Tutuk Ningsih
(Staf Pengajar STAIN PURWOKERTO
(Staf Pengajar STAIN PURWOKERTO
Abstract
The
purpose of this study was to produce a description about: (1) implementation of
moral guidance in shaping the character of students by the MAN Paiton, (2) the
strategiy in which the principals, and teachers in the process of moral
development in shape the character of students, and (3) the role of Head of
Madrasah in moral guidance to shape the character of students.
Data
collection techniques used were participant observation, depth interviews, and
documentation. Validity of data used to obtain the data validation through
triangulation techniques.
Based on the discussion of research results obtained the following conclusions: (a) patterns of moral guidance
to shape the character of students is carried out in an integrated pattern of development between intrakurikuler
activities with extracurricular
activities. (b) strategies used include: monetary fines sanctions, scheduling dhuhur
prayers in congregation, grouping classes by
gender, a violation point count, and the
insertion of moral values and
character in the PBM, (c) the role of Head of the Madrasah in carrying out his leadership duties generally
been good. The
results of this study also provides
results in draft form, namely concerning: (1) character-based
education, (2) coaching
intervention and moral character,
(3) violation point count system of monetary
penalties and sanctions, and (4) integrated
learning systems. For students whose behavior is classified as very mischievous foster teachers need to
be removed.
Keywords: moral development, character, students.
Ingin dapat tambahan uang dengan modal hanya
25 ribu rupiah, bisa menghasilkan Rp.800 Juta,-
Dari Bisnis Iklan ?
Silahkan klik : https://muslimpromo.com/?ref=8099
Silahkan klik : https://muslimpromo.com/?ref=8099
Abstraks
Secara khusus, tujuan penelitian
ini adalah untuk menghasilkan deskripsi tentang: (1) implementasi pembinaan
moral dalam membentuk karakter siswa yang dilakukan oleh pihak lembaga sekolah
MAN Paiton, (2) strategi/cara yang dilakukan oleh kepala sekolah, dan guru
dalam proses pembinaan moral dalam membentuk karakter siswa, dan (3) peran Kepala
Madrasah dalam pembinaan moral untuk membentuk karakter siswa.
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah pengamatan partisipan, wawancara mendalam, dan dokumentasi Untuk memperoleh keabsahan data digunakan proses validasi data
melalui teknik trianggulasi.
Berdasarkan pembahasan hasil
penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (a) pola pembinaan moral untuk
membentuk karakter siswa yang dilakukan adalah pola pembinaan secara terpadu
antara kegiatan intrakurikuler dengan kegiatan ekstrakurikuler. (b) strategi
yang digunakan meliputi: sangsi denda uang, penjadwalan shalat dhuhur
berjama’ah, pengelompokan kelas berdasarkan jenis kelamin, penghitungan point
pelanggaran, dan penyisipan nilai-nilai moral dan karakter dalam PBM, (c) peran
Kepala Madrasah dalam menjalankan tugas kepemimpinannya secara umum sudah baik..
Bagi siswa-siswa yang perilakunya tergolong sangat nakal perlu diangkat guru
asuh.
Kata
Kunci: pembinaan moral, karakter, siswa.
Masih merasa penghasilan kurang? Jangan hanya mengeluh. Mari bergabung
untuk mendapatkan Income Rp.800 Juta,- Dari
Bisnis Iklan
Silahkan klik http://www.muslimpromo.com/?ref=8100
Silahkan klik http://www.muslimpromo.com/?ref=8100
I.
Pendahuluan
Salah satu masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan
saat ini terutama di lembaga Sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Paiton adalah
rendahnya karakter siswa. Ada beberapa faktor yang dapat diidentifikasikan
sebagai penyebab mengapa karakter siswa di MAN Paiton tersebut masih rendah,
yaitu antara lain adalah sebagai berikut: (1) penerapan sanksi disiplin atas
pelanggaran tata tertib sekolah masih belum optimal yang berdampak pada efek
jera peserta didik, (2) implementasi pembinaan moral siswa belum perjalan
secara efektif, (3) sistem penyelenggaraan proses pembelajaran belum sepenuhnya
dijalankan secara terpadu (ada yang mondok di ponpes, dan ada yang bebas), dan
(4) belum semua guru mampu melaksanakan tugas profesinya sebagai pendidik
secara profesional yang mendukung pembentukan karakter siswa sesuai visi dan
misi MAN.
Krisis nilai-nilai karakter
bangsa dan makna perjuangan hidup yang dialami suatu bangsa akan berdampak luas
terhadap timbulnya berbagai krisis-krisis lainnya yang apabila tidak segera
dapat diatasi dengan penuh kesadaran bersama maka pada gilirannya akan membawa
akibat buruk terhadap perkembangan pola pikir masyarakat. Lebih berbahaya lagi apabila perubahan pola pikir
tersebut mengancam kepentingan bangsa
dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Hasan (2003: 152) menyebutkan bahwa salah satu
fenomena yang sekarang sedang berkembang yang kita hadapi adalah ‘menipisnya
disiplin moral’. Hal ini terjadi hampir di semua lapisan masyarakat. Banyak
orang yang tidak peduli lagi terhadap sikap
dan perilakunya. Gejala penyalahgunaan sikap rasional, teknikal dan
profesional menjadi gaya hidup (yang hanya mempertanyakan: apa yang dapat
dilakukan?), dan mengabaikan sikap moral dan etis (yang mempertanyakan:
apa yang baik dilakukan?), apalagi sikap spiritual yang relegius (yang
mempertanyakan: apa yang halal dilakukan?).
Modernisasi telah melahirkan kebudayaan modern yang
berintikan liberalisasi, rasionalisasi dan efisiensi. Kebudayaan semacam ini
ternyata secara konsisten terus melakukan proses pendangkalan kehidupan
spiritual umat manusia, karena mengakibatkan terjadinya kekeringan nilai-nilai
rohaniah. Kekeringan rohani ini juga mengakibatkan kebingungan warga
masyarakat, khususnya kalangan muda untuk menemukan pegangan hidup. Akibat
selanjutnya, banyak di antara warga masyarakat tersebut terjerumus ke dalam
perilaku-perilaku amoral (Azra,1999:1-19).
Di kalangan remaja dan
pelajar, merosotnya nilai-nilai moral dan karakter peserta didik ini dapat dilihat dari beberapa kejadian dan perilaku tindakan kriminal
yang semakin merebak dalam berbagai jenis, bentuk, dan polanya yang sering
dijumpai dalam media massa dan elektronik. Fenomena seperti itu dapat dilihat
dengan adanya perkelahian antar-pelajar, banyak berkeliarannya siswa pada jam
sekolah, penggunaan obat terlarang (narkotika, ekstasi, dan sejenisnya),
kebut-kebutan di jalan raya, pemerkosaan, pencurian, pecandu minuman
beralkohol, penodongan, pelecehan seksual, dan perilaku lainnya yang melanggar
nilai etika dan norma susila di kalangan remaja/pelajar. Adapun tempat
kejadiannya bisa terjadi di kota-kota besar, kota kabupaten, dan bahkan di
pelosok-pelosok daerah termasuk di lingkungan lembaga sekolah. Jika hal ini
berlangsung terus dan dan tidak dikendalikan secara tepat maka akan berdampak
negatif terhadap merosotnya lembaga pendidikan sebagai tempat untuk membina dan
mendidik generasi muda sebagai penerus bangsa yang berakhlak mulia.
Undang-undang
Sisdiknas (2003: pasal 2), menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
Atas dasar
permasalahan dan pentingnya pokok permasalahan tersebut maka penulis memandang
perlu untuk melakukan penelitian disertasi ini yang selanjutnya diberi judul:
Implementasi Pembinaan Moral dalam Membentuk Karakter Siswa (Studi Kasus di
Madrasah Aliyah Negeri Paiton).
