Showing posts with label Artikel bebas. Show all posts
Showing posts with label Artikel bebas. Show all posts

Rojali vs Rohana: Sindiran Lucu di Tengah Budaya Pamer





Di era media sosial, siapa pun bisa terlihat glamor. Cukup dengan foto bagus, caption meyakinkan, dan sedikit polesan filter, kehidupan yang biasa-biasa saja bisa tampak luar biasa. Fenomena inilah yang kemudian melahirkan istilah-istilah kreatif dari warganet, salah satunya Rojali dan Rohana. Meski terdengar kocak, dua istilah ini menyimpan sindiran halus pada budaya pamer yang semakin marak di dunia digital.

Ingin cuan dari Rumah? Baca Ebook ini

Apa Itu Rojali dan Rohana?

Pertama, mari kenalan dengan dua tokoh fiktif yang belakangan sering jadi bahan obrolan:

·         Rojali adalah singkatan dari Rombongan Jarang Liburan. Mereka ini biasanya jarang bepergian, tapi begitu punya kesempatan sekali jalan, langsung dipamerkan habis-habisan. Foto, video, hingga detail kecil seperti tiket dan boarding pass, semua diposting agar orang tahu mereka sedang traveling. Tidak jarang, satu momen liburan bisa jadi bahan konten berbulan-bulan.

·         Rohana adalah singkatan dari Rombongan Hanya Andalkan Nama. Mereka lebih fokus pada “label” daripada kualitas sebenarnya. Contohnya, membeli barang bermerek demi gengsi, walau kadang barangnya KW atau dibeli dengan mengorbankan kebutuhan lain. Yang penting terlihat mewah, meski di balik layar sebenarnya penuh trik dan drama finansial.

Kedua istilah ini hadir sebagai bentuk satir—cara lucu masyarakat mengomentari perilaku pamer yang sering kita temui di media sosial.


Budaya Pamer di Era Digital

Sebenarnya, keinginan untuk terlihat baik di mata orang lain bukan hal baru. Dari dulu, manusia sudah punya kecenderungan untuk menunjukkan status sosial, entah lewat pakaian, rumah, atau kendaraan. Bedanya, media sosial kini membuat panggung itu jauh lebih luas.

Kita tidak hanya pamer pada tetangga atau kerabat dekat, tapi pada ribuan bahkan jutaan orang. Hasilnya, ada semacam “kompetisi tidak tertulis” untuk selalu tampak bahagia, sukses, dan kaya.

Di sinilah Rojali dan Rohana menjadi relevan. Mereka seolah cermin bagi sebagian orang yang rela memoles kenyataan agar terlihat lebih mengilap di layar ponsel.

Lucu Tapi Menggelitik


Mengapa istilah ini cepat populer? Jawabannya sederhana: karena banyak yang merasa relate. Hampir semua orang pernah melihat atau bahkan mengenal sosok Rojali dan Rohana di sekitar mereka. Ada teman yang sekali liburan langsung update terus-menerus. Ada juga kenalan yang pamer tas branded, padahal aslinya barang tiruan.

Lucunya, banyak orang juga bisa bercermin dari istilah ini. Tanpa sadar, mungkin kita pun pernah jadi “Rojali” atau “Rohana”. Misalnya, memajang foto liburan lama agar terlihat sibuk jalan-jalan, atau menekankan merek suatu barang demi citra, bukan karena benar-benar membutuhkannya.

Belajar dari Sindiran



Meski terdengar lucu, sebenarnya ada pelajaran penting dari istilah ini. Pertama, kita diingatkan untuk lebih jujur dalam menunjukkan kehidupan. Tidak perlu menutupi kekurangan atau berpura-pura mewah. Justru keaslian sering lebih menarik daripada citra palsu.

Kedua, sindiran ini mengajak kita untuk lebih bijak sebagai penonton media sosial. Jangan gampang iri atau terprovokasi dengan tampilan glamor orang lain, karena kita tidak tahu kisah di balik layar. Bisa jadi yang terlihat “wah” hanya hasil editan atau potret sekejap dari kehidupan yang sebenarnya jauh dari sempurna.

