Oleh
Yanti Herlanti
UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Ijang Rohman &
Any Fitriani
Universitas
Pendidikan Indonesia
abstract
This research due to develop instructional and
learning design based on sosioscientific issue that uploaded on weblog. Object of this research is design
instructional and learning based on socioscientific issue that uploaded on http://educationalmicrobiology.wordpress.com. This is preliminary research. Focus of research is developing moderation
system. About 82 pre service teachers were
involved in this research. They are as
participants in discussing socioscientific issues on weblog. Comments of participants divided into two opinions of
the pro and counter,
each opinion and provide
reasons for support or rebuttal. Comments of participants showed sosioscientific
issue discussion led to construct socially knowledge of science literacy.
Moreover the discussion produced a practical solution
that can be done public not to worry about the existence of E.sakazakii. We used the field notes to collect data. Field notes
was shown that we should schedule a discussion session, set the mechanism
discussion, set the moderator role playing, and increase participation for slowly
learner. The findings are particularly useful for developing lesson plans and instructional and learning design based on socioscientific issue that
uploaded on weblog or sosial networking.
The
rapid development
of information technology and communication (ICT) requires technology option into the intructional
and learning design, in addition to determine
learning outcomes, assessment options, and teaching option. The e-learning community
is necessary to share knowledge, creation, and inovation of
e-learning that has been developed by teachers.
Keywords: sosioscientific issue, weblog, instructional and learning
design, the e-learning community
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan desain pembelajaran dan pengajaran berbasis isu sosiosaintifik
melalui weblog. Obyek penelitian adalah
desain pembelajaran dan pengajaran berbasis isu sosiosaintifik “Polemik E. sakazakii” yang diunggah di http://educationalmicrobiology.wordpress.com. Penelitian ini merupakan
penelitian pendahulan. Fokus pada
penelitian kali ini adalah mengembangkan sistem moderasi selama diskusi yang
belangsung pada halaman weblog. Sebanyak
82 orang calon guru berpartisipasi dalam penelitian, yang dilaksanakan pada Maret
2011. Partisipan berdiskusi mengenai sebuah isu sosiosainstifik, dengan
memberikan komentar pada halaman weblog.
Komentar partisipan terbagi menjadi dua pendapat pro dan kontra,
masing-masing pendapat menyediakan alasan untuk mendukung atau menyanggahnya. Hasil
analisis terhadap komentar para partisipan menunjukkan bahwa diskusi telah
mengarah pada pembangunan literasi sains secara sosial, bahkan memunculkan
saran-saran yang bisa dilakukan oleh publik agar tidak mengkhawatirkan E. sakazakii. Hasil catatan lapang selama penelitian,
menunjukkan bahwa sesi diskusi harus dijadwalkan, mekanisme diskusi dan peran
moderator harus ditetapkan, serta harus ditemukan cara agar pembelajar dengan
prestasi rendah berpartisipasi secara aktif.
Temuan penelitian ini sangat penting dalam merencanakan pembelajaran dan
pengajaran berbasis isu sosiosaintifik yang dapat diunggah pada weblog atau
jejaring sosial. Pada perencanaan
pembelajaran, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi harus mulai
dipertimbangkan selain mempertimbangkan hasil belajar, penilaian, dan metode
pengajaran. Komunitas pengembang e-pembelajaran
informal sangat diperlukan sebagai tempat berbagi pengetahuan, pengalaman,
kreasi, dan inovasi e-pembelajaran informal yang dikembangkan oleh para pengajar.
Kata
kunci: isu sosiosaintifik, weblog,
desain pembelajaran dan pengajaran, komunitas e-pembelajaran
A.
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Pendidikan sains ditantang
untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas, yang tidak hanya cakap
dalam bidang sains dan teknologi tetapi juga memiliki kemampuan berpikir logis,
kritis, dan kreatif, serta memiliki literasi sains sehingga mampu memecahkan
berbagai persoalan kehidupan sehari-hari.
Fakta yang terjadi pada
saat ini berbeda dengan harapan, hasil PISA 2009 menunjukkan skor literasi
sains siswa Indonesia hanya 383 (OECD, 2010).
Indonesia menempati urutan ke-6 dari bawah, padahal literasi sains
merupakan kunci bagi siswa untuk memahami fenomena sains dan menyikapi isu atau
permasalahan yang muncul sehari-hari, sehingga bisa memutuskan dan mengambil
sikap yang logis, kritis, dan kreatif.
Literasi sains dapat dikembangkan melalui kemampuan berargumentasi
terhadap terhadap isu sosiosainstifik.
Isu sosiosaintifik adalah isu berbasis konsep dan masalah sainstifik,
kontroversi yang terjadi, dan diskusi publik yang banyak dipengaruhi sosial
politik (Sadler & Zeidler dalam Dawson & Venville, 2009:1422).
Siswa
di Indonesia memiliki kepekaan dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap isu
sosiosaintifik yang terjadi di Indonesia.
Hal ini dituturkan oleh seorang guru di kelas dua di sebuah SMA Bogor, “Pada tahun 2006 ketika wabah SARS
(Severe
Acute Repiratory Syndrome)
melanda Indonesia.
Murid-muridnya meminta mengajarkan mereka tentang virus. Tetapi permintaan muridnya itu dilalui begitu
saja, karena guru harus patuh pada urutan kurikulum yang diberlakukan sekolah.
Ia pun hanya mampu berkata di Kelas Satu dulu kalian sudah mempelajarinya. Silahkan kalian dalami sendiri!” Pengalaman
ini mungkin pernah dialami oleh guru lainnya.
Guru dihadapkan pada keterbatasan waktu dan banyaknya muatan kurikulum
yang harus disampaikan, sehingga kurang menggali dan mengembangkan argumentasi
siswa terhadap isu-isu sosiosainstifik.
Padahal diskusi terhadap isu
sosiosainstifik berhubungan dengan literasi sains (Osborne, 2005; Dawson & Venville, 2009; Marreo & Mensah, 2010; Nuangchalernm 2010). Makin banyak
siswa dilibatkan untuk berpikir kritis dan memecahkan masalah terhadap isu
sosiosaintifik, makin meningkat literasi sains mereka. Karena Literasi sains adalah kemampuan
untuk menggunakan proses dan prinsip ilmiah dalam pembuatan keputusan personal
dan berpartisipasi dalam diskusi mengenai isu-isu sains yang mempengaruhi
lingkungan sosial dan membuat keputusan terhadap isu-isu tersebut (American Association for the Advancement of
Science, 1993; Bybee, 1997; National Research Council, 1996; dalam Dani,
2011:113).
Keterbatasan
waktu dan ruang, seringkali menjadi alasan bagi para guru, padahal pada abad
teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang, kendala itu tidak boleh
muncul lagi. Dunia maya dapat dijadikan
ajang untuk melakukan diskusi isu-isu sosiosaintifik bersama para siswa.
