PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY (TSTS) DENGAN MENGGUNAKAN PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS VI.B SD NEGERI 009 TANJUNG PALAS




BAB I

PENDAHULUAN


 


NAMA                        : HALIMATUSSSAADIAH
                                    ASAL SEKOLAH    : SD NEGERI 009 TANJUNG PALAS



ABSTRAK

Masalah utama dalam penelitian adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa  dan masalah ini dicoba diatasi dengan penerapan metode pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray) di kelas VI.B SD Negeri 009 Tanjung Palas pada materi bagian-bagian bunga,penyerbukan dan pembuahan serta pelestarian makhluk hidup. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan subjek siswa kelas VI.B yang berjumlah 24 orang terdiri dari 10 siswa perempuan dan 14 orang siswa laki-laki. Penelitian ini diadakan dalam kurun waktu 3 bulan ( 25 September 2017 s/d 25 Oktober 2017).
Data dari penelitian ini dikumpulkan melalui serangkaian test tentang hasil belajar untuk mengukur perkembangan kemajuan siswa dalam belajar menggunakan metode pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray) untuk meningkatkan hasil belajar IPA,sedangkan data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif. Penelitian ini diadakan dalam 3 siklus. Pada siklus pertama nilai rata-rata siswa 68.25, sedangkan pada siklus kedua meningkat menjadi 73.33, pada siklus ketiga nilai rata-rata siswa meningkat menjadi 89.58.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran TSTS dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas VI.B SD Negeri 009 Tanjung Palas Tahun Pelajaran 2017/2018.

Kata Kunci: Model Pembelajaran TSTS, Hasil Belajar, Pembelajaran IPA.

                                   