Ketiga, jangan sampai kita terjebak dalam budaya pamer yang menguras energi dan keuangan. Lebih baik fokus pada kebahagiaan nyata, bukan sekadar validasi dari jumlah like dan komentar.




Fenomena Rojali vs Rohana memang lucu untuk dibahas, tapi sebenarnya juga menyimpan kritik sosial yang tajam. Ia mengingatkan kita bahwa di balik feed glamor media sosial, sering kali ada kepalsuan dan drama. Daripada sibuk jadi Rojali atau Rohana, lebih baik kita jadi diri sendiri. Toh, orang lain tidak hidup di dompet kita, bukan? Menikmati hidup dengan sederhana dan tulus kadang jauh lebih membahagiakan daripada sekadar mengejar citra yang rapuh. Jadi, lain kali kalau lihat postingan mewah di media sosial, coba tersenyum saja. Siapa tahu, itu hanya karya kreatif seorang “Rojali” atau “Rohana” yang sedang berusaha tampil keren. 

Catatan :
1. Naskah dibuat dengan bantuan Chat GPT
2. Gambar dari pinterest

Di Balik Feed Glamor: Mengupas Fakta Fenomena Rojali dan Rohana

 


Pernah dengar istilah Rojali dan Rohana? Dua kata ini belakangan sering muncul di media sosial, terutama saat orang membicarakan gaya hidup yang kelihatan serba mewah, tapi ternyata penuh trik di balik layar. Buat yang belum tahu, Rojali adalah singkatan dari Rombongan Jarang Liburan, sementara Rohana adalah Rombongan Hanya Andalkan Nama. Istilah ini muncul sebagai sindiran sekaligus candaan untuk fenomena flexing alias pamer gaya hidup glamor di dunia maya.

Dari Mana Asalnya Istilah Rojali dan Rohana?



Fenomena ini sebenarnya lahir dari kebiasaan anak muda (dan juga orang dewasa) yang ingin terlihat keren di media sosial. Rojali sering digambarkan sebagai kelompok orang yang jarang benar-benar liburan, tapi sekali jalan, langsung bikin dokumentasi seolah-olah traveling ke berbagai tempat. Kadang cukup dengan stok foto lama atau hasil jepretan di satu spot, lalu diunggah berkala agar terlihat sering jalan-jalan.



Sementara Rohana, biasanya dipakai untuk mereka yang suka menempel pada nama besar atau momen tertentu. Misalnya, hadir di acara bergengsi atau nongkrong di kafe hits sekali dua kali, tapi fotonya bisa jadi bahan pamer berulang-ulang. Dari luar terlihat “wah banget”, padahal kehidupan sehari-harinya tidak seindah feed yang ditampilkan.


Media Sosial dan Ilusi Kehidupan Mewah



Tak bisa dipungkiri, media sosial memang memudahkan siapa saja untuk membangun citra. Dengan filter, caption manis, dan sedikit strategi pengunggahan, hidup bisa tampak jauh lebih glamor daripada kenyataannya. Fenomena Rojali dan Rohana jadi semacam cermin, bagaimana banyak orang berlomba-lomba memperlihatkan versi terbaik dirinya, meski kadang penuh kepalsuan.

Masalahnya, budaya pamer ini bisa menimbulkan efek domino. Orang yang melihat feed glamor mungkin merasa hidupnya tertinggal, padahal kenyataannya, yang dipamerkan hanya sepotong kecil realitas. Dari sinilah muncul istilah lucu sekaligus kritis: Rojali dan Rohana.


Antara Hiburan dan Tekanan Sosial



Fenomena ini sebenarnya bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, apa yang dilakukan Rojali dan Rohana bisa dianggap hiburan belaka. Sah-sah saja mengatur feed agar terlihat keren, karena media sosial memang tempat untuk mengekspresikan diri.