Penggunaan
perangkat teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia cukup tinggi. Pada tahun 2010
pengguna internet di Indonesia diperkirakan mencapai 57,8 juta orang
(http://www.detikinet.com), dengan pengguna non ponsel sebanyak 25 juta
orang. Perkembang blog di Indonesia sangat pesat,
pada tahun 2007 ada
300.000 bloggers di Indonesia, pada tahun 2008 bertambah menjadi 600.000, pada
tahun 2009 ada satu juta blogger, dan sekarang (tahun 2010) ada 2,7 juta blogger (Enda Nasution, Bapak Blogger
Indonesia, pestablogger.com, 2010).
Jumlah blogger di Indonesia menempati urutan kedua di dunia. Urutan pertama ditempati oleh United
Kingdom. Jika
melihat data pengguna internet dan weblog, maka merupakan sebuah peluang yang
cukup besar untuk memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam
pembelajaran dan pengajaran sains tanpa terbentur lagi kendala waktu dan ruang.
Bagaimana
mendayagunakan weblog untuk mendesain pembelajaran dan pengajaran sains
berbasis isu sosiosaintifik? Inilah yang akan menjadi focus kajian pada makalah
ini.
2.
Urgensi
Profesionalisme
seorang guru ditandai dengan kemampuannya dalam merencanakan proses belajar
mengajar, melaksanakan proses belajar mengajar, menilai proses dan hasil
belajar, memanfaatkan hasil penilaian bagi peningkatan layanan, memberi umpan
balik secara tepat, teratur, dan terus menerus kepada peserta didik, melayani
perserta didik yang mengalami kesulitan belajar, menciptakan lingkungan belajar
yang menyenangkan, memanfaatkan sumber belajar yang tersedia, mengembangkan
interaksi pembelajaran, dan melakukan penelitian praktis bagi perbaikan
pembelajaran.
Pada kemampuan merencanakan proses
belajar mengajar guru harus mempunyai kemampuan menganalisis konten, pembelajar
dan konteks, kemudian mendesain pembelajaran dengan mempertimbangkan empat
komponen yaitu hasil belajar, penilaian, strategi pengajaran, dan teknologi,
dan selanjutnya mengembangkan materi pembelajaran (Shambaugn & Magliaro, 2006:86). Pada desain pembelajaran komponen teknologi
masuk sebagai sebuah pertimbangan khusus, selain tiga komponen lainnya yang
sudah standar (hasil belajar, penlaian, dan strategi pengajaran). Pemasukan
teknologi sebagai unsur penting dalam desain rencana pembelajaran muncul,
karena pesatnya perkembangan teknologi informasi komunikasi, dan dunia
pendidikan harus mampu mendayagunakannya.
3. Tujuan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran pada guru sains terutama guru
Biologi SMA, dalam mendesain pengajaran dan pembelajaran berbasis isu
sosiosaintifik menggunakan media weblog.
Ruang
lingkup
Penelitian
ini bersipat penelitian pendahuluan untuk mengujicobakan desain diskusi
sosiosaintifik yang dilakukan pada weblog.
Hasil penelitian pendahuluan akan menjadi landasan dalam mendesain
rencana pembelajaran dan pengajaran guru berbasis isu sosiosaintifik melalui
weblog.
A.
Kajian
Pustaka
Pada saat ini dunia
dihadapkan pada permasalahan yang cukup serius dan terjadi secara global,
permasalahan tersebut diantaranya pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali,
pencemaran lingkungan, kerusakan hutan tropis dan hilangnya keragaman hayati,
penyakit dan kesehatan, kesejahteraan yang tidak merata, dan kekurangan pangan
(Ruterford & Ahlgren, 1990:v).
Pendidikan sains diharapkan dapat membekali siswa tidak hanya pemahaman
terhadap konsep sains, tetapi bagaimana mengkaitkan antara konsep, proses, dan nilai
dengan kehidupan sehari-harinya; serta bagaimana konsep, proses, dan nilai
sains digunakan untuk memecahkan isu-isu sosial yang berkembang. De Boer (1991:174) menggunakan istilah “literasi sains” untuk menggambarkan
pendidikan sains dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari yang berfokus pada
isu-isu sosial.
Istilah literasi sains (scientific
literacy) pertamakali muncul dalam literatur pendidikan amerika serikat
melalui makalah yang disampaikan pada tahun 1958 oleh Paul Hurd dan Richard
McCurdy (Hodson, 2005). Hurd menggambarkan literasi sains sebagai sebuah
pemahaman sains dan penerapannya pada pengalaman di masyarakat (De Boer,
1991:174). Pada tahun 1963 Robert
Calton sebagai sekretaris eksekutif NSTA (National Science Teachers
Assosiation) menanyakan sejumlah sainstis dan pendidik sains tentang makna
literasi sains. Jawaban mereka sangat
beragam, dan hanya beberapa saja yang mengkaitkan antara sains dan masyarakat
seperti yang diungkapkan oleh Hurd (De Boer, 1991: 174-175). Pemaknaan literasi
sains pun terus berkembang, setiap ilmuwan dan pendidik mempunyai definisi
sendiri (Hodson, 2005; De Boer, 1991:174-175; De Boer, 2000:587-588). Pada tahun 1967 Milton Pella mengkaji 100
artikel pendidikan sains yang berkaitan dengan literasi sains. Pella menyimpulkan, literasi sains dikaitkan
pada enam hal yaitu: hubungan antara
sains dan masyarakat, etika sains,
hakekat sains, pengetahuan konseptual, sains dan teknologi, sains dalam
kemanusiaan (Hodson, 2005; De Boer, 1991:175).
NSTA
mengagas School Science for the 70s,
memulai dengan kalimat pernyataan, “Tujuan utama pendidikan sains adalah
mengembangkan literasi sains dan secara khusus mengembangkan kompetensi
berpikir dan bertindak rasional”.
Literasi sains oleh NSTA pada tahun 1971 digambarkan sebagai kemampuan
seseorang dalam menggunakan konsep, proses, dan nilai sains dalam membuat
keputusan sehari-hari sebagai hasil
interaksi antar manusia dan lingkungannya, dan juga memahami keterkaitan antara
sains, teknologi, dan berbagai fakta yang terjadi pada masyarakat termasuk
perkembangan sosial dan ekonomi (DeBoer, 1991:177). Tidak semua berpendapat sama dengan NSTA
dalam memakai kata literasi. Laugksch
(2000: 82) meneliti berbagai artikel tentang literasi sains dari tahun 1962
sampai 1993, dan menyimpulkan kata
literasi dimaknai oleh para penulis dalam tiga katagori yaitu: pembelajaran,
kemampuan, dan fungsi dalam sosial.
Hasil penelitian terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Konsep Literasi Sains dari
Berbagai Interpretasi Mengacu pada kata
Literasi
Peneliti
|
Pembelajaran
|
Kemampuan
|
Fungsi social (mis. Sebagai
konsumen & warganegara)
|
Snow (1962)
|
X
|
|
|
Shen (1975a,
11975b)
Practical
scientific literacy
Civic scientific
literacy
Cultural scientific
literacy
|
X
|
|
X
X
|
Branscomb’s (1981)
Catagory
|
X
|
|
X
|
Miller (1983)
|
|
|
X
|
Arons (1983)
|
X
|
|
|
Hirsch (1987)
|
|
X
|
|
Science For All
Americans (AAAS, 1989)
|
|
X
|
X
|
Hazen & Trefil
(1991)
|
|
X
|
|
Shamos (1995)
Cultural scientific
literacy
Functional
scientific literacy
True scientific
literacy
|
X
|
X
X
|
|
Layton, et al.
