ABSTRAK
(Lena N Panjaitan – Fakultas Psikologi Universitas
Surabaya)
Dalam proses pembelajaran di kelas, cara
mengajar guru memberikan sumbangan yang signifikan terhadap pencapaian belajar
siswa. Salah satu aspek dari cara mengajar, yaitu penyampaian harapan positif
terhadap siswa telah terbukti berperan penting terhadap hasil belajar siswa.
Akan tetapi, cukup banyak siswa yang kurang mendapatkan perlakuan yang diwarnai
harapan positif dari guru. Dalam survey
awal yang dilakukan, teramati bahwa guru cenderung
merespon secara lebih positif terhadap siswa high achiever yang ditunjukkan dengan memberikan pertanyaan yang
lebih menantang, memberi cukup waktu untuk menjawab, serta menunjukkan
penghargaan terhadap jawaban siswa, menjalin relasi yang lebih hangat, serta
lebih toleran jika siswa yang bersangkutan itu berperilaku negatif.
Berdasarkan temuan di
survey awal, penelitian ini ditujukan untuk: 1)meningkatkan penyampaian harapan
positif guru terhadap siswa, terutama siswa yang berprestasi kurang, dan 2)menumbuhkan persepsi positif dari siswa
berprestasi kurang terkait relasinya dengan guru dan iklim kelasnya.
Penelitian ini
menggunakan disain penelitian tindakan yaitu small group collaborative action research, yang melibatkan kelompok
kecil guru bekerja sama dengan peneliti.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan proses dalam penelitian tindakan dapat
memberdayakan guru untuk menyampaikan harapan positif selama proses
pembelajaran. Dampak penyampaian harapan positif guru dalam penelitian ini lebih
terlihat pada makin positifnya persepsi siswa terhadap iklim kelas, dan masih
belum tampak dampaknya pada peningkatan pemahaman siswa akan materi belajar
serta peningkatan keterampilan berpikirnya. Namun dengan proses penerapan yang
lebih lama, diharapkan hasil tersebut dapat tercapai. Hal yang menjadi kendala
adalah sulitnya merubah keyakinan guru akan kemampuan belajar siswanya,
terutama karena latar belakang sosial-ekonomi siswa yang kurang beruntung. Guru
juga masih terbiasa mengajar satu arah dan perlu meningkatkan keterampilan
bertanya yang merangsang keterampilan berpikir siswa.
Kata Kunci: cara pembelajaran, proses mengajar, harapan positif
ABSTRACT
In
the learning process at the classroom, the teachers’ teaching practice contributes
significantly to the students’ academic achievement. One of the aspects of
teaching practice, teachers’ positive expectation towards students, has been
proved to play important roles in improving students’ academic performance.
However, in fact, many students believed that they were not treated
accordingly. The initial survey of this study found out that teachers inclined
to give more favorable treatment towards students who were believed as “high
achiever”, such as: giving more challenging questions, allowing more time to
think before answering questions, praising more, spending more time and effort
to maintain good relationships, and more tolerance towards negative behaviors
showed by those high achieving students
Based on the problems revealed from
the initial survey, this study was conducted with the following purposes: (1)
to improve the teachers’ positive expectations towards their students,
especially to those of low academic achieving students, and (2) to prosper the
positive perception of low achieving students regarding their relationships
with their teachers and classroom climate.
This study was designed as an action
research, by employing a small group – collaborative type of action research,
in which the researcher and some teachers worked in a close collaboration.
This study revealed that action
research, especially a small group - collaborative type, could be a prospective
and powerful approach to empower teachers to give positive expectations in
their teaching practice. Although the results could only be observed in
improving the classroom climate (as supported by student and teacher evaluation
of better climate), and not yet on the understanding learning materials and
improving thinking skills, but implementation of the program on a longer-term
and more intensive feedback session (individually or in group) could bring more
valuable results regarding teaching effectiveness. The main barriers was how to
change the teachers’ belief about the students’ lack of academic ability due to
their disadvantaged social-economic and other family background, to break the old habit of employing a one-way
and direct-instructive teaching practice, and to exercise their ability to
formulate correct questions that stimulate higher-order thinking.
Keywords: teaching practice, learning
process, positive expectations
I. PENDAHULUAN
Dalam proses pembelajaran di sekolah, keterlibatan mental dan
keberhasilan siswa untuk mengikuti proses belajar tidak hanya ditentukan oleh
kemampuan kecerdasannya. Aspek psikologis juga merupakan hal penting yang dapat
menjadi pendukung atau bahkan penghambat dalam proses belajar. Perasaan nyaman,
senang, tidak cemas, merasa diakui dan perasaan-perasaan positif lainnya dapat
menjadi pendorong bagi terjadinya aktivitas belajar yang diinginkan. Mengabaikan
aspek afektif dari proses belajar bertentangan dengan apa yang ditemukan oleh
ahli-ahli neuroscience tentang
peranan emosi dalam belajar. Proses belajar merupakan kegiatan afektif dan
kegiatan kognitif (Jalongo, 2007).
Namun, dalam kenyataannya cukup banyak siswa yang tidak mendapatkan
situasi belajar yang disertai dengan munculnya perasaan-perasaan positif tadi.
Beberapa siswa merasakan suasana belajar sebagai hal yang tidak menyenangkan,
menekan dan tidak mendukung munculnya perasaan yakin akan kemampuan (self-efficacy). Hal ini akan mengembangkan tidak hanya pandangan
dan penilaian siswa yang negatif tentang belajar, tapi pada akhirnya juga berpengaruh
terhadap konsep dirinya.
Berkembangnya perasaan dan penilaian yang negatif pada siswa terhadap
belajar dan dirinya juga dapat berawal dari perlakuan guru. Siswa-siswa
tertentu seringkali dikenai harapan rendah oleh guru, terutama para siswa yang
kurang menunjukkan prestasi baik secara akademik.
|
Dari pengamatan awal selama
tiga bulan yang dilakukan peneliti di
empat sekolah dasar di Surabaya, diperoleh gambaran dari hasil angket
yang diberikan pada 494 siswa dari 12 kelas, diperoleh hasil bahwa penilaian
sebagian besar siswa terhadap nilai akademik/ nilai pelajaran yang diperolehnya
bergerak dari kategori cukup baik ke kurang baik. Penilaian siswa terhadap
kemampuan belajarnya juga bergerak dari kategori cukup baik ke kurang baik. Hal
ini menunjukkan banyaknya siswa yang menilai dirinya kurang memiliki kemampuan
yang baik dalam belajar. Penyampaian harapan rendah terhadap siswa tertentu
memang tertampakkan dalam perilaku guru selama proses pembelajaran. Hal ini
tertampakkan baik melalui komunikasi secara verbal maupun non verbal dari guru
serta dari kurangnya upaya guru dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan
dalam pelajaran. Pada salah satu kelas, guru menempatkan para siswa yang
dinilai berprestasi kurang di deret bangku tertentu secara berkelompok dan
semua siswa menyadari adanya pembedaan tersebut. Siswa yang ditempatkan pada
deret bangku ‘anak-anak yang kurang’ juga sering memperoleh komentar atau
ejekan dari siswa lain. Di samping itu, komentar-komentar yang kurang mendukung
dan kurang memotivasi siswa sering
dilontarkan guru seperti: “Sudah bodoh...tapi masih bicara saja” atau
“Bagaimana bisa dapat nilai bagus.....yang seperti ini saja tidak bisa jawab”.