Namun, di sisi lain, jika tidak bijak, tren ini bisa menciptakan tekanan sosial. Banyak orang merasa harus selalu tampil keren, update, dan terlihat mapan agar tidak kalah gengsi. Padahal, hidup nyata tentu jauh lebih kompleks dari sekadar foto liburan atau nongkrong di tempat mahal.


Kenapa Orang Suka Jadi Rojali dan Rohana?



Ada beberapa alasan kenapa fenomena ini cukup populer:

1.      Ingin Diakui – Di era digital, validasi sosial sering datang lewat likes dan komentar. Feed glamor bisa meningkatkan rasa percaya diri.

2.      FOMO (Fear of Missing Out) – Takut terlihat ketinggalan tren membuat orang ikut-ikutan memamerkan momen tertentu.




3.      Kreativitas Visual – Sebagian orang memang suka bermain estetika, jadi feed mereka disusun dengan sengaja, meski ceritanya tidak selalu sama dengan kenyataan.

4.      Tekanan Lingkungan – Ada yang merasa perlu menunjukkan citra “sukses” agar sesuai ekspektasi sosial.


Belajar Bijak dari Fenomena Ini



Bukan berarti kita harus menghakimi Rojali dan Rohana. Justru dari fenomena ini, kita bisa belajar lebih kritis dalam melihat media sosial. Apa yang tampak glamor belum tentu mencerminkan kehidupan nyata. Jangan sampai kita terjebak membandingkan diri dengan sesuatu yang sebenarnya ilusi.

Selain itu, penting juga untuk mengingat bahwa hidup tidak perlu selalu terlihat sempurna. Keaslian seringkali lebih berharga daripada pencitraan. Orang mungkin bisa terkesan dengan feed glamor, tapi koneksi yang tulus dan cerita yang jujur justru meninggalkan kesan lebih dalam.

 

Fenomena Rojali dan Rohana hanyalah potret kecil dari budaya digital kita saat ini. Ia bisa jadi bahan candaan, tapi juga bisa menjadi pengingat agar tidak mudah terjebak ilusi media sosial. Di balik feed glamor, ada realitas yang jauh lebih sederhana, kadang bahkan penuh perjuangan. Jadi, daripada sibuk meniru Rojali atau Rohana, mungkin lebih baik kita fokus pada kebahagiaan nyata yang kita rasakan. Toh, pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa keren feed kita, melainkan seberapa tulus kita menikmati perjalanan yang sesungguhnya.

 

Catatan :

1. Naskah dibuat dengan bantuan ChatGpt

2. Gambar dari google dan pinterest dan diedit oleh Chatgpt

Fenomena Rojali & Rohana: Gaya Hidup Mewah atau Sekadar Ilusi Media Sosial?



Media sosial akhir-akhir ini ramai membicarakan fenomena Rojali dan Rohana. Istilah ini menggambarkan sosok-sosok yang selalu tampil modis, berlibur ke luar negeri, dan nongkrong di tempat bergengsi sambil memegang secangkir kopi yang harganya setara makan siang seminggu. Feed mereka penuh dengan foto-foto menawan: outfit branded dari kepala hingga kaki, senyum sempurna, dan latar yang memancarkan kemewahan.




Sekilas, kehidupan Rojali dan Rohana terlihat seperti mimpi banyak orang. Tapi pertanyaannya, apakah semua itu benar-benar cerminan kehidupan nyata, atau sekadar ilusi yang dibentuk media sosial?


Siapa Sebenarnya Rojali dan Rohana?



Meski bukan tokoh nyata, istilah Rojali (Rombongan Jalan-Jalan) dan Rohana (Rombongan Makan Enak) kini digunakan untuk menyebut tren gaya hidup hedon generasi muda. Mereka mengedepankan penampilan, pengalaman mewah, dan citra “hidup sempurna” yang ditampilkan di media sosial.

Fenomena ini lahir seiring mudahnya akses untuk memamerkan gaya hidup. Kamera ponsel semakin canggih, filter foto makin memikat, dan media sosial memberikan panggung tanpa batas untuk menampilkan versi terbaik diri kita.