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis. Secara
teoritis, penelitian ini memberikan sumbangan tentang Implementasi pembinaan moral dalam pembentukan karakter siswa untuk meningkatkan kualitas lulusan yang bermutu
unggul dan berkarakter. Secara praktis, hasil penelitian ini memiliki manfaat
sebagai berikut: (1) sebagai salah satu pertimbangan bagi lembaga
sekolah dan dinas yang terkait dalam mengambil kebijakan secara tepat sehingga
keberadaan lembaga sekolah MAN dapat menjadi lebih baik sekaligus para siswanya
menjadi lulusan yang bermutu unggul, sekaligus memiliki karakter kebangsaan yang kuat, (2) Bagi orang tua dan masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi tentang kondisi MAN
Paiton yang sebenarnya ditinjau dari aspek akademik dan karakter siswanya,
sehingga mereka dapat berpartisipasi secara kolaboratif dengan sekolah untuk
mendukung pembinaan moral dan
sekaligus mendukung
pembentukan karakter siswa
yang kokoh.
Secara umum
penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan deskripsi tentang implementasi
pembinaan moral dalam membentuk karakter siswa yang dilakukan oleh sekolah MAN
Paiton. Secara khusus, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan tentang: (1) implementasi pembinaan moral dalam
membentuk karakter siswa yang dilakukan oleh pihak lembaga sekolah MAN Paiton, (2) Strategi/cara yang dilakukan oleh kepala sekolah,
dan guru dalam proses pembinaan moral dalam membentuk karakter siswa, dan (3) peran guru dalam pembinaan moral untuk membentuk karakter siswa.
II.
Kajian Pustaka
1.
Pengertian
Pendidikan Karakter.
Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan
perhatian pada tiga hal penting bagi pertumbuhan manusia, yaitu perkembangan
kemampuan kodrati manusia sebagaimana dimiliki secara berbeda oleh tiap
individu (naturalis). Dalam mengembangkan kemampuan kodrati ini manusia tidak
dapat mengabaikan relasi negatifnya dengan lingkungan sosial (Rosseau), dan
dalam relasi antara individu dan masyarakat ini, manusia mengarahkan diri pada
nilai-nilai (diantaranya adalah Foerster, Marx, Kohlberg, dan Dithrey). Dengan demikian siswa membutuhkan pendidikan karakter
yang akan membentuk karakter postif. Megawangi (2004) mendefinisikan pendidikan karakter
sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak anak agar mengambil keputusan dengan
bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif pada
lingkunganya. Menurut (Darmiyati, 2006: 5) sistim pendidikan yang sesuai untuk menghasilkan kualitas masyarakat yang
berkarakter positif adalah yang bersifat humanis, yang memposisikan subyek
didik sebagai pribadi anggota masyarakat yang perlu dibantu degan didorong agar
memiliki kebiasan efektif.
Karakter merupakan
nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman,
pengorbanan, dan pengaruh lingkungan yang dipadukan dengan nilai-nilai dari
dalam diri manusia yang menjadi semacam nilai-nilai intrinsik yang terwujud
dalam sistem daya juang yang melandasi pemikiran, sikap dan perilakunya.
Karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi dibentuk dan dibangun secara
sadar dan sengaja, berdasarkan jati diri masing-masing (Soedarsono, 2008). Dony
Koesoema (2007) mendefinisikan karakter sebagai kondisi dinamis struktur
antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi
kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral
mengatasi determinasi alam dalam dirinya untuk proses penyempurnaan dirinya
terus menerus. Kebebasan manusialah yang membuat struktur antropologis itu
tidak tunduk pada hukum alam, melainkan menjadi faktor yang membantu
pengembangan manusia secara integral.
2.
Pengertian
Nilai dan Moral.
Menurut Fraenkel (dalam Kartawisastra, 1980:1, dalam Tutuk
Ningsih, 2004) menyebutkan bahwa nilai adalah standar tingkah laku, keindahan,
keadilan, kebenaran dan efisiensi yang mengikat manusia dan sepatutnya
dijalankan serta dipertahankan. Sedangkan moral yang
dalam bahasa latinnya disebut ‘mores’ yang berarti adat kebiasaan, di
dalam Dictionary of Education, (Carter V. Good ed., 1973: 372),
dijelaskan bahwa moral ialah “a term used to delimit those characters,
traits, itentions, judgments or acts which can appropriately be designated as
right, wrong, good, bad”. Menurut
definisi ini moral merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dari sifat, perangai kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara
layak dapat dikatakan benar, salah, baik, buruk. Menurut Durkheim (1964:
399) mengatakan bahwa: “Morallity, in all its forms, is never met with
except in society. It never varies except in relation to social conditions… The
duties of the individual towards his self are, in reality, duties towards
society.” Moralitas dalam segala bentuknya tidak dapat hidup kecuali
dalam masyarakat. Ia takkan berubah kecuali dalam hubungannya dengan
kondisi-kondisi sosial. Dengan kata lain moralitas tidak bersumber pada
individu, melainkan bersumber pada masyarakat dan merupakan gejala masyarakat.
Moral Masyarakat berkuasa terhadap individu, dalam arti kewajiban, misalnya
yang berbicara adalah suara masyarakat maka masyarakatlah yang menentukan dan
menekankan segala peraturan-peraturan kehidupan itu berlaku. Jadi moralitas
adalah merupakan fenomena dan fakta
sosial terdiri dari sekumpulan aturan sosial dan aktivitas-aktivitasnya.
Bertens (1994: 3), mengungkapkan bahwa moral itu adalah
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya. Makna yang hampir sama dikemukakan oleh Lorens
Bagus (1996:6-72) yang mengemukakan bahwa moral itu antara lain menyangkut
kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah,
tepat/tidak tepat, atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam
hubungan dengan orang lain. Noeng Muhadjir (2006:317-319) dalam bukunya
Filsafat Ilmu, mengelompokkan teori moral dalam empat kelompok teori, yaitu:
Teori Pertama: Penganut teori utilaterian seperti Mill dan Brandt,
menyebutkan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menhasilkan kebaikan
pada lebih banyak orang. Utilaterian berpendapat bahwa tindakan yang
benar adalah tindakan yang memberikan kebahagiaan. Untuk memberikan deskripsi
tentang kebahagiaan utilaterian menunjuk kesenangan dan terhindar dari
rasa sakit. Teori Kedua: Immanuel Kant mengemukakan bahwa manusia
berkewajiban melaksanakan moral imperatip. Pada satu sisi, dengan moral
imperatif, manusia masing-masing bertindak baik, bukan karena ada pemaksaan,
melainkan karena sadar tindakan tidak baik orang lain, mungkin merugikan kita. Teori
Ketiga: teori yang lebih dikenal sebagai teori etika hak asasi manusia.
Menurut John Locke, hak asasi ditafsirkan sangat individualistik, dan menurut
A.I. Melden hak moral kebebasan individu
mempunyai saling keterkaitan antarindividu, sehigga hak atas kebaikan komunitas
dibutuhkan. Teori Keempat: yaitu teori keutamaan dan jalan tengah
yang baik. Aristoteles mengetengahkan tentang tendensi memilih jalan tengah
yang baik antara terlalu banyak (ekses) dengan terlalu sedikit (defisiensi).
Dilihat dari rekayasawan, teori moral ini sangat realistic, artinya bahwa akan
terus terjadi konflik kepentingan antara konsumen dengan produsen, antara
strata tertentu dengan strata lain, antara hak dan kewajiban professional
dengan hak dan kewajiban publik, mungkin juga antar kelompok, sehingga perlu
dicari jalan tengah yang terbaik.
