MASALAH PADA PENELITIAN TINDAKAN KELAS (1)

Tanya                 : Sekarang saya sudah memami bidang kajian tindakan kelas. Namun bagaimana saya mendapatkan masalah yang akan saya angkat menjadi Penelitian tindakan kelas?
Jawab                : Penelitian tindakan kelas berangkat dari masalah yang ada yang dihadapi guru. Supardi Suharjono(2012: 35) mengatakan  salah satu karakteristik Penelitian Tindakan Kelas, masalah berasal dari guru sendiri. Banyak guru yang tidak menyadari ada masalah dalam pembelajarannya. Lebih  jauh Supardi Suharjono memberi panduan bagi guru untuk mengeksplorasi masalah :
-         Apa yang sedang terjadi di kelas?
-         Apa saja yang menimbulkan adanya masalah itu?
-         Dari masalah tersebut, kelas mana yang paling dirasa merisaukan dalam pelajaran kesehariannya
-         Diantara berapa indikasi masalah, mana yang mungkin menjadi penyebab utamanya?
-         Apa yang akan terjadi jika masalah tersebut dibiarkan?
-         Alternatif apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi atau memperbaiki masalah tersebut.
-         Dari beberapa alternatif yang ada mana yang paling memungkinkan untuk dilakukan untuk perbaikan pembelajaran?
-         Apakah guru sudah yangkin dengan tindakannya itu?

(Supardi Suharjono, Strategi Menyusun Penelitian Tindakan Kelas, 2012)  

BIDANG KAJIAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS(2)


Tanya                 :  Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa bidang kajian       Penelitian tindakan kelas itu antara lain masalah belajar siswa, design atau strategi pembelajaran dan alat bantu media serta sumber belajar. Masih adakah yang lainnya?
                            Jawab                  : Masih. Pengembangan pribadi peserta didik bisa juga menjadi objek penelitian.  
                            Tanya                  : Contohnya apa?          
                             Jawab                 :   Seperti peningkatan kemadirian siswa dan tanggungjawab peserta didik. Bagaimana menangani siswa yang suka mencontek, tidak mau mengerjakan PR, lambat dalam belajar; peningkatan keefektifan hubungan pendidik dan tenaga pendidikan dan bisa juga peningkatan konsep diri peserta didik.
Tanya                 : Bagaimana dengan sistem penilaian?

Jawab                : Sistem penilaian juga masalah yang dihadapi lansung oleh guru, maka sistem penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar termasuk kajian PTK. Dalam bidang kajian ini juga termasuk pengembangan instrumen penilaian baik penilain sikap, pengetahuan dan keterampilan.

BIDANG KAJIAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS(1)


Tanya       : Masalah apa saja yang bisa dijadikan objek Penelitian Tindakan Kelas?
Jawab      : Objek  penelitian tindakan kelas adalah masalah  sehari-hari yang dihadapi lansung oleh guru di sekolah seperti masalah belajar di kelas: anak tidak gairah belajar, kesalahan-kesalahan  pembelajaran. Demikian juga seperti anak yang sulit diatur dan sebagainya
Tanya      : bagaimana dengan design pembelajaran?         
Jawab     : Nah sebenarnya masalah in yang paling sering ditulis oleh guru. Seperti masalah pengelolaan kelas dan prosedur pembelajaran; implementasi dan inovasi  dalam metode pembelajaran; interaksi antara guru dan murid maupun interaksi antara sesama siswadi dalam dan luar kelas. Disamping itu alat bantu pembelajaran dan sumber belajar juga menajadi objek penulisan
Tanya      : Apa contohnya?
Jawab     : Penggunaan media pembelajaran baik di luar maupun di dalam kelas pemanfaatan perpustakaan dalam belajar


ASAP DAN KUCING



Menyedihkan asap mulai lagi menyelimuti kota Pekanbaru. Disamping mengganggu kesehatan namun pada manusia asap ini juga mengakibatkan penderitaan pada kucing binatang yang tidak berdosa dan tidak punya andil datangnya asap. Asap tidak hilang kalau tidak ada hujan. Jadi persoalannya bagaimana supaya hujan turun. Bagi yang taat beragama mereka melalukan sholat minta hujan. Tapi anak-anak di kompleks tempat saya tinggal punya kepercayaan hujan akan datang kalau kucing dimandikan.