Daya Tarik Gaya Hidup Rojali & Rohana



Bagi banyak orang, melihat postingan glamor bisa memicu rasa kagum sekaligus iri. Foto liburan di pantai eksotis, makan malam di restoran bintang lima, atau outfit dari brand internasional, semua memberikan kesan sukses dan bahagia.

Alasan mengapa gaya hidup ini begitu menarik antara lain:

1.      Visual yang Memukau – Foto yang estetik memberi sensasi “ingin ikut mencoba”.

2.      Asosiasi dengan Kesuksesan – Mewah sering diasosiasikan dengan berhasil.

3.      Pengaruh Lingkungan – Saat teman-teman juga mengunggah gaya hidup glamor, muncul dorongan untuk tidak mau kalah.


Benarkah Semuanya Nyata?



Inilah bagian yang sering terlewat. Apa yang kita lihat di media sosial biasanya adalah cuplikan terbaik, bukan keseluruhan cerita. Banyak hal yang tidak ditampilkan:

·         Liburan yang dibiayai cicilan atau pinjaman.

·         Foto diambil di satu hari, lalu diunggah bertahap seolah-olah perjalanan berlangsung lama.

·         Outfit mahal yang sebenarnya hasil pinjam atau sewa.

Fenomena ini menciptakan highlight reel—potongan momen indah—yang tidak selalu merepresentasikan realitas. Kita melihat senyum di kamera, tapi tidak tahu apakah di baliknya ada stres, utang, atau rasa kesepian.


Dampak Psikologis pada Generasi Muda



Tren Rojali dan Rohana bukan sekadar hiburan visual; ia juga memiliki dampak psikologis. Penelitian menunjukkan bahwa terlalu sering terpapar konten glamor dapat memicu:

·         Insecure dan rendah diri, merasa hidup sendiri tidak cukup menarik.

·         Tekanan sosial, ingin mengikuti tren meski kemampuan finansial tidak memadai.

·         Perilaku konsumtif, membeli barang bukan karena butuh, tapi demi citra.


Bijak Menyikapi Fenomena Ini



Bukan berarti kita harus menghindari konten Rojali dan Rohana sama sekali. Yang terpenting adalah menyikapinya dengan kesadaran bahwa media sosial bukan cermin utuh kehidupan seseorang. Beberapa hal yang bisa dilakukan:

1.      Batasi Perbandingan Diri – Ingat, setiap orang punya perjalanan hidup berbeda.

2.      Fokus pada Kehidupan Nyata – Nikmati momen bersama keluarga dan teman tanpa harus selalu dipublikasikan.

3.      Kelola Finansial dengan Bijak – Gaya hidup mewah tidak akan berarti jika mengorbankan kestabilan ekonomi.




Fenomena Rojali dan Rohana mencerminkan dua sisi mata uang media sosial: hiburan visual yang memikat, tapi juga potensi jebakan ilusi. Di satu sisi, mereka bisa menjadi inspirasi untuk meningkatkan kualitas hidup. Di sisi lain, jika tidak disikapi dengan bijak, kita bisa terjebak dalam lingkaran perbandingan yang melelahkan.



Jadi, sebelum iri pada kehidupan glamor di layar ponsel, ingatlah bahwa realita tak selalu seindah feed Instagram. Kebahagiaan sejati seringkali hadir dari hal-hal sederhana yang mungkin tak pernah masuk kamera.

 

 Catatan :

1. Naskah dibuat dengan bantuan CHAT GPT

2. Gambar dari pinterest

Di Balik Dingin Kutub, Hangatnya Tradisi “Berbagi Istri” ala Suku Eskimo


Di tengah hamparan salju abadi dan suhu yang menusuk tulang, kehidupan suku Eskimo—atau yang kini lebih dikenal sebagai Inuit—penuh dengan adaptasi unik untuk bertahan hidup. Mereka tinggal di kawasan kutub utara, wilayah dengan malam panjang, sumber daya terbatas, dan medan yang keras. Namun, di balik keseharian yang tampak sederhana, terdapat tradisi yang bagi sebagian orang terdengar aneh, bahkan kontroversial: tradisi “berbagi istri”.

