PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU DALAM MENYAMPAIKAN HARAPAN POSITIF TERHADAP SISWA



ABSTRAK

(Lena N Panjaitan – Fakultas Psikologi Universitas Surabaya)

            Dalam proses pembelajaran di kelas, cara mengajar guru memberikan sumbangan yang signifikan terhadap pencapaian belajar siswa. Salah satu aspek dari cara mengajar, yaitu penyampaian harapan positif terhadap siswa telah terbukti berperan penting terhadap hasil belajar siswa. Akan tetapi, cukup banyak siswa yang kurang mendapatkan perlakuan yang diwarnai harapan positif dari guru.  Dalam survey awal  yang   dilakukan, teramati bahwa guru cenderung merespon secara lebih positif terhadap siswa high achiever yang ditunjukkan dengan memberikan pertanyaan yang lebih menantang, memberi cukup waktu untuk menjawab, serta menunjukkan penghargaan terhadap jawaban siswa, menjalin relasi yang lebih hangat, serta lebih toleran jika siswa yang bersangkutan itu berperilaku negatif.  

            Berdasarkan temuan di survey awal, penelitian ini ditujukan untuk: 1)meningkatkan penyampaian harapan positif guru terhadap siswa, terutama siswa yang berprestasi kurang, dan  2)menumbuhkan persepsi positif dari siswa berprestasi kurang terkait relasinya dengan guru dan iklim kelasnya.
            Penelitian ini menggunakan disain penelitian tindakan yaitu small group collaborative action research, yang melibatkan kelompok kecil guru bekerja sama dengan peneliti.
Hasil penelitian  menunjukkan bahwa  dengan proses dalam penelitian tindakan dapat memberdayakan guru untuk menyampaikan harapan positif selama proses pembelajaran. Dampak penyampaian harapan positif guru dalam penelitian ini lebih terlihat pada makin positifnya persepsi siswa terhadap iklim kelas, dan masih belum tampak dampaknya pada peningkatan pemahaman siswa akan materi belajar serta peningkatan keterampilan berpikirnya. Namun dengan proses penerapan yang lebih lama, diharapkan hasil tersebut dapat tercapai. Hal yang menjadi kendala adalah sulitnya merubah keyakinan guru akan kemampuan belajar siswanya, terutama karena latar belakang sosial-ekonomi siswa yang kurang beruntung. Guru juga masih terbiasa mengajar satu arah dan perlu meningkatkan keterampilan bertanya yang merangsang keterampilan berpikir siswa.

Kata Kunci: cara pembelajaran, proses mengajar, harapan positif

 
ABSTRACT


In the learning process at the classroom, the teachers’ teaching practice contributes significantly to the students’ academic achievement. One of the aspects of teaching practice, teachers’ positive expectation towards students, has been proved to play important roles in improving students’ academic performance. However, in fact, many students believed that they were not treated accordingly. The initial survey of this study found out that teachers inclined to give more favorable treatment towards students who were believed as “high achiever”, such as: giving more challenging questions, allowing more time to think before answering questions, praising more, spending more time and effort to maintain good relationships, and more tolerance towards negative behaviors showed by those high achieving students
            Based on the problems revealed from the initial survey, this study was conducted with the following purposes: (1) to improve the teachers’ positive expectations towards their students, especially to those of low academic achieving students, and (2) to prosper the positive perception of low achieving students regarding their relationships with their teachers and classroom climate.
            This study was designed as an action research, by employing a small group – collaborative type of action research, in which the researcher and some teachers worked in a close collaboration.         
            This study revealed that action research, especially a small group - collaborative type, could be a prospective and powerful approach to empower teachers to give positive expectations in their teaching practice. Although the results could only be observed in improving the classroom climate (as supported by student and teacher evaluation of better climate), and not yet on the understanding learning materials and improving thinking skills, but implementation of the program on a longer-term and more intensive feedback session (individually or in group) could bring more valuable results regarding teaching effectiveness. The main barriers was how to change the teachers’ belief about the students’ lack of academic ability due to their disadvantaged social-economic and other family background,  to break the old habit of employing a one-way and direct-instructive teaching practice, and to exercise their ability to formulate correct questions that stimulate higher-order thinking.

Keywords: teaching practice, learning process, positive expectations



I.   PENDAHULUAN
Dalam proses pembelajaran di sekolah, keterlibatan mental dan keberhasilan siswa untuk mengikuti proses belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan kecerdasannya. Aspek psikologis juga merupakan hal penting yang dapat menjadi pendukung atau bahkan penghambat dalam proses belajar. Perasaan nyaman, senang, tidak cemas, merasa diakui dan perasaan-perasaan positif lainnya dapat menjadi pendorong bagi terjadinya aktivitas belajar yang diinginkan. Mengabaikan aspek afektif dari proses belajar bertentangan dengan apa yang ditemukan oleh ahli-ahli neuroscience tentang peranan emosi dalam belajar. Proses belajar merupakan kegiatan afektif dan kegiatan kognitif (Jalongo, 2007).
Namun, dalam kenyataannya cukup banyak siswa yang tidak mendapatkan situasi belajar yang disertai dengan munculnya perasaan-perasaan positif tadi. Beberapa siswa merasakan suasana belajar sebagai hal yang tidak menyenangkan, menekan dan tidak mendukung munculnya perasaan yakin akan kemampuan (self-efficacy).  Hal ini akan mengembangkan tidak hanya pandangan dan penilaian siswa yang negatif tentang belajar, tapi pada akhirnya juga berpengaruh terhadap konsep dirinya.
Berkembangnya perasaan dan penilaian yang negatif pada siswa terhadap belajar dan dirinya juga dapat berawal dari perlakuan guru. Siswa-siswa tertentu seringkali dikenai harapan rendah oleh guru, terutama para siswa yang kurang menunjukkan prestasi baik secara akademik.