(1986, 1993)
|
|
|
X
|
Sumber: Laugksch (2000: 82)
Nbina
& Obormanu (2010) menyatakan perbedaan dalam mendefinisikan literasi sains terus berlanjut dari
mulai Paul deHard Hurd pada tahun 1958 (American Association for the Advancement of
Science [AAAS], 1989; Bybee, 1997; Gräber et al., 2001; Holbrook &
Rannikmae, 1997; Hurd, 1958; Laugksch, 2000; National Science Education Standards [NSES], 1996; sampai Organisation for Economic Cooperation and
Development [OECD], 2003; 2007). Definisi literasi sains pun terbelah
menjadi dua, yaitu sains sebagai peran sentral pengetahuan dan sains yang mengacu pada kegunaan
masyarakat. Marks & Eilks (2009:
231) menyatakan bahwa debat definisi literasi sains karena cara pandangan yang
berbeda terhadap pendidikan sains: science
through education vs. education through science.
Tujuan pendidikan sains untuk menciptakan ‘habit of mind (kebiasaan berpikir)’
(Ruterford & Algren, 1990: 171).
Pada dimensi pembelajaran Marzano (1997), kebiasaan berpikir merupakan
dimensi yang tertinggi. Dimensi ini yang
meliputi kebiasaan berpikir kritis, kreatif dan reflektif (Marzano, 1992). Kebiasan berpikir kritis dibiasakan dengan
situasi respon kritis (critical-response)
yaitu membanjiri siswa dengan pernyataan
dan argumentasi dari berbagai media massa, guru, dan teman sebaya. Berdasarkan tujuan pendidikan sains, maka pendidikan
sains haruslah dipandang sebagai education through science dari pada science
through education.
Education
through science (pendidikan melalui sains) mencakup
pemahaman hakekat sains, pencapaian domain personal yang penekanan pada
pengembangan intelektual dan komunikasi, promosi karakter dan sikap positif,
pencapaian domain sosial yang menekankan pada pembelajaran kooperatif dan
pengambilan keputusan terhadap isu sosiosainstifik. Relevansi pengajaran sains di sekolah pada
pendidikan tampak dari tanggung jawab sebagai warganegara sesuai dengan tingkat
literasi sains. Pendidikan melalui
sains, akan mengatasi kesenjangan antara sains sekolah dan penerapan sains
dalam kehidupan sehari-hari dan dalam masyarakat (Mark & Eilks, 2009:
240). Literasi sains dengan pandangan
bahwa‘pendidikan melalui sains
mengandung makna pembelajaran sains tidak hanya berkaitan dengan konsep,
proses, dan nilai tetapi harus pula dikaitkan dengan konteks dan situasi di
masyarakat.
OECD
merupakan lembaga yang mengukur literasi membaca, matematika dan sains,
mendefinisikan bahwa literasi
sains memerlukan pemahaman ilmiah konsep dan kemampuan untuk menerapkan perspektif ilmiah dan berpikir ilmiah berdasarkan
bukti. Adapun fitur khas sains menunjukkan seberapa
luas seorang individu dalam hal: 1) memiliki dan menggunakan pengetahuan ilmiah
untuk mengidentifikasi pertanyaan, mendapatkan pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti tentang isu-isu terkait ilmu pengetahuan. 2) Memahami karakteristik fitur dari ilmu
pengetahuan sebagai bentuk pengetahuan dan penyelidikan manusia. 3) Menunjukkan kesadaran tentang bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi membentuk material, intelektual dan budaya lingkungan. 4) Mengerakan bidang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
isu dan ide-ide
ilmu pengetahuan, sebagai warga reflektif (OECD, 2010: 23).
Definisi dan fitur khas literasi sains OECD ini sesuai dengan sudut
pandang pendidikan melalui sains.
OECD
mengukur literasi sains siswa dari domain pengetahuan, kemampuan [proses], dan
konteks/situasi. Pada domain pengetahuan yang diukur adalah pengetahuan sains
dan pengetahuan tentang sains.
Pengetahuan sains meliputi sistem fisika, sistem kehidupan, sistem bumi
dan luar angkasa, dan sistem teknologi.
Pengetahuan tentang sains meliputi penyelidikan dan penyelidikan
ilmiah. Kemampuan mengukur tugas dan
proses ilmiah, seperti mengidentifikasi isu-isu ilmiah, menjelaskan fenomena
ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah.
Konteks dan situasi merupakan wilayah penerapan sains secara personal,
sosial, dan global, dengan fokus pada kesehatan, sumber daya alam, lingkungan,
zat-zat berbahaya, dan perkembangan iptek.
Literasi sains memungkinkan seseorang memiliki
kemampuan untuk menggunakan proses dan prinsip ilmiah dalam pembuatan keputusan
personal dan berpartisipasi dalam diskusi mengenai isu-isu sains yang
mempengaruhi lingkungan sosial dan membuat keputusan terhadap isu-isu tersebut
(American Association for the Advancement
of Science, 1993; Bybee, 1997; National
Research Council, 1996; dalam Dani, 2011:113). Jika hasil pendidikan
diharapkan dapat mewujudkan warga negara yang mempunyai sikap, keterampilan,
dan pengetahuan untuk membuat keputusan yang bermanfaat bagi dirinya sediri dan
orang lain, kini dan masa depan, serta bertindak berdasarkan keputusan tersebut
(UNESCO dalam Dani, 2011: 114), maka literasi sains diperlukan untuk mencapai
hasil tersebut. Promosi literasi sains dapat
dilakukan pengajar dengan cara memasukan isu-isu sosiosainstifik
pada proses belajar mengajar.
Isu sosiosaintifik
adalah isu berbasis konsep dan masalah sainstifik, kontroversi yang terjadi,
dan diskusi publik yang banyak dipengaruhi sosial politik (Sadler & Zeidler
dalam Dawson & Venville, 2009:1422).
Isu-isu
sosiosainstifik terjadi karena hubungan sains dan sosial (Saldler &
Zeidler dalam Chang & Chiu, 2008:1754).
Dengan kata lain, isu sosiosainstifik melibatkan komponen sosial
sebagaimana keterlibatan sainstifik (Robert & Gott, 2009:103).
Hasil penelitian
menunjukkan diskusi isu sosiosainstifik berhubungan dengan literasi sains
(Osborne, 2005; Dawson & Venville, 2009; Marreo & Mensah, 2010; Nuangchalernm 2010) dan argument (Osborne, 2005; Chang& Chiu, 2008;
Dawson & Venville, 2009). Penelitian
lain menunjukkan diskusi isu sosiosaintifik meningkatkan hasil belajar dan
berpikir analitis (Wongsari & Nuangchalern, 2010), meningkatkan penalaran moral (Sadler &
Zeidler, 2004; Wongsari & Nuuangchalern, 2010), dan meningkatkan penalaran
informal (Chang & Chiu, 2008; Dawson & Venville, 2009).
