Di Balik Senyum Palsu Medsos: Mengapa Rojali dan Rohana Semakin Banyak?

 


Di era digital seperti sekarang, media sosial bukan hanya ruang untuk berbagi, tetapi juga panggung untuk membangun citra diri. Dari foto liburan mewah hingga outfit of the day serba branded, semuanya bisa tampak sempurna di layar. Namun, di balik pameran gaya hidup itu, muncul dua istilah yang belakangan makin populer: Rojali (Rombongan Jalan-jalan Lihat-lihat) dan Rohana (Rombongan Hanya Numpang Absen). Fenomena ini menggambarkan orang-orang yang tampil glamor di media sosial, tetapi kenyataannya sering berbeda jauh dari apa yang mereka posting. Lalu, mengapa tipe Rojali dan Rohana justru makin banyak?


Standar Hidup di Medsos Makin Tidak Realistis




Salah satu alasan paling kuat adalah meningkatnya standar kehidupan yang ditampilkan di media sosial. Setiap hari, pengguna disuguhi unggahan teman atau influencer yang hidupnya terlihat “sempurna”: makan di restoran mahal, liburan ke luar negeri, atau membeli barang branded terbaru. Tanpa sadar, banyak orang merasa perlu menampilkan hal serupa agar tidak kalah pamor.




Rojali dan Rohana muncul sebagai respons dari tekanan sosial ini. Mereka mungkin tidak benar-benar mampu atau tidak benar-benar menikmati momen tersebut, tetapi tetap merasa harus memposting sesuatu agar terlihat “ikut tren”. Alhasil, banyak unggahan yang sebenarnya hanya pencitraan—bukan representasi jujur dari kehidupan mereka.


Budaya FOMO yang Menggerogoti




Rasa takut ketinggalan atau FOMO (fear of missing out) menjadi pemicu besar lainnya. Ketika timeline penuh dengan foto liburan, acara bergengsi, atau aktivitas seru, sebagian orang merasa khawatir terlihat tidak sekeren orang lain.

Fenomena ini mendorong tumbuhnya Rojali dan Rohana: mereka mungkin ikut nongkrong sebentar hanya untuk foto, atau ikut pergi ke tempat tertentu tanpa benar-benar menikmati aktivitasnya. Yang penting dapat bahan konten. Kehadiran fisik sering bukan untuk bersenang-senang, tetapi sekadar untuk membuktikan bahwa mereka “ada di sana”.


Validasi Sosial dari Like dan Komentar




Media sosial memberikan dopamine instan lewat notifikasi. Satu postingan yang ramai like bisa memberikan rasa puas dan bangga. Itulah mengapa banyak orang semakin terikat pada kebutuhan akan validasi sosial.

Rojali dan Rohana sering kali memposting sesuatu bukan untuk berbagi cerita, tapi untuk mendapatkan pengakuan. Mereka ingin dianggap “wah”, padahal apa yang tampak di feed hanyalah hasil editan, pencahayaan bagus, atau pose yang direncanakan berulang kali. Ketika validasi menjadi tujuan utama, keaslian perlahan hilang.


Tekanan Lingkungan dan Pergaulan




Dalam beberapa kasus, pergaulan atau lingkungan juga turut mendorong perilaku ini. Lingkungan yang kompetitif—baik di dunia kerja, kampus, atau komunitas tertentu—sering membuat seseorang merasa harus terlihat sukses.



Akhirnya, banyak orang yang memaksakan diri tampil mewah atau aktif di berbagai acara demi mempertahankan citra tersebut. Padahal, di balik layar, mereka bisa saja sedang berjuang menghadapi tekanan finansial, emosional, atau sosial. Fenomena Rojali dan Rohana menjadi semacam "tameng" untuk menyembunyikan ketidaknyamanan tersebut.


Kemudahan Teknologi Membuat Pencitraan Semakin Mudah



Teknologi editing foto dan video semakin canggih. Filter yang memuluskan wajah, aplikasi yang membuat tubuh terlihat lebih ideal, hingga AI yang mampu mengubah latar foto dalam hitungan detik semuanya tersedia secara gratis atau murah.

Kemudahan ini membuat setiap orang dapat menciptakan versi “ideal” dari dirinya. Tak heran, unggahan glamor semakin banyak, walau kenyataannya tidak seindah itu. Fenomena Rojali dan Rohana pun kian subur karena batas antara realita dan dunia digital menjadi makin tipis.


Penutup: Saatnya Lebih Jujur Pada Diri Sendiri




Fenomena Rojali dan Rohana mencerminkan kebutuhan manusia untuk diterima dan diakui. Namun, ketika pencitraan lebih dominan daripada kenyataan, itu bisa menimbulkan tekanan yang justru merugikan diri sendiri.




Tidak ada salahnya memposting hal-hal berkesan, tetapi penting untuk tetap jujur dan autentik. Kehidupan tidak harus selalu glamor untuk bisa dinikmati—kebahagiaan sering hadir dalam momen kecil yang tidak pernah masuk ke feed. Pada akhirnya, media sosial seharusnya menjadi tempat berbagi, bukan ajang perlombaan. Ketika kita mampu menikmati hidup apa adanya, tanpa perlu dibandingkan dengan feed orang lain, barulah kita benar-benar bebas dari bayang-bayang senyum palsu di dunia maya.

No comments:

Post a Comment