 
Berdasarkan hasil penelitian UNICEF di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara pada tahun 2006 yang dimuat dalam harian Jawa Pos tertanggal 21 November 2007, menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak sebagian besar (80%) dilakukan oleh guru. Kekerasan yang dilakukan berupa tindakan fisik dan kekerasan non fisik seperti intimidasi verbal atau pemberian beban tugas berlebihan. Hal yang memprihatinkan adalah belum semua guru ataupun pendidik lain yang menyadari bahwa apa yang mereka lakukan merupakan tindak kekerasan terhadap anak. Tindak kekerasan non fisik umumnya sulit disadari dan seringkali justru guru beralasan melakukan hal tersebut untuk kebaikan anak. Sebagai contoh, menegur siswa di depan teman-teman sekelas atas prestasinya yang kurang baik, yang pada akhirnya akan berdampak pada kondisi psikologis siswa.
Dari pengamatan awal selama  tiga bulan yang dilakukan peneliti di  empat sekolah dasar di Surabaya, diperoleh gambaran dari hasil angket yang diberikan pada 494 siswa dari 12 kelas, diperoleh hasil bahwa penilaian sebagian besar siswa terhadap nilai akademik/ nilai pelajaran yang diperolehnya bergerak dari kategori cukup baik ke kurang baik. Penilaian siswa terhadap kemampuan belajarnya juga bergerak dari kategori cukup baik ke kurang baik. Hal ini menunjukkan banyaknya siswa yang menilai dirinya kurang memiliki kemampuan yang baik dalam belajar. Penyampaian harapan rendah terhadap siswa tertentu memang tertampakkan dalam perilaku guru selama proses pembelajaran. Hal ini tertampakkan baik melalui komunikasi secara verbal maupun non verbal dari guru serta dari kurangnya upaya guru dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam pelajaran. Pada salah satu kelas, guru menempatkan para siswa yang dinilai berprestasi kurang di deret bangku tertentu secara berkelompok dan semua siswa menyadari adanya pembedaan tersebut. Siswa yang ditempatkan pada deret bangku ‘anak-anak yang kurang’ juga sering memperoleh komentar atau ejekan dari siswa lain. Di samping itu, komentar-komentar yang kurang mendukung dan kurang memotivasi siswa  sering dilontarkan guru seperti: “Sudah bodoh...tapi masih bicara saja” atau “Bagaimana bisa dapat nilai bagus.....yang seperti ini saja tidak bisa jawab”. Hal ini justru membuat siswa kurang yakin akan kemampuannya dan menurunkan kesediaannya untuk mencoba. Para siswa berprestasi kurang lebih rentan untuk dikenai perlakuan yang kurang mendukung oleh guru.
Peneliti meyakini bahwa pengalaman-pengalaman positif yang diterima seseorang dalam interaksinya dengan orang lain, terutama orang yang signifikan baginya, juga akan turut membentuk konsep diri yang positif nantinya. Perlakuan guru yang diamati siswa juga akan turut membentuk sistem nilai pada diri siswa, yang dapat mempengaruhi perkembangan perilaku siswa nantinya.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menemukan tindakan-tindakan apa yang dapat dilakukan guru untuk membuat siswa berprestasi kurang memiliki penilaian bahwa guru memberi harapan positif terhadap mereka?. 2) Apa  efek dari pemberian harapan positif guru terhadap persepsi siswa terhadap guru dan iklim pembelajaran di kelas?

II.  KAJIAN PUSTAKA
A.  Peran Guru terhadap Siswa
Sikap dan perilaku belajar seorang siswa dalam kelas dipengaruhi oleh faktor dari dalam maupun dari luar dirinya. Pada awalnya, ketika siswa masih muda, faktor dari luar dirinya seperti guru, teman, orangtua serta lingkungan fisik kelas lebih kuat mempengaruhi belajar siswa. Untuk menumbuhkan sikap dan perilaku belajar yang baik, pada awalnya masih banyak ditentukan oleh peranan faktor luar seperti guru atau orangtua.
Teaching practice merupakan faktor yang dinilai paling berpengaruh langsung terhadap proses belajar  siswa. Pada proses pembelajaran, seharusnya tercermin dua upaya pokok yaitu: meningkatkan ketrampilan berpikir siswa dan membangun rasa percaya diri  siswa melalui sikap respek dan relasi positif dengan siswa. Relasi antara guru dan siswa akan berjalan baik jika diwarnai dengan karakteristik seperti rasa saling percaya, perasaan nyaman dan saling menghargai  (Wilmes, 2008).
Tujuan guru dalam mengajar idealnya tidak hanya menyampaikan materi-materi dalam kurikulum, namun juga menjadi motivator yang akan mempengaruhi hidup siswa. Ikatan antara guru dan siswa dipenuhi dengan aspek emosi dan rasa tanggung jawab, yaitu tanggung jawab untuk mengenali dan memenuhi kebutuhan siswa. Sejalan dengan pandangan Abraham Maslow, bahwa kebutuhan-kebutuhan dalam tingkatan lebih bawah harus terpenuhi untuk dapat memunculkan kebutuhan aktualisasi diri. Dalam hal ini, semua siswa memiliki kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk menjadi bagian, untuk dihargai dan untuk mengejar pelajaran (Cao, 2005).