Diskusi isu
sosiosainstifik mampu menggali hakikat sains lebih dalam (Nuangchalern, 2009,
2010). Hal ini disebabkan argumen siswa dalam mendiskusikan isu sosiosaintifik
menggambarkan pengetahuan ilmiah, etika, dan nilai (Osborne, 2005:375). Hasil diskusi pun akan berdampak pada moral
dan etika (Nuangchalern, 2010). Hanya saja keberhasilan diskusi isu
sosiosaintifik tergantung pada kesiapan siswa dan guru. Siswa memerlukan
pemahaman sains lintas disiplin (Dani, 2011), pengajar harus memiliki pemahaman dan kemampuan dalam
mengelola dan menilai diskusi isu sosiosaintifik (Reis & Galvao, 2009).
Diskusi isu
sosiosaintifik yang dikaitkan dengan moral dan etika membuat siswa lebih
tertarik pada sains. Sains menjadi lebih
relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Seorang siswa mengungkapkan, “I’m
not really interested in it (Biology), but the ethical side was really
interesting dan made it more life” (Harris & Ratcliffe, 2005).
Diskusi isu
sosiosaintifik yang dilakukan di dunia maya, memberikan beberapa keuntungan
diantaranya adalah: 1) siswa bebas mengungkapkan pendapat tanpa perasaan takut
ditertawakan atau diejek teman lainnya, 2) siswa dapat lebih banyak berkomentar
karena waktu yang disediakan dalam diskusi dunia maya lebih banyak. Brusell & Cimino
(2009) mengungkapkan diskusi pada weblog mampu menciptakan lingkungan belajar
yang bersifat ramah (bebas dari waswas dan malu), partisipatif, kolaboratif,
dan konstruktif.
Weblog dipilih sebagai media diskusi isu
sosiosaintifik, mengingat popularitas weblog di Indonesia dan layanan ini
disediakan tanpa dipungut bayaran. Weblog bersifat web service, setiap orang memungkinkan
menciptakan dan mengelola blog, walaupun tidak memiliki kemampuan html. Berbagai web
service menyediakan dengan weblog berkapasitas 5-10 GB dan tanpa harus
membayar (free), sehingga setiap orang memungkinkan
membuat weblog.
A. Metode Penelitian
Paradigma sebagai sebuah kerangka pemikiran yang mendasari sekaligus
wujud dari sebuah penelitian. Paradigma penelitian diawali dari anggapan
dasar, kemudian disinergikan dengan fakta yang terjadi secara kontekstual. Kesenjangan antara anggapan dasar dan fakta
memunculkan sebuah ide penelitian. Ide
dikembangkan, difokuskan, dan diujicobakan.
Paradigma penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar
1. Paradigma Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriftif,
dengan obyek penelitian adalah desain diskusi isu sosiosaintifik yang diunggah
pada http://educationalmicrobiology.worpress.com. Uji
coba terhadap desain pembelajaran berbasis diskusi isu sosiosaintifik melalui weblog
melibatkan 82 orang calon guru pendidikan biologi SMA yang mengikuti mata
kuliah mikrobiologi. Diskusi dilakukan
Maret 2011. Isu yang didiskusikan adalah
polemik E. sakazakii. Contoh diskusi dalam weblog terlihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Diskusi Isu Sosiosaintifik pada weblog
Data penelitian bersifat kualitatif berupa
catatan lapangan berkaitan dengan efektifitas peran moderasi pada saat diskusi
berlangsung dan kualitas argumentasi. Kualitas
argumentasi dinilai dengan menggunakan rubrik, dengan rentang nilai 0-3. Adapun perincian nilainya terlihat pada tabel
2.
Tabel 2.
Penskoran untuk Menilai Kualitas Argumen
Skor
|
Kualitas argumen
|
0
|
untuk argumentasi yang tidak mengandung klaim
|
1
|
untuk argumentasi yang mengandung klaim
|
2
|
untuk argumentasi yang mengandung alasan/data/fakta
|
3
|
untuk argumen yang mengandung klaim, data/alasan/fakta dengan
menyediakan penjamin
|
Secara kuantitatif dilakukan pula pencatatan
partisipasi partisipan, untuk mengetahui hubungan jumlah partisipasi dalam
diskusi dan kualitas argumentasi dengan hasil belajar mikrobiologi. Data kuantitiatif diolah dengan menggunakan
uji korelasi Pearson, untuk mengetahui signifikansi korelasi antara hasil ujian
dengan partisipasi dalam diskusi dan kualitas berargumentasi.
.
B. Hasil Penelitian
1.
Isi komentar dalam diskusi sosiosaintifik
menghantarkan pada literasi sains
Isu
yang dimunculkan dalam diskusi merupakan isu sains bersifat sosial yang
menimbulkan kontroversi. E. sakazakii yang mengkontaminasi susu
formula berdasarkan penelitian IPB, merupakan isu yang ramai diberitakan media
masa. Isu ini bersifat sosiossaintifik,
tidak hanya berkaitan dengan isu sains (hakikat bakteri), tetapi juga terkait
isu ekonomi dan hak konsumen. Partisipan
pun terbagi dalam kelompok kontra dan pro, ketika diminta pendapatnya “Apakah
IPB perlu mengumumkan lima merk susu terkontaminasi E.sakazakii? Contoh pendapat
pro dan kontra pada polemik E.sakazakii
adalah sebagai berikut:
Contoh pendapat pro (IPB tidak perlu
mengumumkan merk susu formula tercemar E.sakazakii):
Menurut saya, IPB tidak perlu
mengumumkan berbagai merek susu formula berbakteri kepada masyarakat, tapi cukup memberitahukan kepada perusahaan yg
bersangkutan, bahwa susu formula yang diproduksinya berbakteri, lalu memberi
peringatan untuk memperbaiki sistem kerja dalam pembuatannya, sehingga susu
formula yang diproduksi tidak lagi berbakteri. Apabila IPB mengumumkan kepada
masyarakat dapat menyebabkan dampak negatif.
Salah satunya pada para tenaga
kerja perusahaan tersebut, hal ini akan menambah pengangguran di Indonesia.
Contoh pendapat kontra (IPB perlu mengumumkan
merk susu formula tercemar E.sakazakii):
Assalammualaikum wr.wb
Menurut saya mengenai perlukah IPB
membeberkan susu formula yang terkontaminasi
E. sakazakii adalah suatu hal yang perlu dilakukan. Walaupun ada kode etika, yang menyatakan suatu penelitian tidak bisa
mempublikasikan begitu saja, tetapi menyembunyikan hasil suatu hasil penelitian yang menyangkut
keperluan orang banyak yang akan meresahkan, merugikan kesehatan bahkan dapat mengakibatkan
kematian pada nyawa seseorang dianggap kurang manusiawi. Maka Pemerintah
sebagai badan yang seharusnya melindungi masyarakat dalam hal kelangsungan
hidup, apalagi ini adalah masalah kesehatan harus lebih perduli dan tanggap
pada masalah ini.
Pendapat pro dan kontra ini
mendapatkan dukungan dari beberapa pihak yang mendukungnya, alasan-alasan
mengapa perlu diumumkan ataupun tidak dikemukankan. Berikut contoh alasan-alasannya.
