamaian, kebersamaan,
persatuan, dan keutuhan bangsa. Dalam kenyataannya pendidikan multikultural
telah diwujudkan di beberapa pesantren salaf.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pembelajaran di pesantren salaf yang memuat nilai-nilai
multikultural, dan mengapa masyarakat pesantren salaf lebih bisa bersikap inklusif.
Penelitian ini
merupakan penelitian
deskriptif kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah pemilik pesantren
(kyai), ustadz, santri pesantren salaf di empat pondok pesantren di Jawa[d1] , yaitu Pondok Pesantren Al-Qodir Sleman, Dar al-Tauhid
Cirebon, Raudlatuth Tholibin Rembang, dan Tebuireng
Jombang . Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan,
wawancara, Focus Group Discussion,
dan dokumentasi. Pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik cross check, sedangkan untuk analisis
data digunakan teknik analisis induktif.
Hasil penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan beberapa simpulan penting, pertama dalam bidang pendidikan
sebenarnya sulit untuk mengatakan masih terdapat pesantren salaf (tradisional), yang
ada adalah model campuran antara corak tradisional dan modern. Oleh karena itu,
model pembelajaran dengan sistem bandongan
dan sorogan sebagai ciri tradisional
dapat berjalan secara bersamaan dengan sistem klasikal (berkelas) dengan
penyediaan kurikulum yang terarah sebagai ciri
modern. Kedua, Islam yang
dibawa dan diterjemahkan kalangan pesantren salaf
pada kenyataannya adalah Islam yang ramah, tidak kaku, moderat, Islam yang mampu
memahami adanya perbedaan, dan sarat dengan nilai-nilai multikultural.
Kata Kunci: multikultural, pesantren, salaf
Abstract
Multicultural
education needs to be realized to create peace,
togetherness, unity and integrity of the
nation. In fact, multicultural education has been manifested
in some of the pesantren salaf. This study aims to know about learning in the pesantren salaf
which includes multicultural values, and why the pesantren
salaf community
can be more
inclusive.
It was
qualitative descriptive research.
Subjects in this study were pesantren
owner, teachers, and pesantren salaf students of
four boarding schools in Java, were Pesantren
Al-Qodir Sleman, Dar al-Tauhid Cirebon, Raudlatuth Tholibin Rembang, and Tebuireng Jombang.. Data in
this research were collected by observation, interview, focus group discussion,
and documentation technique. Data validity had checked by cross check
technique. Inductive analysis was used for data analysis.
The result
showed two conclusions. Firstly, actually in education part was difficult to
said that there was original pesantren salaf.
There were mixture beetwen traditional and modern model. Therefore, learning
model with bandongan and sorogan system as traditional
characteristics can implemented together with clasical system by planing
curiculum provider as modern characteristic. Secondly, Islam that be
brought and be translated pesantren salaf
comunity in the fact was friendly, flexibel, moderat, can know about
differencate, and full of multicultural values.
Keywords:
multicultural, pesantren, salaf
Pendidikan multikultural
merupakan pendidikan yang
dapat mencetak peserta didik mempunyai kearifan lokal, mempunyai jiwa
toleransi, atau menghasilkan peserta didik yang berpandangan inklusif penting
untuk wujudkan. Pendidikan multikultural akan mengantarkan dan membangun
manusia Indonesia mempunyai jiwa nasionalisme yang
akhirnya dapat mempertahankan keutuhan bangsa dari
ancaman disintegrasi. Apabila pendidikan multikultural diwujudkan oleh
pendidikan bercorak keagamaan, maka diyakini dapat mengantarkan peserta didik
berpaham moderat dan inklusif. Menciptakan masyarakat semacam ini merupakan hal
penting bagi bangsa Indonesia yang penduduknya multi-etnis, multi-agama, dan
plural.
Sementara
itu, Pondok Pesantren Salaf atau
pesantren yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional, menyimpan potensi kesadaran multikultural. Wacana lokal dan rasionalitas lokal selama ini sudah
menjadi custom atau tradisi
pesantren. Demikian pula, konsep kemajuan bagi pesantren ini juga bertitik
tolak dari tradisi sehingga tidak mengalami keterputusan sejarah (Jamaluddin Mohammad, 2007:1). Bukankah
pesantren yang dikenal dengan sebutan salaf
atau tradisional inilah yang sebenarnya melanjutkan tradisi Walisongo yang
mengajarkan nilai-nilai toleransi dalam ajaran Islam.
Asal-usul
pesantren memang tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad
XV-XVI. Oleh karena itu, kesan bahwa ajaran Islam di Jawa pada abad XVII dan
XIX berada di bawah bayang-bayang Walisongo bukanlah hal yang berlebih-lebihan.
Bahkan selama hampir lima abad setelah periode Walisongo, pengaruh mereka tetap
terlihat jelas sampai sekarang. Kemashuran mereka sebagaimana para pemimpin
keagamaan yang berpengaruh dilanjutkan melalui keutamaan ulama di mata para
santri Jawa selama berabad-abad (Abdurrahman Mas’ud, 2006: 78). Diketahui,
Islam yang diperkenalkan Walisongo di Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, terkesan
lamban tetapi meyakinkan. Fakta menunjukkan bahwa dengan cara menoleransi
tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar
pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan
mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara (Abdurrahman Mas’ud, 2006: 58).
Adalah
sebuah fakta bahwa sebagian masyarakat yang berpaham dalam Islam tidak
berangkat dari pemahaman terhadap kultur dan kondisi nyata Indonesia secara
komprehensif maka akan terjebak pada tindakan yang dapat merugikan bangsa.
Misalnya dapat dilihat, mereka yang berpaham “Islam radikal” diketahui sering
melakukan tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama, atau bahkan masuk dalam
jajaran kelompok yang disebut teroris. Tentu saja, masyarakat yang semacam ini
perlu dipertanyakan jiwa nasionalismenya, dan betulkah mereka telah menggunakan
Pancasila sebagai paradigma dalam berpaham. Orang yang melakukan tindakan
terorisme, misalnya, bisa dipahami bahwa mereka gagal dalam mendisain konsep
kewarganegaraan. Munculnya tindakan terorisme dapat dianalisis, dikarenakan
ketidakmampuan seseorang untuk melahirkan alternatif pandangan yang lebih
mengakomodasi pluralitas, keadaban, dan kemanusiaan (Zuhairi Misrawi, 2010:
82). Padahal, nilai-nilai pluralisme inilah yang dibutuhkan bangsa ini, agar
terciptanya perdamaian, keharmonisan, dan kesatuan di bumi yang secara objektif
beragam.
