Universitas
Pendidikan Indonesia
email: sitimae_1204@yahoo.co.id
Masih merasa penghasilan kurang? Jangan hanya mengeluh. Mari bergabung
untuk mendapatkan Income Rp.800 Juta,- Dari Bisnis
Iklan
Silahkan klik : https://muslimpromo.com/?ref=8076
Silahkan klik : https://muslimpromo.com/?ref=8076
Abstrak
Pengembangan karakter kerja siswa SMK merupakan hal yang urgen
dilakukan guna mempersiapkan lulusannya menghadapi dunia kerja yang
sesungguhnya. Tujuan penelitian ini adalah: mengidentifikasi karakter kerja
yang dibutuhkan industri melalui pendekatan demand
driven, dan menemukan model pengembangan karakter kerja siswa SMK sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja.
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang mengikuti
langkah: pra-pengembangan; pengembangan model; dan penerapan
model. Validasi instrumen menggunakan analisis faktor konfirmatori (CFA) dan
reliabilitas digunakan Cronbach Alpha. Kecocokan model diuji dengan analisis Structural Equation Modelling (SEM)
menggunakan software LISREL 8.71.
Hasil penelitian diperoleh sebagai berikut: teridentifikasi karakter kerja yang dibutuhkan
industri, ditemukan model pengembangan karakter kerja yang diintegrasikan dalam
pembelajaran praktik di SMK, melalui 5 tahap, yaitu: komitmen kerja, etos
kerja, apresiasi kerja, pembiasaan kerja, dan refleksi. Model tepat (fit) digunakan untuk membangun karakter
kerja siswa SMK yang ditunjukkan dengan nilai p-value 0.161 > 0.05 dan hasil goodness
of fit index; RMSEA = 0.034 < 0.08, CFI = 0.990 > 0.90, and AGFI = 0.847 < 0.95 yang berarti model mendapat
dukungan secara empiris. Dari hasil penelitian di atas, direkomendasikan
sebagai berikut: Pertama, karakter kerja siswa SMK perlu dikembangkan berdasarkan
demand tenaga kerja sesuai bidang
keahliannya; Kedua, pengembangan karakter kerja yang efektif dan efisien
diintegrasikan dalam pembelajaran praktik.
Character Building of Work-Based Industries on Vocational High
School (VHS) Students with Demand-Driven Approach
Abstract
Vocational high school (VHS) students
character building is one of the urgent need in preparing graduates to face the real world of
work. The purpose of this study are to: identify the character of work required of the industry through
demand-driven approach, and find out model of character development of vocational students to work in accordance with the needs of world of work.
This research is the development of the
following steps: (1) pre-development, (2) model development, and (3)
application of the model. Validation of the instrument using confirmatory
factor analysis (CFA) and Cronbach Alpha reliability is used. Suitability model
was tested with analysis of Structural Equation Modelling (SEM) using LISREL
8.71 software.
The study has
generated the following result: the identified character of work required by the industry as graduateof vocational high school. This also has found the
character buiding model that integrated in practical learning, through the 5
stages, ie. work commitment, work ethic, appreciation, work culture, and
reflection. Model (fit) is used to build a work character at vocational
students who indicated to the value p-value 0.161 > 0.05, and the result of
goodness of fit index; RMSEA = 0.034
< 0.08, CFI = 0.990 > 0.90, and AGFI = 0.847
< 0.95 showing that the strategy has empirical support and
fits to use in VHS. It is recommended as follows: First,
the character of vocational students needs to be developed in accordance with
the needs and characteristics of the job in the world of work; Second, the
character building of effective and efficient integrated in practical
learning.
Key words: character, work, industry
1.
Pendahuluan
Esensi dari tujuan pendidikan
kejuruan tingkat menengah (SMK) adalah mempersiapkan
peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu (Depdikbud, 2004: 1). SMK memegang peranan penting dalam penyediaan tenaga kerja, karena
pranata ekonomi membutuhkan tenaga kerja terdidik dan terlatih. Namun tenaga kerja yang dihasilkan
sampai saat ini masih belum mampu menjawab permasalahan kebutuhan tenaga kerja
yang memenuhi kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja. Peluang kerja yang ditawarkan
pasar kerja masih banyak yang belum terisi, karena lulusan pendidikan yang ada
tidak terserap pasar kerja (Dedi S, 2002: 612).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka pengangguran
pada Agustus 2008 berdasarkan pendidikan didominasi oleh lulusan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) yakni 17,26 persen, disusul tamatan SMA (Sekolah
Menengah Atas) 14,31 persen, dan lulusan Perguruan Tinggi (PT) 12,59 persen.
Namun di sisi lain banyak perusahaan yang mengalami permasalahan kesulitan
mendapatkan tenaga kerja, padahal masalah pengangguran di Indonesia menjadi
wacana nasional. Hal ini menggambarkan adanya
kesenjangan antara demand pasar kerja
dengan supply dan ketersediaan tenaga
kerja dari institusi pendidikan kejuruan.
Berdasarkan penelusuran recruitment on-line garment manufacturing di
Indonesia yang berorientasi eksport, syarat yang paling sering
dimunculkan bagi calon tenaga kerja
pada line produksi adalah mampu bekerja dengan tekanan kerja yang tinggi, sanggup bekerja lembur, sanggup ditempatkan di
area produksi dan mampu bekerja mencapai
target waktu yang ditetapkan, sehat jasmani dan rohani, ... (http://acecnews.blogspot.com/2008/03/ungaran-sarigarment.html). Syarat tersebut
diajukan pihak industri karena sistem kerja yang digunakan sangat memerlukan
karakter kerja yang tangguh untuk menjalankan sistem produksinya yang bersifat lean manufacture.
Bekerja di industri garment harus dapat mengikuti irama kerja yang
memiliki produktivitas tinggi dan cepat (output
piece per minute), produksi bersifat masal dengan sistem produksi ban
berjalan, dan kualitas produk yang sangat dijaga ketat. Kesiapan mental dan
ketahanan fisik yang baik untuk mendukung kelancaran bekerja harus dimiliki
para pekerjanya. Di samping itu pekerjaan menjahit dan membuat busana adalah
pekerjaan keterampilan yang menunjukkan pada pekerjaan mental, menggunakan
gerakan-gerakan tangan melalui pengintegrasian sensoris yang terkoordinasi
dengan baik (terampil, cekatan, cakap, cermat). Kemampuan teknis (hard skills) yang handal dan mahir apabila tidak didukung oleh karakter kerja
yang baik maka menjadi tidak bermakna untuk bekerja di industri.