Ada beberapa teori perkembangan moral yang dikenal, yaitu
antara lain dikemukan oleh Sigmund Freud (teori psikoanalisa), Erik H. Erikson
(teori psikososial), Jean Peaget (teori kognitif), dan Lawrence Kohlberg (teori
kognitif) (dalam Cheppy, 1995: 249-281).
Freud dengan teori
psikoanalisanya, bertolak dari suatu anggapan dasar bahwa ada tiga sistem
enerji yang tumbuh dan berkembang dalam diri setiap manusia. Ketiga sistem
enerji tersebut yaitu Id, Ego, dan Superego. Interaksi ketiga sistem
enerji itulah yang paling bertanggungjawab terhadap perkembangan karakter dan
moralitas manusia. Lebih dari itu Freud juga menandaskan bahwa karakter dan
moralitas seseorang akan nampak lebih jelas lagi pada saat ia mulai bergaul dan
berhubungan dengan orang lain. Erik H. Erikson, dengan teori psikososialnya,
menarik satu kesimpulan bahwa teori psikoanalisa tradisional tidak begitu mampu
menjelaskan persoalan-persoalan emosional yang
dihadapi penduduk asli komunitas Indian Sioux dan Yurok di Amirika
Utara. Disatu segi mereka mengalami kesulitan untuk dapat meniru cara hidup
nenek-moyangnya, sementara di sisi lain mereka juga mengalami kesulitan yang
sama untuk dapat mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai yang dianut orang
kulit putih. Dilema ini menurut Erikson, pada dasrnya lebih berkaitan dengan
maslah Ego dan Nilai-nilai budaya. Jadi tidak sekedar
berkaitan dengan dorongan-dorongan seksualnya.
3.
Membangun Karakter di Sekolah Secara Efektif
Menurut
Thornas Lickona (1992) karakter terdiri dari 3 bagian yang saling terkait,
yaitu: pengetahuan tentang moral (moral
knowing), perasaan (moral feeling),
dan perilaku bermoral (moral behavior).
Karakter yang baik terdiri dari mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai atau menginginkan kebaikan (loving or desiring the good), dan
melakukan kebaikan (acting the good).
Oleh karena itu, cara membentuk karakter yang efektif adalah dengan melibatkan
ketiga aspek tersebut. Selain itu, karakter adalah otot-otot yang sudah
terbentuk, yang berkembang melalui proses panjang latihan dan kedisiplinan yang
dilakukan setiap hari. Ibaratnya seperti seorang binaragawan yang ototnya
terbentuk melalui proses latihan dan kedisiplinan tinggi sehingga “otot-otot"nya
kokoh terbentuk. Pendidikan karakter di sekolah yang berhasil sangat tergantung
dari komitmen kepala sekolah yang mempunyai visi ingin membangun karakter siswa
di sekolahnya. Misalnya, sebuah sekolah dapat mencantumkan visi "Membina
dan mengembangkan siswa berkarakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur
kepribadian bangsa". Visi tersebut harus disadari oleh seluruh guru dan
orangtua, yang semuanya ini sangat tergantung pada kemampuan kepala sekolah
untuk mensosialisasikan vuinya. Selain itu, visi tersebut dituangkan dalam misi
yang jelas, dan strategi apa yang dapat digunakan untuk mencapai visi tersebut.
Dalam ajaran Islam untuk
membangun moral dan karakter didasarkan pada Al-Quran dan Hadis. Manusia yang
memiliki moral dan karakter tinggi adalah manusia yang memiliki keimanan dan
ketaqwaan yang baik, dimana perilaku dalam kehidupan sehari-hari dapat
digunakan sebagai suritauladan bagi yang lain. Dalam ajaran Al-Qur’an figur
Rasul Allah dipandang sebagai ‘manusia teladan’, dengan sendirinya para
Rasulullah tersebut diakui sebagai mausia yang memiliki kualitas prima, baik di
lihat dari kualitas moralnya maupun kualitas karyanya. Sebagai Rasul paling
sedikit mempunyai empat syarat, yaitu: siddiq,
amanah, tabliqh, dan fathonah. Siddiq
berarti, konsisten pada kebenaran, baik dalam ucapan, sikap maupun perilaku. Amanah berarti, kejujuran, integritas
moral, komitmen pada tugas dan kewajiban. Tabliqh
berarti, mempunyai kemampuan mobilitas fisik, dan kepedulian sosial yang
tinggi. Fathonah berarti, kecerdasan
penalaran, kesanggupan menangkap berbagai realitas dan fenomena yang dihadapi
(Hasan, 2003: 35).
Moral yang baik pada
hakekatnya merupakan suatu perbuatan yang bersifat beradab, budi pekerti luhur,
taat pada hukum, dan cenderung salalu mengikuti norma-norma agama. Dan
sebaliknya bahwa moral yang tidak baik (ketidakpatuhan) berarti perbuatan yang
melawan hukum dan melanggar aturan-aturan norma agama. Peraturan tatatertib
sekolah dalam tata nilai moral adalah merupakan hukum moral yang harus ditaati oleh
siswa. Siswa yang mentaati peraturan tatatertib sekolah tersebut berarti
menunjukkan kepatuhannya terhadap nilai-nilai moral yang berlaku di lembaga
sekolah, atau dalam teori moral sering disebut dengan ‘kepatuhan pada hukum
moral’ (Konsepsi Moralitas I). Hill (1991:34-39) mengidentifikasi empat
konsepsi yang berbeda satu sama lain mengenai moralitas. Keempat konsepsi
tersebut ialah: kepatuhan pada hukum
moral (obedience to the moral law), konformitas pada aturan-aturan
sosial (conformity to social rules), otonomi rasional dalam hubungan
antarpribadi (rational autonomy in interpersonal dealings), dan otonomi
eksistensial dalam pilihan seseorang (existensial autonomy in one’s choices). Khusus dalam kaitannya dengan konsepsi
moralitas ‘kepatuhan pada hukum moral’ lebih lanjut di sebutkan mengandung tiga hal pokok
penting. Pertama, bidang moralitas berkisar pada tindakan manusia secara
suka rela, yaitu tindakan yang merupakan hasil dari keputusan secara sadar. Kedua,
tindakan tersebut selaras dengan keyakinan seseorang tentang kewajiban yang
harus diemban. Ketiga, kewajiban seseorang, atau apa yang benar dan baik
adalah yang tidak melanggar hokum, dalam arti secara universial diatur oleh
alam-alam kehidupan manusia dalam masyarakat (Hill dalam Darmiyati Zuhdi,
makalah tahun 1999:1-6). Menurut pandangan Islam (dalam Nurdin dkk, 2001:212),
kriteria moral yang benar adalah memiliki dua prinsip, yaitu; (1) yang
memandang martabat manusia, dan (2) mendekatkan manusia dengan Allah.
4.
Penanaman
Nilai-Nilai Karakter pada Siswa.
Pendidikan
karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari
sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada linkungannya. Nilai-nilai
karakter yang perlu ditanamkan kepada anak-anak adalah ninai-nilai universal
yang mana seluruh agama, tradisi, dan budaya pasti menjunjung tinggi
nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai universal ini harus dapat menjadi perekat
bagi seturuh anggota masyarakat walaupun berbeda latar betakang budaya, suku, dan agama.
III.
