Dr. Sri Handayani, M. Pd
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah dasar, menengah dan lanjutan,
saat ini masih sarat dengan nilai gender yang diskriminatif terhadap salah satu
jenis gender, baik itu terhadap murid laki-laki maupun perempuan. Kesenjangan
gender yang terjadi dapat dilihat dari komponen yang mendukungnya seperti guru,
metode, media dan buku ajar yang digunakan dalam proses pembelajaran. Padahal, buku ajar yang dibaca, dipahami isinya oleh peserta
didik terutama usia SD akan memberikan pengaruh bahkan menjadi pemahaman yang
melekat pada memori anak dan membentuk sikap yang juga bias gender pada saat ia
dewasa.
Pemahaman keliru tentang perempuan (bias gender) terkesan
"dipelihara" dalam bahan ajar di sekolah. Sering dijumpai ilustrasi
pekerjaan menyapu atau mencuci diperankan seorang ibu atau anak/remaja
perempuan. Namun ilustrasi seorang direktur atau pilot gambarnya hampir pasti
seorang bapak atau pemuda. Contoh lainnya, meskipun di dalam masyarakat sudah
banyak dokter, pengusaha, atau profesi lainnya
yang disandang oleh perempuan, tetapi dalam bahan ajar, profesi ini
selalu diperankan oleh laki-laki.
Banyaknya contoh dan ilustrasi yang
menampilkan perempuan hanya
melakukan pekerjaan domestik,
konsumtif dan peran marjinal sedangkan laki-laki dilustrasikan untuk
peran-peran produktif akan menanamkan streotype gender dan perlakuan yang tidak
adil antara perempuan dan laki-laki
kepada siswa. Jika guru tidak dapat memilih dan memilah buku yang bias gender
atau tidak dapat memberikan respons yang positif terhadap materi bias gender
dalam buku yang digunakannya maka kalimat dan gambar yang dibaca siswa akan
menjadi ideologi saat ia dewasa dan dan dapat mempengaruhi opini dan sikap
anak. Oleh karenanya Guru memiliki peran
penting – terutama pada jenjang pendidikan dasar – dalam mengembangkan
konstruksi gender siswa karena guru merupakan sumber informasi dan model,
penentu materi ajar dan buku teks, pengembang proses pembelajaran, dan pencipta
lingkungan kelas.
Dengan alasan-asalan tersebut di atas dipandang cukup krusial
untuk lebih menggiatkan pengarustamaan gender dalam pendidikan yang salah
satunya adalah dengan mewujudkan pendidikan sekolah berwawasan gender (PSBG)
melalui proses pembelajaran yang setara gender.
Pendidikan merupakan
sektor yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan
gender, karena dengan pendidikan diharapkan dapat terbentuk manusia Indonesia
yang demokratis, berkeadilan dan tidak diskriminatif dan memiliki akhlak
terpuji.
Upaya untuk menyeimbangkan kedudukan dan peranan laki-laki
dan perempuan dalam berbagai kehidupan keluarga dan masyarakat dapat dilakukan
dengan meningkatkan pemahaman dan keterampilan kepada seluruh pendidik dan
tenaga kependidikan serta pihak-pihak lain yang berkepentingan di sekolah
mengenai cara mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender ke dalam proses
pendidikan di sekolah terutama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam
penelitian ini mengacu kepada prinsip pendidikan sekolah berwawasan gender
(PSBG) dengan penekanan pada proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Permasalahan utama
dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah Proses
Pembelajaran dengan konsep PSBG (Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender)
dilaksanakan di kelas/sekolah?.
Permasalahan tersebut dirinci dalam butir-butir pertanyaan penelitian seperti berikut:
1.
Bagaimanakah
pemahaman guru tentang gender dan pembelajaran yang responsif gender?
2.
Apakah
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun guru sudah responsif gender
3.
Apakah
metode pembelajaran yang digunakan sudah mengakomodasi kepentingan murid
laki-laki dan perempuan secara seimbang?
4.
Apakah
media pembelajaran yang digunakan sudah responsif gender
5.
Apakah
materi pelajaran dan bahan ajar yang digunakan sudah responsif gender?
C. Tujuan
Tujuan utama dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pelaksanaan proses pembelajaran dengan konsep PSBG (Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender)
yang terjadi di kelas/sekolah dengan studi kasus di tiga kota/kab di Jawa Barat yang menjadi pilot model
pelaksanaan pendidikan sekolah berwawasan gender (PSBG)
Tujuan tersebut dirinci dalam
tujuan-tujuan khusus sebagai berikut:
1.
Untuk
mengidentifikasi pemahaman guru tentang gender dan
pembelajaran yang responsif gender.
2.
Untuk
mengetahui apakah
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun guru sudah responsif gender
3.