A.    Latar  Belakang
Dalam Proses mengajar, unsur proses belajar memegang peranan yang sangat penting. Mengajar adalah proses membimbing kegiatan belajar, oleh karena itu adalah penting bagi setiap guru memahami sebaik-baiknya tentang proses belajar siswa agar ia dapat memberikan bimbingan dan penyediaan lingkungan belajar yang tepat dan serasi bagi siswa.
Slameto (2010) mengemukakan bahwa proses belajar mengajar yang efektif dapat dicapai apabila guru menggunakan strategi yang baik. Dengan digunakannya strategi yang baik diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilannya dalam memecahkan masalah. Selain itu juga  diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa sehingga mereka aktif ketika berada dalam kelas saat proses pembelajaran berlangsung, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa tersebut.
          Dalam interaksi siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana cara mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan sesuatu bekal untuk hidupnya nanti. Dalam upaya itu mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, diantaranya adlah guru, dan metode pembelajaran yang digunakan. Sampai saat ini para guru kebanyakan masih menggunakan sistem pembelajaran dengan berorientasi pada pola guru sentries, atau pola yang terpaut pada guru, yaitu guru selalu menjadi pusat seluruh kegiatan di dalam kelas. Ini sangat menghambat majunya dunia pendidikan, karena guru yang lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar, sedangkan siswa terbatas pada mendengar, mencatat dan mematuhi perintah guru. Siswa diposisikan sebagai orang yang tidak tahu  yang hanya menunggu apa yang guru berikan. Padahal dalam pembelajaran, guru mempunyai tugas untuk mencapai hasil belajar yang memuaskan.
Dalam kurikulum KTSP sangat dituntut keaktifan siswa dalam belajar, proses pembelajaran tidak hanya didominasi oleh guru, tetapi siswa juga ikut aktif di dalamnya. Salah satu strategi pembelajaran yang melibatkan siswa aktif adalah pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivis.
Konstruktivisme menempatkan siswa pada peranan utama dalam proses belajar (Student Centered). Peranan guru lebih bersifat fasilitator dan memiliki kewajiban dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu, guru di tuntut untuk selalu berinovasi dalam melaksanakan proses pembelajaran. Inovasi guru tersebut misalnya dalam hal pemilihan pendekatan pembelajaran.
B.     Identifikasi Masalah                  
            Dari hasil penelitian awal yang dilakukan peneliti ditemukan beberapa permasalahan dalam pembelajaran IPA di kelas VI.B SD Negeri 009 Tanjung Palas, antara lain:
1.      Guru masih menggunakan metode ceramah dalam mengajar
2.      Siswa kurang tertarik mengikuti pembelajaran IPA
3.      Siswa lebih cenderung menghafal materi IPA sehingga pemahaman konsep IPA kurang
4.      Siswa kurang gemar membaca sehingga penguasaan konsep IPA kurang
5.      Hasil belajar IPA siswa rendah terlihat dari jumlah siswa yang mencapai ketuntasan hanya sebanyak 10 orang atau 42%.
            Berdasarkan identifikasi masalah yang diuraikan di atas, maka salah satu alternatif pemecahan masalah yang terjadi adalah metode pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS). Metode pembelajaran kooperatif TSTS merupakan salah satu teknik memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk saling berbagi ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
            Prosedur pelaksanaannya, siswa dibagi dalam kelompok-kelompok. Setelah kelompok terbentuk guru memberikan tugas  dan masing-masing kelompok mengerjakannya. Kelompok berdiskusi untuk menemukan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan semua anggota mengetahui jawaban tersebut, setelah itu guru memanggil masing-masing kelompok untuk mempresentasikan jawaban hasil kelompok mereka.
            Dengan teknik ini dapat mendorong siswa untuk meningkatkan semangat dan motivasi para siswa. Pada pembelajaran kooperatif tipe TSTS, siswa yang berkemampuan tinggi dapat mengajari siswa yang berkemampuan rendah dan dapat memecahkan masalah tiap soal yang diberikan oleh guru.
C.  Pembatasan  Masalah                                         
Pembelajaran merupakan kegiatan belajar mengajar yang berlangsung dalam interaksi antara guru dan siswa. Dalam pembelajaran, siswa dibantu oleh guru sebagai fasilitator dalam melibatkan diri untuk membentuk kompetensi, serta mengembangkan dan memodifikasi kegiatan pembelajaran, apabila kegiatan itu menuntut adanya pengembangan dan modifikasi. Kegiatan inti pembelajaran atau pembentukan kompetensi perlu dilakukan dengan tenang dan menyenangkan, hal tersebut tentu saja menuntut aktivitas yang kondusif.
Namun dalam prakteknya, masih banyak siswa yang belum mendapatkan fasilitas tersebut serta sistem pembelajaran yang masih bersifat massal tanpa memperhatikan kebutuhan masing-masing siswa untuk dapat menerima pelajaran sesuai dengan karakter atau cara siswa dalam memahami materi yang disampaikan. Hal serupa juga terjadi dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