 Nah, inilah yang terjadi semenjak asap muncul. Setiap hari ada kucing yang menjadi korban dimandikan sampai basah kuyup. Saya merasa kasihan melihat kucing-kucing ini, maka saya katakan pada mereka bahwa semua itu hanya mitos. Ada yang percaya ada yang tidak. Nah ketika seminggu yang lalu malamnya turun hujan beberapa anak SD mencegat saya, “Pak, bapak tidak percaya hujan akan turun kalau kucing dimandikan. Sore kemaren 5 ekor kucing kami mandikan dan terbukti malam tadi hujan turun”

Saya hanya tersenyum mendengar ini sambil mikir-mikir bagaimana menjelaskan pada anak-anak ini bahwa tidak ada hubungan antara kucing yang dimandikan dengan  hujan. Yang saya khawatirkan, kalau beberapa hari ini hujan tidak turun , maka yang jadi korban kucing-kucing yang dimandikan secara paksa.

 Namun dibalik itu semua  saya melihat, anak-anak ini merupakan  contoh anak anak yang peduli. Mereka ikut memikirkan bagaimana menyelesaikan masalah. Tidak hanya ikut  mengomel dan mengeluh seperti kebanyakan orang dewasa.  Saya berpengharapan  dengan adanya anak-anak yang kreatif ini, mungkin masa yang akan datang kita tidak perlu lagi merisaukan asap karena diantara mereka menemukan mesin penghisap asap. Semoga

SEMAKIN PANJANG JALAN UNTUK MENJADI GURU

Ketika saya tamat IKIP Program D III seluruh yang tamat tahun itu lansung diangkat jadi gurun tanpa test dan prosedur lainnya. Begitu gampangnya ketika itu jadi guru. Tidak hanya tamatan D III, tamatan PGSLP, DI, DII, PGSLA, BA semua dingkat jadi guru pegawai negeri. Memang ketika itu guru kurang, sehingga angkatan kami ditempat kan keseluruh pelosok Indonesia. Beberapa tahun setelah itu, proses jadi guru masih tetap mudah.
Kemudahan ini tidak lagi dinikmati oleh generasi calon-calon guru tahun 1990 an. Untuk menjadi guru mereka harus melewati test yang cukup ketat dan melelahkan, apalagi tahun –tahun terakhir ini. Saya pernah jumpa calon guru yang sudah 5 kali ikut test jadi CPNS gagal terus. Rasionalnya tentu karena guru sudah cukup, guru yang ada saja sudah payah untuk memcukupkan jam wajib 24 JP. Sedangkan perguruan tinggi terus juga memproduksi calon-calon guru. Di Pekanbaru saja misalnya,  berapa ribu calon guru yang dihasilkan Universitas Riau, UIR, UIN, dll setiap tahun. Kalau tidak ada lowongan jadi guru tentu mereka ini menjadi penganguran.
Nah, dengan keluarnya Permendikbud No. 87 tahun 2013, makin panjang jalan yang ditempuh untuk menjadi guru. Kalau dulu cukup dengan ijazah S1/Akta IV, sekarang setelah S1 tambah lagi pendidikan Profesi satu atau dua tahun.
Pertanyaan kita apa memang perlu penambahan waktu ini, kenapa tidak waktu 4 tahun  perogram S1 itu di efektifkan.
Pendidikan profesi yang  itu nantinya katanya akan digunakan untuk melatih calon  guru untuk membuat RPP dan praktek mengajar. Jangankan  S1, Program Diploma saja sudah ada program ini. Sekarang mengapa harus menambah waktu? Kalau alasannya hanya untuk menambah gelar GR didepan nama saja apakah ini tidak pemborosan tenaga, energi dan biaya daari orang tua. Kemudian apakah dengan gelar GR itu terjamin untuk jadi guru? Jangan-jangan ini hanya menambah jalan panjang untuk menjadi pengangguran.  Cukuplah  4 atau 5 tahun saja jalan  yang  ditempuh untuk menjadi pengangguran. Jangan ditambah lagi.