Hal ini justru membuat siswa kurang yakin akan kemampuannya dan menurunkan
kesediaannya untuk mencoba. Para siswa berprestasi kurang lebih rentan untuk
dikenai perlakuan yang kurang mendukung oleh guru.
Peneliti meyakini bahwa pengalaman-pengalaman positif yang diterima
seseorang dalam interaksinya dengan orang lain, terutama orang yang signifikan
baginya, juga akan turut membentuk konsep diri yang positif nantinya. Perlakuan
guru yang diamati siswa juga akan turut membentuk sistem nilai pada diri siswa,
yang dapat mempengaruhi perkembangan perilaku siswa nantinya.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menemukan tindakan-tindakan apa yang dapat dilakukan guru
untuk membuat siswa berprestasi kurang memiliki penilaian bahwa guru memberi
harapan positif terhadap mereka?. 2) Apa efek dari pemberian harapan positif guru
terhadap persepsi siswa terhadap guru dan iklim pembelajaran di kelas?
II. KAJIAN PUSTAKA
A. Peran Guru terhadap Siswa
Sikap dan perilaku belajar seorang siswa dalam kelas dipengaruhi oleh
faktor dari dalam maupun dari luar dirinya. Pada awalnya, ketika siswa masih
muda, faktor dari luar dirinya seperti guru, teman, orangtua serta lingkungan
fisik kelas lebih kuat mempengaruhi belajar siswa. Untuk menumbuhkan sikap dan
perilaku belajar yang baik, pada awalnya masih banyak ditentukan oleh peranan
faktor luar seperti guru atau orangtua.
Teaching practice merupakan faktor yang dinilai paling berpengaruh langsung terhadap proses
belajar siswa. Pada proses pembelajaran,
seharusnya tercermin dua upaya pokok yaitu: meningkatkan
ketrampilan berpikir siswa dan membangun rasa percaya diri siswa melalui sikap respek dan relasi positif
dengan siswa. Relasi antara guru dan siswa akan berjalan baik jika diwarnai
dengan karakteristik seperti rasa saling percaya, perasaan nyaman dan saling
menghargai (Wilmes, 2008).
Tujuan guru dalam mengajar idealnya tidak hanya
menyampaikan materi-materi dalam kurikulum, namun juga menjadi motivator yang
akan mempengaruhi hidup siswa. Ikatan antara guru dan siswa dipenuhi dengan
aspek emosi dan rasa tanggung jawab, yaitu tanggung jawab untuk mengenali dan
memenuhi kebutuhan siswa. Sejalan dengan pandangan Abraham Maslow, bahwa
kebutuhan-kebutuhan dalam tingkatan lebih bawah harus terpenuhi untuk dapat memunculkan
kebutuhan aktualisasi diri. Dalam hal ini, semua siswa memiliki kebutuhan,
yaitu kebutuhan untuk menjadi bagian, untuk dihargai dan untuk mengejar
pelajaran (Cao, 2005).
|
B. Penyampaian Harapan Positif Guru dan
Dampaknya terhadap Siswa
Harapan yang berbeda dari guru terhadap siswa akan memunculkan
perlakuan yang berbeda pula terhadap siswa, terkait antara lain dengan:
pemberian pertanyaan, pemberian waktu untuk menjawab, pengelompokan siswa,
pemberian penghargaan dan penilaian terhadap perilaku siswa (Arends, 2004).
Sebagai contoh, siswa yang dinilai mampu akan cenderung diberi
pertanyaan-pertanyaan yang menantang dan lebih menuntut taraf berpikir lebih tinggi
dibandingkan siswa yang dinilai kurang mampu. Hughes, Gleason, Duan Zhang (2005)
dalam penelitiannya juga menemukan bahwa penilaian guru terhadap
kemampuan akademik siswa berkaitan dengan kualitas hubungan guru dengan siswa.
Kualitas hubungan guru dan siswa dipengaruhi oleh latar belakang siswa antara
lain: suku bangsa, jenis kelamin, dan status sosial-ekonomi. Hal ini sejalan
dengan temuan Rist (2000) di beberapa sekolah di St. Louis,
Amerika Serikat, yang dari pengamatannya terhadap satu kelas taman kanak-kanak, kelas 1 SD dan
kelas 2 SD yang dilakukan menunjukkan bahwa guru melakukan pengelompokkan siswa
berdasarkan pada penilaian terhadap penampilan fisik, kemampuan bahasa,
perilaku siswa yang kemudian dikaitkan dengan kemampuan akademiknya. Hal ini
memunculkan perbedaan perlakuan guru terhadap para siswa.
Dampak faktor harapan guru terhadap siswa diawali dengan penelitian
Rosenthal dan Jacobson pada 1968, yang menemukan bahwa siswa akan menampakkan
performansi belajar lebih baik jika harapan guru terhadapnya tinggi (Kierein, 2000; Rist, 2000). Disamping dampak yang berkaitan dengan
prestasi dan performansi belajar, pemberian harapan positif guru juga
berpengaruh terhadap aspek psikologis siswa. Beberapa penelitian menemukan
keterkaitan antara harapan guru dengan konsep diri siswa. Konsep diri mulai berkembang di awal kehidupan
individu dan perkembangannya dipengaruhi oleh orang-orang terdekat dalam
kehidupan individu yaitu orangtua dan guru (Mook, 2000). Keyakinan
guru dan harapannya terhadap siswa juga
akan mempengaruhi interaksi guru dengan siswa. Guru yang memberi dukungan afektif akan mengembangkan
hubungan positif dengan siswa (Davis,
2006). Dalam penelitiannya, Wheatley
(2005) juga menemukan bahwa terciptanya hubungan positif antar guru – siswa
serta pengalaman belajar yang menyenangkan juga dipengaruhi oleh adanya harapan
positif guru terhadap siswa.