Pengembangan karakter kerja bagi siswa SMK merupakan aspek penting
dalam menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dan berhasil dalam pekerjaannya.
Oleh karena itu diperlukan kajian model pengembangan karakter kerja untuk kesiapan kerja yang terintegrasi
dalam proses pembelajaran dengan berbagai strateginya. Siswa SMK harus
dipersiapkan untuk menghadapi real job yang ada di dunia usaha dan
industri. Bekerja di industri berada dalam lingkungan yang berbeda dengan
lingkungan sekolah. Pengembangan karakter kerja untuk jangka panjang meliputi pembinaan ketahanan mental, disiplin
kerja, ketahanan fisik, dan perilaku positif siswa. Sedangkan jangka pendek
meliputi; pengembangan wawasan kerja di industri.
Tujuan utama yang ingin
dicapai dalam penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi karakter kerja yang
diharapkan user (industri) terhadap
lulusan SMK, dan (2) merumuskan model pengembangan karakter kerja siswa SMK agar
lulusannya memiliki karakter kerja
yang sesuai dengan tuntutan kerja di industri, serta mengkaji implikasi model
tersebut terhadap relevansi lulusan SMK dengan demand industri. Komponen atau aspek yang dikaji untuk mendukung
model pengembangan karakter kerja siswa SMK adalah sistem kerja yang digunakan
di industri diterapkan pula dalam pembelajaran praktik di sekolah, yaitu sistem
kerja “kaizen” yang meliputi: (1) sikap
kerja 5R (ringkas, resik, rawat, rapi, dan rajin), quality control (QC), dan just
in-time (JIT).
Produk yang akan dihasilkan adalah model
pengembangan karakter kerja berbasis industri (Karjain) untuk siswa SMK berkaitan dengan program
keahlian tata busana yang terintegrasi dalam pembelajaran praktik. Konsep dasar
model-Karjain adalah belajar bekerja, melalui 5 tahap yaitu: (1) kontruksi
komitmen kerja; (2) konstruksi etos kerja (3) apresiasi kerja; (4) pembiasaan
bekerja (budaya kerja); dan refleksi diri.
2.
Kajian Teori
a.
Pengembangan Karakter Kerja Berbasis
Industri
Karakter sering diberi padanan kata watak, tabiat, perangai atau
akhlak. Dalam bahasa Inggris character diberi arti a distinctive
differentiating mark, tanda yang membedakan secara tersendiri. Karakter
merupakan nilai-nilai yang terpatri dalam diri seseorang yang dibentuk melalui
proses; pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan dan pengaruh lingkungan,
menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan perilaku seseorang (Koesoema, 2007). Menurut (Ferry,. et.al, 2002), karakter tidak turun-temurun, juga tidak berkembang secara otomatis, harus secara
sadar dikembangkan. Dengan demikian karakter
adalah suatu kualitas yang mantap dan khusus (pembeda) yang terbentuk dalam
kehidupan individu yang menentukan sikap dalam mengadakan reaksi terhadap
rangsangan dengan tanpa mempedulikan situasi dan kondisi. Namun untuk mengembangkan karakter,
diperlukan ’character coach’ atau ’character mentoring’ yang mengarahkan
dan memberitahukan kekeliruan dan kelemahan-kelemahan karakter seseorang (Koesoema, 2007).
Salah satu point penting dari tugas pendidikan adalah membangun
karakter (character building) anak
didik. Fasli Jalal (2010) mengutarakan bahwa pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan
moral karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah akan
tetapi menanamkan pula kebiasaan yang baik sehingga siswa menjadi paham, mampu
merasakan, dan mau melakukan yang baik (http://komunikasi.um.
ac.id/?p=1684).
Bentuk-bentuk karakter yang dikembangkan telah dirumuskan secara
berbeda. Indonesia Heritage Foundation merumuskan beberapa bentuk karakter yang
harus ada dalam setiap individu bangsa Indonesia di antaranya; cinta kepada
Allah dan semesta beserta isinya, tanggung jawab, disiplin dan mandiri, jujur,
hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerja sama, percaya diri, kreatif,
kerja keras dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah
hati, dan toleransi, cinta damai dan persatuan. Sementara itu, character counts di Amerika
mengidentifikasikan 6 karakter yang harus dimiliki, yaitu; dapat dipercaya (trustworthiness), rasa hormat dan
perhatian (respect), tanggung jawab (responsibility), jujur (fairness), peduli (caring), nasionalis (citizenship),
ketulusan (honesty), berani (courage), tekun (diligence) dan integritas.
Pengembangan karakter kerja pada
pendidikan kejuruan, menuntut pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan
kebutuhan dunia kerja agar hasilnya efektif. Sebagaimana teori Proser &
Allen (1988), bahwa pendidikan kejuruan yang berhasil diantaranya: (a) efisien
jika lingkungan dimana siswa dilatih dengan cara, alat, dan mesin yang sama
seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu; (b) efektif jika melatih kebiasaan
berpikir dan bekerja seperti di DU-DI; (c) efektif jika membentuk kebiasaan
kerja dan kebiasaan berfikir yang benar sehingga cocok dengan pekerjaan; dan
(d) pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar.
b.
Pendekatan Demand Driven
Strategi atau paradigma demand driven pada pendidikan kejuruan
sudah lama dicanangkan oleh Wardiman Djoyonegoro (1988) walaupun belum secara
optimal dilaksanakan dalam sistem pendidikan kejuruan. Dalam kontek pendidikan
kejuruan yang tujuan utamanya adalah menyiapkan lulusannya untuk bekerja, maka
pendekatan demand driven atau
pendidikan yang berbasis permintaan ini secara empiris telah cukup bukti
efektif dan efisien untuk dilaksanakan. Pada intinya pendekatan ini meyakini dapat
meningkatkan relevansi pendidikan kejuruan dengan dunia kerja.