Asal-usul Tradisi



Tradisi ini bukanlah sekadar kebiasaan tanpa alasan. Dalam masyarakat Eskimo, “berbagi istri” dulunya dianggap sebagai bentuk keramahan sekaligus strategi bertahan hidup. Ketika seorang pria pergi berburu jauh dari rumah selama berhari-hari atau berminggu-minggu, ia bisa menawarkan istrinya untuk “menemani” tamu, kerabat, atau sahabat dekat.



Bagi mereka, tindakan ini bukan semata-mata berkaitan dengan hubungan fisik. Lebih dari itu, ini adalah cara untuk menguatkan ikatan persaudaraan dan membangun jaringan sosial yang solid di tengah lingkungan yang ekstrem. Semakin banyak ikatan, semakin besar peluang untuk saling membantu di saat darurat.

Pandangan Budaya dan Nilai Sosial


Dalam perspektif budaya Eskimo, tubuh dan hubungan intim tidak selalu dipandang dengan nilai kepemilikan seperti dalam banyak budaya modern. Mereka memandang berbagi pasangan sebagai simbol kepercayaan dan persahabatan mendalam.

Tradisi ini juga bisa dilihat sebagai cara “menyebarkan” garis keturunan dan memastikan keberlangsungan komunitas. Di wilayah dengan populasi kecil dan risiko kematian tinggi akibat cuaca ekstrem, peluang memiliki keturunan dianggap penting.



Menariknya, praktik ini sering dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak. Istri bukan objek pasif—ia memiliki hak untuk menolak jika tidak setuju. Dalam banyak cerita lisan, para perempuan Eskimo justru memiliki suara kuat dalam menentukan siapa yang boleh menjadi “tamu istimewa”.

Perspektif Modern: Perubahan dan Tantangan

Seiring masuknya agama, pendidikan, dan pengaruh budaya luar, banyak komunitas Inuit mulai meninggalkan tradisi ini. Nilai moral baru yang dibawa oleh misionaris Kristen atau pemerintahan modern sering kali menganggap praktik ini sebagai tindakan yang tidak pantas atau bertentangan dengan norma keluarga.



Generasi muda yang tumbuh dengan media dan pendidikan global cenderung memandang tradisi ini sebagai bagian dari masa lalu. Meski demikian, sebagian orang tua masih melihatnya sebagai warisan budaya yang tak semestinya dihapus begitu saja.

Antara Kontroversi dan Pemahaman Budaya



Bagi masyarakat luar, tradisi “berbagi istri” sering kali disalahpahami. Tanpa memahami konteks sejarah, geografis, dan sosialnya, mudah bagi orang untuk langsung memberi label negatif. Padahal, dalam banyak kasus, kebiasaan ini lahir dari kebutuhan mendasar untuk bertahan hidup di lingkungan yang mematikan.



Di sisi lain, pergeseran nilai membuat sebagian orang dalam komunitas itu sendiri mulai mempertanyakan relevansi tradisi ini di era modern. Apakah praktik tersebut masih diperlukan ketika komunikasi, transportasi, dan sumber daya sudah jauh lebih baik?

Pelajaran dari Kutub Utara



Tradisi “berbagi istri” mengajarkan kita bahwa nilai dan norma tidak selalu universal. Apa yang dianggap tabu di satu budaya bisa jadi merupakan bentuk kasih sayang atau strategi bertahan hidup di budaya lain.

Lebih dari sekadar kontroversi, kisah ini menggambarkan betapa fleksibelnya manusia dalam beradaptasi. Suku Eskimo tidak hanya berjuang melawan dinginnya alam, tetapi juga menemukan cara untuk menjaga “kehangatan” di tengah kehidupan yang keras.