Contoh dukungan terhadap pendapat pro (IPB tidak perlu mengumumkan merk susu formula
tercemar E.sakazakii):
saya sangat setuju dengan komentar rusy
dan opiie,,,bahwa IPB tidak perlu mengumumkan merk – merk susu formula yang 5
tahun lalu tercemar bakteri sakazakii,
selain IPB mempunyai hak untuk tidak mengumumkannya sebagai lembaga akademis
yang melakukan penelitian. IPB
sebenarnya juga telah menindaklanjuti penemuannya pada rentang 2003- 2006
kepada pabrik yang bersangkutan agar mengevaluasi proses pembuatan susu
formula, pemerintah juga telah menetapkan standar baru pembuatan susu formula
berdasarkan standar Codex (Standar Internasional Kesehatan Konsumen). hasilnya
BPOM pada tahun 2008 – sekarang tidak lagi menemukan adanya kontaminasi sakazakii pada 96 merk susu formula yang
dijadikan sampel.
Oleh karena itu,
membuka merk susu
formula yang 5 tahun lalu tercemar sudah tidak relevan lagi dengan kepentingan
sekarang, yang ada hanya membuat ibu- ibu resah dan membuat penjualan susu
formula akan merosot tajam dan bukan tidak mungkin akan menyebabkan pabrik susu
formula akan gulung tikar.
Contoh dukungan terhadap pendapat kontra (IPB
perlu mengumumkan merk susu formula tercemar E.sakazakii):
Seperti pendapat Fitri, sebaiknya
Menteri Kesehatan, BPOM, dan IPB mengumumkan merk-merk susu formula yang
mengandung bakteri E. sakazaki sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada
tahun 2003-2006 silam. Pada pasal 1365 KUH Perdata pun dijelaskan bahwa
tindakan menutup-nutupi informasi adalah perbuatan melawan hukum. Masyarakat
memiliki hak untuk mengetahui merk-merk susu formula tersebut. Menurut
informasi yang saya ketahui bahwa penelitian bakteri pada susu formula
menggunakan dana APBN. Maka berdasarkan
Pasal 23 UUD 1945, setiap lembaga yang menggunakan dana APBN itu harus bertanggung
jawab kepada masyarakat. Salah satu tanggung jawab itu adalah mengumumkan hasil
penelitian itu kepada masyarakat. Jadi menurut saya IPB tidak bisa terus
bungkam. Menkes harus tegas dalam hal ini.
Diskusi
pun terus bergulir sesuai arahan moderator, sampai pada hakikat dari bakteri
itu sendiri yang akan menghantarkan
partisipan pada literasi sains. Contoh komentar dibawah ini mengarah pada
literasi sains.
1) E. sakazakii ada yang bersifat pathogen dan
tidak
menurut Guru Besar Spesialis
Mikrobiologi Unair Surabaya,”bakteri tak selalu jahat bagi tubuh. Malah dalam
tubuh terkandung banyak bakteri yang dibutuhkan untuk melindungi organ dalam
dari berbagai kuman penyakit. Enterobacter
sakazii sendiri dengan mudah ditemukan pada usus manusia dan hewan. Bakteri
itu tidak identik dengan penyakit. Begitu juga dengan Enterobacter sakazakii bisa diterima oleh tubuh. Hal ini harus diketahui masyarakat, jadi menurut saya
masyarakat yang resah akan bahaya E.
sakazakii mungkin karena mindset mereka bakteri identik dengan penyakit. Padahal
tidak semua bakteri itu menyebabkan penyakit, sehingga perlu meluruskan mindset tersebut.
2)
E.sakazakii termasuk bakteri yang tidak berspora
saya juga setuju, karena menurut buku microbiology
Vol 2 oleh Talaro dan kawan-kawan menjelaskan bahwa bakteri ini termasuk
bakteri gram negatif yang tidak berspora yang mana sangat tidak tahan dengan
panas yang mencapai 70 derajat Celsius, yang penting dalam penyajian dan proses
produksi nya dilakukan secara steril. Bakteri ini tidak akan mengkontaminasi minuman
maupun makanan, termasuk susu formula.
3)
E.sakazakii bakteri normal yang ditemukan dalam saluran pencernaan
manusia dan hewan dan dapat mengkontaminasi bahan makanan
Jika mengenai kehidupan E.sakazakii, dia berkembang dan hidup
dilingkungan berair dan tanah yang lembab.
Nnamun, dia juga dapat berkembang pada bahan makanan seperti susu, keju,
daging aweetan, dan sebagainya. Sebenarnya, bakteri ini adalah mikroorganisme
yang normal pada saluran pencernaan hewan dan manusia, tetapi diketahui juga
bakteri ini berkembang karena faktor tanah, air, sayuran, tikus dan lalat yang
menjadi sumber infeksinya.
4) E.sakazakii dalam
susu formula
Bakteri E. sakazakii tumbuh pada rentang suhu yang luas yakni 6-47°C.
Beberapa galur yang diisolasi dari susu formula di Kanada bisa tumbuh pada
5,5-8,0°C dan terhambat pada suhu 4°. Rata-rata waktu pembelahan bakteri ini
dalam susu formula adalah 40 menit pada 23°C dan 4.98 jam pada 10°C. Artinya, jika ada 1.000 bakteri ini dalam
susu formula yang sudah direkonstitusi (dibuat siap minum) maka setelah
disimpan pada suhu 23°C selama 40 menit jumlahnya menjadi 2.000. Pada suhu
lemari es (10°C), kenaikan jumlah tersebut baru dicapai setelah 5 jam. Batas
aktivitas air (aw) dan pH pangan untuk pertumbuhannya belum banyak dilaporkan.
Peneliti lain di Korea melaporkan bahwa
rekonstitusi susu formula dengan air bersuhu 50°C akan menyebabkan bakteri
berkurang menjadi 1/100-nya, sementara dengan suhu 65-70°C terjadi penurunan E. sakazakii menjadi 1/10.000 sampai
1/1000.000-nya (Kim & Park, 2007). Meskipun tidak tahan panas, E. sakazakii
ini dilaporkan tahan terhadap kekeringan E.
sakazakii tidak tumbuh tetapi dapat bertahan dalam produk kering sampai
dengan beberapa bulan.
Diskusi pun menyajikan
sebuah solusi yang bersifat praktis sehingga masyarakat tidak merasa cemas
dengan E.sakazakii. Contoh komentar berupa solusi praktis bagi
masyarakat adalah sebagai berikut:
pada sesi ketiga ini saya merekomendasikan pada masyarakat agar
tidak cemas lagi terhadap bakteri sakazakii. Sudah dijelaskan pada pemaparan
yang sebelumnnya bahwa E.sakazakii
merupakan bakteri patogen yang dapat dijumpai dimana-mana, keberadaannya dalam
tubuh manusia tidak mengganggu selama masih dalam batas normal dan kondisi
tubuh yang sehat bakteri ini dapat mati oleh panas yaitu pada suhu 70 derajat
celcius, sehingga jika akan membuat susu ataupun
makanan lain setidaknnya dicuci dan dimasak dahulu dengan suhu yang tinggi
untuk meminimalisir bakteri
2. Hasil
catatan lapangan menghantarkan pada perbaikan desain diskusi isu sosiosaintifik
pada weblog
Hasil
catatan lapangan selama diskusi isu sosiosaintifik menunjukkan:
·
Pemindahan
sesi pada diskusi disesuaikan dengan perkembangan diskusi yang terjadi pada
forum diskusi. Karena diskusi berupa “offline” partisipan merasa kewalahan
ketika pemindahan sesi ini berlangsung tanpa pemberitahuaan. Pemindahan sesi dilakukan oleh moderator ketika
komentar terus menerus berputar pada konten yang sama atau senada. Hasil analisis tampak komentar
berputar-putar pada topik yang sama ketika komentar sudah melebihi 40. Pada
contoh di bawah ini terlihat, pada komentar ke 55 terjadi pengulangan dari
komentar sebelumnya (10).