Pendekatan demand driven
dalam penelitian ini digunakan untuk mengindentifikasi karakter kerja yang
perlu dikembangkan. Melalui pengalaman empirik, kajian teori, dan observasi, maka
strategi yang digunakan adalah dengan mengadopsi sistem kerja di industri dalam
pembelajaran praktik di SMK. Demand
driven sebagai pijakan dalam menentukan arah penelitian, maka landasan
prosedur investigasi digambarkan sebagai berikut:
SMK sebagai salah satu supplier
tenaga kerja untuk industri harus mengetahui kebutuhan akan kualifikasi dan kompetensi pekerja yang disyaratkan industri agar lulusan yang dihasilkan
dapat mengikuti sistem kerja yang ada. Industri busana (garmen) menggunakan prinsip
fundamental dari konsep lean
manufacturing dalam proses produksinya. Kaizen juga sebagai pendekatan
bertahap secara sistematis, berkelanjutan, dan sesuai dengan pencapaian sasaran.
Salah satu alat yang paling efektif dalam perbaikan berkelanjutan terseut adalah
konsep 5R yaitu metode
yang efektif dalam menciptakan sebuah lingkungan kerja yang ideal dan mempunyai
dampak yang sangat besar terhadap mutu dan produktivitas. Konsep 5R yang
dikembangkan Imai M (1997), yaitu: (a) seiri-short-ringkas, (b) seiton-straighten-rapi; (c) seiso-sweep and clean-resik; (d) seiketsu-systemize-rawat; (e) shitsuke-standardize-rajin.
Pembinaan karakter kerja berbasis
industri atau disingkat “Karjain” dapat
dipergunakan pada pembelajaran praktik dan membantu guru dalam memperbaiki
kultur pembelajaran ke arah yang mendekati budaya kerja di industri. Model
Karjain diilustrasikan pada gambar berikut:
Karjain merupakan model
pengembangan karakter kerja berbasis industri yang menerapkan
kaizen, QC, dan JIT dalam proses
pembelajaran praktik, dan dapat digunakan
untuk membangun rasa percaya diri, siswa bertanggung
jawab terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan sampai tuntas; berdisiplin
dengan waktu, memiliki daya juang yang tinggi; dan
memiliki ketahanan mental kerja yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Hal ini
didasarkan pada premis bahwa setiap siswa memiliki peluang untuk bekerja di
industri.
Model- karjain dapat dijelaskan sebagai berikut:
a)
Integrasi pengembangan karakter kerja dalam pembelajaran
praktik melalui 5 tahap kegiatan, yaitu:
a. Tahap komitmen kerja ditunjukkan oleh indikator; kesediaan
menerima aturan kerja, kesepakatan target waktu, kesadaran melaksanakan tugas
sesuai aturan (SOP), kesediaan bekerjasama, dan kesediaan melakukan sikap
kerja sesuai dengan yang diharapkan.
b. Tahap membangun etos kerja melalui simulasi situasi
bekerja di industri agar siswa mengalami bermacam-macam proses kerja untuk
menguji reaksi mereka. Tujuanya adalah untuk membangun etos kerja yang
ditunjukkan oleh indikator bekerja ikhlas,
tuntas, semangat, serius,
optimis, dan unggul.
c. Tahap pemaknaan cara kerja yaitu menerima dan memaknai nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai
tertentu yang bertujuan untuk membangun apresiasi
kerja. Apresiasi kerja ditunjukkan oleh indikator; memahami, menghayati,
menyenangi, dan menghargai bidang pekerjaan.
d. Pembiasaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus, sehingga menjadi suatu
rutinitas atau perilaku yang membudaya dan menjadi karakter yang baik dalam perilaku kerja. Budaya kerja, ditunjukkan oleh
indikator sikap kerja 5R, berorientasi pada kualitas, budaya just in-time, budaya bekerja jujur, dan
bekerjasama.
e. Refleksi merupakan tahap yang menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup yang
memungkinkan siswa dapat menyadari apa yang telah diperoleh dan dilakukan serta
merenungkan apa yang telah dipelajarinya
sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri.
Bentuk pembinaan karakter kerja di SMK dengan penerapan kaizen, QC, dan JIT akan
semakin luas dibutuhkan penggunaannya karena semua aspek produksi pada saat ini
tidak hanya didasarkan pada kualitas dan kuantitas, melainkan juga standar
waktu yang dapat memenuhi kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Dunia industri selalu berlomba-lomba untuk menekan lead
time dengan menggunakan berbagai metode.
Metode yang bisa diimplementasikan pada konsep lead
time adalah:
(a) Poka yoke atau error proofing, yaitu
mencegah sebuah kesalahan sebelum kesalahan itu terjadi. Dalam hal ini
diperlukan soft skills seperti
teliti, disiplin, percaya diri, kejujuran, dan tanggung jawab.
(b) Line balancing, yaitu menyeimbangkan aliran
produksi komponen produk pada setiap stasiun kerja berdasarkan waktu proses dan
kebutuhan. Untuk itu, diperlukan soft
skills mental kerja yang stabil dan tangguh, karena proses produksi
berdasarkan target waktu, kuantitas, dan kualitas yang dijaga ketat terus
berjalan secara berkelanjutan.
(c) Ergonomi dan K3, yaitu mengupayakan supaya
tercipta suasana kerja yang ENASE (Efektif, Nyaman, Aman, Sehat serta Efisien).
Dalam hal ini diperlukan soft skills komunikasi, kerjasama,
kompetisi yang sehat, dan kepemimpinan.
(d) Sikap kerja 5S (Seiri/Sort,
Seiton/Set in order, Seiso/Shine, Seiketsu/ Standardize, Shitsuke/Sustain)
di dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai 5R (Resik, Rapi, Ringkas, Rawat, dan
Rajin). Maka diperlukan soft skills disiplin, tanggung jawab,
dan patuh pada aturan.
(e) Just in Time (JIT), yaitu upaya untuk
memproduksi produk sesuai dengan jumlah dan waktu yang dibutuhkan. Maka
diperlukan soft skills percaya akan
kemampuan diri, disiplin, tanggung jawab, keuletan, dan ketahanan mental.