Untuk mengetahui metode pembelajaran yang digunakan oleh guru apakah sudah
mengakomodasi kepentingan murid laki-laki dan perempuan secara seimbang.
4.
Untuk mengetahui apakah media pembelajaran yang
digunakan sudah responsif Mengevaluasi
peran dan aktivitas gender perempuan dan laki-laki dalam materi/bahan ajar yang
digunakan sebagai buku rujukan atau pegangan guru dan murid
5.
Untuk mengetahui apakah materi pelajaran dan bahan ajar yang digunakan sudah responsif
gender
KAJIAN PUSTAKA
A. Kesenjangan Gender dalam bidang
pendidikan
Ketidakadilan/kesenjangan
gender merupakan akibat dari adanya sistem (struktur) sosial dimana salah satu
jenis kelamin menjadi korban. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan dan
pembenaran yang ditanamkan sepanjang masa dalam berbagai bentuk dan cara yang
menimpa laki-laki dan perempuan, meski dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak
dialami oleh perempuan. Ketidakadilan gender sering terjadi dalam keluarga,
sekolah/dunia pendidikan, masyarakat serta di tempat kerja dalam berbagai
bentuk. Dimensi ketidakadilan gender atau kesenjangan gender yang terjadi dalam
bidang pendidikan diantaranya adalah:
a.
Kurangnya
partisipasi (under participation)
1)
Murid
perempuan yang tidak meneruskan pendidikan ke tingkat lanjutan jauh lebih besar
dibanding laki-laki.
2)
Alasan pengunduran
diri perempuan untuk melanjutkan sekolah adalah jarak sekolah yang jauh dari
rumah, tuntutan tugas domestik, tidak ada biaya, tidak diijinkan orang tua dan
dikawinkan.
3)
Pada
tingkat pendidikan tinggi, partisipasi perempuan sangat rendah dan umumnya
terbatas pada bidang-bidang ilmu sosial, humaniora, pendidikan, biologi, kimia
dan farmasi.
b.
Kurangnya
prestasi (under achievement)
1)
Data
penelitian di beberapa negara termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa pada
tingkat dasar prestasi murid perempuan pada umumnya setara bahkan terkadang
lebih baik dibanding murid laki-laki. Namun setelah lepas sekolah dasar
prestasi tersebut cenderung menurun tajam, terutama untuk subjek yang berkaitan
dengan sains dan teknologi.
2)
Banyak
murid perempuan yang sebenarnya cukup berbakat urung memilih bidang sains dan
teknologi pada pendidikan tingkat lanjutan dikarenakan citra maskulin sains dan
teknologi menyebabkan para remaja putri yang sedang giat membentuk identitas
feminimnya bersikap menghindar terhadap subyek tersebut.
c.
Kurangnya
keterwakilan (under representation)
1)
Partisipasi
perempuan sebagai tenaga ahli maupun pimpinan menunjukkan kecenderungan
disparitas progresif
2)
Jumlah
guru perempuan pada tingkat pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah
tenaga guru laki-laki, namun pada tingkat pendidikan lanjutan dan pendidikan
tinggi, jumlah tersebut menunjukkan penurunan yang drastis.
3)
Representasi
tenaga perempuan dalam administrasi pendidikan, pengambilan keputusan dan
penyusunan kurikulum sangat rendah, sehingga kepentingan murid perempuan kadang
kurang mendapat perhatian.
4)
Kurikulum
dan metode pembelajaran cenderung “androsentrik” dengan acuan “man as the norm”
d.
Perlakuan
yang tidak adil (unfair treatment)
1)
Kegiatan
pembelajaran dan interaksi selama proses pembelajaran dalam kelas seringkali
bersifat merugikan murid perempuan.
2)
Beberapa
penelitian menunjukkan murid laki-laki di sekolah dasar dan lanjutan ditanyai
gurunya 3 hingga 8 kali lebih banyak dibanding murid perempuan.
3)
Kemampuan
dan minat murid laki-laki (terutama terhadap sains dan teknologi) terus
didorong dan dibina, sementara pengembangan kemampuan dan minat murid di bidang
tersebut terabaikan dan lebih diarahkan dan dibina pada ilmu-ilmu yang dianggap
cocok untuk perempuan seperti tata boga, busana, mengetik dan kesekretarian dan
sejenisnya.
B. Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender
(PSBG)
Pendidikan yang berperspektif gender merupakan pendidikan yang
menggunakan konsep keadilan gender, kemitrasejajaran yang harmonis antara
perempuan dan laki-laki, memperhatikan kebutuhan serta kepentingan gender
praktis/strategis perempuan dan laki-laki (Departemen
Pendidikan Nasional. 2005. Draft.
Modul 2: Bahan Pelatihan untuk Kepala Sekolah, Pendidik, dan tenaga Kependidikan
dalam Rangka Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang Responsif Gender
(Model PSBG).