Metode Penelitian
Pendekatan yang dipandang cocok untuk
penelitian jenis ini adalah kualitatif. Adapun beberapa alasan peneliti
menggunakan pendekatan ini adalah sebagai berikut: (1) penelitian tentang implementasi
pembinaan moral dalam membentuk karakter siswa ini berhubungan langsung dengan
masalah perilaku manusia atau sosial masyarakat dan dalam setting alamiah, (2)
masalah penelitian yang di kaji sangat deskriptif, (3) peneliti sebagai ‘human
instrumen’, (4) penelitian tentang implementasi pembinaan moral dalam membentuk
karakter siswa berarti mementingkan proses maupun produk, serta mencari makna
secara deskriptif, (5) data yang diutamakan tentang pembinaan moral dalam membentuk
karakter siswa adalah data primer atau ‘first hand’, (6) dalam menentukan
responden sebagai informan digunakan dengan cara memilih responden berdasarkan
peran dan memiliki perhatian pada siswa, (7) dalam proses menemukan kesimpulan
penelitian digunakan check-and-recheck dari berbagai sudut pandang yang
diperoleh dari bebrapa informan (digunakan teknik trianggulasi), dan (8) analisis
data diadakan sejak awal penelitian.
Dalam penetapan subjek
penelitian atau responden sebagai informan, dipilih sebagai subyek pertama
adalah informan kunci, yaitu informan yang berdasarkan pertimbangan tertentu
memenuhi syarat sebagai informam yang sangat mengetahui tentang aspek-aspek
permasalahan yang akan diteliti. Dalam hal ini yang dianggap memenuhi syarat di
lembaga sekolah MAN adalah kepala sekolah, selanjutnya guru, staf administrasi,
dan siswa. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka dalam
penentuan subyek penelitian diambil secara ‘purposive sampling’. Sesuai
dengan pendapat Nasution (1988:32) disebutkan bahwa dalam penelitian
naturalistik yang dijadikan sampel hanyalah sumber yang dapat memberikan
informasi. Sampel dipilih secara ‘purposive’ bertalian dengan purpose
atau tujuan penelitian. Sampel dapat berupa hal, peristiwa, manusia, situasi
yang diobservasi.
Sumber data dalam penelitian
ini adalah informan sebagaimana yang telah disebutkan dalam subyek penelitian
di atas. Sumber datanya berupa perkataan atau perbuatan dari informan yang
mengarah pada fokus penelitian. Di samping itu peneliti juga menggunakan sumber data tertulis seperti buku
yang memuat informasi-informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian,
termasuk arsip-arsip, foto-foto, dan sebagainya. Teknik
pengumpulan data untuk penelitian kualitatif yang biasa digunakan adalah
pengamatan partisipan (partisipant observation), wawancara mendalam (in-depth
interviewing) dan dokumentasi.
Untuk penelitian kualitatif,
teknik analisa data yang digunakan yang terpenting adalah menjelaskan setting
penelitian, rencana untuk memasuki fase-fase observasi, teknik trianggulasi
data, dan kemungkinan tema-tema yang akan mendasari pengelompokan dan analisa
data. Dalam penelitian ini analisis datanya dilakukan bersamaan dengan
pengumpulan data, dan dilanjutkan setelah kembali dari lapangan. Bentuk
analisis data pasca pendataan lapangan dilakukan dengan alur kegiatan: (a)
reduksi data (b) koseptulisasi data, (c) penyajian data, dan (d) penarikan
kesimpulsn dan verifikasi. Konseptualisasi data merupakan langkah awal
dalam analisis grounded teory untuk
menemukan konsep-konsep utama program implementasi pembinaan moral dalam
membentuk karakter siswa. Prosedur yang dipakai dalam penemuan konsep dilakukan
dengan proses pengkodean. Jenis pengkodean terdapat dua prosedur analisis yang
merupakan dasar bagi proses pengkodean, pertama : berhubungan dengan pembuatan
perbandingan, kedua : berhubungan dengan kemajuan pertanyaan. Mengajukan
pertanyaan tentang data, membandingkan persamaan dan perbedaan antara
masing-masing insiden, peristiwa dan contoh fenomena lainya yang berhubungan
dengan pengembangan proses-proses program pendidikan karakter. Peristiwa dan
insiden yang sama diberi label dan dikelompokkan untuk menemukan kategori-kategori.
Kedua prosedur ini membantu memberikan
ketepatan dan kekhasan konsep.
Untuk memperoleh keabsahan data dalam penelitian ini digunakan
proses validasi data melalui teknik trianggulasi. Teknik trianggulasi
dimaksudkan untuk memperoleh derajat kepercayaan yang tinggi. Trianggulasi
merupakan proses menemukan kesimpulan dengan mengadakan check and recheck
dari berbagai sudut pandang atau strategi. Dalam melakukan validasi ini,
peneliti akan membuktikan apakah hasil pengamatan yang kami peroleh tentang pola
pembinaan moral dalam membentuk karakter siswa di MAN sesuai dengan apa yang
sesungguhnya ada dalam kenyataan kehidupan perilaku karakter siswa sehari-hari
di sekolah. Dan apakah penjelasan yang telah diberikan informan tersebut memang
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya ada atau terjadi. Untuk pembuktian ini
peneliti akan menggunakan cek silang data, baik antara informan yang ada dalam
lingkungan sekolah MAN maupun dengan pihak masyarakat yang berdomisili di
sekitar sekolah, serta pihak Departemen Agama setempat. Untuk menguji keabsahan
data ini, peneliti akan menggunakan validitas internal dan validitas eksternal.
Menurut Nasution (1988:105-107) validitas internal merupakan ukuran tentang kebenaran data yang
diperoleh dengan instrumen, yakni apakah instrumen itu sungguh-sungguh mengukur
variabel yang sebenarnya. Validitas eksternal berkenaan dengan generalisasi,
yakni hingga manakah generalisasi yang dirumuskan juga berlaku bagi kasus-kasus
lain di luar penelitian.
IV.
Hasil dan Pembahasan
1.
Sangsi Umum Terhadap Pelanggaran Tata Tertib
Sekolah.
Siswa yang melanggar tata tertib MAN akan
dikenakan sangsi. Sangsi tersebut diperhitungkan dalam bentuk point sesuai
dengan jenis pelanggaran yang diperbuatnya. Apabila seorang siswa telah
mencapai 100 point, maka siswa tersebut akan dikembalikan kepada orang tua
(dikeluarkan). Bobot 100 point tersebut berlaku selama siswa belajar di
sekolah. Bobot point pelanggaran ini menjadi salah satu kriteria atau prasyarat
untuk menentukan naik tidaknya, atau lulus tidaknya siswa.
2.
Pembahasan Hasil Penelitian .
2.1.Pola Pembinaan Moral Siswa yang dilakukan oleh Pihak
Lembaga Sekolah MAN Paiton.
Dari
data deskripsi hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pola pembinaan moral
dalam membentuk karakter siswa yang dilakukan oleh pihak MAN Paiton dilakukan
secara terpadu yaitu keterpaduan sistem pembalajaran di dalam kelas
(intrakurikuler) dan kegiatan di luar kelas (ekstrakurikuler). Dalam kurikulum
berbasis kompetensi, prinsip pembelajaran terpadu (integrated learning)
dimaksudkan sebagai pengelolaan pembelajaran/KBM dilakukan secara terpadu, di
mana semua tujuan pembelajaran yang berupa kemampuan dasar yang ingin dicapai
bermuara pada satu tujuan akhir, yaitu mencapai kemampuan standard lulusan.