Gerakan 5S merupakan semboyan kerja masyarakat jepang
yang diambil dari huruf awal, yaitu: Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan
Shitsuke. Istilah ini di Indonesia sering juga disebut dengan
5 R (ringkas, resik, rapih, rawat, dan rajin) atau 5P (pemilihan, penataan, pembersihan, pemantapan dan pembiasaan (http://garment-techno.blogspot.com/2010/02/6-s.html)
Pembentukan
budaya kerja bukanlah sesuatu yang instan, dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
menjadi budaya. Manfaat menerapkan
sikap kerja 5S dalam kehidupan bekerja, yaitu terjaminnya keamanan, keselamatan, kesehatan, dan
kenyamanan dalam melakukan pekerjaan, efisiensi kerja, dan peningkatan kualitas
produk. Sehingga banyak perusahaan-perusahaan yang mengadopsi dan menggunakan
prinsip kaizen dengan 5S.
Meskipun konsep kerja
kaizen lebih banyak diterapkan pada area kerja di industri, namun untuk
membekali kesiapan kerja siswa maka kebiasaan dalam menyelesaikan tugas-tugas
pembelajaran dengan menerapkan konsep kaizen
dapat diimplementasikan dalam pembelajaran praktik. Hal ini dimaksudkan agar
siswa memiliki mental kerja yang terlatih dengan selalu berorientasi pada
kualitas, waktu, dan layanan.
1.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian pengembangan (Research &
Development). Metode penelitian pengembangan memuat 3 komponen utama yaitu
: (1) Model pengembangan, (2) Prosedur pengembangan, dan (3) Uji coba produk (Depdiknas-Puslitjaknov, 2008: 8). Model pengembangan menggunakan mix dari Fred dan Borg & Gall dimodifikasi menjadi metode FBG
(Fred, Borg, and Gall) dapat dilihat
pada gambar 3 berikut:
Model pengembangan dari Fred (2001)
memiliki beberapa kelebihan, antara lain; (1) dikembangkan
berdasarkan strategis manajemen yang mengacu pada peningkatan kualitas input, proses, dan output pendidikan dan relevansinya
dengan kebutuhan dunia kerja; (2) data perencanaan dan operasional dalam
menetapkan formula diperoleh melalui tiga tahap penelitian, sehingga informasi
sangat akurat. Peneliti melakukan penyesuaian beberapa
tahapan dalam metode Fred (2001) dengan Borg and Gall (1983) yang disesuaikan
dengan penelitian ini.
1) Tahap pra-pengembangan
Kegiatan yang
dilakukan pada
tahap pra-pengembangan antara lain: (a) survei ke industri garmen yang ada di kawasan industri
Sukoharjo-Solo dan Bawen Semarang untuk mengidentifikasi karakter kerja yang perlu dikembangkan. Selanjutnya merancang pengembangan karakter kerja untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK
agar sesuai dengan kualifikasi kerja yang dibutuhkan industri. Kemudian disusun suatu strategi untuk merealisasikan
rancangan yang telah dibuat pada fase desain,
meliputi: (1)
menyusun prosedur yakni urutan atau tahapan pelaksanaan model; (2)
menentukan strategi penyampaian seperti
peran dan tugas guru yang harus dilakukan dalam pembelajaran praktik; (3)
memberikan gambaran kepada guru bagaimana mengintegrasikannya dalam pembelajaran
praktik;
(4) menentukan sistem pendukung, yakni syarat/kondisi yang diperlukan agar
model yang dirancang dapat terlaksana.
2) Tahap Pengembangan
Ujicoba model yang
menjadi rangkaian pengembangan ditempuh melalui 3 tahapan kegiatan, yakni: (1)
ujicoba perorangan dan review ahli, (2) ujicoba kelompok terbatas; dan (3)
ujicoba diperluas untuk validasi/ujicoba lapangan. Tahapan ujicoba diadaptasi
dari Tessmer (1993). Hasil dari langkah uji perorangan dan review ahli berupa bahan informasi untuk revisi prototipe
pengembangan, kemudian dilakukan revisi. Prototipe yang telah direvisi, diuji
lebih lanjut kepada kalangan terbatas atau sekelompok kecil pengguna dalam
situasi nyata dan fase ini disebut dengan uji kelompok kecil.
Subyek penelitian adalah
siswa SMK program keahlian tata busana tingkat 1 dan 2, sedangkan pelaksana
intervensi adalah guru pengampu pembelajaran praktik. Instrumen penelitian yang
dipersiapkan dan dikembangkan sebagai pengumpul data dalam penelitian terbagi
dalam dua kelompok, yakni: (a) Perangkat pengembangan karakter kerja, dan (b)
Instrumen Penelitian. Validitas instrumen yang berbentuk format validasi,
lembar observasi, dan angket hanya dinilai validitas teoritisnya melalui
penilaian ahli/pakar yang dipandang layak untuk memberikan penilaian terhadap
aspek-aspek yang tercantum dalam instrumen tersebut. Aspek-aspek yang dinilai
pada umumnya terdiri atas petunjuk, isi, bahasa, dan format. Selanjutnya untuk
mengukur tingkat kesepakatan antar penilai (inter-rater reliability) terhadap
instrument penelitian, dianalis dengan percentages
of agreements (Grinnell, 1988: 160).
Validitas konstruk
instrument penelitian diuji dengan menggunakan Confirmatory factor analysis (CFA) dengan 0,3
(cohen, 2005: 216). Reliabilitas instrument ditunjukkan dengan Cronbach’s Alpha, dan dianggap reliable
jika 0,7
(Yafee, 2003: 14, Garson, 2008: 3). Uji model dilakukan dengan menggunakan CFA
dengan bantuan software LISREL. CFA
digunakan untuk mengkonfirmasi fakktor yang membentuk konstruk soft skills. Konstruk yang dibentuk
perlu dinyatakan apakah telah sesuai dengan data dengan bantuan teknik CFA.
Model dianggap fit jika p-value dan RMSEA
(Mueller, 1996: 163).