Sekarang ini, ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang
masih cukup mencolok adalah kurikulum dan pembelajaran di sekolah.
Ketidaksetaraan gender dalam bidang ini cukup signifikan, seperti dalam kaitan
dengan: materi buku pembelajaran, metoda pembelajaran, dan guru.
Dalam kaitan dengan kurikulum, tidak ada pokok bahasan atau
silabus yang standar isi dan kurikulum sekolahnya mengandung ketidaksetaraan
dan ketidakadilan gender. Namun bila dilihat dari bahan ajar yang disiapkan
guru atau muatan buku pelajaran yang dijadikan pegangan guru dan murid, banyak
sekali materi ajar yang akan berdampak pada terjadinya kesenjangan gender.
Buku-buku pelajaran yang memuat fungsi laki-laki dan perempuan sebagai peran
jenis yang tidak bisa dirubah (Gonibala, Rukmina. 2007). Keyakinan yang bias ini akan memberikan dampak jangka panjang bagi
anak bahwa peran jenis berdasarkan gender adalah kebenaran mutlak. Akibatnya
kesenjangan gender akan berlangsung lama dan berkelanjutan bahkan akan menjadi
sistem nilai budaya.
Dalam proses pembelajaran seringkali laki-laki lebih aktif
dan berperan dalam proses belajar, misalnya dalam: memimpin diskusi kelompok,
bertanya, menjawab, mepresentasikan bahan, dan sejenisnya. Di lain pihak, perempuan justru menganggap
dirinya kurang mampu untuk melakukan hal-hal tersebut, sehingga berkembanglah
sikap-sikap yang disebut ”self fulfilling propecy” dimana mereka
menganggap dirinya sesuai dengan dimitoskan, sehingga motivasi berprestasi
mereka menjadi rendah.
Guru adalah faktor terbesar yang berdampak terhadap
terjadinya kesenjangan gender dalam proses pembelajaran. Guru-guru perempuan
lebih banyak pada SD dan TK, seimbang di SMP, dan lebih sedikit pada pendidikan
menengah dan tinggi (Position
Paper Pengarus Utamaan Gender Bidang Pendidikan di Jawa Barat. 2006). Keadaan ini akan memperkuat mitos bahwa guru perempuan seolah-olah
lebih cocok untuk mengajar di SD dan TK, karena mengajar anak-anak kecil lebih
dianggap sebagai pekerjaan mengasuh anak sebagai pekerjaan domestik. Sebaliknya, dominannya jumlah guru laki-laki
di sekolah menengah dan profesor, maka pekerjaan ini dianggap lebih profesional
yang seolah-olah lebih cocok untuk laki-laki sebagai pemegang fungsi produktif.
Permasalan-permasalahan kesenjangan gender dalam bidang
pendidikan tersebut di atas, tidak hanya merupakan masalah makro nasional,
tetapi justru merupakan masalah yang dapat ditangani pada tingkatan yang lebih
mikro, yaitu sekolah. Sekolah mampu merubah mind set siswa, orangtua siswa, bahkan
guru dan tenaga kependidikan lain, agar mitos-mitos tentang kesenjangan gender
dapat diminimalkan bahkan secara bertahan dihilangkan. Jika mitos-mitos gender ini dapat
dihilangkan, maka hampir seluruh pekerjaan PUG sebenarnya sudah dapat dikatakan
berhasil mencapai tujuannya. Oleh karena itu maka modul PSBG ini akan memegang
peran yang sangat penting sebagai salah satu strategi jitu dalam meningkatkan
kesetaraan dan keadilan gender di bidang pendidikan.
C. Indikator-indikator Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender
Merujuk pada Modul 1, Modul 2 dan Modul 3 yang diterbitkan Depdiknas
(2005) tentang Pengembangan Model Pendidikan di
Sekolah yang Responsif Gender, kesetaraan dan keadilan
gender dalam pendidikan di sekolah dapat diintegrasikan melalui tugas dan
fungsi (tupoksi) sekolah dalam menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah yang
meliputi komponen-komponen pengelolaan proses pembelajaran; perencanaan
pembelajaran, evaluasi dan supervisi pembelajaran; pengelolaan kurikulum dan
pembelajaran; pengelolaan ketenagaan; pengelolaan fasilitas; pengelolaan
keuangan; pelayanan siswa; peran serta masyarakat; dan pengelolaan budaya
sekolah.
Indikator-indikator Proses Pembelajaran Responsif Gender seperti yang
diuraikan dalam Modul 2: Bahan Pelatihan untuk Kepala Sekolah,
Pendidik, dan tenaga Kependidikan dalam Rangka Pengembangan Model Pendidikan di
Sekolah yang Responsif Gender (Depdiknas
2005) adalah sebagai berikut:
Indikator Model Pembelajaran yang Responsif Gender:
1)
Peserta didik perempuan dan laki-laki memperoleh akses,
partisipasi, dan manfaat yang sama dari kegiatan belajar di sekolah, dengan
mengakomodasi perbedaan konstruksi gender mereka dalam proses pembelajaran di
sekolah.