GARA-GARA SAMBAL LADO, BERURUSAN DENGAN KEDUTAAN


Kalau bercerita tentang makanan, saya punya 3 orang teman yang fanatik dengan masakan Padang. Satu orang dari Jambi,  satu lagi di Pekanbaru dan yang terakhir di negeri asalnya, Padang.  Kalau tiga hari saja tidak mengkomsumsi masakan Padang, mereka ini bisa meninggal,  karena bagi mereka hanya masakan Padang yang  dapat mengenyangkan. Kalau ada pelatihan di Pulau Jawa bersama dengan salah seorang saja dari mereka , maka saya terpaksa setiap jam makan menemani mereka untuk pergi makan keluar mencari rumah makan Padang. Padahal panitia kegiatan sudah menyediakan makan untuk peserta
Kisah yang saya ceritakan ini adalah teman yang berasal dari Jambi. Kami pernah sama-sama mengikuti pelatihan di Singapura dalam jangka yang cukup lama. Di Singapura menu makan ada juga nasi, tapi tidak masakan Padang. Kebetulan lokasi hotel kami di Orchad tidak jauh dari Lucky Plaza. Di Lucky  Plaza ada rumah makan dengan masakan Padang, namun setelah mencobanya, kata teman itu, tidak ada rasa Padangnya, jadi sama juga dengan tidak. Maka setiap hari dia selalu mengeluhkan masalah makanan ini. Yang paling dikeluhkan sambal ladonya yang tidak ada. Melihat kondisi yang begini, ada kawan yang berinisiatif untuk mengajaknya mencari sambal lado pada hari minggu. Untuk ini harus keluar dari Singapura. Pilihan jatuh ke Malaysia, Johor. Kesanalah mereka pergi pada hari Minggu. Kebetulan saya tidak ikut dengan mereka.
Sore mereka sudah sampai lagi di Hotel. Dengan wajah penuh kepuasan teman yang satu ini bercerita bagaimana dia melampiskan dendamnya makan masakan padang sepuas-puasnya di Johor. Dan pulangnya ia membawa bekal sambal lado goreng untuk persiapan makan satu Minggu.
Namun rupanya kepuasan teman ini berbuntut panjang. Mereka yang berangkat ke Johor ini, ketika masuk lagi  ke Singapura pasport mereka di cap dengan jangka  waktu 2 minggu berada di Singapura. Padahal program kegiatan masih ada sekitar satu bulan lagi. Terpaksa besoknya mereka melalporkan hal ini ke Kedutaan Indonesia di Singapura.


PANIPAHAN

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tananh sorga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
................................................
(koes plus)
Minggu yang lalu saya kebetulan ada tugas ke Bagan Siapi-siapi ibukota Rokan Hilir. Seperti biasa saya naik travel. Kebetulan disebelah saya duduk seorang lelaki keturunan Cina. Ia banyak berkisah tentang sejarah negeri leluhurnya. Hampir semua materi cerita ia tuturkan sudah pernah saya baca sehingga perbincangan kami jadi asyik. Namun yang berkesan bagi saya bukan kisah sejarah cina yang ia ceritakan, tapi tentang Desa Panipahan tempat dia tinggal. Menurutnya Panipahan itu dicapai sekitar 2 jam dengan roda dua dari bagan. Bisa juga melalui laut katanya.
Saya belum pernah ke Panipahan, namun dari penuturan teman seperjalanan ini, rumah-rumah penduduk di Panipahan  adalah rumah-rumah panggung yang di bawahnya digenangi air laut. Hidup di Panipahan itu sangat menyenangkan, katanya. Kalau kita puas hidup apa adanya, hidup kita tidak akan susah. Alam sudah menyediakan makanan yang berlimpah untuk kita. Turun saja kita dari rumah, itu dipermukaan air laut, kepiting-kepiting tinggal memungut saja. Kadangkala bila sedang musimnya, udang juga melimpah.