1. Hasil
Penelitian dan Pembahasan
a. Tahap Pra-Pengembangan
Identifikasi karakter kerja dianalisis dari hasil survei industri
garmen yang ada di kawasan Sukoharjo-Solo, Bawen dan Ungaran Semarang Propinsi
Jawa Tengah.. Survei dilakukan dengan wawancara, observasi, dan cheklist pada manajer Human Resources
Development (HRD) dan beberapa orang supervisor pada bagian produksi. Berikut
disajikan hasil survei terhadap kebutuhan karakter kerja untuk pekerja di
bagian produksi industri garmen.
Gambar
5 di atas menunjukan adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan karakter
kerja lulusan SMK, di mana nilai kesenjangan tertinggi berturut-turut pada
atribut percaya diri, semangat, kepemimpinan, dan daya saing maka diasumsikan
bahwa siswa SMK masih perlu ditingkatkan untuk bisa bekerjasama, beradaptasi,
lebih patuh pada instruksi dan aturan kerja. Maka karakter kerja untuk level
operator yang harus dikembangkan di SMK merujuk pada kebutuhan pekerjaan sesuai
bidang dan levelnya.
a.
Tahap
Pengembangan
Validasi model yang
digunakan adalah Focus Group Discussion
(FGD) dan teknik Delphi yang dilakukan dengan beberapa pakar pendidikan
kejuruan dan pakar pendidikan tata busana. Hasil yang diperoleh dari tahap FGD
meliputi: (1) disepakati pengembangan karakter kerja berbasis industri yang
terintegrasi dalam pembelajaran praktik; (2) disepakati perangkat pengembangan
karjain; (3) disepakati karakter kerja yang paling penting dikembangkan; dan
(4) terkumpul indikator dari setiap atribut. Banyaknya atribut yang
dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek kajian teoritis dan kemampuan guru
dalam melaksanakannya, serta kemampuan diri peneliti.
Expert judgment dengan teknik Delphi ini dilakukan dengan beberapa pakar pendidikan
kejuruan dan pakar pendidikan tata busana. Keefektifan model karjain dianalisis
dari dimensi pembentuk karakter kerja,
yaitu: komitmen kerja, etos kerja,
budaya bekerja, apresiasi kerja, motivasi kerja, dan kesiapan kerja. Aspek
efektivitas yang dikaji adalah: (1) intensitas, model dibuat sesuai dengan
kemampuan siswa, lingkup kompetensi, dan menekankan pada keterampilan proses
dengan indikator tertentu; (2) objektif, model dapat membangun karakter kerja siswa; (3) praktis, yaitu
mudah digunakan untuk mengembangkan karakter
kerja siswa sesuai dengan jam pembelajaran praktik; (4) sistematis, yaitu
dapat digunakan secara terus menerus dalam pembelajaran praktik; dan (5)
efisien, yaitu mudah digunakan dan tidak membutuhkan dana yang besar. Berikut
gambaran hasil teknik Delphi ke 2 yang diperoleh tingkat efektivitas sebagai
berikut
Kegiatan
validasi konseptual (review) terhadap prototipe awal model karjain dan
instrumen-instrumen penelitian melibatkan 4 orang ahli yang dibekali dengan
Buku Panduan Pengembangan dan instrumen beserta lembar penilaiannya.
c. Tahap Penerapan Model
Model yang
telah dihasilkan selanjutnya dilakukan serangkaian uji coba, untuk menguji
bahwa hasil validasi para ahli dan praktisi pendidikan terhadap model yang
dikembangkan didukung oleh data empiris di lapangan hingga diperoleh model-karjain yang memenuhi kriteria valid, praktis, dan
efektif.
1. Uji Coba Model
a) Ujicoba Perorangan (One-to-one)
Melalui
ujicoba ini diharapkan dapat diidentifikasi permasalahan yang dapat menghambat
keterlaksanaan model-karjain, seperti keterbacaan, penggunaan bahasa, serta
waktu yang diperlukan oleh guru dan
siswa dalam menggunakan perangkatnya. Berdasarkan hasil dari uji coba
perorangan maka diperoleh masukan sebagai berikut: instruksi kerja cukup jelas dan membantu
pengerjaan tugas; dapat mendisiplinkan diri dalam mengerjakan
tugas; target kerja membantu semangat dan motivasi
kerja; kolom isian waktu terlalu mendetail. Hasil
ujicoba perorangan diperlukan revisi pada format worksheet disederhanakan dan bahasa instruksinya lebih diperjelas.
b) Ujicoba Terbatas
Proses
ujicoba melalui pembelajaran praktik di SMK 2 Godean Sleman melaksanakan
skenario yang telah dirancang. Hasil pengamatan keterlaksanaan dimensi karjain menunjukkan
semua tahap dapat memenuhi dimensi pengembangan karakter kerja dengan
terlaksana dan sangat terlaksana. Hasil penilaian secara umum terhadap tahapan
penerapan model perlu revisi kecil.
Gambar
6. Efektivitas Tahapan Model-karjain
Pada Ujicoba Terbatas
Indikator keefektifan
dilihat dari aspek: intensitas, yaitu mencakup kompetensi, dan menekankan pada
pembelajaran afektif; objektive, yaitu model dapat digunakan untuk
mengembangkan karakter kerja siswa sesuai dengan tingkat
kemampuan siswa; efisien, yaitu menggunakan waktu pembelajaran
praktik, dan tidak memerlukan dana tambahan lain; sistematik, model dapat digunakan secara
kontinu pada setiap pembelajaran praktik; dan praktis, model sekaligus dapat digunakan
memantau atau merekam proses pembelajaran praktik terkait dengan aspek hard skills. Hasil pengamatan
keefektifan model dinilai dari tahapan pelaksanaan model, digambarkan sebagai
berikut.