Boleh jadi terjadi integrasi meteri pembelajaran dalam KBM tertentu. Implikasi
dari pola pembinaan moral secara terpadu ini adalah mengharuskan guru untuk
merencanakan penanaman nilai-nilai moral dan karakter dalam satuan pelajaran
yang dibuatnya atau dengan kata lain guru harus mampu memasukkan nilai-nilai
moral di dalam setiap penyampaian materi pelajaran baik secara implisit maupun
eksplisit ke dalam sub pokok bahasan. Demikian halnya dengan pembinaan moral
dan kareakter siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler di mana guru dituntut
untuk mampu membuat suatu perencanaan pembelajaran yang dapat mengintegrasikan
antara materi pelajaran di dalam kelas dengan materi pelajaran pada kegiatan
praktis melalui kegiatan ekstrakurikuler di luar kelas. Namun di dalam
prakteknya yang dilaksanakan di MAN Paiton ternyata tidak semua guru memiliki
kemampuan untuk merencanakan membuat satuan pelajaran yang terkait langsung
dengan materi nilai-nilai moral dalam sub pokok bahasan tersendiri, kecuali
guru yang mengajar mata pelajaran
Akidah-akhlak, Fiqih, Qur’an-Hadist dan PPKn di mana materinya secara
langsung terdapat pokok bahasan tentang nilai-nilai moral.
Secara umum kegiatan pembinaan moral
siswa di MAN Paiton dengan pola pembinaan
yang telah dilakukannya telah membawa hasil atau manfaat yang baik yaitu antara lain perbaikan
atau peningkatan dari sikap dan perilaku para siswa seperti perubahan perilaku siswa menjadi lebih baik
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, baik bagi siswa yang belum pernah
melakukan pelanggaran tata tertib sekolah maupun bagi siswa yang pernah
melakukan pelanggaran tata tertib sekolah. Dengan demikian dapat diambil suatu
kesimpulan bahwa keberadaan MAN Paiton sebagai lembaga pendidikan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa yang bermoral telah menunjukkan prestasi yang
cukup baik khususnya dalam keberhasilan proses pembelajaran pembinaan moral
siswa.
2.2.Pembahasan tentang Strategi yang dilakukan oleh Kepala
Sekolah dan Guru dalam Pembinaan Moral Siswa.
Strategi
pembinaan moral siswa yang dilakukan oleh kepala madrasah maupun guru MAN
Paiton ada beberapa macam, yaitu antara lain: (a) strategi pemberian sangsi
pelanggaran berupa denda uang dan dikelola secara efektif, (b) strategi
penjadwalan shalat dhuhur berjama’ah, (c) strategi pengelompokan kelas berdasarkan
jenis kelamin, (d) strategi penghitungan point pelanggaran, dan (e) strategi
pengintegrasian nilai-nilai moral dalam kegiatan proses pembelajaran.
Strategi-strategi yang dilakukan tersebut pada hakekatnya merupakan bentuk
pendekatan yang dilakukan dengan cara indoktrinasi atau intervensi pihak
madrasah melalui penerapan peraturan hukum atau peraturan tata tertib sekolah
agar siswa mentaatinya. Implikasi dari penerapan peraturan hukum ini adalah
bagi siswa yang tidak mematuhi peraturan hukum/tata tertib yang diberlakukan
maka akan dikenakan sangsi pelenggaran berdasarkan tolok ukur standar yang ada setelah melalui proses persidangan
oleh pengelola BP. Dalam hal tolok ukur standar ini pihak MAN telah merumuskan peraturan
yang secara operasional mudah dipahami dan diterapkan, termasuk di dalamnya
tentang ketentuan parameter pelanggaran dan besarnya denda uang dalam penerapan
sangsi pelanggaran. Sangsi pelanggaran dapat berupa denda uang sampai pada
sangsi dikeluarkannya siswa dari madrasah yaitu apabila telah mencapai bobot
pelanggaran 100 point.
Pendekatan secara indoktrinasi atau intervensi ini akan cukup
efektip apabila semua warga madrasah dapat mentaatinya dengan penuh
tanggungjawab sesuai dengan tugas dan fungsinya[A1] . Di
sisi lain pendekatan ini juga membawa resiko dan kontra produktif mana kala
terdapat komponen warga madrasah yang tidak komitmen terhadap peraturan hukum
yang berlaku, apalagi menurut sifatnya bentuk sangsi yang diberikan kurang
dipenuhinya prinsip keadilan dan
nilai-nilai yang ada dalam hati nurani mereka. Dalam praktiknya,
strategi yang diterapkan oleh pihak MAN Paiton tersebut menunjukkan cukup
efektip dan berhasil terutama jika dilihat dari segi kelancaran PBM dan hasil
belajar siswa, serta perubahan perilaku/moral siswa menjadi lebih baik dalam
hal kepatuhannya terhadap pelaksanaan tata tertib sekolah. Di pihak lain siswa
masih merasakan adanya diskriminasi perlakuan khususnya dalam kaitannya dengan
pemberian sangsi hukum terhadap guru, yaitu adanya guru yang kurang disiplin
dalam mengajar di mana tidak jelas dalam pemberian sangsinya, sehingga siswa
merasa seolah-olah peraturan hukum
tersebut hanya diterapkan pada murid saja.
2.3.Pembahasan
tentang Peran Kepala Madrasah dalam Pembinaan Moral Siswa MAN Paiton.
Dalam
struktur organisasi lembaga MAN, kepala madrasah adalah merupakan pemimpin dan
orang yang paling bertanggungjawab atas pengelolaan MAN untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Sebagai seorang pemimpin suatu oragnisasi harus memiliki
kemampuan profesional dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya. Dalam ilmu
manajemen atau kepemimpinan paling tidak memiliki 4 (empat) fungsi pokok, yaitu
planning atau perencanaan, organizing atau pengorganisasian, actuating
atau pengerahan, dan controlling atau pengawasan (G.R.Terry, 1970: 27).
Dalam kaitannya dengan fungsi perencanaan, berarti kepala madrasah dituntut
harus memiliki kemampuan dalam merumuskan tujuan dan kebijakan strategis yang
berisi tentang apa yang perlu dilakukan, dimana, dan bagaimanakah langkah-langkah
alternatip yang harus dilakukan, serta cara-cara pengambilan keputusan yang
tepat sehingga tujuan yang ditetapkan dapat tercapai secara efisien dan
efektif. Fungsi pengorganisasian berarti kepala madrasah harus mempunyai
kemampuan untuk mengorganisir bawahan dengan memperhatikan struktur organisasi
madrasah, sehingga harus ada kejelasan dan transparansi tentang siapa yang
harus melaksanakan apa, dengan otoritas bagaimanakah, dan dalam keadaan
bagaimanakah, sehingga tujuan yang direncanakan dapat tercapai. Fungsi
pengerahan, berarti kepala madrasah harus memiliki kemampuan dalam mengusahakan
agar pekerja (guru dan karyawan) merasa senang untuk mengerjakan pekerjaan atau
melaksanakan tugasnya sebagai guru dan karyawan dengan sikap antusias dan penuh
rasa tanggungjawab. Fungsi pengawasan, berarti kepala madrasah harus memiliki
kemampuan untuk mengikuti pekerjaan, untuk mengetahui apakah pekerjaan yang
direncanakan dilaksanakan dengan baik, dan bila tidak harus segera mengambil
tindakan-tindakan yang perlu agar tujuan proses pembelajaran dapat tercapai
seseuai yang direncanakan. Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa nampaknya sebagaian besar fungsi kepemimpinan sebagai kepala madrasah
telah dapat dilaksanakan dengan baik meskipun belum optimal. Untuk pelaksanaan
fungsi perencanaan dan pengorganisasian sudah menunjukkan baik dan optimal.
