Di
era media sosial, siapa pun bisa terlihat glamor. Cukup dengan foto bagus,
caption meyakinkan, dan sedikit polesan filter, kehidupan yang biasa-biasa saja
bisa tampak luar biasa. Fenomena inilah yang kemudian melahirkan
istilah-istilah kreatif dari warganet, salah satunya Rojali dan Rohana. Meski terdengar kocak,
dua istilah ini menyimpan sindiran halus pada budaya pamer yang semakin marak
di dunia digital.
Ingin cuan dari Rumah? Baca Ebook ini
Apa Itu Rojali dan Rohana?
Pertama, mari kenalan dengan dua tokoh
fiktif yang belakangan sering jadi bahan obrolan:
·
Rojali
adalah singkatan dari Rombongan Jarang Liburan. Mereka
ini biasanya jarang bepergian, tapi begitu punya kesempatan sekali jalan,
langsung dipamerkan habis-habisan. Foto, video, hingga detail kecil seperti
tiket dan boarding pass, semua diposting agar orang tahu mereka sedang
traveling. Tidak jarang, satu momen liburan bisa jadi bahan konten
berbulan-bulan.
·
Rohana
adalah singkatan dari Rombongan Hanya Andalkan Nama.
Mereka lebih fokus pada “label” daripada kualitas sebenarnya. Contohnya,
membeli barang bermerek demi gengsi, walau kadang barangnya KW atau dibeli
dengan mengorbankan kebutuhan lain. Yang penting terlihat mewah, meski di balik
layar sebenarnya penuh trik dan drama finansial.
Kedua istilah ini hadir sebagai bentuk
satir—cara lucu masyarakat mengomentari perilaku pamer yang sering kita temui
di media sosial.
Budaya Pamer di Era Digital
Sebenarnya, keinginan untuk terlihat
baik di mata orang lain bukan hal baru. Dari dulu, manusia sudah punya
kecenderungan untuk menunjukkan status sosial, entah lewat pakaian, rumah, atau
kendaraan. Bedanya, media sosial kini membuat panggung itu jauh lebih luas.
Kita tidak hanya pamer pada tetangga
atau kerabat dekat, tapi pada ribuan bahkan jutaan orang. Hasilnya, ada semacam
“kompetisi tidak tertulis” untuk selalu tampak bahagia, sukses, dan kaya.
Di sinilah Rojali
dan Rohana menjadi relevan. Mereka seolah cermin bagi sebagian
orang yang rela memoles kenyataan agar terlihat lebih mengilap di layar ponsel.
Lucu Tapi Menggelitik
Mengapa istilah ini cepat populer?
Jawabannya sederhana: karena banyak yang merasa relate. Hampir semua orang
pernah melihat atau bahkan mengenal sosok Rojali dan Rohana di sekitar mereka.
Ada teman yang sekali liburan langsung update terus-menerus. Ada juga kenalan
yang pamer tas branded, padahal aslinya barang tiruan.
Lucunya, banyak orang juga bisa
bercermin dari istilah ini. Tanpa sadar, mungkin kita pun pernah jadi “Rojali”
atau “Rohana”. Misalnya, memajang foto liburan lama agar terlihat sibuk
jalan-jalan, atau menekankan merek suatu barang demi citra, bukan karena
benar-benar membutuhkannya.
Belajar dari Sindiran
Meski terdengar lucu, sebenarnya ada
pelajaran penting dari istilah ini. Pertama, kita diingatkan untuk lebih jujur
dalam menunjukkan kehidupan. Tidak perlu menutupi kekurangan atau berpura-pura
mewah. Justru keaslian sering lebih menarik daripada citra palsu.
Kedua, sindiran ini mengajak kita untuk
lebih bijak sebagai penonton media sosial. Jangan gampang iri atau terprovokasi
dengan tampilan glamor orang lain, karena kita tidak tahu kisah di balik layar.
Bisa jadi yang terlihat “wah” hanya hasil editan atau potret sekejap dari
kehidupan yang sebenarnya jauh dari sempurna.
Ketiga, jangan sampai kita terjebak
dalam budaya pamer yang menguras energi dan keuangan. Lebih baik fokus pada
kebahagiaan nyata, bukan sekadar validasi dari jumlah like dan komentar.