2)
Peserta didik perempuan dan laki-laki memperoleh hak dan
kewajiban yang sama dalam belajar di sekolah, misalnya sama-sama dapat belajar
secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
3)
Peserta didik laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan
cara yang efektif untuk berbagi pengalaman hidup yang cenderung memiliki
pengalaman yang berbeda.
4)
Berkurangnya pola-pola dan perilaku sekolah yang dapat
memarginalkan salah satu jenis kelamin; misalnya adanya kebebasan yang sama
antara laki-laki dan perempuan dalam memilih pelajaran sesuai minat dan bakat.
5)
Peserta didik laki-laki dan perempuan yang memiliki kesulitan
belajar memperoleh pelayanan yang baik dan bermutu dari tenaga pendidik.
6)
Peserta didik laki-laki dan perempuan memiliki pilihan peran
yang beragam dibandingkan dengan peran-peran tradisional mereka dengan tanpa
hambatan budaya dalam kehidupan mereka melalui pembel-ajaran di sekolah.
7)
Bahan ajar yang ada di sekolah seperti buku teks pelajaran,
buku pengayaan, buku bacaan, serta bahan dan alat peraga pengajaran terbebas
dari materi yang memuat ‘gender stereotype’ .
Indikator Proses Pembelajaran yang Responsif Gender:
1)
Pembelajaran
yang responsif gender mengacu pada proses pembelajaran yang memberikan
perhatian pada kebutuhan khusus anak laki-laki dan perempuan. Pedagogi yang
responsif gender menuntut guru untuk memperhatikan seluruh pendekatan gender
dalam proses perencanaan pembelajaran, pada saat mengajar, dalam mengelola
kelas, dan dalam melakukan evaluasi hasil belajar.
2)
Banyak inovasi mengenai pendekatan
pembelajaran yang digunakan oleh guru termasuk permainan peran, diskusi
kelompok, studi kasus, skits,
peragaan, dan studi tur.
3)
Peserta
didik perempuan dan laki-laki memperoleh akses, partisipasi, dan manfaat yang
sama dari kegiatan belajar di sekolah, dengan mengakomodasikan perbedaan
konstruksi gender mereka dalam proses pembelajaran di sekolah.
4)
Peserta
didik perempuan dan laki-laki memperoleh hak dan kewajiban yang sama dalam
belajar di sekolah, misalnya sama-sama dapat belajar secara aktif, kreatif,
efektif, dan menyenangkan.
5)
Peserta
didik laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan dan cara yang efektif untuk
berbagi pengalaman hidup yang cenderung memiliki pengalaman yang berbeda.
6)
Berkurangnya
pola-pola dan perilaku sekolah yang dapat memarginalkan salah satu jenis
kelamin; misalnya adanya kebebasan yang sama antara laki-laki dan perempuan
dalam memilih pelajaran sesuai minat dan bakat.
7)
Peserta
didik laki-laki dan perempuan yang memiliki kesulitan belajar memperoleh
pelayanan yang baik dan bermutu dari tenaga pendidik.
8)
Peserta
didik laki-laki dan perempuan memiliki pilihan peran yang beragam dibandingkan
dengan peran-peran tradisional mereka dengan tanpa hambatan budaya dalam
kehidupan mereka melalui pembel-ajaran di sekolah.
9)
Bahan
ajar yang ada di sekolah seperti buku teks pelajaran, buku pengayaan, buku
bacaan, serta bahan dan alat peraga pengajaran terbebas dari materi yang memuat
‘gender stereotype’ .
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi dan Subjek Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di sekolah-sekolah yang
dijadikan pilot model penerapan PSBG (Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender) di
tiga kota/kab. di Jawa Barat yaitu Cianjur, Sumedang dan Garut.
Subjek penelitian ini adalah Proses pembelajaran yang
dilaksanakan di sekolah-sekolah yang dijadikan pilot model dengan unit analisis
pada proses pembelajaran yang komponen-komponennya terdiri dari: guru,
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, metode
pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi belajar dan materi/bahan ajar atau
buku teks/buku pegangan guru dan siswa.
B.