Tanpa
memegang sifat-sifat toleran, cinta damai, inklusif, dan moderat bangsa ini akan terancam keutuhannya, dan yang terjadi
adalah perpecahan atau disintegrasi bangsa. Karena, diketahui kondisi nyata
masyarakat bangsa ini terdiri dari berbagai etnis, kultur, dan agama.
Sebaliknya, ketika seseorang dalam ber-Islam telah menjunjung nilai-nilai
toleran, cinta damai, inklusif, dan moderat, maka sebenarnya dia telah
melandaskan pemahaman secara sempurna terhadap kultur dan kondisi nyata
Indonesia. Perlu diketahui, Islam mengajarkan bahwa jalan yang terbaik dan sah
bagi seorang Muslim dalam kehidupan bermasyarakat adalah mengembangkan kultur toleransi.
Hal ini dikarenakan Al-Qur’an sendiri menguatkan adanya eksistensi keberbagaian
suku, bangsa, agama, bahasa, dan sejarah. Semuanya ini hanya mungkin hidup
dalam harmonis, aman, dan damai, jika di sana kultur lapang dada dijadikan
perekat utama (Syafi’i Ma’arif, 2009: 177).
Ajaran
Islam yang telah dikembangkan di kebanyakan lembaga pesantren inilah yang
tampaknya telah memuat harapan bagi terciptanya keutuhan bangsa ini. Oleh
karena itu, model-model pengajaran agama ala pesantren ini perlu dipertahankan
dan bahkan dipupuk untuk dikembangkan. Khusus dalam kajian ini, pesantren salaf
menarik untuk diteliti, bukan hanya karena mengajarkan Islam yang ramah
dan cocok untuk ber-Islam dalam bingkai ke-Indonesiaan, akan tetapi lebih dari
itu, seiring perkembangan zaman, pesantren model ini telah banyak mengalami
perubahan dan pembaharuan namun tidak tercabut dari akar-akar tradisional yang
terbukti memuat ajaran toleransi. Dalam kenyataannya, pesantren salaf
inilah yang kemudian banyak menelorkan para intelektual Islam yang
berpandangan inklusif, moderat, dan
toleran, dan mereka tampak sangat Indonesia.
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pembelajaran di pesantren salaf
yang memuat nilai-nilai multikultural dan mengapa
masyarakat pesantren salaf lebih bisa
bersikap inklusif.. S[d1] elain
itu, untuk mengetahui mengapa masyarakat pesantren salaf lebih bisa bersikap inklusif sebagaimana yang selama ini
dapat diamati. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi yang bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara
teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan,
khususnya bagi bidang pendidikan multikultural, disamping juga untuk merangsang
dilakukannya penelitian yang lebih mendalam dan menyeluruh terhadap
permasalahan dalam penelitian ini. Secara praktis, hasil penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi para pengambil kebijakan, khususnya para
pengelola pendidikan. Dengan menemukan model pendidikan multikultural
diharapkan para pengelola pendidikan akan dapat mempertimbangkan bagaimana pola
dan sistem pendidikan yang menekankan pada nilai-nilai multikultural ini dapat
diwujudkan. Khususnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan pijakan bagi para
pendidik atau lembaga pendidikan untuk menekankan nilai-nilai multikultural
dalam pengajaran agama Islam agar produknya, peserta didik tidak terjebak pada
pandangan yang ekstrim dan kaku dalam berpaham.
Kajian
Pustaka
Definisi Pesantren
Term “pesantren” secara
etimologis berasal dari pe-santri-an yang berarti tempat santri; asrama tempat
santri belajar agama atau; pondok. Dikatakan pula, pesantren berasal dari kata
santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam, dengan demikian pesantren
mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam (Haidar Putra
Daulay, 2001: 7). Sisi lain, kata ”santri” berasal dari bahasa Tamil yang
berarti “guru mengaji”. Ada juga yang mengatakan kata “santri” berasal dari
bahasa India atau Sansekerta “shastri” yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai
menulis, melek huruf (kaum literasi) atau kaum terpelajar. Ada juga yang
berpendapat bahwa “santri” berasal dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti
seseorang yang selalu mengikuti seorang guru, kemana guru itu menetap (Abdul
Mughits, 2008: 120).
Dalam
tradisi Jawa, “santri” sering digunakan dalam dua pengertian, yaitu pengertian
sempit dan pengertian luas. Pengertian sempit “santri” adalah seorang pelajar
sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren atau orang yang mendalami
agama. Sedangkan pengertian luasnya adalah seseorang anggota penduduk di Jawa
yang menganut Islam dengan sunguh-sungguh yang rajin sembahyang pergi ke masjid
pada waktu-waktu shalat, meskipun belum pernah mengenyam pendidikan agama di
pesantren, karena pendidikan agama Islam di Jawa tidak mesti harus diperoleh
dari lembaga pendidikan pesantren, tetapi bisa diperoleh dari keluarga, masjid,
majelis-majelis ta’lim di perkampungan dan lainnya (Abdul Mughits, 2008: 121).
Secara terminologis, pondok pesantren merupakan
institusi sosial keagamaan yang menjadi wahana pendidikan bagi umat Islam yang
ingin mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Pondok pesantren dalam terminologi
keagamaan merupakan institusi pendidikan Islam, namun demikian pesantren mempunyai icon
sosial yang memiliki pranata sosial di masyarakat. Hal ini karena pondok
pesantren memiliki modalitas sosial yang khas, yaitu: 1) ketokohan Kyai, 2 )
santri, 3) independent dan mandiri, dan 4) jaringan sosial yang kuat
antar alumni pondok pesantren (A. Rafiq Zainul Mun’im, 2009).