Hasil
ujicoba terbatas menunjukkan bahwa komponen model secara efektif terlaksana
dengan baik dan efektif digunakan untuk mengembangkan karakter kerja siswa SMK
program keahlian tata busana. Sedangkan Hasil pengamatan keefektifan model yang
dinilai dari aspek: rencana pembelajaran (RPP) dan perangkat worksheet. Hasil ujicoba terbatas
menunjukkan bahwa tingkat efektivitas komponen model efektif digunakan dalam
pembelajaran praktik di SMK, sehingga efektif digunakan untuk mengembangkan
karakter kerja siswa SMK program keahlian tata busana digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 7. Efektivitas Komponen Model karjain Pada
Ujicoba Terbatas
c)
Hasil
Ujicoba Diperluas
Hasil pengamatan
keterpenuhan dimensi karjain pada ujicoba diperluas, dijabarkan sebagai
berikut:
Tabel
1
Pengamatan Keterpenuhan Dimensi karjain dalam Pembelajaran Praktik
No
|
Dimensi karakter
kerja
|
Tingkat Keterlaksanaan
|
|||||||
ST
|
%
|
T
|
%
|
KT
|
%
|
TT
|
%
|
||
1
|
Komitmen kerja
|
13
|
36,1
|
23
|
63,9
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
Etos Kerja
|
16
|
33,3
|
32
|
66,7
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
Apresiasi Kerja
|
12
|
28,6
|
30
|
71,4
|
0
|
0
|
0
|
0
|
4
|
Budaya Kerja
|
14
|
18,0
|
62
|
78,2
|
3
|
3,8
|
0
|
0
|
5
|
Kesiapan Kerja
|
10
|
23,8
|
31
|
73,8
|
1
|
2,4
|
0
|
0
|
Ket: ST=Sangat Terlaksana, T=Terlaksana, KT=Kurang terlaksana,
TT=Tidak terlaksana
Tabel 1 menunjukkan bahwa
tahap pengembangan karakter kerja pada umumnya dapat memenuhi dimensi komitmen
kerja, etos kerja, apresiasi kerja, budaya kerja, dan kesiapan kerja. Dua
responden menyatakan perlu revisi kecil pada sub indikator setiap dimensi
terlaksana. Sedangkan hasil pengamatan keefektifan model yang dilakukan 6
pengamat pada 3 kelas yang berbeda diperlihatkan pada tabel 4 berikut:
Tabel
2
Hasil Efektivitas
Tahap Model-SSW pada ujicoba diperluas
No
|
Tahap karjain
|
Tingkat Efektivitas
|
Rerata
|
||||
Intens
|
Objektif
|
Praktis
|
Sistematis
|
Efisien
|
|||
1
|
Komitmen kerja
|
3,4
|
3,4
|
3,2
|
3,3
|
3,2
|
3,3
|
2
|
Simulasi kerja
|
3,5
|
3,4
|
3,2
|
3,4
|
3,2
|
3,34
|
3
|
Apresiasi kerja
|
3,4
|
3,4
|
3,4
|
3,3
|
3,4
|
3,38
|
4
|
Pembiasaan bekerja
|
3,6
|
3,4
|
3,4
|
3,1
|
3,4
|
3,38
|
5
|
Refleksi
|
3,2
|
3,2
|
3,2
|
3
|
3,2
|
3,16
|
Tahap Model-karjain efektif digunakan dalam pengembangan karakter
kerja siswa dalam pembelajaran praktik di SMK dengan rerata tingkat efektivitas
3,3. Hasil analisis keefektifan komponen model karjain digambarkan pada grafik
berikut.
Hasil ujicoba diperluas
menunjukkan bahwa tingkat efektivitas tahap model efektif dalam pembelajaran
praktik di SMK. Demikian pula komponen model terlaksana secara efektif dalam
pembelajaran praktik, dan efektif digunakan mengembangkan karakter kerja siswa
SMK.
a)
Hasil Pengujian Instrumen
1) Validitas Internal
Evaluasi
terhadap kemampuan manifes dalam merefleksikan laten diuji dengan confirmatory factor analysis (CFA). Manifes
laten percaya diri memiliki nilai lambda sebesar 0.68 dan t-hitung 5.39 kuadrat
lambda 0.68²=46.24% menjelaskan kontribusi dalam mencerminkan kepercayaan diri.
Sedangkan perolehan t-hitung>1.96 menandakan signifikan (Imam Ghozali, 2005: 318). Sehingga
manifes pertama dinyatakan valid dengan sumbangan 46.24%. Manifes dalam laten
lainnya juga dinyatakan valid yang ditandakan oleh t-hitung >1.96. Berarti semua manifes yang digunakan untuk
merefleksikan laten terbukti dapat berfungsi dengan baik, sehingga tidak
dilakukan penghilangan atau penggantian manifes dalam kuesioner.
2) Reliabilitas Konstruk
Hasil perhitungan koefesien
reliabilitas variabel kepercayaan diri diperoleh nilai sebesar 0.744, perolehan
≥0.7 menandakan bersifat unidimensi atau memiliki reliabelitas konstruk yang
dapat diterima. Manifes variabel laten lainnya juga memiliki koefesien
reliabilitas konstruk ≥0.7, menandakan bersifat unidimensi sehingga dinyatakan
reliabel.
3)
Variabel Eksogen
Gambar 9. Histogram Komparasi Rerata Eksogen
Variabel
komitmen kerja dan apresiasi kerja juga memiliki karakteristik sebaran dengan
mayoritas kategori tinggi, pada komitmen sebanyak 65.57%, dan apresiasi kerja
sebanyak 62.30%. Dengan demikian
motivasi, komitmen dan apresiasi kerja, tidak saja direspon tinggi secara
agregat, melainkan juga secara individupun siswa memberikan tanggapan yang
tinggi. Sedangkan
dalam variabel etos kerja dan budaya kerja mayoritas terkategorisasi cukup,
sebanyak 67.21% dalam variabel etos kerja, dan 52.46% dalam budaya kerja.
d). Variabel
Endogen
Ada
dua belas aspek yang merefleksikan kesiapan kerja. Sekor tertinggi (> 3)
terjadi dalam aspek percaya diri, disiplin, dan daya saing. Untuk aspek dengan
skor lebih dari 3 mengindikasikan respon yang tinggi dari siswa, sedangkan
aspek lain dengan sekor kurang dari 3 mengindikasikan respon diatas moderat.
Semua aspek tersebut sebagai kesatuan kesiapan kerja memiliki skor sebesar 2.89, cukup kuat untuk diterima sebagai indikasi kesiapan
kerja yang sudah cukup baik.