30
 
Keyakinan-keyakinan yang dimiliki guru merupakan salah satu hal yang sangat berperan penting dalam proses pembelajaran. Guru yang efektif, tidak hanya memiliki kualitas positif dalam ketrampilan dan pengetahuan/ keilmuan, namun juga dalam aspek kepribadian (beliefs, sifat dan sebagainya)(Brown, 2007). Guru yang berperan efektif, selain ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, juga ditentukan oleh faktor disposisi dari guru tersebut misalnya sikap, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan serta konsepsi awal yang telah dimiliki. Hal ini sangat mempengaruhi cara guru menjalankan profesinya.
B. Penyampaian Harapan Positif Guru dan Dampaknya terhadap Siswa
Harapan yang berbeda dari guru terhadap siswa akan memunculkan perlakuan yang berbeda pula terhadap siswa, terkait antara lain dengan: pemberian pertanyaan, pemberian waktu untuk menjawab, pengelompokan siswa, pemberian penghargaan dan penilaian terhadap perilaku siswa (Arends, 2004). Sebagai contoh, siswa yang dinilai mampu akan cenderung diberi pertanyaan-pertanyaan yang menantang dan lebih menuntut taraf berpikir lebih tinggi dibandingkan siswa yang dinilai kurang mampu. Hughes, Gleason,  Duan Zhang (2005) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa penilaian guru terhadap kemampuan akademik siswa berkaitan dengan kualitas hubungan guru dengan siswa. Kualitas hubungan guru dan siswa dipengaruhi oleh latar belakang siswa antara lain: suku bangsa, jenis kelamin, dan status sosial-ekonomi. Hal ini sejalan dengan temuan Rist (2000) di beberapa sekolah di St. Louis, Amerika Serikat,  yang dari pengamatannya terhadap satu kelas taman kanak-kanak, kelas 1 SD dan kelas 2 SD yang dilakukan menunjukkan bahwa guru melakukan pengelompokkan siswa berdasarkan pada penilaian terhadap penampilan fisik, kemampuan bahasa, perilaku siswa yang kemudian dikaitkan dengan kemampuan akademiknya. Hal ini memunculkan perbedaan perlakuan guru terhadap para siswa.
Dampak faktor harapan  guru terhadap siswa diawali dengan penelitian Rosenthal dan Jacobson pada 1968, yang menemukan bahwa siswa akan menampakkan performansi belajar lebih baik jika harapan guru terhadapnya tinggi (Kierein, 2000; Rist, 2000).  Disamping dampak yang berkaitan dengan prestasi dan performansi belajar, pemberian harapan positif guru juga berpengaruh terhadap aspek psikologis siswa. Beberapa penelitian menemukan keterkaitan antara harapan guru dengan konsep diri siswa.  Konsep diri mulai berkembang di awal kehidupan individu dan perkembangannya dipengaruhi oleh orang-orang terdekat dalam kehidupan individu yaitu orangtua dan guru (Mook, 2000). Keyakinan guru  dan harapannya terhadap siswa juga akan mempengaruhi interaksi guru dengan siswa. Guru yang   memberi dukungan afektif akan mengembangkan hubungan positif dengan siswa (Davis, 2006).  Dalam penelitiannya, Wheatley (2005) juga menemukan bahwa terciptanya hubungan positif antar guru – siswa serta pengalaman belajar yang menyenangkan juga dipengaruhi oleh adanya harapan positif guru terhadap siswa.
Pengaruh  harapan  guru  terhadap  siswa lebih  tepat  jika dipandang dari perspektif transaksional. Semakin baik prestasi akademik siswa akan mengarah pada semakin positifnya harapan guru, yang akan tertampakkan dengan pemberian instruksi pengajaran yang makin menantang, responsif serta pendekatan yang lebih hangat, yang pada akhirnya nanti akan makin meningkatkan prestasi siswa (Hughes, Gleason, Zhang, 2005).
            Dalam penelitiannya di tahun 1968, Rosenthal dan Jacobson juga menemukan adanya hubungan yang positif antara harapan guru, perlakuan yang membedakan dan self-fulfilling prophecy siswa. Dalam proses self-fulfilling prophecy terjadi efek pygmalion, yang berarti seseorang atau sekelompok orang yang bertindak sejalan dengan harapan dari orang lain. Individu atau kelompok tersebut, pada tingkatan tertentu, menginternalisasi harapan yang diberikan padanya dan bertindak dalam upaya untuk memenuhi harapan tersebut.
Siswa yang mengalami relasi yang mendukung dan positif dengan gurunya akan mengembangkan sikap yang lebih positif terhadap sekolah, akan lebih terlibat dan aktif secara akademik, dan lebih memperoleh penerimaan dari teman (Hughes, 2001). Sebaliknya, siswa yang relasinya dengan guru seringkali diwarnai konflik lebih cenderung mengalami putus sekolah, tinggal kelas dan sering memperoleh penolakan dari teman.
Program The Teacher Expectations and Student Achievement (TESA) yang dikembangkan oleh Los Angeles County Office of Education pada awal tahun 1970-an dengan didasarkan pada  temuan penelitian-penelitian yang menyatakan bahwa 1) siswa cenderung meyakini gambaran dirinya sesuai dengan harapan yang ditunjukkan guru terhadapnya dan 2) guru berespon lebih positif terhadap siswa yang dinilai berprestasi tinggi dibandingkan dengan siswa yang dinilai kurang berprestasi akan diterapkan dalam penelitian ini untuk meningkatkan harapan guru terhadap siswa.
The Teacher Expectations and Student Achievement (TESA) merupakan suatu program pelatihan yang bertujuan meningkatkan kesadaran guru akan pentingnya perlakuan guru terhadap siswa dan bagaimana guru menangani siswa dengan prestasi kurang secara sejajar dengan siswa berprestasi baik di kelas. Hal yang sulit dalam pembelajaran adalah mendorong semua siswa untuk berpartisipasi dalam kelas. TESA adalah program yang melatih guru berinteraksi dengan siswa dengan didasari kesejajaran. Pendekatannya dilandasi oleh teori expectancy.
TESA bertujuan:
  • membuat guru peka akan harapannya terhadap siswa
  • menunjukkan bagaimana harapan guru mempengaruhi belajar siswa
  • melibatkan guru dalam proses refleksi dan pembentukan perilaku baru
  • membantu guru mempraktikkan berbicara lebih sering pada siswa berprestasi kurang di dalam maupun di luar kelas
  • mendorong guru memberi pertanyaan pada siswa yang umumnya tidak aktif (dengan cara yang nyaman bagi siswa)
Program ini telah digunakan secara nasional di USA selama lebih dari 30 tahun. Selama waktu tertentu para guru belajar tentang 15 ketrampilan mengajar, yang dikelompokkan dalam 3 area besar (dengan kode A, B, C) yaitu: mendorong partisipasi siswa dengan  mengajukan pertanyaan dan menindaklanjuti respon siswa terhadap pertanyaan; bagaimana memberikan feedback; dan bagaimana menunjukkan penghargaan terhadap siswa. Hal ini dapat dilihat pada tabel interaksi pembelajaran yang memuat harapan positif guru yang merupakan program The Teacher Expectations and Students Achievement (TESA) yang dikembangkan oleh Los Angeles County Office of Education sebagai berikut:

Tabel 2.1   Interaksi Pembelajaran yang Memuat Harapan Positif


Bagaimana Guru Berinteraksi dengan Siswa
A. Mendorong partisipasi
B.  Memberi feedback
C. Menunjukkan penghargaan
Pemberian kesempatan berespon secara merata
Memberi penguatan, mengoreksi respon
Berdiri dekat dengan siswa
Menawarkan bantuan individual
Memberi pujian
Bersikap menghargai dan empatik
Memberi waktu siswa untuk berespon
Menyebutkan alasan pemberian pujian
Menunjukkan minat dan pujian
Menggali materi bahasan lebih dalam
Mendengarkan dengan perhatian
Memberi ‘sentuhan’ untuk menjalin relasi baik
Memberi pertanyaan dengan pemahaman tingkat tinggi
Menerima perasaan siswa
Mengelola perilaku yang kurang sesuai dengan cara tetap menghargai siswa