Pengaruh
harapan guru terhadap
siswa lebih tepat jika dipandang dari perspektif transaksional.
Semakin baik prestasi akademik siswa akan mengarah pada semakin positifnya
harapan guru, yang akan tertampakkan dengan pemberian instruksi pengajaran yang
makin menantang, responsif serta pendekatan yang lebih hangat, yang pada
akhirnya nanti akan makin meningkatkan prestasi siswa (Hughes, Gleason, Zhang,
2005).
Dalam penelitiannya di tahun 1968, Rosenthal
dan Jacobson juga menemukan
adanya hubungan yang positif antara harapan guru, perlakuan yang membedakan dan
self-fulfilling prophecy siswa. Dalam proses self-fulfilling prophecy terjadi efek pygmalion, yang berarti seseorang atau sekelompok orang yang
bertindak sejalan dengan harapan dari orang lain. Individu atau kelompok
tersebut, pada tingkatan tertentu, menginternalisasi harapan yang diberikan
padanya dan bertindak dalam upaya untuk memenuhi harapan tersebut.
Siswa yang mengalami relasi yang mendukung dan positif dengan gurunya
akan mengembangkan sikap yang lebih positif terhadap sekolah, akan lebih
terlibat dan aktif secara akademik, dan lebih memperoleh penerimaan dari teman
(Hughes, 2001). Sebaliknya, siswa yang relasinya dengan guru seringkali
diwarnai konflik lebih cenderung mengalami putus sekolah, tinggal kelas dan
sering memperoleh penolakan dari teman.
Program The Teacher Expectations
and Student Achievement (TESA) yang dikembangkan oleh Los Angeles County
Office of Education pada awal tahun 1970-an dengan didasarkan pada temuan penelitian-penelitian yang menyatakan
bahwa 1) siswa cenderung meyakini gambaran dirinya sesuai dengan harapan yang
ditunjukkan guru terhadapnya dan 2) guru berespon lebih positif terhadap siswa
yang dinilai berprestasi tinggi dibandingkan dengan siswa yang dinilai kurang
berprestasi akan diterapkan dalam penelitian ini untuk meningkatkan harapan
guru terhadap siswa.
The Teacher Expectations and
Student Achievement (TESA) merupakan suatu program
pelatihan yang bertujuan meningkatkan kesadaran guru akan pentingnya perlakuan
guru terhadap siswa dan bagaimana guru menangani siswa dengan prestasi kurang
secara sejajar dengan siswa berprestasi baik di kelas. Hal yang sulit dalam
pembelajaran adalah mendorong semua siswa untuk berpartisipasi dalam kelas.
TESA adalah program yang melatih guru berinteraksi dengan siswa dengan didasari
kesejajaran. Pendekatannya dilandasi oleh teori expectancy.
TESA
bertujuan:
- membuat guru peka akan harapannya terhadap siswa
- menunjukkan bagaimana harapan guru mempengaruhi belajar siswa
- melibatkan guru dalam proses refleksi dan pembentukan perilaku baru
- membantu guru mempraktikkan berbicara lebih sering pada siswa berprestasi kurang di dalam maupun di luar kelas
- mendorong guru memberi pertanyaan pada siswa yang umumnya tidak aktif (dengan cara yang nyaman bagi siswa)
Program
ini telah digunakan secara nasional di USA selama lebih dari 30 tahun. Selama
waktu tertentu para guru belajar tentang 15 ketrampilan mengajar, yang dikelompokkan
dalam 3 area besar (dengan kode A, B, C) yaitu: mendorong partisipasi siswa
dengan mengajukan pertanyaan dan
menindaklanjuti respon siswa terhadap pertanyaan; bagaimana memberikan feedback; dan bagaimana menunjukkan
penghargaan terhadap siswa. Hal ini dapat dilihat pada tabel interaksi
pembelajaran yang memuat harapan positif guru yang merupakan program The Teacher Expectations and Students
Achievement (TESA) yang dikembangkan oleh Los Angeles County Office of
Education sebagai berikut:
Tabel 2.1 Interaksi Pembelajaran yang Memuat Harapan Positif
Bagaimana Guru Berinteraksi dengan Siswa
|
||
A. Mendorong partisipasi
|
B. Memberi feedback
|
C. Menunjukkan penghargaan
|
Pemberian kesempatan berespon secara merata
|
Memberi penguatan, mengoreksi respon
|
Berdiri dekat dengan siswa
|
Menawarkan bantuan individual
|
Memberi pujian
|
Bersikap menghargai dan empatik
|
Memberi waktu siswa untuk berespon
|
Menyebutkan alasan pemberian pujian
|
Menunjukkan minat dan pujian
|
Menggali materi bahasan lebih dalam
|
Mendengarkan dengan perhatian
|
Memberi ‘sentuhan’ untuk menjalin relasi baik
|
Memberi pertanyaan dengan pemahaman tingkat tinggi
|
Menerima perasaan siswa
|
Mengelola perilaku yang kurang sesuai dengan cara
tetap menghargai siswa
|
III. METODE PENELITIAN
A. Disain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain
penelitian tindakan (action research). Tipe penelitian tindakan yang
dipakai adalah small groups - collaborative
action research, yang dalam
penelitian ini melibatkan peneliti dengan sejumlah guru. Collaborative action research
pada umumnya berbentuk small face-to-face
groups yang terdiri dari tiga sampai 10 orang, yang dicirikan dengan adanya
pertemuan secara berkala, adanya kesempatan memecahkan masalah secara bersama
dan mendiskusikan langkah-langkah yang akan diambil ( McNiff,2004). Rencana
tindakan dirancang berdasarkan konsep TESA, yang terapkan guru dalam beberapa
siklus tindakan.
B. Partisipan Penelitian
Penelitian ini melibatkan
5 guru kelas IV dan kelas V serta
33 siswa berprestasi kurang dari dua sekolah dasar negeri di Surabaya. Guru
yang terlibat dalam penelitian tidak dalam jumlah besar, dengan
mempertimbangkan disain penelitian yang menuntut keterlibatan secara aktif dari
masing-masing guru dalam jangka waktu yang lama dan berkesinambungan.
Keterlibatan guru didasarkan pada kesediaan untuk melakukan perubahan dalam
cara pembelajaran yang selama ini memiliki
permasalahan terkait dengan penelitian (menampakkan ciri-ciri yang menunjukkan
pemberian harapan rendah terhadap siswa tertentu), persetujuan dan dukungan
kepala sekolah serta ijin bagi peneliti untuk hadir melakukan pengamatan secara
reguler di kelas.