Secara
individu dari 122 partisipan diketahui mayoritas memiliki kesiapan kerja
terkategorisasi cukup dengan jumlah mencapai 68.03%, terbesar berikutnya
terkategorisasi kurang sebanyak 16.39%, kemudian tinggi sebanyak 13.93% dan rendah 1.64%.
1)
Hasil Validasi
Data
1.
Normalitas
Bentuk
distribuasi data primer dievaluasi dengan uji kai kuadrat, untuk variabel
motivasi kerja diperoleh koefesien sebesar 0.047 dengan probabilitas 0.98,
perolehan p ≥ 0.05 menandakan data berdistribusi normal. Kenormalan ini penting
karena berarti hasil ananlisis terhadapnya dapat digeneralisasikan kepada
populasi, dan juga dapat digunakan statistik parametrik sebagai alatnya.
2.
Multikolinieritas
Evaluasi untuk melihat kekuatan hubungan
antar eksogen tersebut dilakukan dengan uji korelasi produk momen, besar
korelasinya < 0.8. Kecilnya kofesien korelasi itu menunjukan hubungan antar
eksogen tidak kuat, sehingga dinyatakan tidak terjadi multikolinieritas (Gujarati,
1995).
3.
Outlieritas
Secara relatif selalu
ditemukan adanya nilai data yang jauh dari reratanya atau oulier. Keberadaannya
menyebabkan kualitas data menurun dan distribusinya tidak normal. Hasil normal
dalam pengujian sebelumnya menandakan outlieritas yang ada masih dapat
ditoleransi karena tidak menyebabkan data tidak normal.
4. Kesesuaian model
Hubungan antar variabel dalam model yang
telah mengalami perbaikan diperlihatkan dalam gambar di bawah. Secara
struktural tidak dilakukan perubahan terhadap variabel utama yang
dihipotesakan, perubahan hanya pada variabel error dari manifes endogen. Nilai
chi square setelah perbaikan model
menjadi 117.16 dengan probabilitas (p) sebesar 0.161, perubahan
probabilitas (p) menjadi lebih dari 0.05 menandakan tidak lagi terjadi
perbedaan signifikan antara kovarian
sampel dengan kovarian yang estmasi, berarti model yang diajukan mendapat
dukungan kuat dari sampel untuk menjelaskan estimasi atau populasi (Barbara,
1996:748).
tabel tabel tabel
Tabel 4. Hasil
Goodness of Fit Index Model Setelah Perubahan
No
|
Index
|
Cut
of Value
|
Hasil
|
Keterangan
|
1
|
Kai Kuadrat (p)
|
Kecil (p > 0.05)
|
117.16 (p=0.161)
|
Terpenuhi
|
2
|
CFI
|
≥ 0.90 (max 1)
|
0.990
|
Terpenuhi
|
3
|
GFI
|
≥ 0.95 (max 1)
|
0.897
|
Moderat
|
4
|
AGFI
|
≥ 0.95 (max 1)
|
0.847
|
Moderat
|
5
|
RMSEA
|
≤ 0.08 (Min 0)
|
0.034
|
Terpenuhi
|
Sumber : Hasil pengujian SEM
1)
Hasil Uji Struktural
Fungsi pertama menjelaskan bahwa budaya
kerja siswa dapat dijelaskan oleh eksogennya (motivasi, komitmen, etos dan
apresiasi). Koefesien positif beta menunjukan bila variabel eksogen dapat
dikelola dengan baik sehingga meningkat, maka dapat mendorong budaya kerja
siswa menjadi lebih baik. Semua
variabel eksogen memiliki t-value>1.96,
menandakan signifikan dalam mempengaruhi budaya kerja.
Tabel 5. Fungsi dalam model karjain
Fungsi
|
Endogen
|
Eksogen
|
β
|
β
²
|
t-val
|
Ket*
|
1
|
Budaya Kerja (z)
|
Motivasi kerja (x1)
|
0.3176
|
10.09
|
2.6946
|
Sig
|
Komitmen kerja (x1)
|
0.3528
|
12.45
|
2.7074
|
Sig
|
||
Etos kerja (x1)
|
0.7264
|
52.77
|
3.0143
|
Sig
|
||
Apresiasi kerja (x1)
|
0.2625
|
6.89
|
2.5550
|
Sig
|
||
2
|
Kesiapan Kerja (y)
|
Budaya Kerja (z)
|
0.9833
|
96.68
|
2.9589
|
Sig
|
* T-val ≥ 1.96 : Signifikan Sumber : Hasil
pengujian SEM
Kontribusi paling
besar dalam mempengaruhi adalah etos kerja disusul kemudian oleh variabel
komitmen kerja, motivasi kerja dan terakhir apresiasi kerja. Model yang dikembangkan menempatkan
variabel budaya kerja sebagai variabel perantara dari motivasi, komitmen, etos
dan apresiasi kerja. Hasil pengujian ditampilkan dalam tabel 5 berikut. Analisis terhadap kemampuan budaya kerja
sebagai interveaning dapat dilakukan melalui hasil signifikan eksogen terhadap
budaya kerja, dan budaya kerja terhadap komitmen kerja. Semua hubungan antar variabel adalah signifikan, berarti budaya kerja
terbukti mampu menjadi interveaning dalam model.