Teknik Pengambilan Sampel
Pemilihan sampel menggunakan sampel purposif, yaitu
pengambilan sampel dimana seleksi unsur populasi berdasarkan pertimbangan
peneliti. Bahan pertimbangan pengambilan sampel adalah: (1) sampel sekolah yang
dijadikan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan hasil pilot model untuk
Pendidikan Sekolah berwawasan gender pada satuan-satuan pendidikan di kota/kab
di Jawa Barat. Dalam penelitian ini ditetapkan sekolah-sekolah tiga kota/kab
yaitu Cianjur, Sumedang dan Garut. (2) Sekolah yang dijadikan lokasi penelitian
di tiga kota/kab tersebut adalah sekolah yang guru-guru, kepala sekolah dan
komite sekolah-nya telah mendapatkan materi tentang sosialisasi Pendidikan
Sekolah Berwawasan Gender (PSBG) yang telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan
Propinsi Jawa Barat. Guru-guru yang
mengikuti kegiatan Sosialisasi Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender (PSBG)
berjumlah: 21 orang guru SD, 20 orang
Guru SLTP dan 22 orang guru SMA/SMK.
Tabel 1. Teknik Pengambilan sampel
No
|
Sumber data
|
Teknik sampling
|
Sampel terpilih
|
1
|
Kota/Kab di
Jawa Barat.
|
Purposif
sampling berdasarkan pilot model PSBG
|
Kota/Kab.
Cianjur, Garut dan Sumedang
|
2
|
Sekolah
|
Purposif
sampling ditetapkan sekolah yang telah mendapatkan sosialisasi tentang PSBG
|
Sekolah-sekolah
dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA pada sekolah-sekolah yang dijadikan
pilot model.
|
3
|
Unit analisis:
Proses Pembelajaran yang terjadi di kelas
|
Purposif
sampling pada guru-guru yang telah mendapatkan materi sosialisasi PSBG
|
Guru, Kegiatan
Belajar Mengajar, Metode, Bahan Ajar di sekolah-sekolah yang dijadikan pilot
model
|
C. Teknik Pengumpulan data
Data penelitian meliputi data primer dan sekunder yang dikumpulkan
melalui:
1.
Angket/kuisioner, yang diberikan
kepada guru-guru untuk mengetahui pengetahuan gender dan pendidikan sekolah
berwawasan gender di sekolah-sekolah yang dijadikan pilot model PSBG untuk
satuan pendidikan.
2.
Pedoman observasi untuk
mendapatkan data-data yang dianggap relevan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian
yaitu untuk mengidentifikasi indikator-indikator pendidikan sekolah berwawasan
gender (PSBG) dalam proses pembelajaran di kelas. Data tersebut antara lain
meliputi komponen-komponen proses pembelajaran yaitu: rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yang dibuat guru, metode pembelajaran, dan media
pembelajaran yang digunakan saat pembelajaran dilakukan.
3.
Analisis isi dokumen dilakukan
terhadap materi/bahan ajar atau buku teks/buku peganagan guru dan murid di
sekolah-sekolah yang dijadikan pilot model untuk mengetahui keberadaan
bias/netral/responsif gender dari teks dan gambar yang termuat di dalamnya.
D. Pendekatan penelitian dan
Pengolahan data
Penelitian ini menggunakan beberapa jenis
pendekatan yaitu:
1. Penelitian deskriptif kuantitatif
untuk mendeskripsikan pengetahuan guru mengenai gender dan pendidikan
sekolah berwawasan gender.
2. Penelitian evaluasi untuk mendeskripsikan
indikator-indikator pendidikan sekolah berwawasan gender yang ditemukan pada
proses pembelajaran di kelas yaitu: rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang
dibuat guru, metode pembelajaran, dan media pembelajaran.
3. Pendekatan content analysis untuk mendeskripsikan materi/bahan ajar dan buku
teks/buku pegangan guru dan siswa yang bermuatan bias gender.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui Persepsi dan pemahaman guru terhadap 1) konsep gender, 2) pendidikan
sekolah berwawasan gender (PSBG, dan 3) pembelajaran yang responsif/berwawasan
gender.
Data yang diperlukan diambil dengan menggunakan teknik
angket (quisinore) yang diisi oleh responden penelitian. Responden dalam
penelitian ini adalah guru-guru SD, SMP dan SLTA (terdiri dari guru SMA/SMK),
berasal dari sekolah-sekolah di Jawa Barat yang mengikuti kegiatan Sosialisasi
Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender (PSBG). Kegiatan ini diselenggarakan oleh
Dinas Pendidikan Jawa Barat, pada bulan Juli dan Agustus 2010 dengan mengambil
tempat di Lembang Bandung. Sosialisasi
Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender yang diperuntukkan bagi guru-guru SD dan
SMP diselenggarakan pada bulan Juli 2010, sedangkan yang diperuntukkan bagi
guru-guru SLTA (SMA dan SMK) serta PKBM diselenggaran pada bulan Agustus 2010
Jumlah guru Sekolah Dasar (SD) yang mengikuti kegiatan
Sosialisasi Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender (PSBG) berjumlah 21 orang,
guru SMP berjumlah 20 orang dan guru SLTA yang terdiri dari guru SMA dan SMK
berjumlah 22 orang.
A.