“Tapi kita hidup ini tidak cukup hanya dengan kepiting dan udang saja, Ko” Kata saya. “Kita juga perlu beras, dan pakaian”
“Apa susahnya”, katanya lagi, “kumpulkan kepiting-kepiting itu, bawa kepasar terdekat, jual dapat uang”.
Perbincangan ini mengingatkan saya pada lagu Koes plus, yang mengatakan tanah kita tanah sorga, hanya saya dan rata-rata orang Indonesia lainya  yang tidak 

MAKAN DURIAN DI MEDAN

Usai kegian cluster yang diselenggarakan oleh LPMP Medan, malamnya kepala LPMP Sumut mentraktir kami makan durian di jalah Wahid Hasyim. Di luar dugaan saya, tempat makan durian itu sangat luas sekali.  Namanya” Ucok Durian” . Pengunjungnya membludak. Ada yang berembongan dengan keluarga; ada yang dengan teman-teman, semuanya berpesta pora menikmati buah-buahan yang berduri itu. Tempat parkirnya juga luas.
Ketika sudah mendapat tempat duduk, petugas Ucok Durian membawa se kardus durian ketempat kita. Dan petugas itu siap untuk membukanya sehingga kita tinggal berpesta pora saja tanpa susah-susah membukanya. Bagi yang ingin membawa durian pulang kerumah, ada pula petugas khusus mengemas buah durian yang sudah dibuka  dengan kemasan spesial
Malam itu saya dan teman-teman lpmp dari provinsi  lainnya betul memuaskan diri makan durian. Mungkin selama sepuluh tahun ini, malam itulah saya paling banyak makan durian. Saya melupakan pengalaman jelek akibat makan durian. Dua tahun yang lalu setelah pesta durian saya dapat batuk yang tidak sehat-sehat selama satu tahun lebih. Usaha  untuk menyembuhkan menghabiskan biaya jutaan dan sekaligus menghilangkan kepercayaan saya pada dokter. Namun segi positifnya penyakit ini menggiring saya untuk menjadi anggota komunitas quantum healing yang mengajarkan bagai mana hidup sehat dengan memberdayakan  potensi alam bawah sadar kita.

Namun malam itu saya tidak peduli, saya habiskan durian sebanyak-banyaknya. Yang menjadi catatan bagi saya makan di “ Ucok Durian” kepada kita sudah disuguhkan durian yang besar dan mutunya sudah standar, sehingga kita tidak perlu susah-susah memilih lagi. Kemudian harganya sudah tetap, satu durian 25 ribu. Jadi kalau kita habis 10 Cuma 250 ribu. Bayangkan makan durian di Pekanbaru, bisa saja uang 250 ribu itu hanya untuk makan 4 durian. Apalagi kalau tidak menanyakan harga sebelum memakannya.  Jadi kalau mentraktir teman sekantorpun makan durian di “Ucok Durian” ini masih terjangkau, dan tidak mengoyak kantong. Mudah-mudahan suatu saat adalah pula tempat makan durian seperti” Ucok Durian” di Pekanbaru

MAKAN GULAI IKAN HIU DI ACEH

Kapan saja datang ke Aceh, yang pertama muncul dalam pikiran saya adalah mie Aceh yang sedap. Dimana-mana ada  mie Aceh. Di Medan, Pekanbaru, Batam, dll, namun kalau soal rasa,  tidak seenak di tempat aslinya. Saya tidak tahu kenapa begitu, apakah ada bumbunya yang kurang?