a) Sintaks Model-Karjain
Model
pengembangan karakter kerja yang terintegrasi dalam pembelajaran praktik
merupakan model pembelajaran yang mengadopsi sistem kerja yang digunakan di
industri sebagai dasar dalam mempersiapkan siswa untuk memasuki dunia kerja
yang sesungguhnya. Sintaks model karjain merupakan penjabaran dari
prinsip-prinsip dan strategi yang mendasari pengembangan karakter kerja. Sintaks
dari model-karjain dijabarkan pada tabel
6 berikut:
Tabel 6
Sintaks
Model-Karjain
No
|
Tahapan
|
Kegiatan
|
1
|
Komitmen kerja
|
·
Guru memulai pembelajaran
tepat waktu
·
Guru menerapkan 5R (resik,
rawat, rapih, ringkas, dan rajin)
·
Guru menjelaskan tujuan
pembelajaran
·
Guru menjelaskan
kompetensi yang harus dicapai
·
Guru menjelaskan sistem
kerja dan aturan kerja
|
2
|
Simulasi kerja
|
· Guru bertindak sebagai supervisor yang mengawasi, membimbing,
mengarahkan, dan mengendalikan proses kerja siswa
· Siswa mengerjakan tugas dengan menggunakan worksheet
· Guru memotivasi kerja siswa
|
3
|
Pemaknaan kerja
|
· Guru melakukan quality
control pada hasil kerja siswa
· Siswa memperbaiki kesalahan kerja
· Guru memberi catatan dan komentar pada worksheet
· Siswa memperbaiki kesalahan kerja
|
4
|
Pembiasaan bekerja
|
·
Siswa terbiasa melakukan
5R tanpa disuruh
·
Siswa terbiasa mengontrol
kualitas setiap elemen kerja
·
Siswa terbiasa menyelesaikan
tugas tepat waktu sesuai target kerja
|
5
|
Refleksi
|
·
Guru menampilkan hasil
kerja siswa pada setiap akhir pembelajaran
·
Guru menampilkan profil
perilaku dan cara kerja siswa pada setiap akhir pembelajaran
|
Dengan
demikian seorang guru yang memiliki komitmen dan mindset tentang pentingnya karakter kerja bagi siswa SMK, akan
memainkan peranannya sebagai supervisor, model, dan evaluator.
1.
Kesimpulan
a. Teridentifikasi karakter kerja yang dibutuhkan industri melalui
pendekatan demand driven.
Karakter kerja yang harus dimiliki lulusan SMK
meliputi; sikap
kerja kaizen (5R: Resik, Rawat, Ringkas, Rapi, dan
Rajin), just in time (JIT), dan quality control (QC).
b. Model karjain valid
dan reliabel mengembangkan soft skills
siswa SMK
berdasarkan analisis data:
1)
Hasil pengujian struktural menemukan hubungan signifikan antar variabel motivasi kerja, komitmen kerja, etos kerja dan apresiasi kerja
yang mempengaruhi kesiapan kerja dengan budaya kerja sebagai interveaning. Hubungan antar variabel motivasi,
komitmen, etos kerja dan apresiasi sebagai eksogen
kesiapan kerja dengan interveaning budaya kerja.
2)
Variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap pengembangan soft
skills siswa sebagai produk karjain adalah sebagai berikut:
a)
Motivasi kerja memberi pengaruh signifikan terhadap budaya kerja siswa
(β = 0.3176, t-val = 2.694)
b)
Komitmen kerja memberi pengaruh signifikan terhadap budaya kerja siswa
(β = 0.3528, t-val = 2.7074)
c)
Etos kerja memberi pengaruh signifikan terhadap budaya kerja siswa (β =
0.7264, t-val = 3.0143)
d)
Apresiasi kerja memberi pengaruh signifikan terhadap budaya kerja siswa
(β = 0.2625, t-val = 2.5550)
e)
Budaya kerja memberi pengaruh signifikan terhadap kesiapan kerja siswa
(β = 0.9833, t-val = 2.9589)
f)
Budaya kerja merupakan intervening dari variabel motivasi, komitmen, etos
dan apresiasi kerja siswa terhadap kesiapan kerja.
c. Model-Karjain cocok digunakan mengembangkan karakter kerja
siswa SMK ketika diintegrasikan dalam pembelajaran praktik, dengan nilai p-value 0f 0.161 > α =
0.05 dan hasil goodness
of fit index; RMSEA = 0.034 < 0.08, CFI = 0.990>
0.90, dan AGFI = 0.847
< 0.95, yang menunjukkan data empiris yang diperoleh tidak jauh
berbeda dengan teori yang telah dibangun berdasarkan structural equation modelling, berarti model fit digunakan mengembangkan karakter kerja siswa SMK
program keahlian tata busana.
2.
Rekomendasi dan
Saran
a. Kepada pihak penentu kebijakan Kementrian Pendidikan Nasional yang
terkait dengan pendidikan kejuruan dalam hal ini SMK yang bersangkutan senantiasa melakukan survei kebutuhan tenaga kerja secara instensif dan periodik untuk
merealisasikan paradigma SMK melalui demand
driven,
sehingga dapat ditemukan key indicator
yang tepat untuk dikembangkan
dalam proses pembelajaran di SMK karena
pendidikan yang berbasis demand driven
lentur terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
b. Kepada pengelola pendidikan kejuruan, untuk mengatasi
kesenjangan lulusan SMK dengan kebutuhan tenaga kerja di industri sehingga demand tenaga kerja dari industri dapat
terpenuhi, maka perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut: posisi tenaga kerja lulusan SMK di dunia
kerja sesuai kualifikasi kerja nasional Indonesia (SKKNI), dan sistem kerja
yang digunakan di industri sesuai bidang keahlian dan level kualifikasi
kerjanya, karena masing-masing bidang keahlian dan level atau posisi pekerja di
industri menuntut karakter kerja yang spesifik.
Daftar Pustaka Acuan:
Borg, W.R., & Gall M.D. (1983). Educational research. New York & London: Longman
Dedi Supriadi. (2002). Sejarah pendidikan teknologi dan kejuruan di Indonesia. Jakarta: Depdiknas Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Doni Koesoema, A.
(2007). Tiga Matra Pendidikan Karakter. Dalam Majalah BASIS,
Agustus-September 2007.
Gujarati, Damodar. (1995). Basic econometrics. New york: McGraw-Hill,Inc
Imam Ghozali & Fuad.
(2008). Struktural equation modeling. Semarang: Badan Peneribit-UNDIP
Imai, Masaaki (1998). Gemba
kaizen. Pendekatan akal sehat, berbiaya rendah pada manajemen. (terjemahan:
kristianto Jahja). Jakarta: Putaka Binaman Pressindo
Natalie M. Ferry, et.al. (2002). Character at Work. Penn
State Cooperative Extension in Berks County.
(diambil pada tanggal 12 April 2010 dari http://extension.psu.edu/workforce/Materials/CharWorkActivities.pdf
Tessmer (1993) General Sequence of Formative Evaluations Types (diambil tgl. 22 Maret 2006 dari http://www.geocities.com/researchTriangle/ 8788/DR.html
No comments:
Post a Comment