Analisis terhadap Persepsi dan pemahaman
Guru mengenai Gender, Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender dan Pembelajaran
yang responsif gender
Data mengenai persepsi dapat digambarkan sebagai berikut:
1.
Meskipun
secara konseptual, gender dipahami oleh guru akan tetapi belum semua guru
memahami cara membangun kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan
terutama dalam pembelajaran di kelas
2.
Sebagian
responden guru SD, SMP dan SMA memiliki sensifitas gender yang cukup baik
sehingga dapat mengenali bahan ajar yang bias gender sehingga dapat melakukan
penyesuaian-penyesuain. Namun demikian prosentase yang kurang/tidak dapat mengenali
bahan ajar yang bias gender masih cukup besar.
3.
Berkenaan
dengan media pembelajaran yang bias gender, masih cukup banyak guru SD, SMP dan SMA yang menyatakan kurang
dapat mengenali media pembelajaran yang bias gender dan melakukan
penyesuaian-penyesuaian
4.
Terkait
dengan penyusunan (RPP), meskipun sebagian besar guru sudah memiliki pemahaman dan sensifitas
gender yang cukup baik, tetapi mereka menyatakan masih kurang memperhatikan
kecenderungan belajar yang berbeda antara siswa laki-laki dan perempuan dalam
menyusun rencana pembelajaran (RPP) yang responsif gender
5.
Sebanyak
33,3% guru SD, 20% guru SMP dan 31,8% guru SMA yang menjadi responden dalam
penelitian ini merasa masih kurang mampu menerapkan RPP responsif gender dalam
pelaksanaan proses pembelajaran di kelas,. Namun demikian prosentase terbesar
dari guru-guru di tingkat SD(47,6%), SMP(60,0%) dan SMA (50%) menunjukan bahwa
mereka sudah cukup mampu menerapkan RPP yang responsif gender pada pelaksanaan
pembelajaran di kelas, sisanya mengatak sudah dapat dengan baik menerapkan RPP
yang responsif gender pada pelaksanaan di kelas.
6.
Kegiatan
pembelajaran yang responsive gender salah satu bentuknya adalah memberikan
kesempatan kepada siswa perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pilihan
beragam dibandingkan dengan peran-peran tradisional mereka dengan tanpa
hambatan budaya melalui kegiatan pembelajaran. Lebih dari 2/3 responden dari
guru SD, SMP dan SLTA menyatakan telah memberikan kesempatan yang sama, namun
demikian masih terdapat yang kurang memberikan pilihan beragam terutama di
tingkat SD.
7.
Mengenai
terbebasnya media pembelajaran yang digunakannya oleh guru-guru dari
muatan-muatan bias gender, Sebagian besar guru SD menyatakan tidak dapat
menjamin hal tersebut. Namun semakin tingginya tingkatan sekolah, yaitu di
tingkat SMP dan SMA, guru-guru sudah semakin baik mengenali muatan-muatan bias
gender dalam media pembelajaran yang digunakannya.
8.
Sebanyak
28,6% guru SD menyatakan bahwa pendekatan metode pembelajaran yang memberikan
perhatian seimbang bagi kebutuhan khusus anak laki-laki dan perempuan masih
kurang diterapkan, dan sebanyak 23,8% guru SD tidak melakukannya. Namun sisanya
menyatakan bahwa mereka telah cukup baik melakukannya. Sebagian besar guru SMA
dan 20% guru SMP sudah melakukannya dengan baik. Sementara guru-guru SMP
sebagian besar menyatakan cukup dan hanya 15% responden lainnya menyatakan
masih kurang mampu menerapkan.
9.
Pemberian
penjelasan materi bahan ajar dengan landasan wawasan gender di sekoah-sekolah
dasar masih berada pada kategori kurang dan cukup. Hal ini ditunjukkan dengan
jumlah guru-guru SD yang menjawab kurang. Terhadap pernyataan ini hanya 9,5%
responden saja yang menyatakan bahwa penjelasan materi bahan ajar sudah
diberikan dengan landasan wawasan gender, sedangkan sisanya menyatakan bahwa
penjelasan materi bahan ajar masih belum atau tidak diberikan dengan landasan
wawasan gender. Hampir 1/3 dari responden guru-guru SD, SMP dan SMA menyatakan
tidak pernah memberikan materi bahan ajar dengan landasan wawasan gender. Hanya
sebagian kecil yang menyatakan sudah dengan baik menjelaskan bahan ajar dengan
landasan wawasan gender terutama di tingkat SLTA (22,7%)
B.
Analisis terhadap buku
ajar
Hasil analisis isi terhadap
ilustrasi/gambar yang terdapat dalam Buku ajar dalam penelitian ini menghasilkan
temuan sebagai berikut:
1.
