Ketika saya tamat IKIP Program D III seluruh
yang tamat tahun itu lansung diangkat jadi gurun tanpa test dan prosedur
lainnya. Begitu gampangnya ketika itu jadi guru. Tidak hanya tamatan D III,
tamatan PGSLP, DI, DII, PGSLA, BA semua dingkat jadi guru pegawai negeri.
Memang ketika itu guru kurang, sehingga angkatan kami ditempat kan keseluruh
pelosok Indonesia. Beberapa tahun setelah itu, proses jadi guru masih tetap
mudah.
Kemudahan ini tidak lagi dinikmati
oleh generasi calon-calon guru tahun 1990 an. Untuk menjadi guru mereka harus
melewati test yang cukup ketat dan melelahkan, apalagi tahun –tahun terakhir
ini. Saya pernah jumpa calon guru yang sudah 5 kali ikut test jadi CPNS gagal
terus. Rasionalnya tentu karena guru sudah cukup, guru yang ada saja sudah
payah untuk memcukupkan jam wajib 24 JP. Sedangkan perguruan tinggi terus juga
memproduksi calon-calon guru. Di Pekanbaru saja misalnya, berapa ribu calon guru yang dihasilkan
Universitas Riau, UIR, UIN, dll setiap tahun. Kalau tidak ada lowongan jadi
guru tentu mereka ini menjadi penganguran.
Nah, dengan keluarnya Permendikbud
No. 87 tahun 2013, makin panjang jalan yang ditempuh untuk menjadi guru. Kalau
dulu cukup dengan ijazah S1/Akta IV, sekarang setelah S1 tambah lagi pendidikan
Profesi satu atau dua tahun.
Pertanyaan kita apa memang perlu
penambahan waktu ini, kenapa tidak waktu 4 tahun perogram S1 itu di efektifkan.
Pendidikan profesi yang itu nantinya katanya akan digunakan untuk
melatih calon guru untuk membuat RPP dan
praktek mengajar. Jangankan S1, Program
Diploma saja sudah ada program ini. Sekarang mengapa harus menambah waktu?
Kalau alasannya hanya untuk menambah gelar GR didepan nama saja apakah ini
tidak pemborosan tenaga, energi dan biaya daari orang tua. Kemudian apakah
dengan gelar GR itu terjamin untuk jadi guru? Jangan-jangan ini hanya menambah
jalan panjang untuk menjadi pengangguran.
Cukuplah 4 atau 5 tahun saja
jalan yang ditempuh untuk menjadi pengangguran. Jangan
ditambah lagi.
No comments:
Post a Comment