PERSEPSI GURU HONORER SE-JABODETABEK TERHADAP PROFIL GURU BERKARAKTER & MASALAH GURU

Asep Sapa’at
Lembaga Pengembangan Insani – Dompet Dhuafa


Abstrak

Maraknya sikap dan perilaku peserta didik yang tidak berakhlak mulia & berbudi pekerti luhur bisa menjadi penanda bahwa pendidikan karakter belum optimal diterapkan di lingkungan sekolah. Ruyadi (2010) menyatakan bahwa pendidikan karakter di sekolah akan efektif diterapkan apabila guru dapat menjadi sosok yang mampu diteladani para siswanya. Oleh karena itu, guru harus mampu membentuk persepsi diri sekaligus membina dirinya agar menjadi sosok yang berkarakter sebagai seorang pengajar dan pendidik. Konsekuensi logisnya, guru harus konsisten melakukan proses perbaikan diri dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya sebagai insan yang berkarakter. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan karakter yang harus dimiliki guru serta beragam masalah yang kerap dihadapi guru dalam menjalankan kinerjanya. Subjek dari penelitian ini adalah 371 guru honorer se-JABODETABEK. Ada 3 temuan penting dari penelitian ini, di antaranya: (1) guru dengan pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun dan lebih dari 10 tahun memiliki persepsi yang sama terkait 5 karakter utama yang harus dimiliki guru, yaitu disiplin, tanggung jawab, jujur, kreatif, dan kasih sayang; (2) guru dengan pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun memiliki 5 masalah utama sebagai guru, yaitu menangani siswa slow learners, keterbatasan fasilitas sekolah, menangani jumlah siswa yang banyak, beban kerja administrasi, dan menangani perbedaan individu siswa; (3) guru dengan pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun memiliki 5 masalah utama sebagai guru, yaitu menangani siswa slow learners, menangani perbedaan individu siswa, menangani jumlah siswa yang banyak, mengatasi beragam siswa yang berbeda budaya dan latar belakang keluarga, serta membangun komunikasi dan relasi dengan orang tua siswa. LPTK sebagai lembaga penghasil guru seharusnya memiliki data lapangan mengenai masalah utama yang kerap dihadapi guru dan karakter yang mesti dimiliki guru. Data ini dapat dijadikan rujukan bagi LPTK dalam mendesain dan mengimplementasikan kurikulum pembinaan guru yang berbasis pada penanaman nilai-nilai karakter guru sekaligus membekali pemahaman mengenai strategi-strategi dalam memecahkan masalah di dunia nyata. Dalam konteks in-service teacher training, kepala sekolah sebagai pemegang otoritas di sekolah mesti cermat mengembangkan beragam program pengembangan profesional guru yang berfokus pada pembinaan karakter guru dan penyelesaian  masalah-masalah  nyata yang kerap dihadapi guru di sekolah.     

        Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Karakter Guru, Masalah Guru


 PENDAHULUAN

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1, pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan dapat dimaknai sebagai proses terencana dan sistematis untuk menghasilkan peserta didik yang berkembang potensi kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya secara paripurna. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan tidak semata-mata mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada peserta didik. Namun lebih dari itu, pendidikan harus mampu membina peserta didik agar memiliki perilaku yang bermoral dan berakhlak mulia.
Krisis multidimensi dan keterpurukan bangsa, pada hakekatnya bersumber dari jati diri, dan kegagalan dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif, sehingga hanya tercetak generasi yang pintar, tetapi tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa. Selain itu, sistem pendidikan yang top-down, dengan menempatkan guru untuk mentransfer bahan ajar ke subjek didik, dan  subjek didik hanya menampung apa yang disampaikan guru tanpa mencoba berpikir lebih jauh, minimal terjadi proses seleksi secara kritis (Hamengkubuwono, 2010: 3).
Guru merupakan salah satu faktor penentu kualitas pendidikan. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (PP No. 19 Tahun 2005). Meski arus globalisasi & laju informasi yang pesat tengah mempengaruhi arah perkembangan dunia pendidikan, peran guru tak akan pernah tergantikan. Wasliman (2006: 63) menyatakan, “Memang harus diakui maraknya arus informasi dewasa ini, guru bukan lagi satu-satunya sumber informasi, tetapi merupakan salah satu sumber informasi. Meskipun demikian, perannya dalam proses pendidikan masih tetap diperlukan, khususnya yang berkenaan dengan sentuhan-sentuhan psikologi dan edukatif terhadap anak didik.” Dalam konteks ini, peran guru sebagai pengajar mungkin bisa digantikan oleh sumber informasi lainnya. Namun peran guru sebagai pendidik justru akan menjadi kunci utama dalam mengimplementasikan pendidikan karakter di lingkungan sekolah.
Karakter guru yang ditunjukkan dalam perilaku keseharian di lingkungan sekolah dapat dijadikan suri tauladan bagi peserta didik. Hal ini akan berdampak positif pada proses pendidikan karakter secara keseluruhan di lingkungan sekolah. Ruseffendi (1988: 39) mengemukakan beberapa karakter atau sifat seorang guru atau dosen yang efektif, yaitu terampil, disiplin, pendorong, memiliki daya tarik, kurang emosional, acuh, patuh, penolong, minatnya besar, dan bersifat kepemimpinan. Sedangkan karakter guru atau dosen yang kurang efektif, antara lain sering memarahi dan mencela, mengeritik, kurang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berinisiatif dan berkomentar, kurang perhatian kepada mahasiswa yang bekerja sendiri.
Munandar (2010: 145) menyatakan bahwa perubahan perilaku pada siswa/mahasiswa sangat tergantung pada perilaku pada guru/dosen. Dalam proses belajar mengajar, guru diharapkan menguasai ilmu dan teknologi yang ditunjang dengan perilaku akademik yang yang baik, seperti sikap disiplin, kejujuran, keterbukaan, mempunyai spirit yang tinggi, dan menghargai rekan sejawat.  
Dalam konteks yang lain, Yuliyawati (2010) menyatakan bahwa dosen wanita memiliki sebelas karakter, yaitu sabar, perhatian, teliti, baik hati, toleran, cerewet, rapi, ramah, pemarah, pendendam, dan mudah tersinggung. Terdapat tujuh karakter yang positif, yaitu perhatian, baik hati, sabar, toleran, teliti, ramah, dan rapi. Selain itu, terdapat pula empat karakter dosen wanita yang negatif, yaitu cerewet, pendendam, pemarah, dan mudah tersinggung. Keberadaan dosen wanita di kelas menciptakan komunikasi yang baik antara mahasiswa dengan mahasiswa atau mahasiswa dengan dosen. Karakter dosen wanita yang perhatian mendorong  mahasiswa menjadi aktif dan suasana kelas menjadi kondusif sehingga tercipta pembelajaran yang efektif. Dengan demikian, seorang guru sebagai pendidik harus memiliki persepsi awal tentang karakter utama yang harus dimiliki guru. Karakter yang sudah dipersepsikan itu kemudian dipraktikkan dalam proses penyelesaian masalah-masalah yang kerap dialami dalam ruang lingkup pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang guru.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin mengetahui masalah-masalah apa yang kerap dialami guru dan karakter utama apa saja yang harus dimiliki guru agar dapat menjadi suri tauladan bagi peserta didik.
Rumusan masalah dalam penelitian ini, di antaranya:
1.      Karakter utama apa saja yang harus dimiliki oleh guru menurut persepsi guru yang memiliki pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun?
2.      Karakter utama apa saja yang harus dimiliki oleh guru menurut persepi guru yang memiliki pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun?
3.      Masalah apa saja yang kerap dihadapi guru menurut persepsi guru yang memiliki pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun?
4.      Masalah apa saja yang kerap dihadapi guru menurut persepsi guru yang memiliki pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun?

