Di era digital
yang serba cepat, banyak hal menjadi lebih mudah—termasuk urusan komunikasi.
Namun anehnya, bagi banyak anak muda dari Generasi Z (mereka yang lahir antara
pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an), menyatakan perasaan justru terasa
semakin sulit. Bukan karena mereka tidak tahu caranya, melainkan karena ada
banyak faktor sosial, psikologis, dan budaya digital yang membuat ungkapan
cinta menjadi hal yang rumit dan membingungkan.
1. Terlalu
Banyak Pilihan, Terlalu Sedikit Keberanian
Aplikasi kencan seperti Tinder,
Bumble, dan lainnya telah menciptakan “pasar cinta” yang luas. Hanya dengan
satu sapuan jari, seseorang bisa menemukan ratusan profil menarik. Namun,
kemudahan ini justru menimbulkan paradoks: terlalu banyak pilihan membuat orang
sulit berkomitmen. Banyak Gen Z takut salah memilih, takut ditolak, atau bahkan
takut kehilangan peluang yang lebih baik. Akibatnya, mereka menahan perasaan
dan memilih untuk “melihat dulu bagaimana” ketimbang jujur sejak awal.
2. Takut
Ditolak dan Overthinking
Budaya digital membuat segala
sesuatu mudah terdokumentasi. Penolakan pun terasa lebih “publik”. Pesan tidak
dibalas, status berubah, atau story yang diabaikan—semua bisa menjadi bentuk
penolakan yang terlihat jelas. Bagi Gen Z yang tumbuh dengan media sosial, hal
ini bisa sangat memalukan dan menguras emosi. Mereka jadi lebih banyak berpikir
sebelum bertindak, menimbang-nimbang setiap kata, bahkan menulis dan menghapus
pesan pengakuan berkali-kali.
3. Terlalu
Bergantung pada Dunia Maya
Ironisnya, meskipun Gen Z
paling aktif berkomunikasi secara daring, banyak di antara mereka yang
kesulitan saat harus berbicara tatap muka. Percakapan langsung membutuhkan
keberanian, kontak mata, dan ekspresi emosi yang nyata—hal-hal yang tidak bisa
disembunyikan di balik layar. Akibatnya, banyak yang lebih nyaman
mengekspresikan perasaan lewat meme, emoji, atau story ambigu ketimbang
mengatakan “aku suka kamu” secara langsung.
4. Standar
Sosial yang Meningkat
Media sosial juga menciptakan
standar hubungan yang tinggi. Melihat pasangan lain pamer kemesraan di
Instagram atau TikTok sering membuat seseorang merasa hubungannya belum cukup
sempurna. Maka, sebelum menyatakan perasaan, banyak Gen Z lebih dulu merasa
minder—takut tak cukup menarik, tak cukup mapan, atau tak sebaik “pasangan
ideal” yang mereka lihat di dunia maya.
5. Trauma
dan Sikap “Bodo Amat” yang Salah Kaprah
Banyak anak muda sekarang
memilih bersikap santai atau “cuek” sebagai bentuk perlindungan diri. Setelah
mengalami ghosting atau patah hati, mereka menutup diri dan berpura-pura tak
peduli. Padahal, di balik sikap “bodo amat” itu, sering kali tersimpan
ketakutan mendalam untuk terluka lagi. Sikap ini mungkin terlihat kuat, tapi
sebenarnya justru membuat mereka makin sulit terbuka secara emosional.
Menemukan Keberanian untuk Jujur
Menyatakan perasaan memang tidak mudah, apalagi di tengah
budaya digital yang serba cepat dan penuh tekanan sosial. Namun, kejujuran
tetap kunci dari hubungan yang sehat. Tidak perlu menunggu semuanya
sempurna—cukup mulai dengan keberanian kecil untuk jujur pada diri sendiri dan
orang lain. Karena pada akhirnya, yang membuat hubungan bermakna bukanlah
jumlah like di media sosial, tapi keberanian untuk saling terbuka dan apa
adanya.
—







No comments:
Post a Comment