Menyelami budaya suku Eskimo membuka mata kita pada realitas bahwa setiap tradisi memiliki akar sejarah dan alasan keberadaannya. “Berbagi istri” mungkin terdengar asing atau bahkan tidak masuk akal bagi sebagian orang, namun di baliknya terdapat cerita tentang persaudaraan, kepercayaan, dan kelangsungan hidup.Di balik dingin yang membekukan Kutub Utara, ternyata ada kehangatan yang lahir dari tradisi, meski kini sebagian darinya mulai memudar di bawah arus zaman.

Catatan :

1. Text dibuat dengan bantuan Chat Gpt

2. Gambar fari google dan pinterest yang di edit oleh Chat gpt

 


Rojali & Rohana: Hidup Mewah Penuh Utang, Konspirasi di Balik Gaya Hidup Palsu?

 


Fenomena Rojali dan Rohana kini ramai menghiasi media sosial. Mereka adalah simbol dari gaya hidup generasi muda masa kini—selalu tampil mewah, fashionable, dan terlihat bahagia. Feed mereka dipenuhi foto liburan ke luar negeri, secangkir kopi seharga ratusan ribu rupiah, hingga koleksi outfit branded yang tak kalah dari para selebritas. Tapi benarkah semua itu nyata?




Di balik potret glamor yang dipamerkan, tersimpan sisi gelap yang jarang terungkap ke publik. Banyak dari mereka yang sebenarnya terjebak dalam lingkaran utang digital. Mulai dari paylater, pinjaman online, hingga kartu kredit, digunakan untuk membiayai gaya hidup yang sebenarnya tak mereka sanggupi. Bukan karena kebutuhan, tapi karena tuntutan eksistensi dan tekanan sosial untuk selalu tampil “wah”.



Fenomena ini bukan hanya soal individu. Ini adalah gambaran nyata bagaimana budaya konsumtif telah menjebak generasi muda dalam perangkap gaya hidup palsu. Platform media sosial menjadi panggung utama. Algoritma bekerja dengan kejam, menampilkan konten-konten hedonis, membentuk persepsi bahwa kebahagiaan dan kesuksesan adalah tentang seberapa mewah penampilanmu.

Tekanan untuk mengikuti tren inilah yang akhirnya mendorong banyak orang melakukan hal-hal di luar kemampuan finansialnya. Tak sedikit yang berbohong demi konten. Meminjam barang branded hanya untuk foto, mengedit lokasi agar seolah sedang di luar negeri, atau bahkan ikut arisan bodong dan

 investasi tipu-tipu demi meraih “lifestyle instan”.




Namun, belakangan ini muncul teori konspirasi yang menyita perhatian. Beberapa warganet menduga bahwa fenomena Rojali dan Rohana bukanlah sekadar tren sosial biasa. Ada yang menyebut ini sebagai upaya sistematis untuk mengalihkan perhatian publik dari kondisi ekonomi yang sesungguhnya. Masyarakat digiring untuk sibuk mengejar gengsi, sementara angka inflasi merayap diam-diam.

Teori lain menyebut bahwa fenomena ini adalah bagian dari eksperimen sosial terselubung. Bahwa perilaku konsumtif dan kecanduan pengakuan di media sosial tengah diamati—bahkan mungkin dimanfaatkan—oleh entitas tertentu, baik korporasi maupun lembaga kekuasaan. Semakin banyak orang yang terjebak dalam utang konsumtif, semakin mudah mereka dikendalikan.




Meski terdengar seperti cerita fiksi, kenyataannya banyak anak muda yang kini mengalami krisis keuangan personal. Bukan karena penghasilan yang kecil, tapi karena gaya hidup yang besar. Ironisnya, krisis ini tersembunyi di balik senyum bahagia di Instagram dan TikTok.

Pertanyaannya: siapa sebenarnya Rojali dan Rohana? Apakah mereka benar-benar ada? Atau mereka hanyalah representasi dari kita semua—yang pernah, sedang, atau bahkan tanpa sadar ikut memainkan peran dalam drama konsumtif ini?



Mungkin, kita pernah membeli barang bukan karena butuh, tapi karena ingin diakui. Mungkin, kita pernah merasa malu tampil sederhana di depan kamera. Dan mungkin juga, kita sedang berjalan di jalan yang sama dengan mereka: membangun citra palsu, demi validasi yang semu.