Pelaksanaan fungsi yang masih belum optimal ini adalah dalam hal pelaksanaan
fungsi pengerahan dan fungsi pengawasan. Hal ini dapat dilihat bahwa kepala
madrasah MAN masih belum mampu memberikan penugasan secara adil dan merata
kepada semua dewan guru khususnya dalam membantu pelaksanaan kegiatan
ekstrakurikuler dan pembinaan mental spiritual (lihat jadwal penugasan guru).
Di samping hal tersebut juga di dalam pelaksanaan fungsi pengawasan, masih
belum dilaksanakan secara optimal
khususnya dalam hal pengawasan kegiatan proses pembelajaran di kelas sore,
serta belum mampu untuk mengambil tindakan secara tepat dan adil khususnya
dalam hal pemberian sangsi atas ketidak disiplinan guru dalam mengajar sehingga
mengganggu kelancaran proses pembelajaran, meskipun hanya terjadi pada satu
atau dua orang guru saja (informasi dari
siswa dan hasil pengamatan).
2.4.Faktor-faktor yang mempengaruhi Pembinaan Moral Siswa MAN
Paiton.
Faktor-faktor yang ikut berpengaruh
dalam pelaksanaan pembinaan moral siswa adalah guru, lingkungan sekolah dan
perilaku siswa. Faktor guru meliputi pengetahuan, pengalaman, kepribadian,
motivasi dan penampilan mengajar. Faktor lingkungan sekolah meliputi peranan
kepala madrasah, guru pembina, tenaga administrasi/pegawai, sarana prasarana
penunjang, peraturan tata tertib sekolah, dan dukungan dana. Sedangkan faktor
perilaku siswa meliputi sikap, pola pikir, dan cita-cita. Berdasarkan hasil
wawancara peneliti dengan 4 orang guru mengatakan sebagai berikut:
‘’…faktor-faktor yang mendukung pembinaan moral siswa MAN di sini adalah: (a)
adanya tata tertib sekolah yang ditindaklanjuti dengan sanksi pelanggaran
secara tegas, (b) adanya sholat berjamaah yang ditetapkan berdasarkan jadwal
terprogram, (c) adanya pelaksanaan pengajian rutin dan ceramah agama yang
diikuti siswa, (d) adanya pengurus BP/BK, dan (e) pengawasan/pengamatan
terhadap siswa dan laporan guru terutama wali kelas secara rutin, serta (f) adanya
masjid MAN yang memadai. Sedangkan faktor yang menghambat terhadap pembinaan
moral siswa, seperti: (a) perilaku siswa yang nakal, (b) kurang kontrolnya
pihak orang tua/wali murid, dan (c) kurangnya dukungan dana dari pusat untuk
pembinaan mental spiritual terhadap siswa.
Berdasarkan hasil pantauan dengan pengalamannya dalam pembinaan
moral untuk membentuk karakter siswa di MAN ini ke-empat guru tersebut
mengatakan bahwa: jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya maka
pembinaan moral siswa di MAN ini sudah menunjukkan lebih baik, dimana perubahan
tersebut dapat terlihat dari perubahan tingkah laku dan kegiatan bakti sosial,
seperti: (a) tingkah laku siswa-siswi sudah semakin sopan, (b) tingkat ibadah
siswa lebih baik atau sudah ada peningkatan, (c) jumlah siswa yang melakukan
pelanggaran tata tertib baik yang bersifat ringan maupun yang berat sudah
menurun, (d) kegiatan amal bakti sosial siswa semakin baik dan jumlah siswa
yang ikut aktip dalam kegiatan semakin meningkat, dan (e) jumlah siswa yang semakin
rajin mengikuti atau menghadiri ceramah agama dan peringatan hari-hari besar
Islam di lingkungan madrasah semakin baik dan meningkat.
3.
Konseptualisasi.
Secara
implisit maupun eksplisit hasil temuan
penelitian ini adalah dalam bentuk sajian konsep sebagai berikut:
3.1 Pendidikan
Berbasis Karakter (character base Education).
Lembaga
sekolah MAN pada hakekatnya adalah merupakan lembaga pendidikan yang bercirikan
Islam di mana dalam proses pembelajarannya memiliki dua ciri pokok, yaitu ciri
umum dan ciri khusus. Ciri umum berupa peningkatan kualitas IPTEKS seperti
kualitas fikir (kecerdasan, kemampuan analitis, kreativitas) dan kualitas kerja
(etos kerja, ketrampilan, profesionalisme), sedangkan ciri khusus berupa IMTAQ
seperti peningkatan kualitas moral (ketaqwaan, kejujuran, ketabahan, keadilan,
dan tanggungjawab). Atas dasar hal tersebuit maka MAN Paiton telah mencanangkan
dalam bentuk visi dan misinya yaitu mencetak siswa menjadi insan yang berilmu,
beriman, trampil, dan bertaqwa. Tujuan utama
pendidikan karakter ialah menghasilkan individu yang otonom, yang
mencapai tingkat penalaran moral yang tinggi, memiliki komitmen untuk bertindak
konsisten dengan nilai-nilai moral yang diyakini atau memiliki tendensi moral
dan berperilaku moral yang terpuji, yang secara singkat dapat disebut berakhlak
mulia. Pendidikan karakter dan moral di Indonesia perlu diinovasi dengan
menerapkan pendekatan komprehensip. Pendekatan secara komprehensip dalam
pelaksanaan proses pembelajaran di lembaga sekolah MAN tampaknya dilaksanakan
dengan formulasi kurikulum yang mengacu pada pendekatan pendidikan berbasis karakter
dan moral. Implikasinya adalah kurikulum KBK yang sementara ini diberlakukan
perlu ada penyesuaian dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Moral (KBKM)
yaitu suatu kurikulum yang berbasis pengembangan kompetensi dasar bidang iptek
dan kompetensi dasar bidang imtaq (karakter dan moral). Kompetenasi dasar
bidang iptek dapat mengacu pada standar kompetensi yang dikembangkan oleh
Depdiknas, sedangkan komptensi dasar bidang karakter dan moral dapat mengacu
pada nilai-nilai moral agama Islam. Moral yang baik pada hakekatnya merupakan
suatu perbuatan yang bersifat beradab, budi pekerti luhur, taat pada hukum, dan
cenderung selalu mengikuti norma-norma agama. Dalam ajaran Al-Qur’an, kriteria
moral yang memiliki kualitas prima dicontohkan oleh perilaku figur Rasul Allah
yang dipandang sebagai ‘manusia teladan’. Sebagai Rusulullah berarti telah
diakuinya sebagai manusia yang memiliki
kualitas prima, baik kualitas karakter moralnya maupun kualitas karyanya.
Paling sedikit mempunyai empat syarat sebagai Rasul, yaitu siddiq, amanah,
tabliqh, dan fatonah.
Pendidikan yang berbasis karakter
dan moral tersebut nampaknya juga sangat relevan jika digunakan dengan
pendekatan yang dikembangkan oleh Kartawisastra (19980) tentang strategi
klarifikasi nilai, yaitu melalui pendekatan pendidikan moral. Jika pendekatan
tersebut akan digunakan MAN Paiton maka ada empat macam pendekatan dalam
pelaksanaan pendidikan berbasis moral yang perlu diperhatikan oleh MAN, yaitu
sebagai berikut:
Pertama, pendidikan MAN diorientasikan pada pendekatan
tradisional yaitu pendekatan penanaman dan pembentukan nilai moral dengan jalan
memberikan nasehat dan indoktrinasi. Tekanan dari pendekatan ini lebih
bersifat kognitif, sedangkan segi
afektifnya kurang dikembangkan. Dalam
hal ini pendidik telah meyakini adanya nilai-nilai baik/luhur yang dianutnya
dan karena itu menghendaki agar anak didiknya juga memiliki nilai-nilai
tersebut. Langkah yang ditempuh pendidik
dalam pendekatan ini adalah memberitahukan secara langsung nilai-nilai mana
yang baik dan yang kurang baik. Kelemahan pendekatan ini ialah anak sekedar
tahu atau hafal jenis-jenis moral tertentu yang baik dan yang kurang baik,
tetapi belum tentu melaksanakannya.
