- Menalar
a. Esensi Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka
proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013
untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik
tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif
daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata
empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa
pengetahuan. Penalaran dimaksud
merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak
bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan
dari reasonsing, meski istilah ini
juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar
dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak
merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah
asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide
dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi
penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak,
pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain.
Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu
dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi
merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari
kesamaan antara pikiran atau kedekatan
dalam ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran
pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung
antara pendidik dengan peserta didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui
stimulus dan respons (S-R). Teori ini
dikembangan kerdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal
dengan teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh
Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon
(S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar
peserta didik terjadi secara perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara
tiba-tiba. Thorndike mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
·
Hukum efek (The Law of Effect), di mana intensitas hubungan
antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses pembelajaran sangat
dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi. Jika akibat dari
hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan
mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa tidak
menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan melemah. Menurut Thorndike, efek
dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam memperkuat
perilaku peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang tidak menyenangkan)
dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward akan meningkatkan
perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan mengurangi atau
menghilangkan perilakunya.
·
Hukum latihan (The Law
of Exercise). Awalnya, hukum ini terdiri dari dua jenis, yang setelah tahun
1930 dinyatakan dicabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja
tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu
hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang.
Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika
tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang. Menurut Thorndike, perilaku dapat
dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement).
Memang, latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah
individu menyadari konsekuensi perilakunya.
·
Hukum kesiapan (The Law
of Readiness). Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan
menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan
belajar individunya. Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika
peserta dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan merasa puas.
Sebaliknya, jika pesert didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa
dilakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi.
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam
Operant Conditioning atau
pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran
dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam
probabilitas perilaku itu akan diulangi.
Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin
efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin
tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R. Kaidah dasar yang
digunakan dalam teori S-R adalah:
·
Kesiapan (readiness).
Kesiapan diidentifikasi berkaitan
langsung dengan motivasi peserta didik. Kesiapan itu harus ada pada diri guru
dan peserta didik. Guru harus benar-benar siap mengajar dan peserta didik
benar-benar siap menerima pelajaran dari gurunya. Sejalan dengan itu, segala
sumber daya pembelajaran pun perlu disiapkan secara baik dan saksama.
·
Latihan (exercise).
Latihan merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara berulang oleh
peserta didik. Pengulangan ini memungkinkan hubungan antara S dengan R makin
intensif dan ekstensif.
·
Pengaruh (effect).
Hubungan yang intensif dan berulang-ulang antara S dengan R akan meningkatkan
kualitas ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik sebagai hasil
belajarnya. Manfaat hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik dirasakan
langsung oleh mereka dalam dalam dunia kehidupannya.
Kaidah atau prinsip “pengaruh” dalam pembelajaran
berkaitan dengan kemamouan guru menciptakan suasana, memberi penghargaan,
celaan, hukuman, dan ganjaran. Teori S – S ini memang terkesan robotik.
Karenanya, teori ini terkesan mengenyampingkan peranan minat, kreativitas, dan
apirasi peserta didik.
·
Oleh karena tidak semua perilaku belajar atau pembelajaran
dapat dijelaskan dengan pelaziman sebagaimana dikembangkan oleh Ivan Pavlov, teori asosiasi biasanya
menambahkan teori belajar sosial (social
learning) yang dikembangkan oleh Bandura. Menurut Bandura, belajar terjadi
karena proses peniruan (imitation).
Kemampuan peserta didik dalam meniru respons menjadi pengungkit utama aktivitas
belajarnya. Ada empat konsep dasar teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura.
·
Pertama, pemodelan (modelling),
dimana peserta didik belajar dengan cara meniru perilaku orang lain (guru,
teman, anggota masyarakat, dan lain-lain) dan pengalaman vicarious yaitu
belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain itu.
·
Kedua, fase belajar, meliputi
fase memberi perhatian terhadap model (attentional), mengendapkan hasil
memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention), menampilkan ulang
perilaku model oleh pebelajar (reproduction), dan motivasi (motivation) ketika
peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi
positif dari lingkungan.
·
Ketiga, belajar vicarious,
dimana peserta didik belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran
atau hukuman selama terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu.
·
Keempat, pengaturan-diri
(self-regulation), dimana peserta didik mengamati, mempertimbangkan, memberi
ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.
Teori asosiasi ini sangat efektif menjadi landasan
menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada peserta didik berkenaan dengan
nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif. Dengan cara ini peserta
didik akan melakukan peniruan terhadap apa yang nyata diobservasinya dari
kinerja guru dan temannya di kelas.
Bagaimana aplikasinya dalam proses pembelajaran?
Aplikasi pengembangan aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan daya menalar
peserta didik dapat dilakukan dengan cara berikut ini.
·
Guru menyusun bahan pembelajaran dalam bentuk yang sudah siap
sesuai dengan tuntutan kurikulum.
·
Guru tidak banyak menerapkan metode ceramah atau metode
kuliah. Tugas utama guru adalah memberi instruksi singkat tapi jelas dengan
disertai contoh-contoh, baik dilakukan sendiri maupun dengan cara simulasi.
·
Bahan pembelajaran disusun secara berjenjang atau hierarkis,
dimulai dari yang sederhana (persyaratan rendah) sampai pada yang kompleks
(persyaratan tinggi).
·
Kegiatan pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat
diukur dan diamati
·
Seriap kesalahan harus segera dikoreksi atau diperbaiki
·
Perlu dilakukan pengulangan dan latihan agar perilaku yang
diinginkan dapat menjadi kebiasaan atau pelaziman.