KAJIAN PUSTAKA

1.      Praktik Pendidikan Karakter di Sekolah

Secara etimologis makna kata karakter dapat dilacak dari kata Latin, kharrasein dan kharax yang maknanya ‘tools for marking’ dan ‘to engrave’. Kata ini mulai banyak digunakan kembali dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia ‘karakter’. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga berbentuk unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain. Demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya termasuk dengan orang yang tidak berkarakter baik (Sudrajat, dalam Wahyudin, 2010: 122).
Menurut Suyanto (Wardani, 2010: 232), karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Senada dengan hal tersebut, Soedarsono (2008) mendefinisikan makna karakter sebagai nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan yang dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri manusia yang menjadi semacam nilai-nilai intrinsik yang terwujud dalam sistem daya juang yang melandasi pemikiran, sikap dan perilakunya. Karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi dibentuk dan dibangun secara sadar dan sengaja, berdasarkan jati diri masing-masing. Tegasnya, karakter adalah sejumlah sifat baik yang menjadi perilaku sehari-hari sebagai hasil dari proses pembiasaan dan peneladanan dari pendidik kepada peserta didik.  
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan, “...terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang, dinamis, dan berorientasi ipteks. Oleh karena itu diperlukan usaha nyata agar tujuan pendidikan tersebut bisa terwujud. Sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan dipandang efektif untuk dapat membangun karakter peserta didik melalui kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran dalam konteks pendidikan karakter adalah pembelajaran yang mengarah  pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan/dirujuk pada suatu nilai. Penguatan adalah upaya untuk melapisi suatu perilaku anak sehingga berlapis (kuat). Pengembangan perilaku adalah proses adaptasi perilaku anak terhadap situasi dan kondisi baru yang dihadapi berdasarkan pengalaman anak. Kegiatan penguatan dan pengembangan didasarkan pada suatu nilai yang dirujuk. Artinya, proses pendidikan karakter adalah proses yang terjadi karena didesain secara sadar, bukan suatu kebetulan (Kesuma, D. et al. 2010: 429).
Proses pembelajaran yang bertujuan untuk membangun karakter tidak bisa dilakukan sebagai proses transfer informasi semata. Sauri (2010) menyatakan bahwa pendekatan dalam proses pendidikan karakter lewat pengalihan nilai (transfer of values) dari pendidik kepada peserta didik dapat dilakukan dengan cara:
a.      Melalui pendekatan emosional; pendidik berusaha mengaktifkan ranah afektif peserta didik karena setiap anak yang lahir ke dunia membawa sifat-sifat positif (Tuhan). Setiap ranah afektif peserta didik aktif, pendidik baru menyampaikan ajaran-ajaran moral. Dalam kondisi ini, peserta didik siap mencerna materi dan akan berbekas pada jiwanya.
b.      Membina perilaku positif siswa yang dilakukan secara berulang-ulang. Perilaku yang diulang-ulang (repetition), makin lama makin tertanam secara dalam, menjadi kebiasaan, menjadi sifat/karakter dan akhirnya menjadi bagian dari kepribadian. Kata-kata bijak mengatakan bahwa sesuatu yang terus-menerus diulang akan menghasilkan perubahan karakter yang luar biasa. Hal seperti ini dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Jepang, dengan budaya Taisho dan membacakan karakter-karakter perusahaan di setiap apel pagi. Metode seperti ini juga diterapkan di lingkungan TNI lewat Sumpah Pajurit atau Sapta Marga.

Kesuma et.al. (2009) menyatakan juga bahwa pengalaman belajar anak dalam pendidikan karakter merupakan suatu proses yang terpadu antara proses di kelas, sekolah, dan rumah. Konsekuensi logisnya, guru sebagai pendidik harus mampu mendesain pembelajaran yang dapat melayani kebutuhan belajar peserta didik. Layanan kegiatan pembelajaran dalam pendidikan karakter harus memenuhi tiga hal utama, yaitu kasih sayang, saling percaya, dan kewibawaan. Kasih sayang sebagai dasar pendidikan, artinya kegiatan pembelajaran yang difasilitasi oleh guru merupakan wujud kasih sayang guru terhadap anak, bukan dipersepsi dan diasumsikan sekadar sebagai pelaksanaan tugas sebagai PNS/guru honorer di suatu sekolah. Saling percaya sebagai syarat teknis pendidikan karakter, artinya interaksi pembelajaran yang dibangun oleh guru mensyaratkan adanya saling percaya antara guru dan peserta didik, antar sesama peserta didik, dan lingkungan pendidikan dan peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa guru memiliki peran yang besar untuk memberikan keteladanan dalam mempercayai bahwa setiap anak adalah individu yang memiliki potensi yang harus difasilitasi oleh guru dan lingkungannya. Syarat mutlak adalah kewibawaan maksudnya bahwa proses pendidikan karakter tidak akan terwujud (tidak menghasilkan kepemilikan karakter oleh anak) manakala guru diasumsikan tidak berwibawa di mata peserta didik. Kewibawaan merupakan suatu kondisi dimana anak mengasumsikan bahwa guru memiliki kelayakan sebagai seorang guru. Kewibawaan merupakan suatu kondisi yang lahir secara alamiah berdasarkan interaksi anak dengan lingkungannya, bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh guru, semisal dengan memarahi anak yang tidak menghormati guru tersebut atau dengan menegakkan aturan yang sangat keras/ketat sebagaimana pengkondisian di instansi militer.
Lickona (1991) menyatakan pula bahwa sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab. Lickona (2007, Hufad, A. & Sauri, S., 2010: 51) mengemukakan 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif, yaitu: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi, (2) definisikan ‘karakter’ secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra, dan (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauhmana siswa memanifestasikan karakter yang baik.   
Pendidikan karakter itu bersifat siklus, perlu pembiasaan diri & peneladanan dari orang tua dan guru sebagai pendidik. Keluaran (output) pendidikan harus direorientasi pada keseimbangan 3 unsur pendidikan berupa karakter diri, ilmu pengetahuan, dan soft skill.

