Setelah
cukup rasanya menikmati keindahan pantai Gondoriah Pariaman, sehabis zuhur kami
mulai lagi perjalanan. Setelah bertanya kepada beberapa orang kami sampai ke
jalan menuju Tiku. Mulai lah perjalanan
kami menyusuri jalan yang dahulunya ketika remaja saya menyusuri jalan ini
berjalan kaki dengan arah yang
berlawanan dari Maninjau, Lubuk Basung, Tiku dan Pariaman.
Saya
membawa mobil dengan santai saja tidak terburu-buru. Saya inginmenikati
perjalanan yang sebenarnya napak tilas petualangan saya ketika remaja kelas 1 SMA berjalan kaki
keliling Sumbar. Pekerjaan gila-gilaan yang kalau dipikir-pikir sekarang ini
tidak masuk akal. Tapi itulah romantika masa remaja yang penuh khayalan dan
mencari jati diri.
Kami
menyusuri jalan aspal yang cukup mulus. Kiri kanan sawah membuat pemandangan
nampak semakin indah. Di beberapa tempat kami berhenti untuk mengambil foto-foto
pemandangan alam yang memukau.
Tak
berapa lama kami sampai di Tiku. Saya mencari di mana kira-kira pantai tempat kami berkemah puluhan tahun yang lalu.
Tanjung Mutiara saya, ingat betul tempat itu. Dpantai itulah kami berkemah,
bersenang-senang stelah berjalan kaki selama 2 hari dari Maninjau dan Lubuk Basung. Waktu itu kami berempat
betul-betul menikamati pantai. Maklum di daerah kami tidak ada laut, yang ada
hanya sungai Kampar kebanggaan kami.
Nampaknya
pantai Tiku tidak banyak perubahan. Dari Tiku kami terus mengemudi dengan
santai terus ke arah Lubuk Basung.
Lubuk
basung ini benar-benar sudah berubah. Sekitar 5 tahun yang lalu saya pernah
juga lewat di sini. Tapi keadaannya benar-benar beda. Menjelang memasuki kota
jalan sudah dua jalur. Jalan dua jalur ini cukup panjang hingga sampai pula
keluar kota. Parit di Pinggir jalan atau oleh orang setempat di sebut banda
tidak ada lagi. Dulu ciri khas Lubuk Basung adalah Parit yang lebar sekitar dua meter itu yang mengalir sepanjang jalan
dan dimanfaatkan oleh penduduk untuk mencuci dan beternak ikan.
Sekarang
pemandangan itu tidak nampak lagi, Lubuk Basung sudah berubah menjadi kota
kabupaten dengan perkantorannya yang megah dan nampak masih baru. Saya juga tidak berhasil menemukan Rumah
Lasuang yang pernah kami numpang tidur dalam petualangan masa remaja setelah berjalan kaki dari Maninjau.
Perjalanan
diteruskan, xenia yang saya kemudikan meluncur dengan tenang menuju Maninjau.
Menyusuri jalan aspal yang mulus, melewati persawahan, bukit-bukit yang
mengapit kiri kanan jalan.
Mendekati
Maninjau, desa Muko-muko yang dahulunya ditandai dengan rumah makan yang
menjorok ke danau, sekarang tidak
kelihatan lagi. Yang nampak adalah water boom yang penuh dengan pengunjung.
Danau
Maninjau sudah di depan mata. Diantarai oleh bentangan sawah yang luas, danau
maninjau nampak dengan warna yang agak
kebiruan. Di pinggir danau kelihatan kerambah-kerambah milik penduduk yang memelihara ikan.
Mendekati
pusat kota Maninjau, jalan aspal yang dilalui diapit oleh rumah-rumah penduduk
kiri dan kanan. Jarak rumah dan jalan sangat dekat sekali. Sehingga kalau
kenderaan roda empat berhenti, maka akan terjadi kemacetan, karena menghalangi
mobil yang banyak lalu lalang di jalan. Dengan demikian kami memutuskan tidak
dapat melihat-lihat penganan yang dijual dipinggir jalan. Padahal saya ingin
melihat penganan khas Maninjau.
Akhirnya
kami sampai di persimpangan, ke kiri kelok ampek puluah ampek, terus ke Sungai
Batang kampungnya Buya Hamka, belok kanan ke tempat peristirahan Maninjau
Indah. Kami belok kanan ke Maninjau Indah
Waktu
saya kuliah di IKIP Padang dulu, saya pernah berlibur di Maninjau Indah ini.
Saya masih terkesan di sebuah kantin
saya duduk-duduk menikmati secangkir kopi sambil ngantuk-ngantuk mendengarkan
lagu Edy Fergrina dari kaset. Lagu yang membuat saya terlena, Memory of our
dreams, Since You’ve been gone, what am I living for, dll.
Saya ingin duduk-duduk lagi di Kantin yang sama
menikmati lagi setidaknya secangkir kopi pula. Sayang, rupanya Maninjau Indah tidak
ada lagi, atau mungkin tidak buka hari itu, sedangkan plang namanya. Sayang,
tidak bisa mengulangi nostalgia lama.
No comments:
Post a Comment