Kegiatan utama yang dilakukan dalam pesantren adalah
pengajaran dan pendidikan Islam. Hal ini menuntut kualitas seorang kiai tidak
sekedar sebagai seoarang ahli tentang pengetahuan keislaman yang mumpuni,
tetapi juga sebagai seorang tokoh panutan untuk diteladani dan diikuti. Melalui
kegiatan ajar-belajar, seorang kiai mengajarkan pengetahuan keislaman
tradisional kepada para santrinya yang akan meneruskan proses penyebaran islam
tradidional (Djohan Effendi,
2010: 41).
Secara
umum, pesantren memiliki tipologi yang sama, yaitu sebuah lembaga yang dipimpin
dan diasuh oleh kiai dalam satu komplek yang bercirikan: adanya masjid atau
surau sebagai pusat pengajaran dan asrama sebagai tempat tinggal santri, di
samping rumah tempat tinggal kiai, dengan “kitab kuning” sebagai buku pegangan.
Menurut Mustofa Bisri (2007: 11) di samping ciri lahiriah tersebut, masih ada
cirri umum yang menandai karakteristik pesantren, yaitu kemandirian dan
ketaatan santri kepada kiai yang sering disinisi
sebagai pengkultusan. Tambah Mustofa Bisri (2007: 12), meski mempunyai tipologi
umum yang sama, pesantren juga sangat ditentkan karakternya oleh kiai yang
memimpinnya. Sebagai pendiri dan ‘pemilik’ pesantren (terutama pesantren salaf) dalam menentukan corak
pesantrennya, pastilah tidak terlepas dari karakter dan kecenderungan
pribadinya.
Tipologi Pesantren Salaf
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik
dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa
Arab Ibnu Manzhur mengatakan, kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu,
yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi umur dan
keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para sahabat
disebut dengan salafush shalih
(pendahulu yang baik) (Hasan, 2002). Sedangkan menurut
terminologi khazanah Islam, “salaf” berarti ulama yang hidup terdahulu generasi
abad ke-1 sampai 3 H, yaitu para ulama generasi Sahabat, Tabi‘in dan Tabi‘
at-Tabi‘in yang merupakan kurun terbaik pasca Rasulullah SAW (Abdul Mughits, 2008: 126).
Dalam
terminologi pesantren, istilah “ulama salaf” sering digunakan tidak hanya
sampai pada generasi Tabi‘ at-Tabi‘in saja, tetapi juga generasi sesudahnya
yang masih mengikuti jejak keagamaan dan keilmuan ulama’ salaf abad ke-1 sampai
3 H dalam bentuk pengembangan intelektual dan sufistik. Sehingga pengertian
salaf sering kabur menjadi “pokoknya ulama terdahulu yang sudah lewat” dengan
tanpa batas kurun waktu yang jelas. Terminologi ini berbeda dengan terminologi
“salaf” menurut kaum Reformis yang dipelopori oleh Jamal ad-Din al-Afgani,
Muhammad Abduh di Mesir dan Muhammad Abdul Wahhab di Saudi Arabia. Menurut
kelompok yang terakhir ini bahwa paham salafiyyah adalah ajaran ulama’
generasi pertama yang konsisten secara literer terhadap al-Qur’an dan Sunnah,
mengikis habis bid‘ah, khurafat dan tahayyul serta klenik,
senantiasa membuka pintu ijtihad dan menolak taklid “buta” (Abdul Mughits, 2008: 127).
Sementara
pesantren salaf, sebagaimana tuduhan kaum Puritan-Reformis, masih berwarna bid‘ah,
khurafat, tahayyul dan sebagian besar mereka masih bertaklid “buta”
terhadap warisan tradisi ulama terdahulu. Sehingga, kalau konsisten dengan
terminologi di atas maka, sulit menemukan “pesantren salafi” yang secara
definitif, yaitu yang mengikuti jejak ulama salaf abad I-III H secara kategorik,
karena bentuk akomodasi terhadap tradisi lokal dalam banyak hal telah
menimbulkan problematika prinsip-prinsip keagamaan. Contohnya adalah dalam
masalah aqidah, hal ini nampak jelas kontradiksinya dengan ajaran keagamaan
ulama generasi pertama yang masih cenderung puritan dan fundamentalis (Abdul Mughits, 2008: 128).
Terkait dengan fenomena yang
muncul sekarang ini, yaitu ada istilah gerakan salafi dan pesantren salaf,
Husein Muhammad (Wawancara, 2010) menjelaskan,
bahwa salaf untuk menyebut kalangan pesantren adalah model generasi awal yang
meniru aliran pertamanya Asyiari dalam berteologi. Sementara, salaf yang sering
disebut dengan “aliran salafi” kelihatnya mengambil teologi yang dibangun oleh
ibnu Taimiyyah. Husein Muhammad
menyebut golongan ini dengan sebutan radikal, yang mengambil alirannya ibnu
Taimiyyah itu.
Menurut
Zamakhsyari Dhofier (1994: 50), ada beberapa ciri pesantren salaf atau
tradisional, terutama dalam hal sistem pengajaran dan materi yang diajarkan.
Pengajaran kitab-kitab Islam klasik atau sering disebut dengan kitab kuning
karena kertasnya berwarna kuning, terutama karangan-karangan ulama yang
menganut faham Syafi’iyah, merupakan pengajaran formal yang diberikan dalam
lingkungan pesantren tradisional. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan
di pesantren dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu nahwu (syntax) dan sorof (morfologi), fiqh, usul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan
etika, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.
Ciri lain yang didapati di pesantren salaf adalah mulai
dari budaya penghormatan dan rasa ta’zhim pada guru dan kiai, kegigihan belajar
yang disertai sejumlah ritual tirakat; puasa, wirid dan lainnya, hingga
kepercayaan pada barakah (M. Rodli, 2007). Hal inilah yang memunculkan anggapan
bahwa kepatuhan santri kepada kiai terlalu berlebih-lebihan, berbau feodal,
pengkultusan, dan lain sebagainya. Namun, anggapan ini, menurut Mustofa Bisri
(2007: 13), telalu sederhana, gebyah uyah,
generalisasi yang kurang tepat, dan secara tidak langsung mendiskriditkan
kiai-kiai yang muklis (ikhlas) yang menganggap tabu beramal lighairillah,
beramal tidak karena Allah tapi agar dihormati orang.