Penelitian dilakukan pada tingkat sekolah dasar, dengan pertimbangan
semakin muda usia siswa maka masih rentan terhadap pengaruh perlakuan guru
terhadap perkembangan pandangan dirinya. Di samping itu, pada saat di sekolah
dasar anak mulai membentuk sikap terhadap belajar yang nantinya mempengaruhi
penyesuaiannya terhadap sekolah. Pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan
terkait dengan belajar dan sekolah akan menurunkan minat dan motivasi terhadap
belajar nantinya.
C. Pengumpulan Data
Dalam disain penelitian
tindakan, data yang dikumpulkan dapat
menggunakan teknik pengumpulan data kuantitatif maupun kualitatif (Bordens
& Bruce, 2005). Pengumpulan data untuk memperoleh informasi tentang persepsi siswa terhadap iklim kelas,
relasi dengan guru dan harapan guru dilakukan dengan teknik kuesioner. Juga
digunakan tes isian yang berbentuk sentence
completion test, yang diadaptasi dari tes Forer yang dikembangkan oleh
Bertram R. Forer. Di samping itu teknik wawancara individual dan wawancara kelompok
akan digunakan untuk menjaring data tentang persepsi siswa terhadap
interaksinya dengan guru serta pandangan akan kemampuan belajarnya. Wawancara
kelompok akan dilakukan dengan mempertimbangkan
kenyamanan psikologis dari siswa untuk mengungkapkan pandangannya, karena akan
lebih mudah bagi siswa untuk mengutarakan pendapatnya secara bersama-sama
dengan teman-temannya.
Teknik wawancara individual juga
dilakukan terhadap guru untuk menjaring informasi tentang latar belakang
kehidupan guru serta pandangannya terhadap kemampuan belajar siswa dan cara
pembelajarannya selama ini.
Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas akan diobservasi untuk
memperoleh informasi tentang interaksi dan aktivitas yang terjadi antar guru
dan siswa sasaran, dalam hal ini para siswa yang dinilai berprestasi kurang. Observasi
dilakukan secara anecdotal record,
dengan mencatat secara detil interaksi verbal dan non verbal yang terjadi
antara guru dan siswa.
D. Analisis Data
Tahapan-tahapan dalam siklus
penelitian tindakan akan dimonitor untuk memperoleh informasi yang akan
disajikan secara deskriptif. Deskripsi tentang proses dari masing-masing
tahapan dalam tiap siklus akan bermanfaat untuk menggambarkan usaha yang dapat
dilakukan, hasil yang dapat dicapai serta permasalahan yang dihadapi, yang
dapat menjadi proses belajar bagi pihak lain. Bentuk narasi umum digunakan
dalam penelitian tindakan, yang berisi representasi dan penjelasan dari apa
yang terjadi selama proses berlangsung (Gall, Gall, Borg, 2003).
Dalam penelitian ini digunakan analisis data secara kualitatif dan kuantitatif (McNiff, 2004;
Yaffe, 2003). Informasi dalam bentuk
data kualitatif berupa data: observasi cara pembelajaran guru yang memuat
harapan positif, hasil wawancara terhadap siswa, reflektif/ catatan pribadi (diary) guru, dan catatan monitoring
peneliti terhadap proses yang terjadi di tiap siklus. Analisis interpretif
akan digunakan untuk data-data tersebut. Data/informasi yang diperoleh
dipandang sebagai suatu text atau
suatu kumpulan simbol-simbol yang mencerminkan makna tertentu (Berg, 2004;
Gall, Gall, Borg, 2003)
Data kuantitatif diperoleh dari
pengukuran dengan menggunakan kuesioner tentang persepsi siswa terhadap
relasinya dengan guru sebelum dan setelah intervensi. Data kuantitatif akan
dianalis dengan menggunakan uji beda T-tes dengan bantuan program statistik
SPSS 12.0 for Windows.
IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN
Penerapan tindakan terbagi atas
dua tahap, yaitu 1) tahapan yang bertujuan lebih ke arah membina relasi positif
guru terhadap siswa dan mempersiapkan aspek afektif siswa dalam belajar dan 2)tahapan yang
bertujuan ke arah peningkatan kemampuan
berpikir siswa.
Dari hasil pengamatan di kelas,
refleksi guru serta jurnal harian guru dapat diperoleh simpulan dari penerapan
tahap 1 sebagai berikut:
1. Guru makin menyadari pentingnya
memberi perhatian terhadap para siswa
yang tergolong berprestasi kurang di kelas, sama seperti yang dilakukan pada
siswa-siswa lainnya. Hal ini tertampakkan dari perlakuan-perlakuan seperti:
memberi kesempatan menjawab pertanyaan atau soal, memberi komentar akademik
maupun non akademik yang bersifat positif, mendekat ke tempat duduk siswa serta
menjalin komunikasi sesering mungkin. Tiap guru mengupayakan untuk menyampaikan
perlakuan-perlakuan tersebut secara merata terhadap para siswa sasaran setiap
hari, seperti yang terekam dari observasi dan jurnal harian guru.
2. Dari hasil observasi terlihat adanya
peningkatan dari para siswa sasaran dalam keberanian untuk menjawab pertanyaan,
bertanya dan mendekat ke guru untuk
sekedar mengajak berbicara. Dalam dua kelas, secara khusus peneliti mengamati
memang masih terdapat satu atau dua orang siswa yang dari awal terkesan menjaga
jarak dan jarang berbicara dengan guru,
dan kondisi ini masih tetap berlanjut hingga minggu ke tiga pengamatan. Dari
informasi selanjutnya yang diperoleh, salah satu siswa tersebut memang dinilai
oleh guru kelasnya sebagai siswa yang sangat sulit didekati. Guru kelas
tersebut telah ‘angkat tangan’ untuk mendekati siswa bersangkutan karena siswa
selalu menunjukkan perilaku kurang sopan. Sedangkan di kelas lain, terdapat
seorang siswa yang tampak lebih sering menyendiri dan sangat jarang
berinteraksi dengan guru. Menurut guru, siswa tersebut memang sangat pendiam
dan tertutup. Peneliti mendorong guru untuk tetap berusaha menjalin komunikasi
dengan siswa bersangkutan, dan guru mengusulkan untuk mencoba memberi
tugas-tugas ringan seperti mengantar buku ke guru lain, dengan tujuan siswa
akan merasa dibutuhkan.