2.      Masalah sebagai Ujian Karakter Guru


Tantangan dunia pendidikan di masa depan semakin berat. Guru sebagai salah satu bagian penting dari pendidikan, harus mampu menjadi manusia pembelajar yang cerdas dan kreatif. Guru akan menjadi cerdas jika mereka mampu mengakses seluruh sumber ilmu pengetahuan dari buku, lingkungan sekitar, internet, media masa, dan puspa ragam sumber ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian, berpikir terbuka dalam merespon perubahan yang terjadi, beradaptasi dengan perkembangan pendidikan yang terjadi, dan mampu mengoptimalkan sumber daya yang ada menjadi sebuah inovasi baru di dunia pendidikan adalah beberapa ciri penting guru kreatif. Namun demikian, proses menjadi guru yang cerdas dan kreatif merupakan masalah tersendiri yang mesti dihadapi dan diselesaikan guru.
Widiastono, T.D. (2004) menyatakan bahwa dalam konteks persekolahan sekarang, guru diminta untuk masih memegang peran sebagai orang bijak dan cerdas. Namun, lingkungan tidak selalu mengizinkan guru untuk menjadi cerdas dan kreatif. Ada 5 masalah untuk menjadi guru cerdas dan kreatif, yaitu: (1). Guru kerap harus mengerjakan tugas-tugas administratif yang memustahilkan ia membaca untuk menjadi lebih cerdas. (2). Guru kerap harus mengikuti banyak acara pemerintahan sehingga tidak sempat dan menjadi cukup waktu mendampingi murid untuk menolong proses pencerdasan mereka. (3). Guru sering tidak dapat mengembangkan kecerdasan karena pegangan dari ’departemen’ sedemikian kaku, sehingga waktu termakan habis untuk menghidangkan bahan kurikulum. (4). Guru kadang kala sulit mengembangkan kreativitasnya dalam konteks profesinya karena kehabisan waktu untuk mencari nafkah lewat jalur di luar keguruan. (5). Guru sulit menjadi kreatif karena kita telah melewati suatu masa yang cukup panjang, dimana guru berasal dari lapisan kedua dari murid yang cerdas. Banyak murid cerdas 10 – 25 tahun yang lalu tidak mau menjadi guru. Sekarang kita malah tidak memiliki pendidikan yang secara khusus dan tepat guna mendidik guru dalam arti kebijakan. Implikasinya, guru menjadi jalur karir, bukan panggilan hidup. Padahal guru tidak semata-mata suatu pekerjaan yang membutuhkan ijazah, tetapi hati. Pekerjaan guru membutuhkan relasi hati.
Dalam konteks yang lain, Veenman (1984) menyatakan bahwa guru-guru baru (sudah mengajar dalam kurun waktu 3 tahun atau kurang) memiliki masalah-masalah untuk menjadi seorang profesional sejati, dan berdasarkan urutan frekuensi munculnya masalah dapat dijabarkan sebagai berikut.

Urutan
(Rank Order)
Masalah
1
Classroom Discipline
2
Motivating Students
3
Dealing with Individual Differences
4,5
Assesing Student’s Work
4,5
Relation with Parents
6,5
Organization of Class Work
6,5
Insufficient Materials and Supplies
8
Dealing with Problems of Individual Students
9
Heavy Teaching Load Resulting in Insufficient Prepatory Time
10
Relations with Colleagues
11
Planning of Lessons and Schooldays
12
Effective Use of Different Teaching Methods
13
Awareness of School Policies and Rules
14
Determining Learning Level of Students
15
Knowledge of Subject Matter
 16
Burden of Clerical Work
17
Relations with Principals/Administrators
18
Inadequate School Equipment
19
Dealing with Slow Learners
20
Dealing with Students of Different Cultures and Deprived Backgrounds
21
Effective Use of Textbooks and Curriculum Guides
22
Lack of Spare Time
23
Inadequate Guidance and Support
24
Large Class Size

            Tabel 1.
Masalah-Masalah yang Dihadapi Guru Baru Berdasarkan Urutan Frekuensi Munculnya Masalah (Veenman, 1984)