·
Evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang nyata atau
otentik.
·
Guru mencatat semua kemajuan peserta didik untuk kemungkinan
memberikan tindakan pembelajaran perbaikan.
b.
Cara menalar
Seperti telah dijelaskan di muka, terdapat
dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara
menalar dengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk
hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses
penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau
spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif
lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik.
Contoh:
·
Singa
binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
·
Harimau
binatang berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
·
Ikan Paus
binatang berdaun telinga berkembangbiak dengan melahirkan
·
Simpulan:
Semua binatang yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan
Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik
simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju
pada hal yang bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola
silogisme. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang
umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang
khusus.
Ada tiga jenis silogisme, yaitu silogisme kategorial,
silogisme hipotesis, silogisme alternatif. Pada penalaran deduktif tedapat
premis, sebagai proposisi menarik simpulan. Penarikan simpulan dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu langsung dan
tidak langsung. Simpulan secara langsung ditarik dari satu premis, sedangkan
simpulan tidak langsung ditarik dari dua premis.
Contoh :
·
Kamera
adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
·
Telepon
genggam adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperas.
·
Simpulan:
semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.
2.
Analogi dalam
Pembelajaran
Selama proses pembelajaran, guru dan pesert didik
sering kali menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki persamaan.
Dengan demikian, guru dan peserta didik adakalamua menalar secara analogis.
Analogi adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara
membandingkan sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan.
Berpikir analogis sangat penting dalam pembelajaran,
karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Seperti halnya
penalaran, analogi terdiri dari dua jenis, yaitu analogi induktif dan analogi
deduktif. Kedua analogi itu dijelaskan berikut ini.
Analogi induktif disusun berdasarkan persamaan yang
ada pada dua fenomena atau gejala. Atas dasar persamaan dua gejala atau
fenomena itu ditarik simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau gejala
pertama terjadi juga pada fenomena atau gejala kedua.
Analogi induktif merupakan suatu ‘metode menalar’ yang sangat bermanfaat untuk
membuat suatu simpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang
terbukti terdapat pada dua fenomena atau gejala khusus yang diperbandingkan.
Contoh:
Peserta didik Pulan merupakan pebelajar yang tekun.
Dia lulus seleksi Olimpiade Sains Tingkat Nasional tahun ini. Dengan demikian,
tahun ini juga, Peserta didik Pulan akan mengikuti kompetisi pada Olimpiade Sains Tingkat Internasional.
Untuk itu dia harus belajar lebih tekun lagi.
Analogi deklaratif merupakan suatu ‘metode menalar’
untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena atau gejala yang belum
dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal.
Analogi deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru, fenomena, atau
gejala menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal
yang sudah dketahui secara nyata dan dipercayai.
Contoh:
Kegiatan kepeserta didikan akan berjalan baik jika
terjadi sinergitas kerja antara kepala sekolah, guru, staf tatalaksana,
pengurus organisasi peserta didik intra sekolah, dan peserta didik. Seperti
halnya kegiatan belajar, untuk mewujudkan hasil yang baik diperlukan sinergitas
antara ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
3.
Hubungan Antarfenonena
Seperti halnya penalaran dan analogi, kemampuan
menghubungkan antarfenomena atau gejala sangat penting dalam proses
pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di
sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan
antarfenonena atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat.
Hubungan sebab-akibat diambil dengan menghubungkan
satu atau beberapa fakta yang satu dengan datu atau beberapa fakta yang lain.
Suatu simpulan yang menjadi sebab dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat
juga menjadi akibat dari satu atau beberapa fakta tersebut.
Penalaran sebab-akibat ini masuk dalam ranah penalaran
induktif, yang disebut dengan penalaran induktif sebab-akibat. Penalaran
induksi sebab akibat terdiri dri tiga jenis.
·
Hubungan sebab–akibat. Pada penalaran hubungan sebab-akibat,
hal-hal yang menjadi sebab dikemukakan terlebih dahulu, kemudian ditarik
simpulan yang berupa akibat.
Contoh:
Bekerja keras, belajar tekun, berdoa, dan tidak putus asa adalah faktor
pengungkit yang bisa membuat kita
mencapai puncak kesuksesan.
·
Hubungan akibat–sebab. Pada penalaran hubungan akibat-sebab,
hal-hal yang menjadi akibat dikemukakan terlebih dahulu, selanjutnya ditarik
simpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh
:
Akhir-ahir ini sangat marak kenakalan remaja, angka putus sekolah,
penyalahgunaan Nakoba di kalangan generasi muda, perkelahian antarpeserta
didik, yang disebabkan oleh pengabaian orang tua dan ketidaan keteladanan tokoh
masyarakat, sehingga mengalami dekandensi moral secara massal.
·
Hubungan sebab–akibat 1 – akibat 2. Pada penalaran hubungan
sbab-akibat 1 –akibat 2, suatu penyebab
dapat menimbulkan serangkaian akibat. Akibat yang pertama menjadi penyebab,
sehingga menimbulkan akibat kedua. Akibat kedua menjadi penyebab sehingga
menimbulkan akibat ketiga, dan seterusnya.
Contoh:
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, hidupnya terisolasi.
Keterisolasian itu menyebabkan mereka kehilangan akses untuk melakukan
aktivitas ekonomi, sehingga muncullah kemiskinan keluarga yang akut. Kemiskinan
keluarga yang akut menyebabkan anak-anak mereka tidak berkesempatan menempuh
pendidikan yang baik. Dampak lanjutannya, bukan tidak mungkin terjadi
kemiskinan yang terus berlangsung secara siklikal.
No comments:
Post a Comment