Saya sangat setuju dengan komentar rusy dan opiie,,,
IPB tidak perlu mengumumkan merk – merk susu formula
yang 5 tahun lalu tercemar bakteri sakazakii,
selain IPB mempunyai hak untuk tidak mengumumkannya sebagai lembaga akademis
yang melakukan penelitian, IPB sebenarnya juga telah menindaklanjuti penemuannya
pada rentang 2003- 2006 kepada pabrik yang bersangkutan agar mengevaluasi
proses pembuatan susu formula, pemerintah juga telah menetapkan standar baru
pembuatan susu formula berdasarkan standar Codex (Standar Internasional
Kesehatan Konsumen). hasilnya BPOM kemudian pada tahun 2008 – sekarang tidak
lagi menemukan adanya kontaminasi sakazakii pada 96 merk susu formula yang
dijadikan sampel. Membuka merk
susu formula yang 5 tahun lalu tercemar sudah tidak relevan lagi dengan
kepentingan sekarang, yang ada hanya membuat ibu- ibu resah dan membuat
penjualan susu formula akan merosot tajam dan bukan tidak mungkin akan
menyebabkan pabrik susu formula akan gulung tikar.
Menurut
saya, IPB tidak perlu mngumumkan hasil penelitiannya karena IPB bukanlah
pengawas sebagaimana kewenangan BPOM. selain itu penelitian tersebut dilakukan pada
tahun 2003-2006 oleh IPB badan POM juga telah menguji kembali penelitian
tersebut pada tahun 2008-sekarang dan hasil penelitian Badan POM menunjukkan
bahwa sudah tidak ada lagi susu formula yang beredar sekarang terkontaminasi
dengan bakteri E.sakazakii. Selain
itu juga perlu adanya sosialisasi cara penyajian susu dengan baik dan benar
karena bakteri tersebut bisa mati pada suhu diatas 70 derajat celcius.
·
Peranan
moderator melemparkan isu berjalan cukup baik, komentar dari pengguna cukup
banyak dari setiap isu yang dilemparkan.
Diskusi di weblog yang dibuka menjadi empat sesi, jumlah seluruh komentar
660 komentar atau rata-rata komentar seorang pengguna adalah delapan (8). Banyaknya komentar membuat weblog berjalan
agak lambat.
·
Peran
moderator sebagai pengarah menuju kualitas argumentasi sudah ada, tetapi tampak
kurang optimal. Hasil analisis kualitas
argumentasi pada diskusi sosio saintifik, sebagian besar partisipan hanya
mengungkapkan klaim (kesimpulan) yang disertai alasan (reasoning) atau fakta
dan data saja. Argumentasi yang
dikemukan oleh partisipan kurang kaya bahwa moderator dapat meminta pengguna
untuk memberi arahan dalam mencapai argumentasi yang baik. Menurut Osborne (2005), argumentasi yang baik
tidak hanya melibatkan data dan klaim, tetapi juga melibatkan klaim yang lebih
dari satu panyanggahnya (lihat Tabel 3). Adapun menurut Inch (2006), kualitas
sebuah argumen yang baik memperlihatkan Data, Klaim, Penjamin,
Pendukung, dan Peyanggah (lihat Gambar 3).
Tabel 3. Kerangka
Analitis untuk Menilai Kualitas Argumenasi
Level 1
|
Argumentasi mengandung klaim yang sederhana vs klaim kounter
atau sebuah klaim vs klaim
|
Level 2
|
Argumentasi mengandung klaim
dengan data, penjamin, atau pendukung tetapi tidak mengandung penyanggah
|
Level 3
|
Argumentasi mengandung sebuah seri dari klaim atau
klaim kounter baik dengan data, penjamin, atau pendukung dengan penyanggah yang lemah
|
Level 4
|
Argumentasi menunjukan argumen dengan sebuah klaim yang
jelas teridentifikasi penyanggahnya, seperti sebuah argumen yang mempunyai beberapa
klaim dan klaim kounter tetapi sebetulnya tidak diperlukan
|
Level 5
|
Argumen menunjukan argumen yang lebih luas dengan lebih
dari satu peyanggah
|
Sumber: Osborne (2005:372)
Gambar 3. Model Toulmin Data, Klaim,
Penjamin, Pendukung, Peyanggah (DKPPP)
Banyaknya
komentar dan kualitas argumentasi partisipan dinilai, kemudian dihubungkan dengan nilai ujian yang
didapatkan. Hasil ujian dan kualitas
argumentasi seluruh partisipan terlihat pada Gambar 3. Berdasarkan uji korelasi Spearman, didapatkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara hasil ujian dengan kualitas
argumentasi. Partisipan yang mempunyai
nilai yang baik, menunjukkan argumentasi yang baik pula. Hasil uji korelasi antara hasil ujian dan
kualitas argumen terlihat pada Tabel 4.
Gambar
3. Hasil Ujian dan Kualitas Argumentasi
Tabel
4. Hasil Uji Korelasi Pearson antara
Hasil Ujian dan Kualitas Argumen
|
|
Hasil ujian
|
Kualitas argumen
|
|
Hasil
ujian
|
Pearson
Correlation
|
1
|
.384**
|
|
Sig.
(1-tailed)
|
|
.000
|
||
N
|
82
|
82
|
||
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
|
||||
Hubungan antara jumlah partisipasi dalam
diskusi dengan nilai terlihat pada gambar 4.
Berdasarkan uji korelasi Pearson, tampak hubungan yang signifikan antara
nilai ujian dan jumlah partisipasi dalam diskusi. Calon guru yang mempunyai nilai ujian yang
baik, akan berpartisipasi makin baik dalam diskusi isu sosiossaintifik. Hasil uji korelasi Pearson dapat terlihat
pada Tabel 5.
Gambar
4. Hasil Ujian dan Jumlah Partisipasi Dalam Diskusi
Tabel
5. Hasil Uji Korelasi Pearson antara
Hasil Ujian dan Jumlah Partisipasi Diskusi Isu Sosiosaintifik
|
|
Hasil ujian
|
Jumlah partisipasi
|
Hasil
ujian
|
Pearson
Correlation
|
1
|
.372**
|
Sig.