Bagi guru berkarakter, masalah adalah ujian sesungguhnya untuk menjadi profesional sejati. Mereka tidak akan menyerah untuk terus berpikir dan melakukan sesuatu agar dapat memecahkan masalah yang kerap dihadapi dalam ruang lingkup pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai guru. Sebaliknya, masalah akan membuat guru semakin menghayati tugsanya sebagai panggilan hidup, bukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban sebagai seorang guru. David Hansen (1995, Suparno, 2004: 126) menjelaskan 2 unsur penting dari pekerjaan sebagai panggilan hidup, yaitu (1) pekerjaan itu membantu mengembangkan orang lain, dan (2) pekerjaan itu juga mengembangkan dan memenuhi diri sendiri sebagai pribadi. Ketika guru mampu menunjukkan karakter diri dalam upaya menyelesaikan masalahnya, maka hal ini akan menjadi sumber inspirasi dan teladan bagi siswa untuk melakukan hal serupa. Naisbit dan Aburdene (Jacob, 2002: 1) menyatakan bahwa individulah yang mengubah dirinya terlebih dahulu sebelum berusaha mengubah masyarakat/orang lain. Guru yang mampu menjadikan masalah yang dihadapinya sebagai ujian untuk menempa karakter diri merupakan contoh nyata praktik terbaik pendidikan karakter di lingkungan sekolah dan masyarakat. Dengan cara itu, guru akan lebih mudah untuk mentrasformasi nilai-nilai karakter pada diri siswa melalui proses pembelajaran yang bermakna dan peneladanan.

METODE PENELITIAN

Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Subjek dari penelitian ini adalah 371 guru honorer se-JABODETABEK yang mengikuti kegiatan Public Training Hari Guru Nasional 2010 yang digelar oleh Lembaga Pengembangan Insani – Dompet Dhuafa. Rincian jumlah subjek penelitian berdasarkan lamanya mengajar dapat dilihat dari tabel berikut.

No.
Pengalaman Mengajar (Tahun)
Jumlah (Orang)
1.
0 - 10
317
2.
11 – 20
32
3.
21 – 30
18
4.
31 - 40
4

Tabel 2.
Jumlah Subjek Penelitian berdasarkan Pengalaman Mengajar

Penelitian diawali dengan aktivitas kajian dan analisis pustaka terkait karakter guru & masalah yang kerap dihadapi guru baru (pengalaman mengajar kurang dari 3 tahun). Kemudian, instrumen penelitian berupa angket dibuat dan digunakan sebagai instrumen ujicoba terpakai. Angket disebarkan kepada subjek penelitian, data angket dianalisis dan dideskripsikan untuk mengetahui persepsi subjek penelitian mengenai karakter utama yang harus dimiliki guru dan beberapa masalah yang kerap dihadapi guru. Alur penelitian ini dapat digambarkan melalui alur diagram berikut.


 












Gambar 1. Alur Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.      Karakter Guru menurut Persepsi Guru dengan Pengalaman Mengajar Kurang dari 10 Tahun


Ada 17 karakter yang mesti dipilih oleh guru berdasarkan tingkat keutamaannya dan menjadi prioritas untuk dimiliki dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 17 karakter tersebut, di antaranya (1) jujur, (2) disiplin, (3) tanggung jawab, (4) kasih sayang, (5) rela berkorban, (6) adil, (7) percaya diri, (8) semangat, (9) tak egois, (10) kreatif, (11) komunikatif, (12) sederhana, (13) bijaksana, (14) tak puas diri, (15) ulet, (16) rajin, (17) produktif.
Setiap guru diberikan kesempatan untuk memilih karakter yang menurut mereka paling penting untuk dimiliki dan diinternalisasi sampai karakter yang tidak terlalu penting untuk dimiliki guru. Setiap guru memilih karakter yang tersedia pada angket dengan cara memberikan nomor pada setiap jenis karakter mulai dari angka 1 (paling penting dimiliki guru) sampai angka 17 (kurang penting dimiliki guru). 

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh 17 karakter yang tersusun secara berurutan dan menunjukkan peringkat karakter guru dari yang mulai harus dimiliki guru sampai yang tidak mesti dimiliki oleh guru. 5 karakter utama yang mesti dimiliki guru (TOP 5), yaitu (1) disiplin dengan total poin 4594, (2) tanggung jawab dengan total poin 4392, (3) jujur dengan total poin 4253, (4) kreatif dengan total poin 3389, dan (5) kasih sayang dengan total poin 3291.
1.      Karakter Guru menurut Persepsi Guru dengan Pengalaman Mengajar Lebih dari 10 Tahun

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh 5 karakter utama yang mesti dimiliki guru (TOP 5), yaitu (1) disiplin dengan total poin 820, (2) tanggung jawab dengan total poin 808, (3) jujur dengan total poin 783, (4) kreatif dengan total poin 581, dan (5) kasih sayang dengan total poin 566.
Tabel 4.
Urutan Peringkat Karakter Guru Menurut Persepsi Guru dengan
Pengalaman Mengajar Lebih dari 10 Tahun