III. METODE PENELITIAN
A. Disain Penelitian
            Penelitian ini menggunakan  desain penelitian tindakan (action research). Tipe penelitian tindakan yang dipakai adalah  small groups - collaborative action research, yang dalam penelitian ini melibatkan peneliti dengan sejumlah guru. Collaborative action research pada umumnya berbentuk small face-to-face groups yang terdiri dari tiga sampai 10 orang, yang dicirikan dengan adanya pertemuan secara berkala, adanya kesempatan memecahkan masalah secara bersama dan mendiskusikan langkah-langkah yang akan diambil ( McNiff,2004). Rencana tindakan dirancang berdasarkan konsep TESA, yang terapkan guru dalam beberapa siklus tindakan.
B.     Partisipan Penelitian
Penelitian ini melibatkan  5 guru  kelas IV dan kelas V serta 33 siswa berprestasi kurang dari dua sekolah dasar negeri di Surabaya. Guru yang terlibat dalam penelitian tidak dalam jumlah besar, dengan mempertimbangkan disain penelitian yang menuntut keterlibatan secara aktif dari masing-masing guru dalam jangka waktu yang lama dan berkesinambungan. Keterlibatan guru didasarkan pada kesediaan untuk melakukan perubahan dalam cara pembelajaran yang selama ini memiliki  permasalahan terkait dengan penelitian (menampakkan ciri-ciri yang menunjukkan pemberian harapan rendah terhadap siswa tertentu), persetujuan dan dukungan kepala sekolah serta ijin bagi peneliti untuk hadir melakukan pengamatan secara reguler di kelas.
Penelitian dilakukan pada tingkat sekolah dasar, dengan pertimbangan semakin muda usia siswa maka masih rentan terhadap pengaruh perlakuan guru terhadap perkembangan pandangan dirinya. Di samping itu, pada saat di sekolah dasar anak mulai membentuk sikap terhadap belajar yang nantinya mempengaruhi penyesuaiannya terhadap sekolah. Pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan terkait dengan belajar dan sekolah akan menurunkan minat dan motivasi terhadap belajar nantinya.
C. Pengumpulan Data
            Dalam disain penelitian tindakan,  data yang dikumpulkan dapat menggunakan teknik pengumpulan data kuantitatif maupun kualitatif (Bordens & Bruce, 2005). Pengumpulan data untuk memperoleh informasi  tentang persepsi siswa terhadap iklim kelas, relasi dengan guru dan harapan guru dilakukan dengan teknik kuesioner. Juga digunakan tes isian yang berbentuk sentence completion test, yang diadaptasi dari tes Forer yang dikembangkan oleh Bertram R. Forer. Di samping itu teknik wawancara individual dan wawancara kelompok akan digunakan untuk menjaring data tentang persepsi siswa terhadap interaksinya dengan guru serta pandangan akan kemampuan belajarnya. Wawancara kelompok akan dilakukan dengan mempertimbangkan kenyamanan psikologis dari siswa untuk mengungkapkan pandangannya, karena akan lebih mudah bagi siswa untuk mengutarakan pendapatnya secara bersama-sama dengan teman-temannya.
            Teknik wawancara individual juga dilakukan terhadap guru untuk menjaring informasi tentang latar belakang kehidupan guru serta pandangannya terhadap kemampuan belajar siswa dan cara pembelajarannya selama ini.
Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas akan diobservasi untuk memperoleh informasi tentang interaksi dan aktivitas yang terjadi antar guru dan siswa sasaran, dalam hal ini para siswa yang dinilai berprestasi kurang. Observasi dilakukan secara anecdotal record, dengan mencatat secara detil interaksi verbal dan non verbal yang terjadi antara guru dan siswa.
D.  Analisis Data
            Tahapan-tahapan dalam siklus penelitian tindakan akan dimonitor untuk memperoleh informasi yang akan disajikan secara deskriptif. Deskripsi tentang proses dari masing-masing tahapan dalam tiap siklus akan bermanfaat untuk menggambarkan usaha yang dapat dilakukan, hasil yang dapat dicapai serta permasalahan yang dihadapi, yang dapat menjadi proses belajar bagi pihak lain. Bentuk narasi umum digunakan dalam penelitian tindakan, yang berisi representasi dan penjelasan dari apa yang terjadi selama proses berlangsung (Gall, Gall, Borg, 2003).
            Dalam penelitian ini  digunakan analisis data secara  kualitatif dan kuantitatif (McNiff, 2004; Yaffe, 2003).  Informasi dalam bentuk data kualitatif berupa data: observasi cara pembelajaran guru yang memuat harapan positif, hasil wawancara terhadap siswa, reflektif/ catatan pribadi (diary) guru, dan catatan monitoring peneliti terhadap proses yang terjadi di tiap siklus. Analisis  interpretif  akan digunakan untuk data-data tersebut. Data/informasi yang diperoleh dipandang sebagai suatu text atau suatu kumpulan simbol-simbol yang mencerminkan makna tertentu (Berg, 2004; Gall, Gall, Borg, 2003)
            Data kuantitatif diperoleh dari pengukuran dengan menggunakan kuesioner tentang persepsi siswa terhadap relasinya dengan guru sebelum dan setelah intervensi. Data kuantitatif akan dianalis dengan menggunakan uji beda T-tes dengan bantuan program statistik SPSS 12.0 for Windows.