(1-tailed)
|
|
.000
|
|
N
|
82
|
82
|
|
**.
Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
|
Berdasarkan catatan lapang maka dilakukan
perbaikan desain pengajaran dan pembelajaran berbasis diskusi isu
sosiosaintifik melalui weblog. Perbaikan
ini sangat berguna bagi para guru atau dosen yang akan memanfaatkan jejaring
sosial untuk merencankan pembelajaran sains yang berbasis isu
sosiosaintifik. Perbaikan desain
pembelajaran dan pengajaran berbasis diskusi isu sosiosaintifik melalui weblog, adalah sebagai berikut:
a.
Perbaikan pada forum diskusi. Forum diskusi dibuka sebanyak empat sesi,
yaitu
·
sesi pro kontra: sesi ini
adalah sesi perbedaan pendapat.
Masing-masing kubu pro dan kontra akan mengemukakan pendapatnya disertai
penjaminan atas kekuatan pendapatnya.
·
sesi literasi sains: sesi
ini merupakan penguatan konten sains/mikrobiologi
·
sesi aksi atau solusi bagi
masyarakat: sesi ini merupakan sumbangan pemikiran untuk bersikap di
tengah-tengah masyarakat terhadap isu sosiosaintifik yang berkembang.
·
sesi kesimpulan
b.
Perbaikan pada mekanisme
diskusi. Mekanisme diskusi adalah
sebagai berikut:
·
Moderator mengirimkan isu
sosiosaintifik pada dinding grup untuk didiskusikan.
·
Partisipan menanggapi isu
tersebut dengan cara mengisi kolom komentar pada dinding yang dikirim
moderator. Enam komentar pertama harus
mempunyai klaim yang berbeda secara signifikan satu dengan lainnya. Moderator
berhak menghapus komentar yang bernada duplikasi.
·
Komentar berikutnya merujuk
atau menyanggah kelima komentar dengan menyediakan penjamin, pendukung, kualifikasi, dan pengecualian.
·
Mahasiswa dapat memberikan
jempol (suka) pada komentar-komentar yang tersaji sebagai tanda persetujuan
terhadap tanggapan yang ada.
·
Setelah terkirim 40
komentar, akan diberikan waktu jeda selama 12 jam.
·
Waktu jeda digunakan
moderator untuk menelaah kualitas argumentasi ke 40 komentar. Jika kualitas belum mencapai level 5 Argumentasi,
yang ditandai dengan argumentasi menunjukan argumen yang
lebih luas dengan lebih dari satu peyanggah, maka moderator dapat
membuka perpanjangan sesi untuk 20 komentar lagi.
c. Setiap sesi dibuka untuk 40 komentar, kemudian dihentikan dengan
waktu jeda 12 jam. Jika diperlukan, akan
dibuka perpanjangan sesi. Diskusi
dilakukan selama 10 hari.
d. Peran moderator adalah: Melemparkan isu, meminta tanggapan pengguna terhadap isu yang
dilemparkan, mengingatkan mekanisme dan
aturan dalam forum diskusi, memantau
jalan diskusi, mengarahkan tanggapan agar mampu mencapai level 5 argumentasi,
dengan mengingatkan pengguna untuk berkomentar tidak hanya memaparkan data dan
klaim tetapi juga memaparkan penjamin, kualitas dan juga pengecualian jika ada.
e. Forum diskusi selain diunggah dalam weblog, juga dapat diunggah
dalam grup jejaring sosial, misalnya pada grup Facebook. Pengunggahan pada weblog mengharuskan adanya
pembatasan komentar menjadi 20 atau 40
perhalaman, agar tidak terjadi kelambatan muatan (low loading). Tetapi jika
diskusi diunggah dalam facebook, muatan komentar dapat lebih banyak tanpa
terjadi keterlambatan muatan.
f. Hasil
analisis korelasi antara hasil ujian dan partisipasi serta kualitas argumentasi
partisipan menunjukkan partisipan yang hasil ujiannya tinggi lebih banyak
berpartisipasi dan memiliki kualitas argumentasi yang baik, sebaliknya mereka
yang hasil ujiannya rendah kurang berpartisipasi dalam diskusi isu
sosiosaintifik. Moderator dalam diskusi
isu sosiosaintifik dapat memanggil mahasiswa yang jarang berpartisipasi, jika
menggunakan facebook sangat mungkin dilakukan dengan cara menandai (tag [@])
dalam sebuah komentar di dinding diskusi facebook.
C. Kesimpulan
dan Saran
Penelitian pendahuluan ini menyimpulkan bahwa
diskusi isu sosiosaintifik yang diawali dengan pro dan kontra, dan
masing-masing kubu menyediakan alasan, dukungan, dan sanggahan satu sama lain,
pada akhirnya dapat menghantarkan pada pembentukan literasi sains secara
sosial, sehingga dapat merumuskan solusi praktis bagi masyarakat dalam
menghadapi isu dan polemik E.sakazakii. Untuk selanjutnya, para guru atau dosen dapat
mengembangkan pembelajaran berbasis isu sosiosaintifik melalui weblog atau jejaring
sosial (facebook), dengan rambu-rambu desain pengajaran dan pembelajaran
sebagai berikut:
· Forum diskusi dibagi menjadi empat sesi, yaitu
sesi polemik, literasi sains, solusi bagi masyarakat, dan kesimpulan
· Mekanisme diskusi dalam jejaring sosial yang
disarankan adalah; 1) moderator mengirimkan isu dalam dinding, 2) tiga orang
yang mewakili pro dan tiga orang yang mewakili kontra mengemukakan pendapatnya terlebih
dahulu, 3) komentar selanjutnya memberi dukungan atau sanggahan terhadap keenam
komentar, 4) setiap sesi dibuka untuk 40 komentar, setelah itu diberikan waktu
jeda untuk memutuskan memberi kesempatan tambahan atau membuka topik diskusi
baru, 5) moderator dapat menandai (memberi tag)
partisipan yang kurang aktif agar berperan aktif.
D. Rekomendasi
Perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mengalami kemajuan
yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Pada proses perencanaan pembelajaran, pemilihan teknologi tidak boleh
diabaikan lagi. Pemilihan teknologi
merupakan sebuah kesatuan dengan komponen tujuan pembelajaran, penilaian dan
strategi pengajaran, ketika membuat perencanan pembelajaran.
Pengajar tidak harus membuat perangkat TIK
sendiri, tetapi dapat memanfaatkan yang sudah ada. Perangkat TIK yang popular, mudah, dan tidak
berbayar dapat dimanfaatkan oleh pengajar.
Weblog dan jejaring sosial “facebook” termasuk perangkat yang mudah,
tidak berbayar, dan popular yang dapat dimanfaatkan oleh pengajar. Bahkan perangkat jejaring sosial “facebook”
merupakan perangkat yang popular dan banyak dimiliki oleh para pelajar mulai
dari tingkat SMP sampai Mahasiswa PT.
Para pengajar dapat memanfaatkan weblog dan jejaring sosial untuk
menggagas sebuah pembelajaran yang berbasis komunitas yang memungkinkan terjadi
kontruksi pengetahuan secara sosial.