Hal penting yang harus dilakukan adalah menerapkan program pembinaan guru berbasis karakter. Proses pembinaan karakter guru mesti konsisten dilakukan agar dapat membantu guru menjadi figur yang layak diteladani oleh para siswanya. Nilai karakter yang hendak diterapkan mesti disepakati dan diterjemahkan dalam indikator perilaku yang seharusnya tercermin dalam kehidupan keseharian guru, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Nilai karakter disiplin misalnya, apa definisi disiplin, apa indikator seorang guru berperilaku disiplin, dan apa konsekuensi jika guru tidak berperilaku disiplin harus ditetapkan dan dipahami oleh semua guru di suatu sekolah. Tak ada guru yang kebal hukum. Semua guru yang melanggar aturan, termasuk kepala sekolah di dalamnya, maka semua harus menanggung konsekuensinya. Seandainya persepsi terkait nilai-nilai karakter guru ini bisa ditetapkan indikator perilakunya dan secara eksplisit ditetapkan pula konsekuensi bagi para pelanggarnya, maka nilai-nilai karakter guru ini memiliki potensi untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guru, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.


1.      Masalah Guru menurut Persepsi Guru dengan Pengalaman Mengajar Kurang dari 10 Tahun

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh 24 masalah yang tersusun secara berurutan dan menunjukkan peringkat masalah guru dari yang mulai paling rumit dan sering dihadapi guru sampai yang paling mudah dan jarang dihadapi guru. 5 masalah utama yang kerap sering dan relatif sulit dihadapi guru (TOP 5), yaitu (1) penanganan siswa yang terlambat belajar (slow learners) dengan total poin 5879, (2) terbatasnya fasilitas sekolah dengan total poin 5072, (3) penanganan jumlah kelas besar dengan total poin 4937, (4) beban administrasi yang relatif berat dengan total poin 4822, dan (5) penanganan perbedaan individu siswa dengan total poin 4769 (Lihat Tabel 5).

Kebutuhan utama guru-guru yang baru mulai mengajar adalah proses adaptasi dari transisi menuju profesi. Rubinstein (2010) dan Veenman (1984) menyatakan bahwa kendala utama guru-guru baru di antaranya, perasaan terisolasi, pemahaman buruk tentang apa yang mereka harapkan, beban kerja dan tugas tambahan yang tidak bisa ditangani, kurangnya peralatan kerja yang mendukung, fasilitas fisik sekolah yang buruk, kurangnya dukungan dan bantuan dari guru berpengalaman dan kepala sekolah yang berdampak pada perasaan frustrasi dan gagal pada diri mereka.

Clement (2011) menyatakan, “There is recognition that the induction period, the first two or three years of teaching, is critical in developing teachers’ capabilities, and that beginning teachers should not be left alone to sink or swim”. Oleh karena itu, sekolah harus membuat program pengembangan profesional yang dapat membantu guru baru bisa melewati fase-fase transisi menjadi guru profesional. Breaux (2011) menyatakan, “Most important for the professional development of new teachers are the internal support systems and strategies that the schools adopt (that is, the daily support activities and continual learning opportunities)”.
Tabel 6.
Urutan Peringkat Masalah Guru Menurut Persepsi Guru dengan
Pengalaman Mengajar Lebih dari 10 Tahun

Data yang menarik untuk dicermati pada tabel di atas adalah munculnya masalah sulitnya menangani siswa yang terlambat belajar yang dihadapi oleh guru dengan pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun. Jika kita bandingkan data di tabel 5 dan data di tabel 6, guru dengan pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun dan guru dengan pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun ternyata memiliki masalah utama yang sama, yaitu sulitnya menangani siswa yang terlambat belajar. Pertanyaan yang menarik unutuk diajukan adalah, (1) Mengapa guru yang sudah berpengalaman mengajar (mengajar lebih dari 10 tahun) masih memiliki masalah yang sama dengan guru baru (mengajar kurang dari 10 tahun)? (2) Apakah guru yang sudah berpengalaman mengajar (mengajar lebih dari 10 tahun) tidak pernah mengikuti kegiatan pengembangan profesional guru sehingga masalah yang dihadapi tidak pernah mampu mereka atasi selama mereka menjadi guru? (3) Program pembinaan guru seperti apa yang mampu membangun kolegalitas dan mutual learning antara guru baru dan guru berpengalaman mengajar? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan acuan untuk menggali informasi lebih mendalam sehingga kita dapat mencari tahu jawaban atas dua pertanyaan penting, “Apa alasan utama dibalik persepsi guru honorer se-JABODETABEK mengenai masalah yang kerap mereka hadapi sebagai seorang guru?” dan “Apa yang harus dilakukan oleh kepala sekolah dalam mendesain program pengembangan profesional guru berbasis kebutuhan nyata di lapangan?”
 