IV.  HASIL DAN PEMBAHASAN
            Penerapan tindakan terbagi atas dua tahap, yaitu 1) tahapan yang bertujuan lebih ke arah membina relasi positif guru terhadap siswa dan mempersiapkan aspek afektif  siswa dalam belajar dan 2)tahapan yang bertujuan ke arah peningkatan  kemampuan berpikir siswa.
            Dari hasil pengamatan di kelas, refleksi guru serta jurnal harian guru dapat diperoleh simpulan dari penerapan tahap 1 sebagai berikut:
1. Guru makin menyadari pentingnya memberi perhatian  terhadap para siswa yang tergolong berprestasi kurang di kelas, sama seperti yang dilakukan pada siswa-siswa lainnya. Hal ini tertampakkan dari perlakuan-perlakuan seperti: memberi kesempatan menjawab pertanyaan atau soal, memberi komentar akademik maupun non akademik yang bersifat positif, mendekat ke tempat duduk siswa serta menjalin komunikasi sesering mungkin. Tiap guru mengupayakan untuk menyampaikan perlakuan-perlakuan tersebut secara merata terhadap para siswa sasaran setiap hari, seperti yang terekam dari observasi dan jurnal harian guru.
2. Dari hasil observasi terlihat adanya peningkatan dari para siswa sasaran dalam keberanian untuk menjawab pertanyaan, bertanya dan  mendekat ke guru untuk sekedar mengajak berbicara. Dalam dua kelas, secara khusus peneliti mengamati memang masih terdapat satu atau dua orang siswa yang dari awal terkesan menjaga jarak  dan jarang berbicara dengan guru, dan kondisi ini masih tetap berlanjut hingga minggu ke tiga pengamatan. Dari informasi selanjutnya yang diperoleh, salah satu siswa tersebut memang dinilai oleh guru kelasnya sebagai siswa yang sangat sulit didekati. Guru kelas tersebut telah ‘angkat tangan’ untuk mendekati siswa bersangkutan karena siswa selalu menunjukkan perilaku kurang sopan. Sedangkan di kelas lain, terdapat seorang siswa yang tampak lebih sering menyendiri dan sangat jarang berinteraksi dengan guru. Menurut guru, siswa tersebut memang sangat pendiam dan tertutup. Peneliti mendorong guru untuk tetap berusaha menjalin komunikasi dengan siswa bersangkutan, dan guru mengusulkan untuk mencoba memberi tugas-tugas ringan seperti mengantar buku ke guru lain, dengan tujuan siswa akan merasa dibutuhkan.
3. Berdasarkan jurnal harian guru, ada perubahan dari kendala yang dirasakan dalam menerapkan tindakan di kelas. Pada awal penerapan, kendala yang dirasakan guru lebih pada karakteristik siswa yang sulit untuk memahami materi dan menunjukkan sikap kurang positif dalam belajar yang dapat berupa pasif di kelas atau menampilkan perilaku mengganggu di kelas. Para guru lebih banyak melihat faktor eksternal sebagai kendala. Dalam proses selanjutnya, guru mulai mengenali kendala-kendala dari diri sendiri yang mempengaruhi kurang efektifnya penerapan tindakan. Hal ini menunjukkan tumbuhnya kesediaan untuk mengoreksi diri. Para guru mengemukakan kendala internal seperti kurang usaha mendekati siswa, belum menemukan cara memulai relasi serta masih adanya penilaian negatif terhadap siswa tertentu yang dapat membuat penerapan tindakan belum menunjukkan keberhasilan pada siswa tertentu. Satu orang guru juga mulai mengidentifikasi ketrampilan yang perlu ditingkatkan pada dirinya. Sebagai contoh, salah satu guru menuliskan dalam jurnal harian: ‘Bagaimana bisa membuat si A mau mengemukakan pendapat tanpa takut salah atau diejek teman?’. Sebagian besar guru juga melaporkan bahwa para siswa sasaran masih tetap kesulitan mengerjakan soal walaupun semangat untuk mencoba menjawab sudah ada.   Di samping kendala, dengan berjalannya proses penerapan tindakan, para guru juga melaporkan keberhasilan yang dirasakan. Jika pada awal minggu, hampir semua guru belum melihat perubahan positif maka dengan proses yang terus berjalan mereka mengemukakan adanya perubahan pada beberapa siswa diantaranya adanya antusiasme siswa untuk ditunjuk guru dalam mengerjakan soal, hubungan guru dengan siswa menjadi lebih santai dan tidak kaku, siswa tertentu mulai berani mengemukakan kesulitan-kesulitannya  serta guru menilai siswa merasa senang karena merasa dibutuhkan dan diperhatikan.

Berdasarkan hasil pengamatan dan jurnal guru, kesimpulan yang diperoleh dari penerapan tindakan pada tahap 2  adalah:
     1.  Para guru telah mencoba mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk berpikir dengan membandingkan, menemukan perbedaan satu hal dengan hal lain serta melihat kesamaan dari beberapa hal. Tuntutan tersebut membuat para guru lebih kreatif juga dalam menyampaikan materi, yang dulunya sebagian besar disampaikan dengan ceramah satu arah, saat pengamatan terlihat guru menggunakan alat peraga, memberikan contoh kasus serta mengaitkan materi dengan kejadian yang ada di sekitar kehidupan para siswa.
      2.  Agak berbeda dengan penerapan tindakan pada tahap 1 yang dapat diberikan pada masing-masing siswa sasaran secara merata, pada tindakan tahap 2 perlakuan yang diberikan lebih secara klasikal. Hanya pada beberapa kesempatan, beberapa siswa sasaran memperoleh kesempatan untuk mendapat pertanyaan yang mengajaknya berpikir lebih baik. Namun secara umum, perlakuan guru diberikan pada semua siswa dalam kelas.
      3. Hal yang teramati pada diri para siswa adalah meningkatnya antusiasme saat guru menggunakan strategi mengajar yang tidak hanya berbentuk ‘guru menjelaskan-siswa mendengarkan’ saja. Siswa menjadi lebih antusias dan senang saat guru menggunakan peraga, meminta siswa bereksplorasi dengan benda-benda di ruang kelas serta mendengarkan guru bercerita tentang hal yang dikenalnya sebelum mengajukan pertanyaan.
       4. Tindakan yang masih sulit dan sangat jarang dilakukan guru adalah menindaklanjuti pertanyaan siswa sehingga terjadi dialog yang merangsang berpikir siswa. Saat hal ini disinggung dalam proses evaluasi, guru menilai hal ini tidak mudah dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan para siswa sasaran yang terbatas. Guru juga menyinggung kelemahan beberapa siswa dalam ketrampilan dasar akademik seperti membaca dan menghitung yang belum lancar, sehingga agak sulit mengajak siswa untuk berpikir analitis kritis. Keluhan guru mengenai kemampuan beberapa siswa sasaran dalam membaca memang sudah dikemukakan di awal sebelum penelitian dilakukan.

                       Setelah penerapan tindakan, untuk melihat ada tidaknya perbedaan persepsi dari 33 siswa berprestasi kurang terhadap penyampaian harapan guru maka dilakukan uji statistik. Dengan menggunakan uji t diperoleh hasil uji t = -6,210 dengan p = 0,000  yang menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara persepsi siswa terhadap harapan guru sebelum dan setelah tindakan diberikan. Nilai mean persepsi siswa sebelum tindakan = 50,48 dan setelah tindakan = 57,33. Hal ini berarti persepsi siswa terhadap harapan guru tampak lebih baik/ positif setelah pemberian tindakan.
                       Untuk menjawab pertanyaan penelitian terkait ada tidaknya perbedaan persepsi siswa terhadap iklim kelas sebelum dan setelah tindakan diberikan, dengan menggunakan uji t diperoleh hasil t = -10,299 dengan nilai p = 0,000 yang menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara persepsi siswa terhadap iklim kelas sebelum dan setelah tindakan diberikan. Nilai mean persepsi siswa sebelum tindakan adalah 26,81 dan setelah tindakan adalah 34,09. Hal ini berarti persepsi siswa terhadap iklim kelas lebih baik/ positif setelah diberikannya tindakan.

          Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat dijawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Tindakan-tindakan apa yang dilakukan guru untuk membuat siswa berprestasi kurang memiliki penilaian bahwa guru memberi harapan positif terhadap mereka?
            Berdasarkan analisis statistik dari data kuesioner diperoleh bahwa ada perbedaan persepsi siswa terhadap harapan guru sebelum dan setelah tindakan diberikan. Setelah tindakan-tindakan dicobakan, para siswa menilai guru menyampaikan harapan yang lebih positif terhadap mereka. Tindakan-tindakan yang dirancang dan diterapkan guru di kelas ternyata membawa pengaruh terhadap cara pandang siswa pada perlakuan guru terhadapnya.
Tindakan-tindakan yang dilakukan guru, yang menimbulkan kesan pada siswa bahwa guru menyampaikan harapan positif  adalah:
  • sikap menghargai siswa sebagai pribadi yang ditunjukkan dengan sekedar sapaan, komentar yang berkaitan dengan hal di luar konteks pembelajaran serta mendengarkan dan memandang siswa saat berbicara
  • menjalin kedekatan dengan siswa dengan lebih sering mendekati tempat duduk siswa dan memberikan sentuhan yang menunjukkan perhatian
  • pemberian kesempatan untuk berespon dengan menunjuk siswa untuk menjawab atau mengerjakan di papan
  • memberi tuntunan saat siswa mengalami kesulitan dengan sekedar menunjuk pada pengerjaan yang salah atau membantu dengan memberi informasi tambahan
  • memberikan feedback atas respon siswa dengan memberi pujian saat respon tepat dan menginformasikan apa yang masih kurang dari jawaban yang diberikan siswa

Tindakan-tindakan di atas sebagian besar lebih mengarah pada aspek menjalin kedekatan dan menghargai siswa sebagai pribadi. Hal ini merupakan aspek penting karena guru yang menunjukkan komitmen terhadap siswa, peduli, serta menunjukkan kesediaan membantu terbukti dapat berkaitan dengan performansi akademik dan perilaku siswa di sekolah. Tujuan penting yang juga seharusnya dicapai di sekolah adalah meningkatkan tumbuhnya siswa yang sehat secara psikologis (Strahan & Layell, 2006)
            Siswa membaurkan antara belajar dan perasaan senang yang mereka alami di kelas dengan adanya relasi yang baik dengan guru. Relasi penuh dukungan dari guru dapat meningkatkan aktivitas belajar di kelas karena guru mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman bagi siswa untuk membuka diri dan mau mendengarkan. Siswa akan memiliki kesediaan untuk berusaha dan mendengarkan jika relasi dengan guru baik. Investasi dalam membentuk relasi dengan siswa akan membuahkan hasil yang besar.
Sedangkan aspek yang lebih pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi serta meningkatkan keterampilan berpikir siswa untuk tidak hanya menghafal materi pelajaran saja, tampak sangat lemah tersampaikan oleh guru. Alasan yang dikemukakan sebagian besar guru pada saat proses refleksi adalah keterbatasan kemampuan siswa untuk berespon terhadap pertanyaan yang lebih menuntut berpikir analisis kritis, sehingga guru lebih sering menggunakan cara lama dalam bertanya terhadap siswa serta meneruskan informasi dari buku paket tanpa ada pengembangan.
Kelemahan memang terlihat dari kompetensi guru untuk mengenali kebutuhan belajar siswa, sehingga siswa yang belum memahami materi tidak terbantu saat kesulitan pada poin tertentu. Sementara materi yang disampaikan terus berjalan, siswa yang bersangkutan makin tertinggal. Seyogyanya saat guru menyampaikan suatu materi, dilakukan pengecekan pemahaman siswa dan saat ada siswa yang belum paham segera dilakukan penjelasan ulang (re-teach), bila perlu dengan cara lain yang lebih dapat dipahami siswa. Jika kesulitan siswa terdeteksi lebih awal sehingga tidak terakumulasi, maka akan sangat membantu siswa ( Dolezal dan Welsh, 2003). Untuk dapat melakukan hal tersebut, karakteristik mendasar yang harus ada pada guru adalah keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar jika diajarkan ulang serta adanya komitmen untuk menemukan berbagai cara menjelaskan materi  sehingga dapat dipahami siswa.
Hal ini menjadi kelemahan yang menjadikan kurang berhasilnya penerapan tindakan pada tahap dua, karena para siswa berprestasi kurang belum terbantu secara maksimal dalam kesulitan tertentu yang mereka alami. Pandangan guru mengenai kemampuan belajar siswa juga tampak kurang konsisten, dalam arti guru belum sepenuhnya yakin bahwa semua siswa mampu untuk meningkatkan hasil belajarnya.
Dari kondisi ini, peneliti juga belajar bahwa tidak dapat hanya mengasumsikan bahwa guru mampu merangsang berpikir siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengajak siswa berpikir lebih baik, dari hanya sekedar menghafal suatu materi. Keterampilan tersebut sulit untuk dibentuk dalam waktu singkat, seperti yang telah diupayakan dalam pertemuan-pertemuan dengan para guru. Dari sisi para siswa sendiri, umumnya kurang memiliki dasar pemahaman yang secara kuat ditanamkan oleh guru sehingga pengembangan berpikir juga tidak mudah dilakukan.