3. Berdasarkan jurnal harian guru, ada
perubahan dari kendala yang dirasakan dalam menerapkan tindakan di kelas. Pada
awal penerapan, kendala yang dirasakan guru lebih pada karakteristik siswa yang
sulit untuk memahami materi dan menunjukkan sikap kurang positif dalam belajar
yang dapat berupa pasif di kelas atau menampilkan perilaku mengganggu di kelas.
Para guru lebih banyak melihat faktor eksternal sebagai kendala. Dalam proses
selanjutnya, guru mulai mengenali kendala-kendala dari diri sendiri yang
mempengaruhi kurang efektifnya penerapan tindakan. Hal ini menunjukkan
tumbuhnya kesediaan untuk mengoreksi diri. Para guru mengemukakan kendala
internal seperti kurang usaha mendekati siswa, belum menemukan cara memulai
relasi serta masih adanya penilaian negatif terhadap siswa tertentu yang dapat
membuat penerapan tindakan belum menunjukkan keberhasilan pada siswa tertentu.
Satu orang guru juga mulai mengidentifikasi ketrampilan yang perlu ditingkatkan
pada dirinya. Sebagai contoh, salah satu guru menuliskan dalam jurnal harian:
‘Bagaimana bisa membuat si A mau mengemukakan pendapat tanpa takut salah atau
diejek teman?’. Sebagian besar guru juga melaporkan bahwa para siswa sasaran
masih tetap kesulitan mengerjakan soal walaupun semangat untuk mencoba menjawab
sudah ada. Di samping kendala, dengan
berjalannya proses penerapan tindakan, para guru juga melaporkan keberhasilan
yang dirasakan. Jika pada awal minggu, hampir semua guru belum melihat
perubahan positif maka dengan proses yang terus berjalan mereka mengemukakan
adanya perubahan pada beberapa siswa diantaranya adanya antusiasme siswa untuk
ditunjuk guru dalam mengerjakan soal, hubungan guru dengan siswa menjadi lebih
santai dan tidak kaku, siswa tertentu mulai berani mengemukakan
kesulitan-kesulitannya serta guru
menilai siswa merasa senang karena merasa dibutuhkan dan diperhatikan.
Berdasarkan
hasil pengamatan dan jurnal guru, kesimpulan yang diperoleh dari penerapan tindakan
pada tahap 2 adalah:
1. Para guru telah mencoba
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk berpikir dengan
membandingkan, menemukan perbedaan satu hal dengan hal lain serta melihat
kesamaan dari beberapa hal. Tuntutan tersebut membuat para guru lebih kreatif
juga dalam menyampaikan materi, yang dulunya sebagian besar disampaikan dengan
ceramah satu arah, saat pengamatan terlihat guru menggunakan alat peraga,
memberikan contoh kasus serta mengaitkan materi dengan kejadian yang ada di
sekitar kehidupan para siswa.
2. Agak berbeda dengan penerapan
tindakan pada tahap 1 yang dapat diberikan pada masing-masing siswa sasaran
secara merata, pada tindakan tahap 2 perlakuan yang diberikan lebih secara
klasikal. Hanya pada beberapa kesempatan, beberapa siswa sasaran memperoleh
kesempatan untuk mendapat pertanyaan yang mengajaknya berpikir lebih baik.
Namun secara umum, perlakuan guru diberikan pada semua siswa dalam kelas.
3.
Hal yang teramati pada diri para siswa adalah meningkatnya antusiasme saat guru
menggunakan strategi mengajar yang tidak hanya berbentuk ‘guru
menjelaskan-siswa mendengarkan’ saja. Siswa menjadi lebih antusias dan senang
saat guru menggunakan peraga, meminta siswa bereksplorasi dengan benda-benda di
ruang kelas serta mendengarkan guru bercerita tentang hal yang dikenalnya
sebelum mengajukan pertanyaan.
4.
Tindakan yang masih sulit dan sangat jarang dilakukan guru adalah
menindaklanjuti pertanyaan siswa sehingga terjadi dialog yang merangsang berpikir
siswa. Saat hal ini disinggung dalam proses evaluasi, guru menilai hal ini
tidak mudah dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan para siswa sasaran yang
terbatas. Guru juga menyinggung kelemahan beberapa siswa dalam ketrampilan
dasar akademik seperti membaca dan menghitung yang belum lancar, sehingga agak
sulit mengajak siswa untuk berpikir analitis kritis. Keluhan guru mengenai
kemampuan beberapa siswa sasaran dalam membaca memang sudah dikemukakan di awal
sebelum penelitian dilakukan.
Setelah
penerapan tindakan, untuk melihat ada tidaknya perbedaan persepsi dari 33 siswa
berprestasi kurang terhadap penyampaian harapan guru maka dilakukan uji
statistik. Dengan menggunakan uji t diperoleh hasil uji t = -6,210 dengan p =
0,000 yang menunjukkan ada perbedaan
yang signifikan antara persepsi siswa terhadap harapan guru sebelum dan setelah
tindakan diberikan. Nilai mean persepsi siswa sebelum tindakan = 50,48 dan
setelah tindakan = 57,33. Hal ini berarti persepsi siswa terhadap harapan guru
tampak lebih baik/ positif setelah pemberian tindakan.
Untuk
menjawab pertanyaan penelitian terkait ada tidaknya perbedaan persepsi siswa
terhadap iklim kelas sebelum dan setelah tindakan diberikan, dengan menggunakan
uji t diperoleh hasil t = -10,299 dengan nilai p = 0,000 yang menunjukkan ada
perbedaan yang signifikan antara persepsi siswa terhadap iklim kelas sebelum
dan setelah tindakan diberikan. Nilai mean persepsi siswa sebelum tindakan
adalah 26,81 dan setelah tindakan adalah 34,09. Hal ini berarti persepsi siswa
terhadap iklim kelas lebih baik/ positif setelah diberikannya tindakan.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat dijawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.
Tindakan-tindakan apa yang dilakukan guru untuk membuat siswa berprestasi
kurang memiliki penilaian bahwa guru memberi harapan positif terhadap mereka?
Berdasarkan analisis statistik
dari data kuesioner diperoleh bahwa ada perbedaan persepsi siswa terhadap
harapan guru sebelum dan setelah tindakan diberikan. Setelah tindakan-tindakan
dicobakan, para siswa menilai guru menyampaikan harapan yang lebih positif
terhadap mereka. Tindakan-tindakan yang dirancang dan diterapkan guru di kelas
ternyata membawa pengaruh terhadap cara pandang siswa pada perlakuan guru terhadapnya.