Kedua, pendekatan bebas, yaitu proses pembentukan nilai moral dengan jalan
memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak untuk memilih dan menentukan
sendiri nilai-nilai yang akan diambilnya. Hal ini ditempuh karena adanya suatu
anggapan bahwa belum tentu nilai yang dianggap baik bagi seseorang, baik pula
bagi orang lain. Dengan demikian anak didik dibiarkan memilih nilai yang sesuai
untuk dianut dan diyakini oleh dirinya sendiri, tanpa adanya intervensi atau
campur tangan pendidik. Kelemahan pendekatan ini adalah anak menjadi bingung,
sehingga sukar menentukan mana nilai yang baik dan yang tidak baik.
Ketiga, pendekatan memberi contoh; ialah pendekatan dimana pendidik yang telah
meyakini benar nilai-nilai yang dianutnya, akan bertingkah laku sesuai dengan
nilai-nilai tersebut. Ada dua teknik dalam pendekatan ini yaitu, (1) memberi
contoh dalam tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya, dan
(2) mengajarkan nilai-nilai, sehingga anak dapat membedakan nilai-nilai yang
baik dan nilai yang tidak baik, atau nilai-nilai yang harus dianut maupun yang
dilarang.
Ke-empat, pendekatan
klarifikasi nilai, ialah suatu
pendekatan yang merupakan salah satu usaha untuk membantu anak dalam menentukan
nilai-nilai yang akan dipilihnya, juga merupakan pelengkap dari pendekatan
memberi contoh. Dengan pendekatan
ini pendidik diharapkan dapat membantu siswa menyadari, selanjutnya dapat
digunakan untuk menentukan nilai yang akan dipilihnya. Pendekatan ini bukan
meneliti nilai-nilai mana yang dianggap baik, melainkan dititik beratkan pada
proses pengambilan nilai.
3.2. Intervensi Pembinaan Moral dalam Membentuk Karakter
Siswa.
Dari beberapa pendekatan dalam
pelaksanaan pembinaan moral dalam membentuk karakter siswa di MAN Paiton
nampaknya yang paling cukup efektif adalah pendekatan secara tradisional dan
pemberian contoh. Penanman dan
pembentukan nilai-nilai moral untuk membentuk karakter siswa lebih banyak
dilakukan dengan cara memberikan nasehat, memberikan contoh ketauladanan dan
indoktrinasi agar peserta didik dapat mengikuti mana perilaku yang baik dan
memperbaiki perilaku yang tidak baik. Konsekuensi dari intervensi lembaga
madrasah dalam pembinaan ini adalah pihak madrasah harus lebih banyak
berinisiatip dalam upaya untuk menanamkan nilai-nilai moral dan karakter terhadap peserta didiknya, baik dalam
kaitannya berinteraksi di dalam kelas (intrakurikuler), di luar kelas
(ekstrakurikuler), maupun dalam aktivitas sehari-hari di lingkungan madrasah.
Guru harus mampu untuk memberikan pesan-pesan dan nasehat-nasehat tentang
nilai-nilai moral pada setiap memberikan materi pelajaran. Intervensi pembinaan
moral untuk membentuk karakter siswa di luar kelas berarti pihak sekolah
mengatur semua jadwal kegiatan sekolah yang dilaksanakan di luar kelas secara
terprogram yang berorientasi pada pembentukan moralitas siswa sesuai ajaran Islam.
Intervensi pihak lembaga madrasah dapat pula dilakukan dengan jalan menerapkan
peraturan tata tertib sekolah secara konsekuen. Dalam hal ini pihak madrasah
telah melaksanakan dengan pemberian sangsi atas pelanggaran tata tertib sekolah
secara terukur. Kelebihan dalam
pendekatan intervensi pihak madrasah dalam pembinaan moral dan karakter siswa
ini antara lain adalah: (1) kegiatan proses belajar mengajar dapat berjalan
lancar dan tertib, (2) kegiatan ekstrakurikuler dalam pembinaan mental
spiritual dan ketrampilan lainnya dapat dilaksanakan sesuai jadwal, (3) semua
warga madrasah dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan
fungsinya, (4) siswa cenderung mentaati peraturan tata tertib dan berperilaku
bermoral, serta takut melakukan tindak kriminal, dan (5) pihak madrasah dapat
lebih mudah untuk mengambil tindakan dan kebijakan apabila diantara warga
madrasah melanggar peraturan yang telah ditetapkan.
Di lain pihak dengan intervensi
pihak madrasah dalam pembinaan moral untuk membentuk karakter siswa ini membawa
konsekuensi, yaitu antara lain: (1) pihak madrasah harus melengkapi
sarana-prasarana pendukung agar pembinaan moral berjalan efektip, (2) guru
harus mampu dan trampil dalam mengintegrasikan nilai-nilai moral dalam proses
pembelajaran di kelas maupun yang dilaksanakan di luar kelas, (3) siswa
cenderung hanya tahu dan hafal tentang jenis-jenis moral tertentu tetapi belum
tentu melaksanakan dalam kegiatan sehari-hari secara penuh kesadaran, dan (4)
jika terdapat perlakuan yang tidak adil atau pilih kasih dalam penerapan sangsi
pelanggaran akan cenderung memberikan dampak yang kurang baik bagi pihak
madrasah.
Meskipun
disadari bahwa pendekatan intervensi dalam pembinaan moral dan karakter siswa
ini cenderung bersifat indoktrinasi dan terlalu terfokus pada pengembangan
kognitif tingkat rendah, namun dalam prakteknya yang diterapkan di MAN yang
umumnya usia siwa berumur 16-18 tahun, para siswanya telah memiliki komitmen
yang tinggi untuk bertindak selaras dengan keputusan yang diterapkan oleh pihak
sekolah sebagai keputusan yang berorientasi pada perubahan perilaku yang
bermoral atau dengan kata lain telah dapat mengembangkan subyek didik secara
holistik, yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual.
V.
Simpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari
hasil penelitian telah diperoleh beberapa kesimpulan tentang deskripsi tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
Pola pembinaan moral
siswa yang dilakukan oleh pihak sekolah MAN Paiton adalah
pola pembinaan secara terpadu, yaitu keterpaduan sistem pembelajaran baik
melalui kegiatan di dalam kelas (intrakurikuler) maupun kegiatan pembelajaran
di luar kelas (ekstrakurikuler). Namun di dalam prakteknya yang dilaksanakan di
MAN Paiton ternyata tidak semua guru memiliki kemampuan untuk merencanakan
membuat satuan pelajaran yang terkait langsung dengan materi nilai-nilai moral
dalam sub pokok bahasan tersendiri. Meskipun demikian secara implisit semua
guru dalam mengajar di kelas selalu
menyampaikan pesan-pesan moral sebelum mengakhiri pelajaran.
2.
Strategi yang dilakukan
oleh Kepala Sekolah dan Guru dalam Pembinaan Moral Siswa. Strategi
pembinaan moral siswa yang dilakukan oleh kepala madrasah maupun guru MAN
Paiton ada beberapa macam, yaitu antara lain: (a) strategi pemberian sangsi
pelanggaran berupa denda uang, (b) strategi penjadwalan shalat dhuhur
berjama’ah, (c) strategi pengelompokan kelas berdasarkan jenis kelamin, (d)
strategi penghitungan point pelanggaran, dan (e) strategi pengintegrasian nilai-nilai
moral dalam kegiatan proses pembelajaran. Strategi-strategi yang dilakukan
tersebut pada hakekatnya merupakan bentuk pendekatan yang dilakukan dengan cara
indoktrinasi
[A2] atau
intervensi pihak madrasah melalui penerapan peraturan hukum atau peraturan tata
tertib sekolah agar siswa mentaatinya. Konsekuensinya pendekatan ini harus
dilaksanakan secara berkeadilan.