Pesantren salaf, menurut Mustofa Bisri (2007: 13),
umumnya benar-benar milik kiainya. Santri hanya datang dengan bekal untuk hidup
sendiri di pesantren. Bahkan ada atau banyak yang untuk hidupnya pun nunut kianya. Boleh dikatakan, kiai
pesantren salaf seperti itu, ibaratnya mewakafkan diri dan miliknya untuk para
santri. Beliau memikirkan, mendidik, mengajar, dan mendoakan santri tanpa
pamrih. Bukan saja saat para santri itu mondok di pesantrennya, tetapi juga
ketika mereka sudah terjun di masyarakat.
Akar
kata multikulturaslisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme
dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham).
Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang
hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan masing-msing yang unik. Dengan
demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab
untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap
kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai
bidang kehidupan (Choirul Mahfud, 2009: 75).
Konsep
multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku
bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk. Karena,
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan.
Mengkaji multikulturalisme tidak bisa dilepaskan dari permasalahan yang
mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dalam penegakan
hukum, kesempatan kerja dalam berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minorotas, prinsip-prinsip etika dan moral, juga tingkat dan mutu produktivitas.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana, tetapi sebuah ideologi yang harus
diperjuangkan. Multikulturalisme dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya
demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat (Choirul Mahfud, 2009: 96).
Senada
dengan hal tersebut, disebutkan pula bahwa multikultural merupakan suatu wacana
lintas batas. Dalam pendidikan multikultural terkait masalah-masalah keadilan
sosial, demokrasi, dan hak asasi manusia. Tidak mengherankan apabila pendidikan
multukultural berkaitan dengan isu-isu politik, sosial, kultural, edukasional,
dan agama (H.A.R. Tilaar, 2009: 106). Ada empat nilai atau core values dari pendidikan multikultural, yaitu apresiasi terhadap
adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat, pengakuan terhadap harkat
manusia dan hak asasi manusia, pengembangan tangung jawab masyarakat dunia, dan
pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi (H.A.R. Tilaar, 2009:
210).
Selanjutnya,
untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang
berupa bangunan konsep-konsep yang relevan yang mendukung keberadaan dan
berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep
ini harus dikomunikasikan di atara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah
yang sama tentang multikulturalisme, sehingga terdapat kesamaan pemahaman, dan
saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Jadi, berbagai konsep yang
relevan dengan multikulturalisme antara lain: demokrasi, keadilan dan hukum,
nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku
bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku-bangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komunitas,
dan lain-lain (Choirul Mahfud, 2009: 98).
Dengan
demikian, pendidikan multikultural diartikan sebagai perspektif yang mengakui
realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu
dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan
merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama,
status sosial, dan ekonomi. Secara luas pendidikan multikultural itu mencakup
seluruh siswa tanpa membeda-bedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnic,
ras, budaya, strata sosial, dan agama (Choirul Mahfud, 2009: 176-177). Pendidikan
berparadigma multikulturalme jelas akan mengarahkan anak didik untuk bersikap
dan berpandangan toleran dan inklusif terhadap realitas masyarakat yang beragam
(Choirul Mahfud, 2009: 185).
Pendidikan
multikultural, menurut Tilaar, sebaiknya tidak diberikan dalam satu mata
pelajaran yang terpisah, tetapi terintegrasi dalam mata pelajaran-mata
pelajaran yang relevan. Misalnya, dengan mata pelajaran ilmu-ilmu sosial dan
mata pelajaran bahasa, tujuan yang telah dirumuskan mengenai pendidikan
multikultural dapat dicapai tanpa memberikan suatu mata pelajaran tertentu.
Demikian pula, mata pelajaran kewarganegaraan ataupun pendidikan moral
merupakan wadah untuk menampung program-program pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural lebih tepat disebut sebagai suatu proses mata
pelajaran. Atau dengan kata lain, dalam lingkungan sekolah pendidikan
multikultural merupakan pengembangan budaya pluralisme dalam kehidupan sekolah
sebagai lembaga masyarakat (H.A.R. Tilaar, 2009: 218).
Sementara
itu, dalam perspektif Islam, pendidikan multikultural tidak dapat dilepaskan
dengan konsep pluralis, sehingga muncul istilah Pendidikan Islam
Pluralis-Multikultural. Konstruksi pendidikan semacam ini berorientasi pada
prosespenyadaran yang berwawasan pluralis secara agama, sekaligus berwawasan
multikultural. Dalam kerangka yang lebih jauh, konstruksi pendidikan Islam
pluralis-multikultural dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya secara
komprehensif dan sistematis untuk mencegah dan menanggulangi konflik etnis
agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Sedangkan nilai
dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi,yaitu menghargai segala
perbedaan sebagai realitas yang harus diposisikan sebagaimana mestinya, bukan
dipaksakan untukmasuk dalam satu konsepsi tertentu (Ngainun Naim dan Achmad
Sauqi, 2008: 52).
Dikatakan
bahwa pendidikan Islam pluralis-multikultural terinspirasi oleh gagasan Islam
transformatif. Islam transformatif berarti Islam yang selalu berorientasi pada
upaya untuk mewujudkan cita-cita Islam, yakni membentuk dan mengubah keadaan
mayarakat kepada cita-cita Islam, cita-cita untuk mewujudkan rahmat bagi
seluruh alam. Mengacu kepada tujuan ini, pendidikan Islam
pluralis-multikultural bertujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat damai, toleran,
dan saling menghargai dengan berdasarkan kepada nilai-nilai Ketuhanan (Ngainun
Naim dan Achmad Sauqi, 2008: 54).