Perbandingan analisis isi buku ajar yang memuat indikasi bias
gender, netral gender, dan responsif gender adalah sebagai berikut:
·
Pada buku Bahasa Indonesia gambar yang ditampilkan masih
banyak yang mengindikasikan adanya bias gender, meskipun secara kuantitatif
masih banyak yang netral gender. Namun secara substansial banyaknya ilustrasi
gambar yang bias dan netral gender dibanding dengan yang sudah responsif gender
mengindikasikan masih lemahnya pemahaman penulis maupun ilustrator terhadap
bahan ajar yang harus disampaikan kepada siswa didik yang mengandung muatan
nilai kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini dapat berpengaruh terhadap
penanaman nilai-nilai gender dalam bidang pendidikan.
·
Pada buku Bahasa Inggris ilustrasi gambar yang ditampilkan
sudah banyak mengandung nilai responsif gender dan sebagian besar lainnya pada
kategori netral gender. Meskipun masih
ada beberapa ilustrasi gambar yang masih memuat gambar-gambar yang bias gender.
·
Pada buku IPA meskipun ilustrasi gambar yang ditampilkan
tidak sebanyak pada buku ajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, tapi
sebagian besar gambar-gambarnya masih berada pada kategori bias dan netral
gender.
·
Pada buku IPS banyak ilustrasi gambar yang secara parsial
bisa dikategorikan netral gender namun jika dilihat dari keseluruhan ilustrasi
yang ditampilkan dalam buku tersebut terkesan menjadi bias gender karena lebih
didominasi gender laki-laki dan tidak satu pun (sedikit sekali) yang
menampilkan sosok gender perempuan.
·
Pada buku PKN yang masih dominan adalah ilustrasi yang
menggambarkan kondisi bias gender. Gambar yang sudah responsif gender masih
sedikit dibandingkan dengan yang netral gender.
2. Ilustrasi yang masih
mengindikasikan adanya bias gender yang ditemukan dalam buku ajar mayoritas berjenis streotype (pelabelan)
terhadap peran yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan, baik di sektor domestik (rumah tangga) maupun di
sektor publik (dunia kerja, sosial kemasyarakatan). Pelabelan terhadap
perempuan masih banyak dibatasi pada
peran-peran domestik seperti memasak, mengasuk anak, peran konsumtif dan
peran-peran termarginalkan atau potret kemiskinan. Hal ini menjadi kontras
karena ilustrasi yang menampilkan laki-laki banyak dicitrakan/dilabelkan
sebagai tokoh penting, sukses, aktivitas kreatif dan produktif. Namun ditemukan pula ilustrasi gambar yang
responsif gender dimana digambarkan secara seimbang peran penting yang
dilakukan laki-laki dan perempuan di rumah, dunia kerja, sekolah, dan kehidupan
bermasyarakat.
A.
Contoh
ilustrasi bias gender dalam buku ajar
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1.
Pemahaman konsep gender guru-guru
dikategorikan baik namun kemampuan guru-guru dala membangun kesetaraan gender
dalam proses pembelajaran dikategorikan masih kurang.
2.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
yang disusun guru-guru dapat dikategorikan netral gender (belum responsif
gender). Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas guru-guru menyatakan masih
kurang memperhatikan kecenderungan belajar yang berbeda antara siswa laki-laki
dan perempuan.
3.
Metode pembelajaran yang dipilih dan
digunakan untuk proses pembelajaran di kelas cenderung netral gender (belum
responsif gender), namun beberapa orang guru (presentasinya kecil) sudah
menggunakan metode pembelajaran yang responsif gender seperti kooperatif
learning.
4.
Masih banyak guru-guru yang menyatakan
kurang dapat mengenali media pembelajaran yang bias gender.
5.
Sebagian besar guru SD dan SMP
menyatakan bahwa bahan ajar yang digunakan (buku teks, buku bacaan, buku
pengayaan, LKS) masih kurang terbebas dari materi yang memuat bias gender.
Namun guru-guru SLTA menyataka bahan ajar yang digunakan sudah cukup terbebas
dari bias gender.
6.
Perbandingan
analisis isi buku ajar yang memuat indikasi bias gender, netral gender, dan
responsif gender adalah sebagai berikut:
·
Pada
buku Bahasa Indonesia gambar yang ditampilkan masih banyak bias gender,
meskipun secara kuantitatif netral gender. Namun secara substansial banyaknya
ilustrasi gambar yang bias dan netral gender dibanding dengan yang sudah
responsif gender mengindikasikan lemahnya pemahaman penulis maupun ilustrator tentang
nilai kesetaraan dan keadilan gender.
·
Pada
buku Bahasa Inggris ilustrasi yang ditampilkan sudah banyak mengandung nilai
responsif gender dan sebagian besar lainnya pada kategori netral gender namun
masih ada beberapa ilustrasi yang masih memuat bias gender.
·
Pada
buku IPA meskipun ilustrasi yang ditampilkan tidak sebanyak pada buku ajar
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, tapi sebagian besar gambar-gambarnya masih
berada pada kategori bias dan netral gender.
