Saya termasuk orang yang tidak
percaya takhyul dan sampai sekarang pun saya belum pernah melihat ataupun
berjumpa dengan hantu atau makkluk halus lainnya. Mulai dari SD dan sampai
menjadi guru saya aktif di kepramukaan. Dalam pramuka memang anggota dilatih untuk berfikir realistis
tidak mempercayai hal-hal yang
berhubungan dengan takhyul.
Namun ada beberapa kejadian yang
membuat saya mengakui bahwa makhluk halus itu sebenarnya ada. Kejadian
pertama, terjadi pada tahun-tahun
pertama saya menjadi guru. Saya membawa anak-anak pramuka hiking menerobos
hutan di sebelah selatan sebuah bendungan di desa Kampar kabupaten Kampar propinsi Riau. Penduduk setempat menyebut bendungan itu dengan
sinbad.
Hutan dibelakang lokasi bendungan
itu cukup lebat dan terlindung oleh pohon-pohon besar dan tinggi. Tidak banyak
semak-semak, sehingga mudah dilalui. Sekitar satu jam lebih kami memasuki hutan
itu, kami menjumpai pohon-pohon yang dihinggapi beraneka ragam bunga anggrek.
Ada anggrek bulan, anggrek kalajengking dan lain-lainnya yang saya sendiri
tidak tahu namanya. Kami tidak menduga
akan menemukan hutan yang penuh bunga indah itu. Dan para peserta hiking tidak
mau kehilangan kesempatan untuk memetik anggrek yang beraneka ragam itu. Sebelumnya
kami tidak pernah mendapat informasi bahwa di hutan itu terdapat anggrek
seperti itu. Saya yakin kalau orang lain tahu disitu banyak anggrek pasti akan
ramai orang datang memburunyanya.
Ketika kami akan keluar dari hutan itu, sesuatu yang aneh
terjadi. Saya dan seorang teman guru yang memandu kegiatan
hiking itu dan juga beberapa orang
anggota sudah terbiasa keluar masuk hutan dan kami sudah tahu jalan pulang
menuju kebendungan sinbad. Namun kali ini kami kesulitan menemukan jalan
pulang.Kami seolah-olah berputar-putar dan kembali ketitik semula. Saya tidak tahu
apa yang terjadi. Dan perjalanan jadi sulit karena kami harus menembus semak
belukar yang padat yang sangat menguras energi. Ini terjadi selama beberapa
jam. Sungguh meletihkan. Ditambah lagi perasaan cemas kesasar di hutan.
Dalam kebingungan seperti itu
seorang teman mengatakan, mungkin kami diganggu makhluk halus karena telah
mengambil bunga-bunga anggrek dihutan. Antara percaya dan tidak saya meminta semua
untuk meninggalkan anggrek yang sudah mereka petik. Wajah-wajah letih dan
kebingungan itu menatap saya dan dengan berat hati meninggalkan semua yang sudah
mereka petik. Dan kami memutuskan untuk mencoba lagi menuju satu arah.
Aneh, apakah kebetulan tidak
sampai 15 menit kami menemukan jalan setapak
yang mengantarkan kami ke pondok seorang peladang. Dari pondok itu tidak
susah kami menemukan jalan kembali ke pasar kampar.
Kejadian kedua ketika mendaki
gunung Kerinci dengan seorang teman. Kami berdua sampai kepuncak tertinggi
sumatra itu pukul 2 malam. Bulan bersinar terang menyinari bumi seperti siang
saja. Sehingga dalam terang bulan itu gunung tujuh yang jauh disana nampak
samar-samar. Indah sekali. Tidak berlama-lama istirahat kami berjalan mengitari
puncak. Dan kami begitu terpesona dilereng yang tak jauh dari puncak kerinci
itu dengan diterangi sinar bulan yang cerah kami menemukan hamparan bunga
edelweis yang sedang berbunga sejauh mata memandang.
Bunga edelweiss bunga langka lambang
cinta abadi. Kalau gunung-gunung di Jawa ada larangan mengambil bunga abadi
ini. Nah sekarang bunga idaman setiap
pendaki gunung itu terhampar seluas-luasnya di hadapan kami. Bermandikan cahaya
rembulan kami berjalan diantara bunga-bunga yang pohonnya rata-rata setinggi
satu meter itu. Ucok yang menemani saya memetik bunga-bunga itu dan memasukkan
kekantong plastik.
Puas dan sangat bahagia rasanya.
Diluar dugaan kami menemukan bentangan bunga edelweis yang jarang ditemukan.
Lelah mendaki selama 12 jam seakan menghilang.
Menjelang subuh kami merasa cukup
dan mulai bergerak turun kebawah. Dari informasi yang kami peroleh bila pagi
hari gunung kerinci akan tertutup awan
dan menjadi gelap. Jadi kami harus meninggalkan puncak menjelang pagi.
Nah disini kembali keanehan
terjadi. Tadi rasanya kami tidak ada melewati semak belukar. Sekarang kami
dihadang oleh semak belukar yang rapat dan tinggi. Untuk berjalan satu meter
saja sungguh menguras tenaga. Saya
sampai beberapa kali terduduk kehabisan energi. Kami tidak menemukan jalan
setapak yang tadi kami lalui. Saya duduk diatas batu kehabisan tenaga sambil
merenung. Kenapa ini bisa terjadi. Dan saya teringat pengalaman di Kampar. Percaya atau tidak, yang penting dapat
menemukan jalan pulang. Saya meminta Ucok untuk meninggalkan edelweiss yang sudah
kami petik.
Sungguh diluar nalar kami, tak jauh dari semak
belukar yang menghalangi jalan kami itu kami menemukan jalan setapak yang jelas
untuk turun kebawah.
Sampai di desa Kersik Tuo Kayu
Aro tempat kami memulai pendakian saya ceritakan pengalaman saya ini
kepada kepala desa Pak Benny Kemiran. Dan dia menceritakan bahwa mereka yang
mengambil sesuatu di Gunung kerinci tidak bisa menemukan jalan pulang. Kita
harus meminta izin kepada penunggunya. Dan dia memberitahu kami cara minta
izinnya.
Percaya atau tidak itulah yang
saya alami, berarti makhluk haluspun pun ikut menjaga kelestraian alam. Setahun
kemudian saya datang lagi ke Gungung Kerinci dan sesuai dengan petunjuk kepala
desa saya berhasil membawa beberapa tangkai bunga abadi tersebut. Tidak banyak,
hanya sekedar untuk kenangan saja.
No comments:
Post a Comment