Metode
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, karena bermaksud menggambarkan,
mengungkap, dan menjelaskan model pesantren salaf,
yang diketahui produknya telah menjadi manusia yang memegang nilai-nilai
multikultural. Demikian pula dinamakan penelitian deskriptif, karena bertujuan
membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian (Moh. Nazir, 2005: 55). Selain
itu, tujuan deskripsi adalah untuk membantu pembaca mengetahui apa yang terjadi
di lingkungan di bawah pengamatan, seperti apa pandangan partisipan yang berada
di latar penelitian, dan seperti apa aktivitas yang terjadi di latar penelitian
(Emzir, 2008: 175).
Dalam
penelitian deskriptif, kerja peneliti bukan saja memberikan gambaran terhadap
fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan hubungan, menguji
hipotesis-hipotesis, membuat predikasi, serta mendapatkan makna dan implikasi
dari suatu masalah yang ingin dipecahkan. Penelitian ini juga dinamakan
penelitian kualitatif, karena penelitian ini menggunakan dan memahami fenomena
yang terjadi di sekitar pendidikan pesantren yang masih mempertahankan bentuk
ke-salaf-an.
Subjek penelitian
ini adalah pengasuh (kiai), ustadz, dan
para santri pesantren salaf
di empat Pondok Pesantren di Jawa. Mengingat begitu banyaknya lembaga pendidikan pesantren
yang tersebar di pulau Jawa, maka dalam penelitian ini hanya diambil satu atau
dua lembaga pendidikan pesantren di setiap propinsi yang dipandang dapat
mewakili. Di Daerah Istimewa Yogyakarta
diambil Pesantren Al-Qodir Tanjung Wukirsari Cangkringan Sleman
Yogyakarta, di Jawa Timur adalah Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, di Jawa
Barat diambil Pondok Pesantren Darut At-Tauhid Cirebon, dan di Jawa Tengah
adalah Pesantren Roudhotut Thalibin Rembang.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah, Focus Group Discussion (FGD), observasi (pengamatan), wawancara, dan dokumentasi.
FGD merupakan suatu teknik yang cukup efektif dan efisien
untuk mengumpulkan data peneltian. Pengamatan diarahkan kepada perhatian pada
jenis kegiatan dan peristiwa tertentu yang memberikan informasi dan pandangan
yang benar-benar berguna (Moleong, 2002: 128). Pengamatan dilakukan dengan cara
melihat dan peneliti mengamati sendiri terkait dengan fenomena di pesantren salaf yang dianggap penting, kemudian
kejadian itu dicatat sebagaimana terjadi pada keadaan sebenarnya.Wawancara
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka, yang memungkinkan
responden memberikan jawaban secara luas. Pertanyaan diarahkan pada
pengungkapan kehidupan responden, konsep, persepsi, peranan, kegiatan, dan
peristiwa-peristiwa yang dialami berkenaan dengan fokus yang diteliti (Nana
Syaodah Sukmadinata, 2009: 112). Wawancara ini dilakukan kepada para pengasuh
pesantren, guru atau ustadz, para
santri, ditambah beberapa tokoh intelektual yang berlatar belakang pendidikan
pesantren. Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data mengenai gambaran
keberadaan objek yang diteliti, di samping juga untuk melengkapi data-data yang
diperoleh dari hasil pengamatan, FGD, dan wawancara. Dokumen dalam penelitian ini berupa informasi tertulis
yang berkenaan dengan pelaksanaan pembelajaran di pesantren salaf, seperti kurikulum dan kitab-kitab
atau buku yang dikaji di pesantren.
Untuk mendapatkan data yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, maka data-data yang telah terkumpul terlebih dahulu diperiksa
keabsahannya. Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan keabsahan data yang
digunakan adalah teknik cross check,
yaitu teknik penyilangan informasi yang diperoleh dari sumber sehingga pada
akhirnya hanya data yang absah saja yang digunakan untuk mencapai hasil
penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis induktif, yaitu analisis yang bertolak dari data dan bermuara
pada simpulan-simpulan umum. Kesimpulan umum itu bisa berupa kategorisasi
maupun proposisi (Burhan Bungin, 2001: 209).
Hasil dan Pembahasan
Praktik
Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren Al-Qodir
Layaknya pesantren pada umumnya, tujuan pokok
keberadaan Pondok Pesantren Al-Qodir adalah mengkaji ilmu-ilmu agama Islam dan
dakwah (menyebarkan) ajaran Islam. Yang menarik adalah, bahwa pesantren ini
dengan jelas menegaskan dalam visinya, yaitu menggunakan pendekatan inklusif
dalam mengajarkan agama Islam. Hal ini tercermin baik dari sosok perilaku
pengasuh pesantren ini maupun model dakwah yang diterapkannya dalam berbagai
kegiatan. Dengan demikian, tampak jelas bahwa Islam yang diajarkan di Pondok
Pesantren Al-Qodir ini adalah Islam ramah, kontekstual, dan menghargai
nilai-nilai multikultural sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.
Tampaknya, Pesantren Al-Qodir ini paham betul dengan
model dakwah yang dilakukan oleh Rasululah saw dan para Walisongo yang ada di
Jawa khususnya. Oleh karena itu, dalam banyak hal model dakwah yang dilakukan
mirip dengan model dakwahnya para Walisongo, misalnya menggunakan kesenian
sebagai media dakwah. Misalnya, pentas
Ketoprak, Festival Band, Musabaqoh Tahlilan, Pentas Campursari, Pentas Wayang Kulit, dan Festival Jathilan yang diselenggarakan oleh pesantren adalah
bentuk kegiatan dakwah lewat kesenian yang rutin dilakukan setiap tahunnya. Kegiatan
yang melibatkan berbagai elemen masyarakat sekitar pondok tersebut juga
bertujuan sebagai ajang komunikasi antar masyarakat dan ajang komunikasi
masyarakat dengan pesantren. Intinya adalah secara tidak langsung mendekatkan
masyarakat dengan ajaran-ajaran Islam. Pesantren, menurut K.H. Masrur Akhmad MZ, yang
awalnya dianggap hanya tempat orang-orang suci dan ekslusif, tetapi setelah ada
momen-momen festival kesenian anggapan itu tidak terjadi lagi. Bahkan, secara
tidak langsung dapat mendekatkan masyarakat dengan ajaran-ajaran Islam.