Ketika November yang lalu saya dan berapa orang teman ditugaskan ke Aceh, maka yang acara pertama kami setelah mendapat hotel adalah mengunjungi gerai Mie Aceh Razali yang terletak di pusat kota Banda Aceh. Kami puas kerinduan kami makan mie serambi Mekah yang memiliki rasa dan aroma yang khas. Seperti biasa favorit saya adalah mie basah.
Namun hari terakhir di Aceh kami menemukan hidangan yang belum pernah kami nikmati sebelumnya, yaitu gulai ikan hiu. Ini kami temukan di rumah makan Mujahiddin jalan Khairil Anwar. Karena baru pertama mencicipinya semua kami memesan masing-masing satu piring. Rasanya mirip-mirip gulai kambing.

Wisata kuliner di Aceh relatip sangat murah dibanding dengan di Pekanbaru atau kota-kota lainnya di Indonesia. Bayangkan kami berlima, sudah makan sepuasnya ditambah dengan jus dan minuman lainnya tidak pernah melebih Rp 200 ribu. Bandingkan dengan Pekanbaru, kalau makan  ditempat khusus seperti rumah makan khas melayu, pondok baung dsb, saya akan merasa was was mentraktir 5 orang teman  kalau di kantong hanya ada uang lima ratusan ribu. Kalau di Aceh uang segitu sudah jauh dari memadai untuk tamasya kuliner.

LANGKAH PEMBELAJARAN SCIENTIFIK(5) MENGKOMUNIKASIKAN

        Mengkomunikasikan
Pada pendekatan scientific guru diharapkan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengkomunikasikan apa yang telah mereka pelajari. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui  menuliskan atau menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampikan di kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut. Kegiatan “mengkomunikasikan” dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor  81a Tahun 2013, adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. 

Adapun kompetensi yang diharapkan dalam kegiatan ini adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. 

LANGKAH PEMEBELAJARAN SCIENTIFIK(4) MENALAR

  1. Menalar
a.      Esensi Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.  Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan  antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik dengan peserta didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons (S-R).  Teori ini dikembangan kerdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
·         Hukum efek (The Law of Effect), di mana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan melemah. Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilakunya.

·         Hukum latihan (The Law of Exercise). Awalnya, hukum ini terdiri dari dua jenis, yang setelah tahun 1930 dinyatakan dicabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang. Menurut Thorndike, perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement). Memang, latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu menyadari konsekuensi perilakunya.

·         Hukum kesiapan (The Law of Readiness). Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika peserta dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan merasa puas. Sebaliknya, jika pesert didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi. Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi.

Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R. Kaidah dasar yang digunakan dalam teori S-R adalah:
·         Kesiapan (readiness). Kesiapan  diidentifikasi berkaitan langsung dengan motivasi peserta didik. Kesiapan itu harus ada pada diri guru dan peserta didik. Guru harus benar-benar siap mengajar dan peserta didik benar-benar siap menerima pelajaran dari gurunya. Sejalan dengan itu, segala sumber daya pembelajaran pun perlu disiapkan secara baik dan saksama.
·         Latihan (exercise). Latihan merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara berulang oleh peserta didik. Pengulangan ini memungkinkan hubungan antara S dengan R makin intensif dan ekstensif.
·         Pengaruh (effect). Hubungan yang intensif dan berulang-ulang antara S dengan R akan meningkatkan kualitas ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik sebagai hasil belajarnya. Manfaat hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik dirasakan langsung oleh mereka dalam dalam dunia kehidupannya.