             IPA  merupakan suatu kumpulan pengetahuan, tersusun secara sistematis dan dalam penggunaannya secara umum sebatas pada gejala alam. Dapat disimpulkan bahwa IPA adalah hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan atau gagasan dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah.                                                  Fakta proses pembelajaran IPA di Sekolah Dasar (SD) dirasakan masih kurang dalam hal keaktifan dan kreatifitas dari para siswa. Karena pada umumnya, siswa menganggap bahwa pembelajaran IPA hanyalah kumpulan penguasaan pengetahuan yang hanya berisi konsep-konsep atau fakta-fakta saja. Padahal jika ditelaah secara mendalam, IPA itu sangat penting dan berkaitan dengan kehidupan keseharian yang ada di sekitar lingkungan kita, seperti tumbuhan, hewan dan lain-lain. Selain itu pembelajaran IPA juga berkaitan dengan suatu proses penemuan secara langsung sehingga diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitarnya.
`        Selain itu, pada umumnya pembelajaran IPA di SD hanya mengandalkan dan menggunakan metode ceramah yang menoton  dari guru, kemudian mencatat apa yang diberikan guru di buku catatan. Sehingga siswa cenderung hanya menulis tanpa memahami apa yang ditulisnya. Jelas ini membuat siswa cepat jenuh dan pada akhirnya tidak mengikuti pembelajaran IPA sehingga berakibat menurunnya pada hasil belajar IPA.
            Berdasarkan hasil pengamatan yang terjadi di SD Negeri 009 Tanjung Palas khususnya di kelas VI.B siswa kurang mandiri, tidak berani mengungkapkan pendapatnya, tidak mau bekerja sama dalam menyelesaikan tugas, dan tidak memahami konsep-konsep yang telah dipelajari. Kemudian ketika mengalami kesulitan, siswapun enggan untuk bertanya baik kepada guru maupun pada teman yang lain, sehingga kurang terjadi komunikasi yang baik selama proses pembelajaran. Selain itu, dilihat dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 75, hasil belajar siswa banyak yang di bawah KKM. Jumlah siswa yang tuntas sebanyak 10 orang  atau 42% dari 24 siswa. Masalah rendahnya hasil belajar siswa di kelas tersebut dikarenakan oleh beberapa faktor, misalnya guru masih menggunakan metode ceramah dalam mengajar. Guru langsung menjelaskan materi dari buku sumber. Sehingga dalam proses pembelajaran siswa hanya mendengarkan, mencatat, penjelasan guru dan menjawab soal latihan. Selain itu, penguasaan konsep IPA siswa kurang karena siswa tidak gemar membaca. Siswa juga lebih cenderung menghafal materi.         
          Berdasarkan kondisi tersebut dirasakan perlu adanya metode pembelajaran yang dapat mengembangkan keaktifan dan kreatifitas siswa dalam kompetensi belajarnya. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat menyajikan pembelajaran yang kondusif, inovatif dan menyenangkan dalam pemilihan metode pembelajaran yang cocok dan sesuai dengan kurikulum dan pola pikir siswa. Sehingga diharapkan para siswapun akan jauh lebih aktif dan termotivasi dalam kegiatan pembelajaran. Usaha untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang dapat melibatkan peran aktif siswa, membutuhkan kemampuan pendidik dalam menerapkan metode yang sesuai dan bervariasi agar siswa tidak merasa bosan. Adanya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran akan menumbuhkan motivasi yang tinggi dan pada akhirnya berpengaruh terhadap hasil belajar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan    menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) dengan menggunakan peta konsep.
          Perlunya memahami konsep dengan benar pada siswa tingkat sekolah Dasar agar pembelajaran menjadi bermakna, apabila informasi baru dapat dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah terdapat dalam struktur kognitif seseorang maka dalam kegiatan  belajar mengajar siswa hendaknya dilatih untuk menyatukan konsep-konsep  tersebut. Dengan mengetahui keterkaitan antar konsep, siswa dapat melihat bahwa konsep tersebut tidak berdiri sendiri melainkan mempunyai hubungan bermakna. Pendekatan konsep bagi murid sangat penting, karena digunakan dalam berhubungan atau berkomunikasi dengan guru dan murid lain dalam berpikir, dalam belajar, membaca, mengemukakan pendapat dan sebagainya. Perlu  dipahami bahwa pendekatan konsep berguna untuk memperoleh dan mengkomunikasikan pengetahuan. Dalam hal ini khususnya Ilmu Pengetahuan Alam Ausubel dalam Agus,dkk( 2005).
Novak dan Gowith (dalam Donny, 2008) menyatakan  salah satu cara mengembangkan strategi belajar bermakna yaitu dengan menggunakan peta konsep atau pemetaan konsep. Dengan demikian kegiatan belajar yang terjadi bukan hanya hafalan, tetapi melibatkan intelektual dan emosional siswa. Dengan melaksanakan strategi peta konsep, siswa akan lebih banyak berpikir, menjawab dan dapat memahami konsep dengan baik, sehingga diharapkan hasil belajar meningkat.
Bertitik tolak dari permasalahan diatas maka peneliti terdorong  untuk melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan judul “Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TSTS) dengan menggunakan peta konsep untuk meningkatkan hasil belajar IPA Siswa Kelas VI.B SD Negeri 009 Tanjung Palas Tahun Pelajaran 2017/2018.
D.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :Apakah Penerapan  model pembelajaran kooperatif tipe  Two Stay Two Stray (TSTS) dengan menggunakan peta konsep untuk  memperbaiki proses pembelajaran dan  meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas VI SD Negeri 009 Tanjung Palas  khususnya materi ajar bagian-bagian bunga, penyerbukan dan pembuahan  serta pelestarian makhluk hidup.
E.     Tujuan Penelitian Perbaikan Pembelajaran