Tindakan-tindakan yang dilakukan guru, yang menimbulkan kesan pada
siswa bahwa guru menyampaikan harapan positif
adalah:
- sikap menghargai siswa sebagai pribadi yang ditunjukkan dengan sekedar sapaan, komentar yang berkaitan dengan hal di luar konteks pembelajaran serta mendengarkan dan memandang siswa saat berbicara
- menjalin kedekatan dengan siswa dengan lebih sering mendekati tempat duduk siswa dan memberikan sentuhan yang menunjukkan perhatian
- pemberian kesempatan untuk berespon dengan menunjuk siswa untuk menjawab atau mengerjakan di papan
- memberi tuntunan saat siswa mengalami kesulitan dengan sekedar menunjuk pada pengerjaan yang salah atau membantu dengan memberi informasi tambahan
- memberikan feedback atas respon siswa dengan memberi pujian saat respon tepat dan menginformasikan apa yang masih kurang dari jawaban yang diberikan siswa
Tindakan-tindakan
di atas sebagian besar lebih mengarah pada aspek menjalin kedekatan dan
menghargai siswa sebagai pribadi. Hal ini merupakan aspek penting karena guru
yang menunjukkan komitmen terhadap siswa, peduli, serta menunjukkan kesediaan
membantu terbukti dapat berkaitan dengan performansi akademik dan perilaku
siswa di sekolah. Tujuan penting yang juga seharusnya dicapai di sekolah adalah
meningkatkan tumbuhnya siswa yang sehat secara psikologis (Strahan &
Layell, 2006)
Siswa membaurkan antara belajar dan
perasaan senang yang mereka alami di kelas dengan adanya relasi yang baik
dengan guru. Relasi penuh dukungan dari guru dapat meningkatkan aktivitas belajar
di kelas karena guru mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman
bagi siswa untuk membuka diri dan mau mendengarkan. Siswa akan memiliki
kesediaan untuk berusaha dan mendengarkan jika relasi dengan guru baik.
Investasi dalam membentuk relasi dengan siswa akan membuahkan hasil yang besar.
Sedangkan aspek yang lebih pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap
materi serta meningkatkan keterampilan berpikir siswa untuk tidak hanya
menghafal materi pelajaran saja, tampak sangat lemah tersampaikan oleh guru.
Alasan yang dikemukakan sebagian besar guru pada saat proses refleksi adalah
keterbatasan kemampuan siswa untuk berespon terhadap pertanyaan yang lebih
menuntut berpikir analisis kritis, sehingga guru lebih sering menggunakan cara
lama dalam bertanya terhadap siswa serta meneruskan informasi dari buku paket
tanpa ada pengembangan.
Kelemahan memang terlihat dari kompetensi guru untuk mengenali
kebutuhan belajar siswa, sehingga siswa yang belum memahami materi tidak
terbantu saat kesulitan pada poin tertentu. Sementara materi yang disampaikan
terus berjalan, siswa yang bersangkutan makin tertinggal. Seyogyanya saat guru
menyampaikan suatu materi, dilakukan pengecekan pemahaman siswa dan saat ada
siswa yang belum paham segera dilakukan penjelasan ulang (re-teach), bila perlu dengan cara lain yang lebih dapat dipahami
siswa. Jika kesulitan siswa terdeteksi lebih awal sehingga tidak terakumulasi,
maka akan sangat membantu siswa ( Dolezal dan Welsh, 2003). Untuk dapat
melakukan hal tersebut, karakteristik mendasar yang harus ada pada guru adalah
keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar jika diajarkan ulang serta adanya
komitmen untuk menemukan berbagai cara menjelaskan materi sehingga dapat dipahami siswa.
Hal ini menjadi kelemahan yang menjadikan kurang berhasilnya penerapan
tindakan pada tahap dua, karena para siswa berprestasi kurang belum terbantu
secara maksimal dalam kesulitan tertentu yang mereka alami. Pandangan guru
mengenai kemampuan belajar siswa juga tampak kurang konsisten, dalam arti guru
belum sepenuhnya yakin bahwa semua siswa mampu untuk meningkatkan hasil
belajarnya.
Dari kondisi ini, peneliti juga belajar bahwa tidak dapat hanya
mengasumsikan bahwa guru mampu merangsang berpikir siswa dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mengajak siswa berpikir lebih baik, dari hanya
sekedar menghafal suatu materi. Keterampilan tersebut sulit untuk dibentuk
dalam waktu singkat, seperti yang telah diupayakan dalam pertemuan-pertemuan
dengan para guru. Dari sisi para siswa sendiri, umumnya kurang memiliki dasar
pemahaman yang secara kuat ditanamkan oleh guru sehingga pengembangan berpikir
juga tidak mudah dilakukan.
2. Apa efek dari pemberian harapan positif guru
terhadap siswa berprestasi kurang?
Disamping berefek terhadap
penilaian siswa yang makin positif terhadap perlakuan guru terhadapnya,
tindakan-tindakan yang diterapkan juga memberi pengaruh pada penilaian siswa
akan iklim kelasnya. Para siswa menilai iklim kelas yang tercipta semakin baik
setelah penerapan tindakan dilakukan. Hal ini terlihat dari analisis statistik
data kuesioner siswa yang menunjukkan ada perbedaan persepsi terhadap iklim
kelas sebelum dan setelah tindakan diberikan. Para siswa merasa lebih aman,
dipedulikan serta dimengerti oleh guru.
Iklim kelas merupakan suasana pembelajaran
di kelas yang diwarnai dengan adanya penyampaian harapan positif dari guru,
ketiadaan gangguan serta dorongan untuk terlibat (Freiberg dan Fraser, 1999).
Para siswa menilai guru semakin baik dalam menyampaikan kejelasan materi,
standar apa yang harus dilakukan siswa, membuat kelas lebih teratur dan
berusaha melibatkan siswa dalam aktivitas di kelas.