Kelemahan yang terjadi
pada saat ini, banyak pengajar memahami fakta dan potensi dari berkembangnya weblog
dan juga jejaring sosial, tetapi ide untuk mengintergrasikan dalam pembelajaran
masih minim. Oleh sebab itu perlu dibentuk
sebuah komunitas yang menjadi ajang berbagi pengetahuan, kreasi, dan inovasi
dalam pengembangan pembelajaran berbasis dunia maya (internet) kepada pengajar
lain. Komunitas ini disebut dengan
komunitas e-pembelajaran (e-learning).
Komunitas e-learning
adalah kumpulan dari pengajar yang mengembangkan e-pembelajaran yang dilakukan di media elektronik (internet)
secara informal. e-pembelajaran secara formal sudah dikembangkan oleh
JARDIKNAS. Komunitas e-pembelajaran berfokus pada e-learning secara informal
dengan interaksi yang lebih sederhana, misalnya melalui sarana mailing list,
e-newsletter atau website pribadi/weblog, dan jejaring sosial. Komunitas ini dapat menjadi bagian dari
JARDIKNAS yang sifatnya mengumpulkan para pengajar yang berminat mengembangkan
e-pembelajaran secara informal.
Pada website http://jardiknas.kemdiknas.go.id/ forum komunitas telah disediakan
dan mungkin forum komunitas tersebut dapat diperluas dengan forum komunitas
bagi para pengajar yang mengembangkan e-learning secara informal. Pembentukan komunitas ini memberikan keuntungan
bagi JARDIKNAS, yaitu terpantaunya tingkat adaptasi dan perkembangan dari TIK
oleh sekolah dan pengajar di Indonesia. Selain itu komunitas ini akan memberi
kontribusi terhadap perubahan “mindset”
pengajar dan masyarakat dalam memanfaatkan kemajuan teknologi (termasuk
jejaring sosial) secara positif dan berdayaguna bagi proses belajar mengajar.
A.
Daftar Pustaka
Brusell, E.
& Cimino, C. (2009). Investigating the Impact of Weekly Weblog
Assignments on the Learning Environment of a Secondary Biology Course. Technology
& Social Media (Special Issue, Part 1), 2009, 15(2).
Chang, S.N. & Chiu, M.H. (2008). Lactos’s Scientific Research: Programmes as a
Framework for Analysing Informal Argumentation about Sosio-scientific
Issues. International Journal of Science Education, 30 (17) pp.1753-1773
Dani, D. (2011).
Sustainability as a Framework for Analyzing Socioscientific Issue. International
Electronic Journal of Environment Education. 1(2) pp 113-126
Dawson, V. & Venville, G.J. (2009). High School Student’s Informal Reasoning and
Argumentation about Biotechnology: An Indicator of Science Literacy?. International
Journal of Science Education, 31 (11) pp.1412-1445
DeBoer,
G.E. 1991. A history of Ideas in Science Education. New York: Teacher College Press.
DeBoer,
G.E. (2000). Scientific Literacy:
Another Look at Its Historical and Contemporary Meanings and Its Relationship
to Science Education Reform . Journal
of Research In Science Teaching . 37( 6)
Pp. 582- 601
Harris, R. & Ratcliffe, M. (2005). Socio-scientific Issues of Exploratory
Talk-Ehat Can be Learned from School Involved in a ‘Collapsed Day Project’?. The
Curriculum Journal. 16(4) pp. 439-453
Hodson, D. (2005). What
is Scientific Literacy and Why Do We Need It?. Tersedia online di http://www.mun.ca [akses 14 April 2011]
Inch, E.S., Warnick, B., & Endres, D.
(2006). Critical Thinking and Communication: The Use of Reason in Argument. Boston: Pearson Education Inc.
Laugksch. R.C. (2000). Scientific
Literacy: A Conceptual Overview.
Jonh Wiley & Son Inc.
Lee, C.K. (2008). A Proposed Instructional Model Using
Socioscientific Issues to Illustrate the Nature of Science (NOS-SSI
Instructional Model). Tersedia
online di aracte.org/publications/LeeWinter2008.pdf
Madiga,
M.T., et al. (2002). Biology
of Microorganisms. New Jersey:
Pearson Education Inc.
Marks,
R. & Eilks, I. (2009). Promoting
Scientific Literacy Using a Sociocritical and Problem-Oriented Approach to
Chemistry Teaching: Concept, Examples, Experiences. International
Journal of Environmental & Science Education. 4(3) pp. 231-245
Marrero, M.E. & Mensah, F.M.M. (2010). Socioscientific Decision Making the Ocean:
The Case Study of 7th Grade Life Science Students. Electronic Journal of Science Education.
14(1)
Matson,
J.O & Parsons, S. (2006). Misconceptions about The Nature of Science,
Inquirybased Instruction, and Constructivism: Creating Confusion in The Science
Classroom. Electronic Journal of Literacy through Science, Volume 5 (6)
Nbina, J.B. & Obomanu B.J. (2010). The Meaning of Scientific
Literacy: A Model of Relevance in Science Education. Academic Leadership the Online Journal. 8( 4)
Nuangchalern, P. (2009). Developing of Socioscientific Issue-Based
Teaching for Preservice Science Teachers. Journal of Social Science. 5(3) pp. 239-243
Nuangchalern. P. (2010). Engaging Students to Perceive Nature of
Science Though Socioscientific Issue-Based Instruction. European
Journal of Social Science. 13(1) pp 34-37
Osborne, J.
(2005). The Role of argument in Science
Education. K. Boesma, M. Goedhart, O. De
Jong, & H. Eijkelhof [Eds]. Research
and Quality of Science Education. Dordrecht, Nederlands: Spinger.
Reis, P. & Galvao.
(2009). Teaching
Controversial Socio Scientific Issue in
Biology and Geology Clases: a Case Study.
Electronic Journal of Science
Education. 13(1)
Robert, R. &
Gott, R. (2010). A framework for
Practical Work, Argumentation, and Scientific Literacy. G.Cakmaci & M.F.
Tafsar [Eds]. a Collection of papers presented at ESERA 2009 Conference.
Contemporary Science Education Research: Scientific Literacy and Social Aspects
of Science. pp. 99–105. Ankara:
Pegem Akademi
Ruterford,
F.J. & Ahlgren, A. 1990. Science
for All Americans. New York:
Oxford University Press
Shambaugh, N. & Magliaro, S.G. (2006).
Intructional Design: A
Systematic Approach for Reflective Practice. Boston: Pearson Educational Inc.
Wongsri, P. & Nuangchalern, P. (2010).
Learning Outcomes Between Socioscientific Issue Based Learning and
Convetional Learning Activities. Journal od Social Science. 6(2) pp. 240-243
ACKNOWLEDGMENTS
Acknowledgments submitted to
Meiry Noor Fadilah,
M. Si (UIN
Sharif Hidayatullah) for its cooperation in
this preliminary study.
BIODATA PENULIS
NAMA : YANTI HERLANTI, M.Pd
(lengkap
dengan Gelar*)
JENIS KELAMIN :
PEREMPUAN
JUDUL MAKALAH :
Pengembangan
Pembelajaran Berbasis Isu Sosiosaintifik Melalui Weblog untuk Mendukung Literasi Sains
INSTANSI : UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JABATAN : DOSEN