Dengan model dakwah
yang semacam itu, menjadikan khususnya K.H. Masrur dan umumnya pesantren dan
santrinya dapat bergaul dengan siapa pun dan apa pun golongannya. Ketika Kiai
Masrur ditanya, modal apa yang paling utama dibawa sebagai orang Islam ketika
bergaul dengan berbagai golongan termasuk non-Islam? jawab beliau adalah akhlak
Islam. Jadi, ketika bergaul yang ditonjolkan bukan ajaran Islam yang asing bagi
golongan yang belum banyak mengenal Islam atau bahkan ajakan secara langsung
untuk mengikuti ajaran Islam, akan tetapi akhak yang Islami. Ternyata hal ini
lebih bisa diterima dan menjadikan orang simpati terhadap Islam. Dituturkan,
tidak sedikit yang kemudian golongan non-Islam yang kemudian masuk Islam akibat
bergaul dengan K.H. Masrur Akhmad MZ. Menurutnya, mereka yang masuk Islam bukan
karena paksaan, akan tetapi mereka tahu dan sadar betul bahwa Islam adalah
jalan yang tepat. Hal ini tidak terlepas dari pembawaan Islam yang santun dan
menonjolkan akhlak dalam berdakwah.
Praktik
Pendidikan Multikultural di Pondok Pesantren Dar al-Tauhid
Dalam
berbagai aktifitas, baik pembelajaran, pengkajian, interaksi dengan masyarakat
sekitar, dan bahkan munculnya pemikiran keislaman terutama dari para pengasuh,
seperti K.H. Marzuki Wahid dan K.H. Husein Muhammad dapat diketahui bahwa telah
ditemukan nilai-nilai multikultural di Pondok Pesantren
Dar al-Tauhid. Hal itu telah menjadikan pendidikan dan pembelajaran yang baik
bagi para santri, khususnya dalam hal pemahaman nilai-nilai multikultural.
Santri Dar al-Tauhid baik secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya
telah belajar berbeda, bagaimana menyikapi perbedaan, bersikap demokratis, dan
toleran.
Adanya
Forum Musyawarah Qubra dan Bahtsul Masail , misalnya, adalah bentuk
pembelajaran yang akan mengasah santri peka terhadap perbedaan dan belajar
bagaimana menyikapinya. Musyawarah Qubra adalah forum yang diikuti semua santri
Dar
al-Tauhid untuk membahas
berbagai fenomena sosial yang muncul yang selanjutnya mencoba dilihat dalam
perspektif Islam. Forum ini diadakan dalam satu bulan dua kali, yang terkadang
mendatangkan nara sumber cdari luar pesantren. Dituturkan Gus Mus panggilan akrab
K.H. Mustafa Bisri pernah diundang sebagai nara sumber dalam forum ini.
Selanjutnya, Forum Bahtsul Masail adalah ajang santri untuk berpendapat dalam
menyikapi permasalahan sosial dan mencari kesimpulan hukumnya dalam Islam.
Tentu dalam Forum Bahtsul Masail santri secara tidak langsung belajar berbeda
dan harus menghargai perbedaan itu.
Fenomena
munculnya para pemikir Islam yang sering disebut ”liberal” dari dalam Pondok
Pesantren Dar al-Tauhid adalah menarik untuk diungkapkan. Pemikiran K.H. Husein
Muhammad dan K.H. Marzuki Wahid yang pada kenyataannya bisa dikatakan keluar
dari mainstream kultur pesantren
disikapi oleh pesantren, baik oleh para santri maupun pengasuh pokok, K.H. Ibnu
Ubaidillah, sebagai susuatu yang biasa dan hal itu adalah dianggap sebagai
wacana. Keseimbangan memang tampak di pesantren ini, karena satu sisi pengasuh
masih menghidupkan pemikiran para ulama salaf
dan tradisinya yang cenderung moderat, dan pengasuh yang lain seperti K.H.
Husein Muhammad dan K.H. Marzuki Wahid bisa dikatakan telah banyak mengadopsi
para pemikir modern yang terkesan liberal. Di sini tampak adanya interaksi
pemikiran yang akan menjadikan kultur dan pembelajaran yang baik terhadap
pemehaman multikultural bagi kesemuanya, baik santri maupun pengasuhnya itu
sendiri.
Praktik
Multikultural di Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin
Perlu ditegaskan bahwa pada hakikatnya pesantren
merupakan sebuah lanskap dari karekter Islam Nusantara, yang hendak
memadukan antara dimensi lokalitas dengan teologi keislaman yang bersifat
universal. Oleh karena itu, pesantren bukanlah
institusi yang monolitik dengan mengusung ideologi tertentu. Diungkapkan oleh K.H. Yahya C. Staquf, bahwa secara historis Islam yang
disebarkan di Nusantara ini adalah Islam yang damai dan bukan Islam yang
memggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan. Nilai-nilai inilah yang kemudian
diadopsi dan diteruskan oleh kalangan pesantren salaf. Oleh karena itu, wajar apabila Islam yang diajarkan di
pesantren salaf adalah Islam yang
ramah yang dapat membumi di Indonesia.
Lebih
penting lagi sebagaimana diungkapkan K.H. Musthafa Bisri, bahwa karakter
pesantren ditentukan oleh kiainya (pengasuh). Jadi, katagorisasi pesantren
mengacu pada dasarnya mengacu terhadap sistem yang digunakan oleh setiap kiai
di pesantren (Zuhairi Misrawi, 2010). Tambah K.H. Mustofa Bisri (2007: 12), meski mempunyai tipologi
umum yang sama, pesantren juga sangat ditentkan karakternya oleh kiai yang
memimpinnya. Sebagai pendiri dan ‘pemilik’ pesantren (terutama pesantren salaf) dalam menentukan corak
pesantrennya, pastilah tidak terlepas dari karakter dan kecenderungan
pribadinya. Jika hal tersebut menjadi dasar, maka
dapat dipastikan bahwa Pondok Pesantren Raudlatuth
Tholibin yang dipimpin K.H. Musthafa Bisri ingin mengajak khususnya para
santrinya dan umumnya masyarakat untuk memahami Islam secara kaffah,
Islam yang tidak sempit, Islam yang inklusif, dan Islam yang dapat menerima
nilai-nilai multikultural. Hal ini tercermin dalam karakter K.H. Musthafa Bisri
sendiri sebagai pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin yang mempunyai
pandangan Islam yang luas, dan ini terbukti dari beberapa pemikirannya tentang
Islam yang pernah disampaikan dalam berbagai kesempatan.