F.     Manfaat  Penelitian Perbaikan Pembelajaran
Hasil dari penelitian tindakan kelas dengan menggunakan metode pembelajaran tipe TSTS dengan menggunakan peta konsep ini akan memberikan manfaat seperti di bawah ini:
1.      Bagi Siswa :
a)      Meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam materi perkembangbiakan tumbuhan dan hewan.
b)      Melatih siswa untuk meningkatkan cara berfikir kritis dalam belajar.
c)      Menjadikan proses pembelajaran IPA lebih bermakna dan tidak menjenuhkan.
d)     Membantu pemahaman materi dan pemecahan masalah dalam materi perkembangbiakan tumbuhan dan hewan.
e)      Melatih kemandirian siswa dalam menyelesaikan masalah atau menyelesaikan soal.
2.      Bagi Guru :
a)      Meningkatkan keterampilan guru dalam dalam penguasaan kelas.
b)      Meningkatkan keterampilan guru dalam menggunakan metode belajar yang sesuai.
c)      Memperbaiki dan meningkatkan kinerja guru.
d)     Meningkatkan profesionalisme seorang guru.
e)      Meningkatkan kualitas proses pembelajaran IPA.
f)       Melatih untuk melakukan penelitian yang lebih sistematis pada teori yang ada.
g)      Sebagai masukan dalam mengatasi pengaruh-pengaruh perkembangan teknologi terhadap tumbuh kembang anak didik.
h)      Sebagai masukan dan wawasan dalam menambah serta mengembangkan pengalaman dalam bidang pendidikan dan dapat dijadikan dasar pijakan oleh sejumlah profesi pengajar nantinya

BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
1.      Pengertian Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Bentuk  penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas (PTK).  Penelitian Tindakan Kelas (PTK) berasal dari bahasa Inggris, yaitu Classroom Action Research, diartikan penelitian dengan tindakan yang dilakukan di kelas.  PTK  adalah penelitian praktis yang dimaksudkan untuk memperbaiki pembelajaran di kelas. Arikunto, dkk  (2009) mengemukakan bahwa PTK adalah penelitian   yang dilakukan di kelas dengan tujuan memperbaiki atau meningkatkan mutu  praktik pembelajaran. PTK juga didefinisikan sebagai suatu penelitian tindakan (action research) yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti di kelasnya atau bersam-sama dengan orang lain (kolaborasi) dengan jalan merancang, melaksanakan dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif yang  bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu (kualitas ) proses pembelajaran di kelasnya melalui (treatment) tertentu di dalam suatu siklus (Kunandar, 2008).
Menurut Mohammad Asrori (2007), tujuan PTK ini dapat dicapai dengan cara melakukan berbagai tindakan untuk memecahkan berbagai permasalahan pembelajaran yang selama ini dihadapi, baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Oleh karena itu fokus utama penelitian tindakan kelas adalah terletak kepada tindakan-tindakan alternatif yang dirancang oleh guru kemudian dicobakan, dan dievaluasi untuk mengetahui efektivitas tindakan-tindakan alternatif  itu dalam memecahkan masalah pembelajaran yang dihadapi oleh guru.  
Ada beberapa alasan mengapa PTK merupakan suatu kebutuhan bagi guru untuk meningkatkan professional seorang guru: 1) Sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya, 2) Meningkatkan kinerga guru sehingga menjadi professional, 3) Guru mampu memperbaiki proses pembelajaran suatu kajian yang dalam apa yang terjadi di kelasnya, 4) Suatu penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses pembelajaran, 5) Guru menjadi kreatif karena selalu dituntut untuk melakukan upaya-upaya inovasi sebagai implementasi dan adaptasi berbagai teori.
2.      Jenis Penelitian Tindakan Kelas
Ada empat jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK),yaitu:
1.      PTK Diagnostik, yaitu peneltian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Di mana peneliti mendiagnosa dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian.Contohnya apabila peneliti berupaya menanggani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat disuatu sekolah atau kelas.
2.      PTK Partisipan, yaitu peneliti harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dimulai dari perencanaan, memantau, mencatat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil penelitiannya.
3.      PTK Empiris, yaitu peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung.
4.      PTK Eksperimental, yaitu PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatan belajar-mengajar.
Dalam PTK terdapat empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan  dan refleksi. Dalam penelitian dilakukan dalam dua siklus, dan setiap siklus terdiri dari dua kali pertemuan. Uraian siklus tersebut dapat dilihat dari gambar berikut: 
  