Dalam kajian dari banyak penelitian, ditemukan bahwa relasi
interpersonal dan iklim kelas yang positif adalah prediktor yang signifikan
untuk motivasi belajar siswa. Pentingnya rasa sebagai bagian dari kelas dan
persepsi siswa terhadap kepedulian dan dukungan guru sangat utama. Inti dari
pengertian iklim kelas adalah persepsi siswa terhadap relasinya dengan guru
(Davis, 2006)
Namun dari pengamatan di kelas,
sebenarnya terdapat permasalahan di satu kelas yang bersumber dari keterampilan
guru yang lemah dalam mengelola kelas. Lemahnya pengelolaan kelas dapat
berdampak terhadap iklim kelas yang tercipta. Pada satu kelas teramati kurang
adanya prosedur serta aturan yang mengatur aktivitas-aktivitas di kelas dan
lemahnya guru dalam menanggapi perilaku siswa yang mengganggu kelancaran
kegiatan belajar. Sering juga terjadi
jeda yang cukup lama antar aktivitas sehingga memberi kesempatan pada
siswa-siswa tertentu untuk menampilkan
perilaku yang tidak diinginkan. Kondisi ini semua menimbulkan suasana kelas
yang ribut dan kurang mendukung kelancaran belajar. Kelemahan guru dalam
mengelola kelas yang merupakan salah satu keterampilan dasar mengajar merupakan
hal yang tidak diantisipasi sebelumnya oleh peneliti saat pemilihan partisipan
guru yang akan terlibat. Suasana kelas yang kurang terkendali baik membuat guru
kurang maksimal dalam menerapkan tindakan-tindakan yang dicobakan.
Pada penerapan tindakan tahap 1 yang
ditujukan untuk membentuk relasi yang baik antara guru dan siswa justru sering
diwarnai dengan perlakuan guru yang dapat memperburuk hubungannya dengan siswa
seperti berteriak menegur siswa, melontarkan ancaman serta komentar negatif
sebagai reaksi guru terhadap perilaku siswa yang mengganggu. Emosi negatif dari
guru kurang mendukung dan dapat membuat guru kurang efektif dalam mengajar.
Penelitian menunjukkan emosi negatif akan mempersempit area berpikir dan
membatasi ide dalam pikiran kita. Guru dapat mengalami
emosi negatif seperti marah dan frustrasi dari sejumlah peristiwa seperti siswa
yang melanggar aturan kelas, siswa malas dan kurang perhatian (Sutton, 2005).
Jadi sebenarnya masih terdapat kondisi yang belum maksimal tercipta, seperti
yang diharapkan, pada satu kelas yang permasalahan mendasar dalam keterampilan
mengajar guru belum terselesaikan.
Disamping itu, penerapan harapan
positif dari guru juga berdampak pada timbulnya perubahan-perubahan sebagai
berikut:
·
siswa lebih berani untuk mendekat
dan memulai pembicaraan dengan guru. Hal ini berbeda dari saat awal penelitian,
sebagian besar siswa memiliki perasaan takut dimarahi oleh guru yang terkadang
diikuti dengan hukuman fisik
·
siswa berani bertanya dan
mengajukan pendapat saat guru memberi kesempatan berespon. Pada awal
penelitian, sebagian besar siswa lebih merasa nyaman untuk bertanya pada sesama
teman saat kesulitan dalam memahami pelajaran
·
beberapa siswa yang awalnya
dinilai guru ‘nakal’ dan tidak terlibat sepenuhnya dalam aktivitas di kelas,
mulai lebih tenang dan mudah diarahkan
Dapat dikatakan bahwa penerapan dari
tindakan-tindakan yang dirancang lebih berdampak terhadap relasi guru dan siswa
serta timbulnya perasaan dihargai pada diri para siswa berprestasi kurang.
Kondisi ini merupakan hal penting yang harus tercipta untuk dapat terjadinya
keterlibatan mental yang baik dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas.
Emosi mempengaruhi motivasi, minat dan pada akhirnya kemampuan berpikir
serta juga memori (Sutton, 2005). Dalam banyak konsep tentang belajar, dimulai
dengan pemberian perhatian atau dukungan terhadap kebutuhan psikologis dasar
siswa yaitu kebutuhan untuk otonomi,
merasa mampu dan relasi sosial. Formula paling ampuh untuk meningkatkan
belajar adalah dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan tadi dan mengombinasikannya
dengan lingkungan belajar seperti guru yang antusias, isi materi yang tepat,
kualitas instruksi yang baik dan tuntutan yang jelas.
Tindakan-tindakan yang dicobakan
guru belum berefek terhadap penilaian siswa akan kemampuan belajarnya,
karena ternyata tidak semua siswa menilai adanya peningkatan dalam kemampuan
belajarnya. Data yang diperoleh dari angket terbuka setelah penerapan tindakan
terkait dengan penilaian siswa akan kemampuan belajarnya, didapatkan bahwa hanya
8 siswa dari 33 siswa partisipan yang menilai kemampuan belajarnya lebih baik
jika dibandingkan sebelumnya. Sedangkan siswa lainnya menilai kemampuan belajarnya tetap, yaitu
tetap buruk dan sedang-sedang saja, serta sebagian kecil menilai justru makin
buruk. Siswa mendapat masukan dari kesulitan-kesulitan yang masih dirasakannya
di akhir semester serta hasil evaluasi belajar yaitu nilai-nilai ulangan yang memang belum menunjukkan peningkatan.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Dari proses antar siklus dalam
penelitian tindakan, diperoleh rancangan tindakan guru yang dinilai dapat
berdampak positif pada persepsi siswa terhadap relasinya dengan guru dan iklim
kelas, yaitu pemberian kesempatan secara merata bagi siswa untuk menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas di depan, pemberian tuntunan saat siswa
mengalami kesulitan baik dalam bentuk menunjukkan letak kesalahan maupun
memberi informasi tambahan untuk membantu, penyampaian pujian serta komentar
positif untuk memotivasi, serta menjalin kedekatan dengan siswa dalam bentuk
mengajak berkomunikasi dan mendekati tempat duduk siswa.
2. Persepsi siswa terhadap harapan guru
semakin baik setelah diterapkannya tindakan-tindakan yang dirancang. Para siswa
berprestasi kurang menilai guru lebih memberi perlakuan yang positif pada dirinya, yang tertampakkan dalam
pendekatan yang dilakukan guru, pemberian
kesempatan berespon secara merata, penyampaian pujian dan komentar positif,
bantuan atau tuntunan saat mengalami kesulitan sehingga siswa lebih merasa dihargai dan dianggap mampu.
3.
Tindakan yang diterapkan lebih membawa perubahan pada aspek afektif
siswa. Siswa memiliki perasaan lebih nyaman dalam interaksinya dengan guru serta
merasa dilibatkan selama proses pembelajaran berlangsung. Tindakan-tindakan
yang ditujukan untuk membantu siswa memahami materi pelajaran dan mengembangkan
keterampilan berpikirnya ternyata tidak membawa perubahan berarti dalam hasil
yang teramati. Hal ini dikarenakan kelemahan guru dalam kemampuan mengenali
kesulitan belajar siswa serta keterampilan memberikan tuntunan berpikir untuk
sampai pada pemahaman materi dan kelemahan dalam mengajukan pertanyaan yang
dapat mengembangkan berpikir siswa. Guru juga merasa kurang yakin akan
kemampuannya untuk memandu proses dialog atau diskusi dengan dan antar siswa
B. Saran
1. Bagi guru dan sekolah yang terlibat
·
Iklim kelas yang ramah dan
memberikan kenyamanan psikologis bagi siswa akan membawa pengaruh positif bagi
berkembangnya konsep diri serta perilaku belajar siswa yang semakin baik.