2.  Apa efek dari pemberian harapan positif guru terhadap siswa berprestasi kurang?
            Disamping berefek terhadap penilaian siswa yang makin positif terhadap perlakuan guru terhadapnya, tindakan-tindakan yang diterapkan juga memberi pengaruh pada penilaian siswa akan iklim kelasnya. Para siswa menilai iklim kelas yang tercipta semakin baik setelah penerapan tindakan dilakukan. Hal ini terlihat dari analisis statistik data kuesioner siswa yang menunjukkan ada perbedaan persepsi terhadap iklim kelas sebelum dan setelah tindakan diberikan. Para siswa merasa lebih aman, dipedulikan serta dimengerti oleh guru.
            Iklim kelas merupakan suasana pembelajaran di kelas yang diwarnai dengan adanya penyampaian harapan positif dari guru, ketiadaan gangguan serta dorongan untuk terlibat (Freiberg dan Fraser, 1999). Para siswa menilai guru semakin baik dalam menyampaikan kejelasan materi, standar apa yang harus dilakukan siswa, membuat kelas lebih teratur dan berusaha melibatkan siswa dalam aktivitas di kelas.
Dalam kajian dari banyak penelitian, ditemukan bahwa relasi interpersonal dan iklim kelas yang positif adalah prediktor yang signifikan untuk motivasi belajar siswa. Pentingnya rasa sebagai bagian dari kelas dan persepsi siswa terhadap kepedulian dan dukungan guru sangat utama. Inti dari pengertian iklim kelas adalah persepsi siswa terhadap relasinya dengan guru (Davis, 2006)
            Namun dari pengamatan di kelas, sebenarnya terdapat permasalahan di satu kelas yang bersumber dari keterampilan guru yang lemah dalam mengelola kelas. Lemahnya pengelolaan kelas dapat berdampak terhadap iklim kelas yang tercipta. Pada satu kelas teramati kurang adanya prosedur serta aturan yang mengatur aktivitas-aktivitas di kelas dan lemahnya guru dalam menanggapi perilaku siswa yang mengganggu kelancaran kegiatan belajar. Sering  juga terjadi jeda yang cukup lama antar aktivitas sehingga memberi kesempatan pada siswa-siswa  tertentu untuk menampilkan perilaku yang tidak diinginkan. Kondisi ini semua menimbulkan suasana kelas yang ribut dan kurang mendukung kelancaran belajar. Kelemahan guru dalam mengelola kelas yang merupakan salah satu keterampilan dasar mengajar merupakan hal yang tidak diantisipasi sebelumnya oleh peneliti saat pemilihan partisipan guru yang akan terlibat. Suasana kelas yang kurang terkendali baik membuat guru kurang maksimal dalam menerapkan tindakan-tindakan yang dicobakan.
            Pada penerapan tindakan tahap 1 yang ditujukan untuk membentuk relasi yang baik antara guru dan siswa justru sering diwarnai dengan perlakuan guru yang dapat memperburuk hubungannya dengan siswa seperti berteriak menegur siswa, melontarkan ancaman serta komentar negatif sebagai reaksi guru terhadap perilaku siswa yang mengganggu. Emosi negatif dari guru kurang mendukung dan dapat membuat guru kurang efektif dalam mengajar. Penelitian menunjukkan emosi negatif akan mempersempit area berpikir dan membatasi  ide  dalam pikiran kita. Guru dapat mengalami emosi negatif seperti marah dan frustrasi dari sejumlah peristiwa seperti siswa yang melanggar aturan kelas, siswa malas dan kurang perhatian (Sutton, 2005). Jadi sebenarnya masih terdapat kondisi yang belum maksimal tercipta, seperti yang diharapkan, pada satu kelas yang permasalahan mendasar dalam keterampilan mengajar guru belum terselesaikan.
            Disamping itu, penerapan harapan positif dari guru juga berdampak pada timbulnya perubahan-perubahan sebagai berikut:
·         siswa lebih berani untuk mendekat dan memulai pembicaraan dengan guru. Hal ini berbeda dari saat awal penelitian, sebagian besar siswa memiliki perasaan takut dimarahi oleh guru yang terkadang diikuti dengan hukuman fisik
·         siswa berani bertanya dan mengajukan pendapat saat guru memberi kesempatan berespon. Pada awal penelitian, sebagian besar siswa lebih merasa nyaman untuk bertanya pada sesama teman saat kesulitan dalam memahami pelajaran
·         beberapa siswa yang awalnya dinilai guru ‘nakal’ dan tidak terlibat sepenuhnya dalam aktivitas di kelas, mulai lebih tenang dan mudah diarahkan
            Dapat dikatakan bahwa penerapan dari tindakan-tindakan yang dirancang lebih berdampak terhadap relasi guru dan siswa serta timbulnya perasaan dihargai pada diri para siswa berprestasi kurang. Kondisi ini merupakan hal penting yang harus tercipta untuk dapat terjadinya keterlibatan mental yang baik dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas.
Emosi mempengaruhi motivasi, minat dan pada akhirnya kemampuan berpikir serta juga memori (Sutton, 2005). Dalam banyak konsep tentang belajar, dimulai dengan pemberian perhatian atau dukungan terhadap kebutuhan psikologis dasar siswa yaitu kebutuhan untuk otonomi,  merasa mampu dan relasi sosial. Formula paling ampuh untuk meningkatkan belajar adalah dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan tadi dan mengombinasikannya dengan lingkungan belajar seperti guru yang antusias, isi materi yang tepat, kualitas instruksi yang baik dan tuntutan yang jelas.
Tindakan-tindakan yang dicobakan  guru belum berefek terhadap penilaian siswa akan kemampuan belajarnya, karena ternyata tidak semua siswa menilai adanya peningkatan dalam kemampuan belajarnya. Data yang diperoleh dari angket terbuka setelah penerapan tindakan terkait dengan penilaian siswa akan kemampuan belajarnya, didapatkan bahwa hanya 8 siswa dari 33 siswa partisipan yang menilai kemampuan belajarnya lebih baik jika dibandingkan sebelumnya. Sedangkan siswa lainnya  menilai kemampuan belajarnya tetap, yaitu tetap buruk dan sedang-sedang saja, serta sebagian kecil menilai justru makin buruk. Siswa mendapat masukan dari kesulitan-kesulitan yang masih dirasakannya di akhir semester serta hasil evaluasi belajar yaitu nilai-nilai ulangan  yang memang belum menunjukkan peningkatan.