Gambar 1. Daur siklus PTK

1.    Perencanaan (Planning)
Rencana merupakan tahapan awal yang harus dilakukan guru sebelum melakukan sesuatu. Tahapan perencanaan dalam penelitian ini adalah peneliti merencanakan kelas yang akan di teliti, menemukan metode yang tepat dalam pembelajaran, mempersiapkan instrument pembelajaran meliputi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS), Ulangan harian serta lembar observasi.
2.    Pelaksanaan (Action)
       Tindakan ini merupakan penerapan dari perencanaan yang telah dibuat yang dapat berupa suatu penerapan metode pembelajaran tertentu yang bertujuan untuk memperbaiki atau menyempurnakan metode yang sedang dijalankan. Metode  pembelajaran yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode pembelajaran kooperatif tipe TSTS dengan menggunakan peta konsep.

3.    Pengamatan (Observasing)
       Pengamatan ini berfungsi untuk melihat dan mendokumentasikan pengaruh-pengaruh yang diakibatkan oleh tindakan dalam kelas. Hasil pengamatan ini merupakan dasar dilakukannya refleksi sehingga pengamatan yang dilakukan harus dapat menceritakan keadaan yang sesungguhnya. Pengamatan dilakukan oleh observer dengan mengamati seluruh aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran serta mengisi lembar observasi yang disediakan.
4.    Refleksi (Reflecting)
          Meliputi kegiatan : analisis, sintesis, penafsiran (penginterpretasian), menjelaskan dan menyimpulkan. Hasil dari refleksi adalah diadakannya revisi terhadap perencanaan yang telah dilaksanakan, yang akan dipergunakan untuk memperbaiki kinerja guru pada pertemuan selanjutnya.
3.   Karakteristik Siswa Kelas VI Sekolah Dasar
           Menurut WHO (World Health Organisation) (dalam Hartono dan Sunarto (2006) membagi waktu usia dalam dua bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Usia siswa kelas VI SD sekitar 12 tahun. Jadi, siswa SD kelas VI termasuk dalam usia remaja awal, dimana mereka dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Hurlock (dalam Poerwanti dan widodo, 2000) menjelaskan prinsip-prinsip perkembangan meliputi: (1) perkembangan melibatkan adanya perubahan, (2) perkembangan awal lebih kritis dari perkembangan selanjutnya, dan (3) perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar. Keat dalam Poerwanti dan Widodo (2000), mengatakan bahwa perkembangan mental/kognitif sebagai proses-proses mental yang mencakup pemahaman tentang dunia, penemuan pengetahuan, pembuatan perbandingan, berpikir, dan mengerti. Dalam pandangan Piaget (dalam Poerwanti dan Widodo, 2000), perkembangan mental adalah berupa penalaran logis. Baginya makna proses mental jauh lebih penting dari sekedar mengerti.
           Jean Piaget (Budiman, 2000) membagi perkembangan kognitif anak menjadi:
1.  Periode sensori motorik (0 – 2 tahun)
2.  Periode praoperasional (2 – 7 tahun)
3.  Periode operasional konkret (7 – 11/12 tahun)
4.  Periode operasional formal (11/12 – 14/15)
     Siswa kelas VI termasuk dalam periode operasional konkret. Menurut Piaget, pada tahap ini siswa sudah mulai berpikir logis, meskipun masih terbatas pada hal-hal yang bersifat konkret. Siswa juga mampu berpikir dari banyak arah, mengalami kemajuan dalam pengembangan konsep. Pada tahap ini pengalaman yang dialami langsung sangat membantu anak dalam berpikir.
4. Pengertian Pembelajaran IPA SD
       Dari segi istilah, IPA atau Ilmu Pengetahuan Alam berarti ilmu tentang pengetahuan alam. Pengetahuan alam itu sendiri sudah jelas artinya adalah pengetahuan tentang alam semesta dengan segala isinya. Hakekat IPA yaitu: 1) proses dari upaya manusia untuk memahami berbagai gejala alam. Artinya bahwa diperlukan suatu cara tertentu yang sifatnya analitis, cermat, lengkap serta menghubungkan gejala alam yang satu dengan gejala alam yang lain sehingga keseluruhannya membentuk sudut pandang yang baru tentang obyek yang diamati, 2) produk dari upaya manusia untuk memahami berbagai gejala alam. Artinya produk berupa prinsip-prinsip, teori-teori, hukum-hukum, konsep-konsep maupun fakta-fakta yang kesemuanya itu ditujukan untuk menjelaskan tentang berbagai gejala alam, dan 3) faktor yang dapat mengubah sikap dan pandangan manusia terhadap alam semesta, dari sudut pandang mitologis menjadi sudut pandang ilmiah.
            Asy’ari (2006) menyebutkan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berasal dari kata natural science. Natural artinya alamiah dan berhubungan dengan alam, sedangkan science artinya ilmu pengetahuan. IPA atau sains secara umum dapat dikatakan sebagai pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh dengan cara yang terkontrol. Penjelasan ini mengandung makna bahwa IPA kecuali sebagai produk yaitu pengetahuan manusia juga sebagai prosesnya yaitu bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut. Trisno Hadi Subroto (dalam Samatowa,2006) dalam bukunya pembelajaran IPA sekolah dasar, mengutip pendapat Piaget yang mengatakan bahwa pengalaman langsung yang memegang peranan penting sebagai pendorong lajunya perkembangan kognitif anak. Pengalaman langsung anak terjadi secara spontan sejak lahir sampai anak berumur 12 tahun. Efisiensi pengalaman langsung tergantung ada konsisten antara hubuungan metode dan objek dengan tingkat perkembangan kognitif anak. Anak akan siap untuk mengembangkan konsep tertentu apabila anak telah memiliki struktur kognitif yang menjadi prasyaratnya yakni perkembangan kognitif yang bersifat hirarkis dan integratif.
            Dari beberapa pendapat tentang IPA tersebut di atas dapat diambil kesimpulan dari hakekat IPA yaitu salah satunya sebagai proses dari upaya manusia untuk memahami berbagai gejala alam. Artinya diperlukan suatu cara tertentu yang sifatnya analitis, cermat, lengkap serta menghubungkan gejala alam yang satu dengan gejala alam yang lain sehingga keseluruhannya membentuk sudut pandang yang baru tentang obyek yang diamati oleh siswa. Di sini siswa dituntut untuk lebih aktif dan terlibat langsung dalam kegiatan  proses pembelajaran agar mendapatkan hasil belajar yang optimal.
       Adapun tujuan pembelajaran IPA SD menurut Asy’ari (2006) menyebutkan secar rinci adalah sebagai berikut:
1.    Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputuan.
2.    Menanamkan rasa ingin tahu dan sikap positif terhadap IPA, teknologi, dan masyarakat.
3.      Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang akan bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Menghargai alam sekitar dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
5.      Berperan aktif dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
            Menurut Samatowa (2006), untuk mencapai tujuan dan memenuhi pendidikan IPA tersebut, pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran antara lain pendekatan lingkungan, pendekatan keterampilan proses, pendekatan inquiry dan pendekatan terpadu.