SIMPULAN DAN SARAN

Tak ada orang yang menjadi jujur, disiplin, dan berkarakter dengan sendirinya. Hal itu pun berlaku bagi guru sebagai pengajar dan pendidik yang harus mampu menjadi suri tauladan bagi para siswanya. Masalah yang kerap dihadapi merupakan ujian dan tempaan hidup sesungguhnya yang dapat membentuk pribadi guru menjadi lebih berkarakter. Guru dengan pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun memiliki persepsi yang relatif berbeda dengan guru dengan pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun terkait masalah yang kerap mereka hadapi.
5 masalah utama yang kerap dihadapi guru dengan pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun, yaitu: (1) penanganan siswa yang terlambat belajar (slow learners), (2) penanganan perbedaan individu siswa, (3) penanganan jumlah kelas besar, (4) penanganan siswa yang memiliki perbedaan budaya dan latar belakang keluarga, (5) menjalin komunikasi dan relasi dengan orang tua siswa. Sedangkan 5 masalah utama yang kerap dihadapi guru dengan pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun, yaitu: (1) penanganan siswa yang terlambat belajar (slow learners), (2) penanganan perbedaan individu siswa, (3) penanganan jumlah kelas besar, (4) penanganan siswa yang memiliki perbedaan budaya dan latar belakang keluarga, (5) menjalin komunikasi dan relasi dengan orang tua siswa. Sekolah perlu kiranya memikirkan suatu strategi pengembangan profesional guru yang dapat membantu guru baru untuk dapat cepat beradaptasi dengan lingkungan sekolah, sekaligus membina guru berpengalaman mengajar agar dapat menjadi tutor sebaya bagi rekan-rekan sejawat dan guru baru dengan mengedepankan prinsip kolegalitas dan mutual learning.
Guru yang hebat adalah guru yang mampu membakar semangat para siswanya untuk lebih giat belajar dan menyadarkan tanggung jawab para siswa akan apa yang seharusnya mereka lakukan. Kehebatan seorang guru tidak terletak dari kecerdasannya semata, namun yang lebih penting adalah sosoknya yang berkarakter, memegang teguh pinsip, serta memiliki keselarasan antara kata dan perbuatan. Guru dengan pengalaman mengajar kurang dari 10 tahun dan guru dengan pengalaman mengajar lebih dari 10 tahun memiliki persepsi yang relatif sama terkait karakter utama yang mesti dimiliki guru. 5 karakter utama yang mesti diinternalisasi dan menjadi bagian dari pribadi guru, yaitu (1) disiplin, (2) tanggung jawab, (3) jujur, (4) kreatif, dan (5) kasih sayang.
Penanganan masalah guru dan pembinaan karakter guru adalah 2 hal penting dalam proses pendidikan karakter di sekolah. Setiap guru harus mendapatkan proses pendampingan dan pembinaan untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. LPTK hendaknya memiliki data penelitian lapangan mengenai masalah-masalah apa saja yang kerap dihadapi guru di sekolah. Data ini dapat digunakan sebagai referensi dalam menyelenggarakan program pre-service training bagi para calon guru. Harapannya, para calon guru sudah dibekali pemahaman teoretis mengenai kemungkinan masalah yang akan mereka hadapi kelak. Hal ini pun berlaku dalam konteks proses pembangunan karakter bagi para calon guru. Kurikulum di LPTK pun harus didesain agar mampu memfasilitasi proses transfer nilai dan transformasi nilai-nilai yang pada akhirnya menghasilkan para lulusan guru yang berkarakter sebagai seorang pengajar dan pendidik.
Dalam konteks in-service training, kepala sekolah harus mampu menjalankan kegiatan supervisi dan pembinaan yang berfokus pada penyelesaian masalah yang nyata dihadapi guru di sekolah. Seluruh kegiatan pelatihan guru maupun pembinaan harus didahului oleh proses analisis kebutuhan sehingga dapat sesuai dengan konteksnya dalam membantu guru untuk memecahkan masalah dalam ruang lingkup kinerja profesionalismenya. Sekolah pun harus mampu menjadi tempat terbaik untuk membangun karakter seluruh warga sekolah. Sekolah harus memiliki kurikulum yang mengembangkan kegiatan pembelajaran berbasis pendidikan karakter. Di sisi lain, guru dan orang tua yang berkarakter menjadi faktor kunci suksesnya pendidikan karakter di sekolah. Oleh karena itu, semua guru dan orang tua harus terlibat aktif pula dalam proses pendidikan karakter yang sudah disepakati dengan pihak sekolah. Semua orang tua dan guru harus ngerti, ngrasa, dan nglakoni (Tringa, Falsafah Ki Hadjar Dewantara) dalam penanaman nilai-nilai etika yang akan diterapkan di sekolah.
 DAFTAR PUSTAKA

Breaux, A. L. 2011. 101 answers for new teachers and their mentors: Effective teaching tips for daily classroom use. Larchmont, NY. Eye on Education.
Clement, M. C. 2011. The induction connection: Facilitating new teacher success. Indianapolis, IN. Kappa Delti Pi.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.
Hamengkubuwono X. 2010. Pendidikan Karakter Bangsa dalam Konsep Kebudayaan Ki Hadjar Dewantara. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional di Kadipaten Pakualaman Yogyakarta, 29 Mei 2010.
Hufad, A. & Sauri, S. 2010.Pendidikan Karakter Berbasis Nilai: Antara Makna, Urgensi, dan Praksis. Kumpulan Makalah Potret Profesionalisme Guru dalam Membangun Karakter Bangsa: Pengalaman Indonesia dan Malaysia. Bandung: UPI Press.