Kaidah atau prinsip “pengaruh” dalam pembelajaran berkaitan dengan kemamouan guru menciptakan suasana, memberi penghargaan, celaan, hukuman, dan ganjaran. Teori S – S ini memang terkesan robotik. Karenanya, teori ini terkesan mengenyampingkan peranan minat, kreativitas, dan apirasi peserta didik.
·         Oleh karena tidak semua perilaku belajar atau pembelajaran dapat dijelaskan dengan pelaziman sebagaimana dikembangkan oleh  Ivan Pavlov, teori asosiasi biasanya menambahkan teori belajar sosial (social learning) yang dikembangkan oleh Bandura. Menurut Bandura, belajar terjadi karena proses peniruan (imitation). Kemampuan peserta didik dalam meniru respons menjadi pengungkit utama aktivitas belajarnya. Ada empat konsep dasar teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura.
·         Pertama, pemodelan (modelling), dimana peserta didik belajar dengan cara meniru perilaku orang lain (guru, teman, anggota masyarakat, dan lain-lain) dan pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain itu.
·         Kedua, fase belajar, meliputi fase memberi perhatian terhadap model (attentional), mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention), menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction), dan motivasi (motivation) ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan.
·         Ketiga, belajar vicarious, dimana peserta didik belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman selama terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu.
·         Keempat, pengaturan-diri (self-regulation), dimana peserta didik mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.
Teori asosiasi ini sangat efektif menjadi landasan menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada peserta didik berkenaan dengan nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif. Dengan cara ini peserta didik akan melakukan peniruan terhadap apa yang nyata diobservasinya dari kinerja guru dan temannya di kelas.
Bagaimana aplikasinya dalam proses pembelajaran? Aplikasi pengembangan aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan daya menalar peserta didik dapat dilakukan dengan cara berikut ini.
·         Guru menyusun bahan pembelajaran dalam bentuk yang sudah siap sesuai dengan tuntutan kurikulum.
·         Guru tidak banyak menerapkan metode ceramah atau metode kuliah. Tugas utama guru adalah memberi instruksi singkat tapi jelas dengan disertai contoh-contoh, baik dilakukan sendiri maupun dengan cara simulasi.
·         Bahan pembelajaran disusun secara berjenjang atau hierarkis, dimulai dari yang sederhana (persyaratan rendah) sampai pada yang kompleks (persyaratan tinggi).
·         Kegiatan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati
·         Seriap kesalahan harus segera dikoreksi atau diperbaiki
·         Perlu dilakukan pengulangan dan latihan agar perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan atau pelaziman.
·         Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang nyata atau otentik.
·         Guru mencatat semua kemajuan peserta didik untuk kemungkinan memberikan tindakan pembelajaran perbaikan.
b.      Cara menalar
Seperti telah dijelaskan di muka, terdapat dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik.
Contoh:
·         Singa binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
·         Harimau binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
·         Ikan Paus binatang berdaun telinga berkembangbiak dengan melahirkan
·         Simpulan: Semua binatang yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan
Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola silogisme. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Ada tiga jenis silogisme, yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis, silogisme alternatif. Pada penalaran deduktif tedapat premis, sebagai proposisi menarik simpulan. Penarikan simpulan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu  langsung dan tidak langsung. Simpulan secara langsung ditarik dari satu premis, sedangkan simpulan tidak langsung ditarik dari dua premis.
Contoh :
·         Kamera adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
·         Telepon genggam adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperas.
·         Simpulan: semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.

2.      Analogi dalam Pembelajaran
Selama proses pembelajaran, guru dan pesert didik sering kali menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki persamaan. Dengan demikian, guru dan peserta didik adakalamua menalar secara analogis. Analogi adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan.
Berpikir analogis sangat penting dalam pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Seperti halnya penalaran, analogi terdiri dari dua jenis, yaitu analogi induktif dan analogi deduktif. Kedua analogi itu dijelaskan berikut ini.
Analogi induktif disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena atau gejala. Atas dasar persamaan dua gejala atau fenomena itu ditarik simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau gejala pertama terjadi juga pada fenomena atau gejala kedua. Analogi induktif merupakan suatu ‘metode menalar’ yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu simpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua fenomena atau gejala khusus yang diperbandingkan.
Contoh:
Peserta didik Pulan merupakan pebelajar yang tekun. Dia lulus seleksi Olimpiade Sains Tingkat Nasional tahun ini. Dengan demikian, tahun ini juga, Peserta didik Pulan akan mengikuti kompetisi  pada Olimpiade Sains Tingkat Internasional. Untuk itu dia harus belajar lebih tekun lagi.
Analogi deklaratif merupakan suatu ‘metode menalar’ untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena atau gejala yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Analogi deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru, fenomena, atau gejala menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah dketahui secara nyata dan dipercayai.
Contoh:
Kegiatan kepeserta didikan akan berjalan baik jika terjadi sinergitas kerja antara kepala sekolah, guru, staf tatalaksana, pengurus organisasi peserta didik intra sekolah, dan peserta didik. Seperti halnya kegiatan belajar, untuk mewujudkan hasil yang baik diperlukan sinergitas antara ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.