V.  SIMPULAN DAN SARAN
A.  Simpulan
Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dari proses antar siklus dalam penelitian tindakan, diperoleh rancangan tindakan guru yang dinilai dapat berdampak positif pada persepsi siswa terhadap relasinya dengan guru dan iklim kelas, yaitu pemberian kesempatan secara merata bagi siswa untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas di depan, pemberian tuntunan saat siswa mengalami kesulitan baik dalam bentuk menunjukkan letak kesalahan maupun memberi informasi tambahan untuk membantu, penyampaian pujian serta komentar positif untuk memotivasi, serta menjalin kedekatan dengan siswa dalam bentuk mengajak berkomunikasi dan mendekati tempat duduk siswa.
2. Persepsi siswa terhadap harapan guru semakin baik setelah diterapkannya tindakan-tindakan yang dirancang. Para siswa berprestasi kurang menilai guru lebih memberi perlakuan yang  positif pada dirinya, yang tertampakkan dalam pendekatan yang dilakukan guru,  pemberian kesempatan berespon secara merata, penyampaian pujian dan komentar positif, bantuan atau tuntunan saat mengalami kesulitan sehingga siswa  lebih merasa dihargai dan dianggap mampu.
3.  Tindakan yang diterapkan lebih membawa perubahan pada aspek afektif siswa. Siswa memiliki perasaan lebih nyaman dalam interaksinya dengan guru serta merasa dilibatkan selama proses pembelajaran berlangsung. Tindakan-tindakan yang ditujukan untuk membantu siswa memahami materi pelajaran dan mengembangkan keterampilan berpikirnya ternyata tidak membawa perubahan berarti dalam hasil yang teramati. Hal ini dikarenakan kelemahan guru dalam kemampuan mengenali kesulitan belajar siswa serta keterampilan memberikan tuntunan berpikir untuk sampai pada pemahaman materi dan kelemahan dalam mengajukan pertanyaan yang dapat mengembangkan berpikir siswa. Guru juga merasa kurang yakin akan kemampuannya untuk memandu proses dialog atau diskusi dengan dan antar siswa
B.  Saran
1.  Bagi guru dan sekolah yang terlibat
·         Iklim kelas yang ramah dan memberikan kenyamanan psikologis bagi siswa akan membawa pengaruh positif bagi berkembangnya konsep diri serta perilaku belajar siswa yang semakin baik. Hendaknya penciptaan iklim seperti ini tidak hanya menjadi tanggung jawab guru di kelasnya saja namun dapat menjadi kebijakan dalam lingkup sekolah sehingga semua komponen dalam sekolah memberikan suasana belajar yang mendukung bagi siswa
·         Pihak sekolah diharapkan dapat memberi kesempatan bagi guru untuk memperoleh pengembangan dalam keterampilan mengajar diantaranya keterampilan  bertanya dan mengelola kelas.  Program pengembangan guru akan lebih efektif jika diikuti dengan  bentuk dukungan jangka panjang termasuk penyampaian demonstrasi dan pendampingan bagi guru. Program pengembangan guru juga hendaknya dapat ditujukan untuk mendorong guru  mengembangkan karakteristik dominan-kooperatif dalam berkomunikasi dengan siswa yaitu yang dicirikan dengan  kemampuan guru untuk menetapkan standar dan mempertahankan kendali atas kelas namun juga memiliki empati dan mau mendengar siswa. Keterampilan-keterampilan tersebut di atas merupakan keterampilan yang tampak masih lemah pada diri guru yang dapat mempengaruhi dalam upayanya menyelenggarakan proses pengajaran yang juga menumbuhkan pribadi siswa yang sehat
·         Para guru dapat mulai untuk mengembangkan penelitian tindakan kelas sendiri karena guru adalah juga seorang peneliti yang dapat menganalisis proses pembelajaran di kelasnya dan melakukan perubahan-perubahan yang mendukung kepentingan belajar para siswa
2.  Bagi institusi pendidikan guru
·         Telah terbukti keefektifan program pengembangan guru, baik yang diselenggarakan di dalam  maupun di luar sekolah, terhadap peningkatan kualitas guru dalam menjalankan profesinya. Institusi yang bertanggung jawab terhadap pendidikan calon guru dapat menyelenggarakan dan menawarkan program-program pengembangan yang dapat diikuti guru sehingga dalam menjalankan profesinya guru tetap berkesempatan belajar dan mengembangkan diri secara terus menerus
·         Saratnya proses pembelajaran yang masih menuntut siswa menghafal materi dan belum mengajak siswa mengembangkan pemahaman yang mendalam, memang tidak dapat terlepas dari paradigma bahwa hasil lebih penting  dari proses. Hal ini juga  tidak terlepas dari bentuk evaluasi yang selama ini digunakan di banyak sekolah yang bersifat paper and pencil test. Oleh karenanya hendaknya hal ini menjadi perhatian dalam pendidikan calon guru untuk berupaya membekali calon guru dengan keterampilan mengembangkan kecakapan berpikir siswa serta keterampilan mengembangkan pengukuran hasil belajar yang lebih melihat pada pemahaman mendalam terhadap materi yang disampaikan


      
DAFTAR PUSTAKA ACUAN

Arends, R.I. 2004. Learning to Teach. New York: McGraw Hill
Berg, B.L. 2004. Qualitative Research Methods: for the Social Sciences (5th ed.). Boston: Pearson Education, Inc.
Bordens, K.S. & Bruce, B.B. 2005. Research Design and Methods: A Process Approach (6th ed.). New York: McGraw-Hill, Inc.

Brown, M.R. 2007. Educating All Students: Creating Culturally Responsive Teachers, Classrooms and Schools. Intervention in School and Clinic. Austin. 43 (1): 57-63

Cao, K.X. 2005. Three Levels of Motivation in Instruction: Building Interpersonal Relations with Learners. Distance Learning, 2 (4): 1-7

Davis, H.A. 2006. Exploring the Context of Relationship Quality between Middle School Students and Teachers. The Elementary School Journal. Vol 106, No. 3:193-225

Dolezal, S.E. & Welsh, L.M. & Pressley, M. & Vincent, M.M. 2003. How Nine Third-Grade Teachers Motivate Student Academic Engagement. The Elementary School Journal. Vol 103, No. 3: 239-269

Gall, M.D. & Gall, J.P. & Borg, W.R. 2003. Educational Research: An Introduction (7th ed.). Boston: Pearson Education, Inc.

Hughes, J.N. 2001. Further Support for the Developmental Significance of the Quality of the Teacher-Student Relationship. Journal of School Psychology. Vol 39, No. 4: 289-301

Hughes, J.N. & Gleason, K.A. & Duan Zhang. 2005. Relationship Influences on Teachers’ Perception of Academic Competence in Academically At-risk Minority and Majority First Grade Students. Journal of School Psychology. Vol 43: 303-320

Jalongo, M.R. 2007. Beyond Benchmarks and Scores: Reasserting the Role of Motivation and Interest in Children's Academic Achievement. Childhood Education. Vol 83. No. 6: 395-408

Jawa Pos. 21 Nopember, 2007. Kekerasan Terhadap Anak, hlm. 9.

Kierein, N.M. 2000. Pygmalion in Work Organization. Journal of Organizational Behavior. Vol 21 : 913.

McNiff, J. 2004. Action Research: Principles and Practice. New York: RoutledgeFalmer

Rist, R.C. 2000. Student Social Class and Teacher Expectations: The Self-fulfilling Prophecy in Ghetto Education. Harvard Educational Review. Vol 70 : 257-323

Strahan, D.B. & Layell, K. 2006. Connecting Caring and Action through Responsive Teaching: How 0ne Team Accomplished Success in A Struggling Middle School. The Clearing House. Vol 79, No. 3 : 147-154

Sutton, R.E. 2005. Teachers’ Emotion and Classroom Effectiveness: Implications from Recent Research. The Clearing House. Vol.78, No.5 : 229-235

Wheatley, K.F. 2005. The Case for Reconceptualizing Teacher Efficacy Research. Teaching & Teacher Education. Vol 21, No. 7  : 747-766

Wilmes, B.; Harrington, L. & Kohler-Evans, P. & Sumpter, D. 2008. Coming to Our Senses: Incorporating Brain Research Findings into Classroom Instruction. Education. Vol.128, No. 4 : 659-667

















No comments:

Post a Comment