Jacob, C. 2002. Meningkatkan Peran Serta Mahasiswa Dalam Penulisan Karya Ilmiah. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Matematika: Peranan Matematika dalam Peningkatan Kualitas SDM untuk Menghadapi era Industri dan Informasi. BEM HIMAPTIKA ‘Identika FPMIPA UPI Bandung, 23 Januari 2002.
Kesuma, D. et.al. 2010. Model Pembelajaran dalam Pendidikan Karakter. Kumpulan Makalah Potret Profesionalisme Guru dalam Membangun Karakter Bangsa: Pengalaman Indonesia dan Malaysia. Bandung: UPI Press.

Lickona, T. 1991. Educating for Character. Bantam Books.
Munandar, A. 2010. Perubahan Siswa Terhadap Mata Kuliah yang Diajarkan Seiring dengan Perubahan Sikap Guru/Dosen. Makalah Disajikan pada  The 4th International Conference on Teacher Education Kerjasama Universitas Pendidikan Indonesia & Universiti Pendidikan Sultan Idris (Malaysia), Bandung, 8 – 10 November 2010.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005 – 2025, Sekretariat Negara.

Ruseffendi, E.T. 1988. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Penerbit Tarsito.

Rubinstein, G. 2010. Beyond survival: How to thrive in middle and high schools for beginning and improving teachers. New York, NY: McGraw-Hill.

Ruyadi, Y. 2010. Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal. Makalah Disajikan pada  The 4th International Conference on Teacher Education Kerjasama Universitas Pendidikan Indonesia & Universiti Pendidikan Sultan Idris (Malaysia), Bandung, 8 – 10 November 2010.
Sauri, S. 2010. Meningkatkan Kualitas Guru dan Dosen dalam Mengajar melalui Pendidikan Nilai. Makalah.
Soedarsono, S. 2010. Karakter Mengantar Bangsa:  Dari Gelap Menuju Terang.  Jakarta: Elex Media Komputindo.
Suparno, P. 2004.  Pendidikan dan Peran Guru. Pendidikan Manusi Indonesia (Editor:  Tonny D. Widiastono). Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Veenman, S. 1984 (Summer Edition). Perceived Problems of Beginning Teachers. Review of Educational Research, 54 (No. 2), 143 – 178.
Wahyudin, D. 2010. Integrasi Pendidikan Karakter pada Kurikulum Pendidikan Guru. Kumpulan Makalah Potret Profesionalisme Guru dalam Membangun Karakter Bangsa: Pengalaman Indonesia dan Malaysia. Bandung: UPI Press

Wardani, K. 2010. Peran Guru dalam Pendidikan Karakter Menurut Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Makalah Disajikan pada  The 4th International Conference on Teacher Education Kerjasama Universitas Pendidikan Indonesia & Universiti Pendidikan Sultan Idris (Malaysia), Bandung, 8 – 10 November 2010.

Wasliman, Iim. 2006. Mengangkat Citra Guru melalui Penguasaan Kompetensi. Jurnal Mimbar Pendidikan No. 3 Tahun XXV.

Widiastono, T.D. (Eds). 2004. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Yuliyawati, S. N. 2010. Karakter Dosen Wanita dalam Pembelajaran. Makalah Disajikan pada  The 4th International Conference on Teacher Education Kerjasama Universitas Pendidikan Indonesia & Universiti Pendidikan Sultan Idris (Malaysia), Bandung, 8 – 10 November 2010.

 BIODATA PEMAKALAH
Nama Lengkap                                : Asep Sapa’at, S.Pd.
Jenis Kelamin                                   : Laki-Laki
Alamat Pos Surat                            : Bumi Pengembangan Insani
Jl. Raya Parung – Bogor KM 42 Desa Jampang  Kec. Kemang Kab. Bogor Jawa Barat 16310
Nomor Telepon/HP                       : 081 321 971 798
Nomor Faks                                     : 0251-8615016
Email address                                  : syafaat_makmalian@yahoo.com
                                                              syifa.wardha@gmail.com

No comments:

Post a Comment