3.      Hubungan Antarfenonena
Seperti halnya penalaran dan analogi, kemampuan menghubungkan antarfenomena atau gejala sangat penting dalam proses pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan antarfenonena atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat.
Hubungan sebab-akibat diambil dengan menghubungkan satu atau beberapa fakta yang satu dengan datu atau beberapa fakta yang lain. Suatu simpulan yang menjadi sebab dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat juga menjadi akibat dari satu atau beberapa fakta tersebut.
Penalaran sebab-akibat ini masuk dalam ranah penalaran induktif, yang disebut dengan penalaran induktif sebab-akibat. Penalaran induksi sebab akibat terdiri dri tiga jenis.
·         Hubungan sebab–akibat. Pada penalaran hubungan sebab-akibat, hal-hal yang menjadi sebab dikemukakan terlebih dahulu, kemudian ditarik simpulan yang berupa akibat.
Contoh:
Bekerja keras, belajar tekun, berdoa, dan tidak putus asa adalah faktor pengungkit yang  bisa membuat kita mencapai puncak kesuksesan.
·         Hubungan akibat–sebab. Pada penalaran hubungan akibat-sebab, hal-hal yang menjadi akibat dikemukakan terlebih dahulu, selanjutnya ditarik simpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh :
Akhir-ahir ini sangat marak kenakalan remaja, angka putus sekolah, penyalahgunaan Nakoba di kalangan generasi muda, perkelahian antarpeserta didik, yang disebabkan oleh pengabaian orang tua dan ketidaan keteladanan tokoh masyarakat, sehingga mengalami dekandensi moral secara massal.
·         Hubungan sebab–akibat 1 – akibat 2. Pada penalaran hubungan sbab-akibat 1 –akibat 2, suatu  penyebab dapat menimbulkan serangkaian akibat. Akibat yang pertama menjadi penyebab, sehingga menimbulkan akibat kedua. Akibat kedua menjadi penyebab sehingga menimbulkan akibat ketiga, dan seterusnya.
Contoh:
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, hidupnya terisolasi. Keterisolasian itu menyebabkan mereka kehilangan akses untuk melakukan aktivitas ekonomi, sehingga muncullah kemiskinan keluarga yang akut. Kemiskinan keluarga yang akut menyebabkan anak-anak mereka tidak berkesempatan menempuh pendidikan yang baik. Dampak lanjutannya, bukan tidak mungkin terjadi kemiskinan yang terus berlangsung secara siklikal.