5.      Hasil Belajar
1.      Pengertian Hasil Belajar
            Aktivitas dan usaha yang dilakukan untuk mencapai perubahan merupakan proses belajar, sedangkan perubahan itu merupakan hasil belajar. Hasil belajar tersebut diperoleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar merupakan faktor penting dalam pendidikan, secara umum hasil belajar selalu dipandang sebagai perwujudan nilai yang diperoleh siswa melalui proses pembelajaran. Djamarah, dkk (2000) mengemukakan hasil belajar adalah hasil yang dicapai dalam bentuk angka-angka sebagai symbol atau nilai dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa.
            Selanjutnya menurut Agus Suprijono (2013) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apreasiasi dan keterampilan. Hal ini sejalan dengan pendapat  Oemar Hamalik (2009) yang menyatakan bahwa hasil belajar adalah terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang diamati dan diukur dalam bemtuk perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
            Winkel dalam Purwanto (2007) menegemukakan bahwa hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Sedangkan Dimyati dan Mudjiono (2006), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru.
            Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan tingkah laku dari segi pengetahuan, sikap dan keterampilan  yang dapat diukur setelah dilakukan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan suatu alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk nilai.
Hasil belajar merupakan penentuan akhir dalam melaksanakan rangkaian aktivitas belajar. Hasil belajar adalah segala sesuatu yang menjadi milik siswa sebagai akibat dari kegiatan belajar yang dilakukan. Kemampuan pengukuran hasil belajar merupakan salah satu keterampilan profesional yang harus dikuasai guru. Keterampilan ini harus sungguh-sungguh dimiliki oleh guru sebab berkaitan dengan siswa yang diukur kemampuan belajarnya. Keberhasilan pengukuran hasil belajar akan sangat ditentukan oleh kemampuan guru dalam mengkonstruksikan alat ukur, dan menggunakan alat ukur yang dikonstruksi itu dengan cara yang benar, serta kemampuan menganalisis informasi yang dihasilkan oleh alat ukur itu. Bila keseluruhan kemampuan itu dikuasai oleh guru, maka pengukuran hasil belajar akan berhasil dan pada gilirannya prestasi siswa akan meningkat (Natalia dan Arief,2006).
Mimin Haryati dalam Donny, (2008) mengatakan pemanfaatan informasi hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran harus didukung oleh peserta didik, orang tua atau wali peserta didik, kepala sekolah, guru dan citivitas sekolah lainnya. Dukungan ini akan diperoleh apabila mereka mendapat informasi hasil penilaian yang lengkap dan akurat. Oleh karena itu diperlukan laporan pengembangan proses dan hasil belajar peserta didik untuk guru atau sekolah, orang tua atau wali siswa dan untuk peserta didik itu sendiri.
William C.Crain dalam Hera, (2007) mengatakan bahwa hasil belajar akan lebih bermakna jika prosesnya menyenangkan peserta didik dan terjadi penguatan (reinforcement). Guru, orang tua, dan pendidik harus memberikan penguatan terutama yang bersifat psikologis dan menghindari penguatan yang lebih bersifat kebendaan. Sedangkan penghargaan (rewards) seharusnya diberikan hanya kepada perilaku yang bersifat masuk akal (reasonable) dan tidak bersifat memanjakan.   
2.    Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Slameto dalam Agus, (2006) mengatakan bahwa  faktor yang mempengaruhi hasil belajar  siswa ada dua faktor yakni dari dalam diri siswa (intern) dan faktor dari luar siswa (ekstrem)
a.    Faktor Intern
         Faktor intern siswa adalah faktor yang ada dalam diri siswa sendiri yang meliputi aspek fisiologi (aspek yang menyangkut tentang keberadaan kondisi fisik siswa), aspek psikologi (aspek yang meliputi Intelegensi, minat, perhatian, bakat, kematangan dan kelelahan).
b.    Faktor Ekstern
            Faktor Ekstern siswa adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa yang meliputi faktor lingkungan sosial ( yang meliputi faktor keluarga dan faktor sekolah).
Jhon.D.Caroll dalam M. Entang, (1984) mengemukakan sejumlah faktor yang mempengaruhi faktor-faktor hasil belajar dan antara faktor-faktor tersebut terdapat hubungan fungsional, faktor tersebut adalah :
  1. Waktu yang tersedia
  2. Usaha individu dan bakat
  3. Kualitas pembelajaran dan Kemampuan untuk mengerti pengajaran
            Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan yang positif dari proses belajar dan merupakan merupakan out put yang berupa hasil penilaian pendidikan tentang kemampuan siswa setelah dilakukan aktivitas belajar. Dengan demikian hasil belajar pada penelitian ini merupakan hasil penelitian yang berpedoman pada skor hasil evaluasi belajar dan perubahan tingkah laku peserta didik.
6.      Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pembelajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran, Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan  dan berargumentasi untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing (Robert E. Slavin, 2005).
      Wina Sanjaya (2009) mengatakan bahwa:
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan system penggelompokkan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademis, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok akan memiliki ketergantungan positif. Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan memunculkan tanggungjawab individu terhadap kelompok dan keterampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok. Setiap individu akan saling membantu, mereka akan memiliki motivasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi demi keberhasilan kelompok.