Hendaknya penciptaan iklim seperti ini tidak hanya menjadi tanggung jawab guru
di kelasnya saja namun dapat menjadi kebijakan dalam lingkup sekolah sehingga
semua komponen dalam sekolah memberikan suasana belajar yang mendukung bagi
siswa
·
Pihak sekolah diharapkan dapat
memberi kesempatan bagi guru untuk memperoleh pengembangan dalam keterampilan
mengajar diantaranya keterampilan
bertanya dan mengelola kelas. Program
pengembangan guru akan lebih efektif jika diikuti dengan bentuk dukungan jangka panjang termasuk
penyampaian demonstrasi dan pendampingan bagi guru. Program pengembangan guru
juga hendaknya dapat ditujukan untuk mendorong guru mengembangkan karakteristik dominan-kooperatif
dalam berkomunikasi dengan siswa yaitu yang dicirikan dengan kemampuan guru untuk menetapkan standar dan
mempertahankan kendali atas kelas namun juga memiliki empati dan mau mendengar
siswa. Keterampilan-keterampilan tersebut di atas merupakan keterampilan yang
tampak masih lemah pada diri guru yang dapat mempengaruhi dalam upayanya
menyelenggarakan proses pengajaran yang juga menumbuhkan pribadi siswa yang
sehat
·
Para guru dapat mulai untuk
mengembangkan penelitian tindakan kelas sendiri karena guru adalah juga seorang
peneliti yang dapat menganalisis proses pembelajaran di kelasnya dan melakukan
perubahan-perubahan yang mendukung kepentingan belajar para siswa
2. Bagi institusi
pendidikan guru
·
Telah terbukti keefektifan program
pengembangan guru, baik yang diselenggarakan di dalam maupun di luar sekolah, terhadap peningkatan
kualitas guru dalam menjalankan profesinya. Institusi yang bertanggung jawab
terhadap pendidikan calon guru dapat menyelenggarakan dan menawarkan
program-program pengembangan yang dapat diikuti guru sehingga dalam menjalankan
profesinya guru tetap berkesempatan belajar dan mengembangkan diri secara terus
menerus
·
Saratnya proses pembelajaran yang
masih menuntut siswa menghafal materi dan belum mengajak siswa mengembangkan
pemahaman yang mendalam, memang tidak dapat terlepas dari paradigma bahwa hasil
lebih penting dari proses. Hal ini
juga tidak terlepas dari bentuk evaluasi
yang selama ini digunakan di banyak sekolah yang bersifat paper and pencil test. Oleh karenanya hendaknya hal ini menjadi
perhatian dalam pendidikan calon guru untuk berupaya membekali calon guru
dengan keterampilan mengembangkan kecakapan berpikir siswa serta keterampilan
mengembangkan pengukuran hasil belajar yang lebih melihat pada pemahaman
mendalam terhadap materi yang disampaikan
DAFTAR PUSTAKA ACUAN
Arends,
R.I. 2004. Learning to Teach. New
York: McGraw Hill
Berg, B.L. 2004. Qualitative
Research Methods: for the Social Sciences (5th ed.). Boston: Pearson
Education, Inc.
Bordens, K.S. & Bruce,
B.B. 2005. Research Design and Methods: A
Process Approach (6th ed.). New York: McGraw-Hill, Inc.
Brown, M.R. 2007. Educating All
Students: Creating Culturally Responsive Teachers, Classrooms and Schools. Intervention in School and Clinic.
Austin. 43 (1): 57-63
Cao, K.X. 2005. Three Levels of
Motivation in Instruction: Building Interpersonal Relations with Learners. Distance Learning, 2 (4): 1-7
Davis, H.A. 2006. Exploring the Context of Relationship Quality between
Middle School Students and Teachers. The
Elementary School Journal. Vol 106, No. 3:193-225
Dolezal, S.E. & Welsh,
L.M. & Pressley, M. & Vincent, M.M. 2003. How Nine
Third-Grade Teachers Motivate Student Academic Engagement. The Elementary School Journal. Vol 103, No. 3: 239-269
Gall, M.D. & Gall, J.P. &
Borg, W.R. 2003. Educational Research: An
Introduction (7th ed.). Boston: Pearson Education, Inc.
Hughes, J.N. 2001. Further Support for the Developmental Significance of
the Quality of the Teacher-Student Relationship. Journal of School Psychology. Vol 39, No. 4: 289-301
Hughes, J.N. & Gleason, K.A. &
Duan Zhang. 2005. Relationship Influences on Teachers’ Perception of Academic
Competence in Academically At-risk Minority and Majority First Grade Students. Journal
of School Psychology. Vol 43: 303-320
Jalongo, M.R. 2007. Beyond Benchmarks and Scores: Reasserting the Role of Motivation and
Interest in Children's Academic Achievement. Childhood Education. Vol 83. No. 6: 395-408
Jawa Pos. 21 Nopember, 2007.
Kekerasan Terhadap Anak, hlm. 9.
Kierein, N.M. 2000. Pygmalion in Work
Organization. Journal of Organizational Behavior. Vol 21 : 913.
McNiff, J. 2004. Action Research:
Principles and Practice. New York: RoutledgeFalmer
Rist, R.C. 2000. Student Social Class and Teacher
Expectations: The Self-fulfilling Prophecy in Ghetto Education. Harvard
Educational Review. Vol 70 : 257-323
Strahan, D.B. &
Layell, K. 2006. Connecting Caring and Action through Responsive Teaching: How
0ne Team Accomplished Success in A Struggling Middle School. The Clearing House. Vol 79, No. 3 :
147-154
Sutton, R.E. 2005. Teachers’ Emotion
and Classroom Effectiveness: Implications from Recent Research. The Clearing House. Vol.78, No.5 :
229-235
Wheatley, K.F. 2005. The Case for
Reconceptualizing Teacher Efficacy Research. Teaching & Teacher Education. Vol 21, No. 7 : 747-766
Wilmes, B.; Harrington, L. & Kohler-Evans,
P. & Sumpter, D. 2008. Coming to Our Senses: Incorporating Brain Research Findings into
Classroom Instruction. Education. Vol.128,
No. 4 : 659-667
No comments:
Post a Comment