Sebenarnya, tidaklah sulit untuk menemukan bangunan yang
membuat para santri mempunyai kesadaran multikultural. Menurut salah satu
pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin, K.H. Yahya C. Staquf, bahwa santri kesehariannya telah
belajar dengan berbagai hal perbedaan. Misalnya, pertama, kultur yang berada dan berkembang di pasantren
sesungguhnya beragam. Santri yang datang dari berbagai wilayah sebenarnya
membawa berbagai corak budaya, sehingga menuntut mereka saling menerima dan
belajar menghargai perbedaan. Kedua,
ketika santri belajar kitab kuning dalam materi fiqih, misalnya, maka di sini
mereka secara tidak langsung akan menemukan pembelajaran tentang perbedaan.
Dalam kitab fiqih santri akan menemukan beragam pendapat tentang hukum dalam
Islam, misalnya, pendapat menurut si A, B, atau C terkait dengan kesimpulan
hukumnya sesuatu. Tentu saja hal ini akan menjadikan pembelajaran yang baik
bagi santri bagaimana melihat perbedaan dan ternyata perbedaan adalah hal yang
wajar. Selebihnya, berpegangan terhadap Ahlussunnah
Wal Jam’aah adalah landasan yang pokok dalam ber-Islam di pesantren.
Praktik
Multikultural di Pondok Pesantren Tebuireng
Pada dasarnya kedudukan
seorang pengasuh atau pemimpin di pesantren begitu strategis dan menentukan.
Dia dapat membawa ke mana saja, sesuai dengan visinya, pesantren yang
dipimpinnya, sehingga dia sering dijuluki sebagai culture broker (perantara
budaya). Dengan demikian, ketika membicarakan multukultural di pesantren,
terlebih dahulu dapat melihat apakah pemimpin pesantren tersebut memiliki visi
multikultural. Dari berbagai informasi dan tulisan-tulisan K.H. Salahuddin
Wahid sendiri sebagai pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, dapat diketahui
bahwa beliau adalah salah seorang yang telah memahami arti penting nilai-nilai
multikultural. Tidaklah aneh apabila ajaran Ilam yang disuguhkan oleh beliau
adalah Islam yang ramah atau dapat dikatakan “Islam moderat”. Ini semua
tercermin di dalam institusi pondok pesantren yang dipimpin K.H. Salahuddin
Wahid, dan demikian pula tercermin dalam pandangan-pandangan atau pemikirannya.
Dalam berbagai
kesempatan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng periode ini, K.H. Salahuddin
Wahid, sering menyampaikan pentingnya nilai-nilai multikultural untuk
dipraktikkan khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Terkait dengan ini ada beberapa pandangan beliau yang penting untuk
dikemukakan. Misalnya, bagaimana sebaiknya pesantren itu dibawa. Menurut beliau
selama ini paradigma pesantren mengajarkan lebih kepada keikhlasan dan ketidak
profesionalan, sehingga kualitas terabaikan. Demikian pula, reorientasi
berpikir murid mesti dirubah, yaitu dari model yang selama ini monoton (murid
pasif hanya menerima dari guru), harus dirubah kepada pengajaran yang lebih terbuka,
demokratis, dan inklusif. Dengan demikian, murid akan lebih terangsang berpikir
terbuka dan kritis, mampu mengembangkan potensi dirinya. Selain itu, santri
tidak mudah terprovokasi oleh ajaran-ajaran militan atau radikal. Menurutnya,
sebenarnya semua pesantren mengajarkan Islam yang ramah dan tidak radikal.
Seandainya ada sorotan pesantren dituding biang persemaian militanisme atau
radikalisme hal itu adalah tuduhan yang salah. Tidak ada pesantren mengajarkan
Islam yang radikal. Justru pesantren mengajarkan saling pengertian, kerjasama
yang baik, Islam yang moderat, dan menghormati orang lain.
Selanjutnya, pendidikan
multikultural diperoleh santri Pondok Pesantren Tebuireng secara tidak langsung
dari tradisi yang sekarang ini ada dan dikembangkan di lingkungan Tebuireng.
Misalnya, dari pengasuh yang sekarang, yaitu K.H. Salahddin Wahid, santri
secara tidak langsung dapat meneladani model, gaya, karakter, pemikiran, dan
model ber-Islam beliau. Dikatakan, bahwa pengasuh yang sekarang, K.H.
Salahuddin Wahid tampak dalam kepemimpinannya bersikap demokratis, menghormati
pendapat santri, dan bahkan dalam banyak hal pendapat para pengruslah yang
dijadikan sebagaai pijakan kebijakan.
Simpulan
dan Saran
Berdasarkan uraian
hasil penelitian yang telah dipaparkan ada beberapa kesimpulan yang dapat
diambil, pertama dalam bidang
pendidikan sebenarnya sulit untuk mengatakan masih terdapat pesantren salaf
(tradisional) sama sekali, yang ada adalah model campuran antara corak
tradisioanal dan modern. Oleh karena itu, model pembelajaran dengan sistem bandongan dan sorogan sebagai ciri tradisional dapat berjalan secara bersamaan
dengan sistem klasikal (berkelas) dengan penyediaan kurikulum yang terarah
sebagai ciri modern.
Berdasarkan temuan, ada
beberapa corak model pendidikan yang ada di pondok pesantren yang awalnya
disebut salaf, dan ini merupakan
dinamika tersendiri, yaitu sistem bandongan
dan sorogan, Madrasah Diniah, Ma’had
‘Aly, sekolah formal (SMP, MTs, SMA, dan MA), dan perguruan tinggi. Sistem bandongan dan sorogan berjalan di pesantren Al-Qodir Cangkringan, Dar al-Tauhid Cirebon,
Raudlatuth Tholibin Rembang, dan Tebuireng Jombang.