Menurut Martinis Yamin dan Bansu I (2009) mengatakan bahwa “pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran”. pembelajaran kooperatif dapat menciptakan saling ketergantungan antarsiswa, sehingga sumber belajar bagi siswa bukan hanya guru dan buku ajar tetapi juga sesama siswa.
Menurut Agus Suprijono (2013) model pembelajaran kooperarif dikembangkan untuk mencapai hasil belajar berupa prestasi akademik,toleransi, menerima keragaman, dan pengembangan  keterampilan sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Yatim Rianto (2010) bahwa pembelajaran kooperatif adalah model belajar yang dirancang  untuk membelajarkan kecakapan akademik  (academic skill) dan keterampilan sosial (social skill) termasuk interpersonal skill.
Dari uraian di atas  dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok antara empat sampai enam orang siswa dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen, yang memungkinkan kerjasama dan tanggungjawab individu terhadap kelompok, meningkatkan prestasi belajar dan kemampuan sosial siswa serta tercapainya tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, pembelajaran kooperatif juga merupakan pembelajaran dalam kelompok kecil yang mengutamakan kerjasama sesama anggotanya untuk dapat memahami materi pelajaran sekaligus sebagai wadah melatih siswa untuk meningkatkan kemampuan sosial dan komunikasi antara siswa satu dengan siswa yang lain.
Ciri-ciri  pembelajaran  kooperatif menurut  Martinis Yamin dan Bansu I (2009) adalah sebagai berikut: (1) siswa belajar dalam kelompok kecil, untuk mencapai ketuntasan belajar, (2) kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah, (3) diupayakan agar dalam setiap kelompok siswa terdiri dari suku, ras, budaya, jenis kelamin yang berbeda, (4) penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok dari pada individual.
Menurut Agus Suprijono (2013)  untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah:
1.    Positif interdependence (saling ketergantunagn positif)
2.    Positif responsisibility (tanggungjawab perseorangan
3.    Face to face promotive interaction (interaksi promotif)
4.    Interpersonal skill (komunikasi antaranggota)
5.    Group processing (pemprosesan kelompok)
       Unsur pertama pembelajaran kooperatif adalah saling ketergantungan positif. Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut. Unsur kedua adalah tanggungjawab individual yang akan dibuktikan ketika dilakukan pengukuran terhadap keberhasilan kelompok. Unsur ketiga adalah interaksi yang dilakukan ketika bertatap muka untuk saling membantu, mengingat, berbagi pendapat terhadap masalah yang diberikan. Unsur keempat adalah keterampilan sosial yang mencakup komunikasi di dalamnya. Unsur kelima adalah pemprosesan  yang mengandung arti menilai, dengan begitu siapa anggota kelompok yang aktif dan tidak aktif dapat diketahui.
       Menurut Muslimin Ibrahim dkk (2000) terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pembelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi, seringkali dengan bahan bacaan daripada secara verbal. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru pada saat siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas bersama mereka. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil akhir kerja kelompok, atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu.
       Adapun tahap atau langkah-langkah model pembelajaran kooperatif menurut Muslimin Ibrahim dkk (2000) adalah sebagai berikut:
                   Tabel 1. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Tahap
Tingkah Laku Guru
Tahap 1

No comments:

Post a Comment