3.
Peran Kepala Madrasah
dalam Pembinaan Moral Siswa. Dalam struktur
organisasi lembaga MAN, kepala madrasah adalah merupakan pemimpin dan orang
yang paling bertanggungjawab atas pengelolaan MAN untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Sebagai seorang pemimpin, kepala madrasah MAN suatu oragnisasi harus memiliki kemampuan
profesional dalam melaksanakan tugas dan fungsi pokoknya. Dari hasil penelitian
yang dilakukan dapat diberikan kesimpulan bahwa secara umum kepala madrasah MAN
Paiton telah mampu untuk melaksanakan keempat fungsi pokok sebagai seorang
pemimpin madrasah dengan cukup baik, dimana telah ditunjukkan dalam
keberhasilannya dalam pembinaan moral dan karekter siswa yang semakin baik dari
tahun-tahun sebelumnya. Untuk pelaksanaan fungsi perencanaan (palanning)
dan pengorganisasian (organizing) sudah menunjukkan baik dan optimal.
Pelaksanaan fungsi yang masih belum optimal ini adalah dalam hal pelaksanaan
fungsi pengerahan (actuating) dan fungsi pengawasan (controlling).
4.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi Pembinaan Moral Siswa MAN Paiton.
Faktor-faktor yang ikut
berpengaruh dalam pelaksanaan pembinaan moral siswa adalah guru, lingkungan
sekolah dan perilaku siswa. Faktor guru meliputi pengetahuan, pengalaman,
kepribadian, motivasi dan penampilan mengajar. Faktor lingkungan sekolah
meliputi peranan kepala madrasah, guru pembina, tenaga administrasi/pegawai,
sarana prasarana penunjang, peraturan tata tertib sekolah, dan dukungan dana.
Faktor-faktor perilaku siswa meliputi sikap, pola pikir, dan cita-cita.
Saran.
DAFTAR
PUSTAKA
Amril M., (2002). Etika Islam, Telaah
Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra Azyumardi, (1999). Esai-esai
intelektual muslim dan pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Bertens K. (1997). Etika,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Bohlin,K,D. Farmer & K Ryan(2001). Building character in schools: Resource
Guide.California: Joossey Bass
Chang, W. (2003). Sosialisasi nilai-nilai
moral. http://www.kcm.com/htm diambil pada tanggal 20 Juni
2004.
Cohen, Eric (1976). Toward a sociology of international
tourism. Social Research.
Dapiyanto, FX. (2002). Pendidikan moral
sebagai penalaran prinsip utilitarisme menurut John Wilson. Tugas Resume
Mahasiswa S-2. Yogyakarta: PPS-UNY.
Darmiyati Zuchdi (2001). Pendekatan pendidikan nilai secara
komprehensip sebagai suatu alternatif pembentukan akhlak bangsa, Yogyakarta: Makalah disampaikan pada seminar terbatas
Pusat Penelitian UNY tanggal 11 Juni 2001.
………………….(2004). Pendidikan Karakter , kumpulan makalah .
UNY
Departemen Agama RI (1993/1994). Garis-garis
besar program pengajaran Madrasah Aliyah, Jakarta: Depag RI.
Doni Koesoema A.2007, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak diZaman Global (Jakarta
Grasindo).
Durkheim, E. (1964). The division of labor
in society, New York: the Free Press. Translated by G. Simpson, from: De
la division du travail social, 1893, Paris: Alcan.
Dwija Atmaka, (1984). Perkembangan moral,
perkenalan dengan Piaget dan Kohlberg, Terjemahan Indonesia, Yogyakarta: Kanisius.
EM. K. Kaswardi, (1993). Pendidikan nilai memasuki tahun
2000, (penyunting), Jakarta: Pt Gramedia.
Hasan, M.T., (2003),. Islam & masalah
sumber daya manusia, Jakarta: Lantabora Press.
Herpratiwi, (1996). Penanaman nilai moral
PBM di sekolah dasar Pakem IV Sleman, penelitian tesis S-2, Yogyakarta: PPS
IKIP Yogyakarta.
Ismail SM. Dkk., Editor, (2002). Dinamika
pesantren dan madrasah, Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo.
Jurnal
Pendidikan Karakter, 2010. jurnal publikasi Ilmiah Pendidikan Umum dan Nilai , vol 2
No 2 juli 2010.
Kohlberg, Lawrence. (1995). Tahap-tahap
perkembangan moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lickona, T. 1992. Educating for Character: How
Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York. Bantam Books.
Megawangi Ratna, (2004). Pendidikan Karakter solusi yang tepat untuk membangun bangsa,
Jakarta : Star Energy
Miller John P., Disadur Mulkhan AM., (2002), Cerdas
di kelas sekolah kepribadian, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Moleong, Lexy J., (2000). Metodologi
penelitian kualitatif, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Mudyahardjo R., (2001). Filsafat ilmu
pendidikan, suatu pengantar, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhni, Djuretna A.Imam, (1994). Moral &
religi, Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Nata A., (2000). Akhlak tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Noeng Muhajir, (2000). Ilmu pendidikan dan perubahan sosial,
Edisi V, Yogyakarta: Rake Sarasin.
------------------, (2001). Filsafat ilmu,
Edisi II, Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nurdin M., dkk. (2001). Moral
dan kognisi Islam, Bandung: Penerbit: CV Alvabeta.
Nur
Uhbiyati, 1998 Ilmu pendidikan Islam 1, Bandung: CV Pustaka Setia.
Program Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta, (2003). Pedoman tesis dan disertasi, edisi tahun 2003.
--------------------------------------------------------------------,
(2000). Jurnal penelitian dan evaluasi, Nomor 2 Tahun II, Yogyakarta.
Sayekti,P.S. (2001). Metodologi penelitian kualitatif, Draf
Diktat Perkuliahan, Program Studi PIPS FPS-UNY.
Sudarsono, FX. (1985). Faktor-faktor penentu
keberhasilan belajar. Pidato ilmiah pada Dies Natalis IKIP Yogyakarta XXI.
……………………(2010) hand book ,
buku pegangan kuliah S3 IP.
Sugiyono,(2010), penelitian kuantitatif dan
Kualitatif, jakarta
Sri wening, (2003) Sri Wening, desertasi : Kajian Evaluasi Reflektif,
Kurikulum SMP di Jogjakarta, Pembentukan Karakter remaja Awal melalui
pendidikan nilai yang terkandung dalam pendidikan
Sulhan Najib,Drs,M,A(2010) Pendidikan Berbasis Karakter , ( Jarring )
Sumarno, (2000). Sifat, syarat dan manajemen
perubahan menuju madrasah unggulan, Yogyakarta: Makalah Seminar Sehari MAN
III tanggal 19 Agustus.
Tillar H.A.R., (2002), Perubahan sosial dan
pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: PT
Garsindo.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2003. (2003). Tentang sistem pendidikan nasional, Bandung, Penerbit:
Citra Umbara.
[A1]Nilai karakter melalui indoktrinasi tidak akan
pernah berhasil, karena karakter adalah universal. Tapi ini sangat debatable dan peneliti harus
mampu berargumentasi
[A2]Will not work well for character
No comments:
Post a Comment