Model Madrasah Diniah telah berjalan di pesantren Dar al-Tauhid Cirebon,
Raudlatuth Tholibin Rembang, dan Tebuireng Jombang. Di
Pondok Pesantren Dar
al-Tauhid Cirebon telah berjalan pendidikan
SMP dan Madrasah Aliah (MA), sedangkan
di Pondok Pesantren Tebuireng
telah tersedia pendidikan formal SMP, MTs, SMA, dan MA. Model
pendidikan ini telah berjalan baik di pesantren Dar al-Tauhid Cirebon
maupun Tebuireng Jombang. Selebihnya, Ma’had
‘Aly dapat dikatakan sebagai suatu lompatan bentuk pendidikan di kalangan salaf. Ma’had ‘Aly adalah ibarat
jembatan yang akan mengantarakan para santri pada pemikiran Islam modern.
Ma’had ‘Aly sebenarnya model pendidikan ideal dalam kajian Islam, karena
mencoba mengawinkan literatur klasik dan modern.
Kedua,
Islam yang dibawa dan diterjemahkan kalangan pesantren salaf pada kenyataannya adalah Islam yang ramah, tidak kaku,
moderat, Islam mampu memahami adanya perbedaan, dan sarat dengan nilai-nilai
multikultural. Kalangan pesantren salaf
sangat memahami bahwa perbedaan adalah rahmat. Sebenarnya, pembawaan Islam yang
semacam inilah yang cocok untuk kultur Indonesia, mengingat negara ini
masyarakatnya terdiri dari berbagai agama, suku, dan sangat lengkap dengan
perbedaan.Pembawaan Islam sebagaimana disebutkan nyata sekali dipraktikkan dan
disuarakan di keempat pesantren, yaitu Pondok Pesantren Al-Qodir Cangkringan, Dar al-Tauhid Cirebon,
Raudlatuth Tholibin Rembang, dan Tebuireng Jombang.
Dari segi pemikiran para pengasuh dan praktik keagamaan pesantren-peasantren
tersebut nyata ingin menyuguhkan Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi
Muhammad dan para Wali di Jawa. Syariat Islam yang diterjemahkan dan dipraktikkan
keempat pesantren tersebut tidak kaku, tidak
tekstual (literalisme
syariah) akan tetapi sangat
kontekstual.
Daftar
Pustaka
Abdul Mughits, ( 2008), Kritik Nalalar Fiqh Pesantren, Jakarta: Kencana.
Abdurrahman Mas’ud, (2006), Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
Jakarta: Kencana.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, (2009), Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: Mizan.
Burhan Bungin, (2001), Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Varian
Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Choirul Mahfud, (2009), Pendidikan
Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Djohan Effendi, (2010), Pembaruan
Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa
Kepemimpinan Gus Dur, Jakarta: Kompas.
Emzir, (2008), Metodologi Penelitian Pendidikan
Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta: Rajawali Pers.
Haidar
Putra Daulay, (2001), Historis dan
Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana).
Lexy
J. Moleong, (2002), Metodologi Penelitian
Kualitatif, Bandung: Rosdakarya.
Mohammad Nazir, (2005), Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia.
Mustofa Bisri, A., (2010), Koridor
Renungan A. Mustofa Bisri, Jakarta: Kompas.
Nana Syaodah Sukmadinata, (2009), Metode Penelitian Pendidikan, Bandung:
Rosdakarya.
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, (2008), Pendidikan Multikultural: Konsep dan
Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Tilaar, H.A.R., (2009), Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran
Kekuasaan, Jakarta: Rineka Cipta.
Zamakhsyari Dhofier, (1994), Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta:
LP3ES.
Zuhairi Misrawi, (2010), Pandangan Muslim Moderat: Toleransi,
Terorisme, dan Oase Perdamaian, Jakarta: Kompas.
Sumber Internet dan Wawancara
Jamaluddin Mohammad, (2007), Pesantren dan Pendidikan
Multikulturalisme, http://buntetpesantren.org/index.php.
Rafiq Zainul Mun’im, A., (2009), “Peran Pesantren dalam Education
For All di Era Globalisasi”, http://ejournal.sunan-ampel.ac.id/index.php/V/177/162
Rodli, M., (2007), “Pesantren Salaf di Simpang Jalan”,http://khazanahsantri.multiply.com/journal/item/12
Abdurrahman, Ustadz dan Pengusrus Pondok
Pesantren Raudlatuth Tholibin Rembang, 23 Oktober 2010.
Ahmad
Mutaqin, Ustadz dan Pengusrus Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Cirebon, 16 Oktober
2010.
Arwani,
Ustadz dan Pengusrus Pondok Pesantren Raudlatuth
Tholibin Rembang, 23 Oktober 2010.
Husein
Muhammd, K.H., Salah Satu Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid
Cirebon, 16 Oktober 2010.
Ibnu
Ubaidillah, K.H., Pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Cirebon, 16 Oktober
2010.
Masrur
Ahmad MZ, K., Pengasuh Pondok Pesantren Al-Qodir Cangkringan, 19 Oktober 2010.
Muhsin
K.S., Pengelola Perpustakaan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, tanggal 10
Oktober 2010.
Sukron
Makmun, Ketua Majlis Ilmi atau Departemen Pendidikan Pondok Pesantren
Tebuireng, tanggal 10 Oktober 2010.
Yahya C. Staquf, K.H., Salah
Satu Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Tholibin Rembang, 23 Oktober 2010.
BIODATA PENULIS
NAMA :MUKHAMAD MURDIONO, M.Pd.
JENIS KELAMIN :
LAKI-LAKI
JUDUL MAKALAH : PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI PESANTREN SALAF
INSTANSI :
UVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
JABATAN :
DOSEN
(LEKTOR)
ALAMAT PERSURATAN : JURUSAN
PKN DAN HUKUM, FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI, UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA,
55281.
e-mail :
masmoer_uny@yahoo.com
No. Telp./Fax. :
(0274)
586168 psw. 384 / Fax. (0274) 548201
HP :
08156870193
No comments:
Post a Comment