LANGKAH PEMBELAJARAN SCIENTIFIK (3) MENCOBA

1.      Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya, peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. 
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus disediakan; (3) mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data; (6) menarik simpulan atas hasil percobaan; dan (7) membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan tempat dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid (5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan dijadikan eksperimen (6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara klasikal.
Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan eksperimen atau mencoba dilakukan melalui tiga tahap, yaitu, persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Ketiga tahapan eksperimen atau mencoba dimaksud dijelaskan berikut ini.
a.      Persiapan
·         Menentapkan tujuan eksperimen
·         Mempersiapkan alat atau bahan
·         Mempersiapkan tempat eksperimen sesuai dengan jumlah peserta didik serta alat atau bahan yang tersedia. Di sini guru perlu menimbang apakah peserta didik akan melaksanakan eksperimen atau mencoba secara serentak atau dibagi menjadi beberapa kelompok secara paralel atau bergiliran
·         Memertimbangkan masalah keamanan dan kesehatan agar dapat memperkecil atau menghindari risiko yang mungkin timbul
·         Memberikan penjelasan mengenai apa yang harus diperhatikan dan tahapa-tahapan yang harus dilakukan peserta didik, termasuk hal-hal yang dilarang atau membahayakan.

b.      Pelaksanaan

·         Selama proses eksperimen atau mencoba, guru ikut membimbing dan mengamati proses percobaan. Di sini guru harus memberikan dorongan dan bantuan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik agar kegiatan itu berhasil dengan baik.
·         Selama proses eksperimen atau mencoba, guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan, termasuk membantu mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan menghambat kegiatan pembelajaran.

c.       Tindak lanjut
  • Peserta didik mengumpulkan laporan hasil eksperimen kepada guru
  • Guru memeriksa hasil eksperimen peserta didik
  • Guru memberikan umpan balik kepada peserta didik atas hasil eksperimen.
  • Guru dan peserta didik mendiskusikan masalah-masalah yang ditemukan selama eksperimen.
  • Guru dan peserta didik memeriksa dan menyimpan kembali segala bahan dan alat yang digunakan

A.     Jejaring Pembelajaran atau Pembelajaran Kolaboratif
Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika  pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama. 
Hasil penelitian Vygotsky membuktikan bahwa ketika peserta didik diberi tugas untuk dirinya sediri, mereka akan bekerja sebaik-baiknya ketika bekerjasama atau berkolaborasi dengan temannya. Vigotsky merupakan salah satu pengagas teori konstruktivisme sosial. Pakar ini sangat terkenal dengan teori “Zone of Proximal Development” atau ZPD. Istilah ”Proximal” yang digunakan di sini bisa bermakna “next“. Menurut Vygotsky,  setiap manusia (dalam konteks ini disebut peserta didik) mempunyai potensi tertentu. Potensi tersebut dapat teraktualisasi dengan cara menerapkan ketuntasan belajar (mastery learning). Akan  tetapi di antara potensi dan aktualisasi peserta didik itu terdapat terdapat wilayah abu-abu.  Guru memiliki berkewajiban menjadikan wilayah “abu-abu” yang ada pada peserta didik itu dapat teraktualisasi dengan cara belajar kelompok.  
Seperti termuat dalam gambar, Vygostsky mengemukakan tiga wilayah  yang tergamit dalam ZPD yang disebut dengan “cannot yet do”,can do with help“, dan “can do alone“.  ZPD merupakan wilayah  “can do with help” yang sifatnya tidak permanen, jika proses pembelajaran mampu menarik pebelajar dari zona tersebut dengan cara kolaborasi atau pembelajaran kolaboratif.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran kolaboratif. Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi kelas atau pembelajaran kolaboratif.
1.      Guru dan peserta didik saling berbagi informasi.
Dengan pembelajaran kolaboratif,  peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai  dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi dan mengawasi secara rijid.
Contoh:

Jika guru mengajarkan topik “hidup bersama secara damai.” Peserta didik yang mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan topik tersebut berpeluang menyatakan sesuatu pada sesi pembelajaran, berbagi idea, dan memberi garis-garis besar  arus komunikasi antar peserta didik. Jika peserta didikmemahami dan melihat fenomena nyata kehidupan bersama yang damai itu, pengalaman dan pengetahuannya dihargai dan dapat dibagikan dalam jaringan pembelajaran mereka.  Mereka pun akan termotivasi untuk melihat dan mendengar. Di sini peserta didik juga dapat merumuskan kaitan antara proses pembelajaran yang sedang dilakukan dengan dunia sebenarnya.