·
Pada
buku IPS banyak ilustrasi gambar yang secara parsial bisa dikategorikan netral
gender namun jika dilihat dari keseluruhan ilustrasi yang ditampilkan dalam
buku tersebut terkesan menjadi bias gender karena lebih didominasi gender
laki-laki dan sedikit sekali yang menampilkan sosok gender perempuan.
·
Pada
buku PKN yang masih dominan adalah ilustrasi yang menggambarkan kondisi bias
gender. Gambar yang sudah responsif gender masih sedikit dibandingkan dengan
yang netral gender.
1.
Ilustrasi
yang masih mengindikasikan adanya bias gender yang ditemukan dalam buku ajar mayoritas berjenis streotype (pelabelan)
terhadap peran yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan, baik di sektor domestik (rumah tangga) maupun di
sektor publik (dunia kerja, sosial kemasyarakatan). Pelabelan terhadap
perempuan masih banyak dibatasi pada
peran-peran domestik seperti memasak, mengasuk anak, peran konsumtif dan
peran-peran termarginalkan atau potret kemiskinan. Hal ini menjadi kontras
karena ilustrasi yang menampilkan laki-laki banyak dicitrakan/dilabelkan
sebagai tokoh penting, sukses, aktivitas kreatif dan produktif.
B.
Saran
Untuk Dinas Pendidikan
Jawa Barat
Guru-guru sebaiknya
diberikan penyegaran dan pembekalan berbagai metode pembelajaran yang dapat
mengakoodasi proses pembelajaran yang berkeadilan gender. Perlu juga diberikan
panduan atau buku pegangan untuk dapat mengenali media/alat atau bahan/materi
ajar yang memuat bias gender
Di waktu-waktu
mendatang, Dinas Pendidikan sebaiknya mengikutsertakan dan melibatkan para
penulis buku, editor, ilustrator dan penerbit dalam setiap kegiatan Sosialisasi
Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender untuk membangun character building dari
segenap stakeholder di bidang pendidikan, selain dari yang selama ini selalu
terlibat, yaitu guru, kepala sekolah, komite sekolah dan eksekutif bidang pendidikan.
Untuk lebih efektifnya
kegiatan sebaiknya diberikan juga workshop atau pelatihan mengenai buku ajar
yang responsif gender selain dari materi-materi Pengarus utamaan gender dan
Pendidikan Sekolah Berwawasan Gender (PSBG) beserta dengan indikator-indikatornya
sehingga para penulis buku, ilustrator dan penerbit juga bisa menghindari
materi-materi yang dituangkan dalam buku berupa teks dan gambar/ilustrasi yang
bias gender.
DAFTAR PUSTAKA ACUA
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Proses Pembelajaran di Sekolah yang
Responsif Gender. Bahan pelatihan untuk Kepala Sekolah, Pendidik dan Tenaga
Kependidikan dalam rangka Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang
Responsif Gender (PSBG). (Modul 2)
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Pesan Standar Pengarusutamaan Gender Bidang
pendidikan.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005.
Draft. Modul 1: Mewujudkan
Manajemen Berbasis Sekolah yang Responsif Gender, Bahan Pelatihan untuk Kepala
Sekolah dan Tenaga Administrasi Sekolah dalam Pengembangan Model Pendidikan di
Sekolah yang Berwawasan Gender (Model PSBG).
Departemen Pendidikan Nasional. 2005.
Draft. Modul 2: Bahan
Pelatihan untuk Kepala Sekolah, Pendidik, dan tenaga Kependidikan dalam Rangka
Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang Responsif Gender (Model PSBG).
Departemen Pendidikan Nasional. 2005.
Draft. Modul 3: Partisipasi
Masyarakat dalam Mewujudkan Sekolah yang responsif Gender- Bahan Pelatihan untuk Komite sekolah dan
Masyarakat dalam rangka Pengembangan Model Pendidikan di Sekolah yang
Berwawasan Gender (Model PSBG).
Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Barat. 2006. Position
Paper Pengarus Utamaan Gender Bidang Pendidikan di Jawa Barat, Rencana Kegiatan Tahun 2007.
Gonibala,
Rukmina. 2007. Fenomena Bias Gender dalam
Pendidikan Islam. Iqra’ Volume 4.
Markhamah,
Sudirjo. Sarwiji Suwandi. 2006. Persepsi
Pengambil Kebijakan dan Guru terhadap Pengembangan Model Materi Ajar dan
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SLTP Bersperspektif Kesetaraan
Gender. Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 7 No. 1.
Salamah.
2006. Pengembangan Model Pembelajaran Responsif Gender pada Madrasah Ibtidaiyah
di Kalimantan Selatan. Khasanah. Vol. V. No. 6.
No comments:
Post a Comment