Fenomena ini adalah cermin. Ia memaksa kita melihat lebih dalam: apakah kita masih hidup sesuai nilai, atau sudah dikendalikan oleh algoritma dan ilusi digital?




Kini saatnya untuk sadar. Bahwa kebahagiaan sejati tak bisa dibeli dengan cicilan. Bahwa eksistensi tak harus dibuktikan lewat barang mewah. Dan bahwa hidup bukanlah lomba pamer, tapi perjalanan mengenal diri sendiri. Rojali dan Rohana mungkin akan terus viral. Tapi kita punya pilihan: menjadi penonton, pengikut, atau justru memutus rantai palsu ini, dan mulai hidup dengan jujur pada diri sendiri.

 Catatan :

1. Tulisan dibuat dengan bantuan Chat GPT

2. Gambar dibuat oleh SORA AI, Bing.com

Daftar 10 Negara di Dunia Yang Penduduknya Paling Banyak Melajang


 Hidup melajang atau tanpa istri maupun suami merupakan pilihan. Namun secara kodrati manusia itu membutuhkan teman hidup yang mendampinginya dalam susah dan senang. Namun karena berbagai pertimbangan banyak orang memilih hidup melajang. Dan ini ada di mana-mana. Dan di negeri kita sendiri lelaki atau perempuan banyak juga yang memilih hidup melajang. Salah satu contohnya seorang pengamat politik yang begitu laris manis dan selalu muncul di Medsos.



Namun secara porsentase dibanding Negara lain penduduk Indonesia yang melajang tidak begitu banyak. Rata-rata orang Indonesia memilih berumah tangga bila sudah tiba waktunya. Nah berikut ini kita akan melihat 10 negara yang penduduknya memlih hidup melajang dari pada berumah tangga.

Di lansir dari SUARA.COM inilah Negara tersebut :

1. Swedia (47%)



Akhirnya, inilah dia negara dengan angka persentase single terbesar di dunia, yang bahkan mencapai hampir separuh warganya. Hidup sendirian di Swedia bahkan sudah bisa disebut semacam norma tersendiri. Walau begitu, pemerintah negeri itu sebenarnya sudah coba membatasinya, antara lain dengan menawarkan "Fardknappen", sebuah konsep rumah bersama milik komunitas, di mana warga Swedia bisa tetap tinggal sendiri di apartemennya, tetapi punya akses juga ke wilayah bersama. Namun, bagaimana hasilnya terhadap preferensi hidup sendiri, sejauh ini masih belum jelas. (The Richest)

 2. Inggris (34%)



Sejak memasuki era modern, pernikahan berumur panjang seperti yang kerap dilukiskan dalam literatur klasik Inggris, kian jarang ditemukan. Kendati bagi generasi muda khususnya, masalah hidup sendiri ini tidak mudah, terutama terkait urusan biaya tempat tinggal. Namun, sebagian orang menganggap pilihan itu justru banyak diambil demi memanfaatkan secara maksimal jaminan sosial pengangguran yang disediakan Negara

3 Jepang (31%)



Angka rata-rata jumlah orang dalam satu keluarga di Tokyo belakangan disebut sudah berada di bawah 2, yang dengan demikian membuatnya sebagai kota besar dengan warga "paling kesepian" (sendirian) di dunia. Bahkan menakutkannya, belakangan ada fenomena "Kodokushi" yang terus berkembang di sana, di mana seseorang meninggal sendiri dan mayat mereka tak ada yang menemukan hingga jangka waktu lama. Di Jepang pula, pilihan hidup sendiri berkorelasi dengan rendahnya angka pernikahan, serta fakta bahwa hubungan seks juga paling jarang dilakukan.

4. Italia (29%)



Sebegitu besarnya proporsi warga Italia yang hidup sendiri, membuat wajar jika kesepian menjadi salah satu problema utama negeri itu (seperti pernah dibahas oleh profesor Sosiologi asal Belanda, Theo van Tilburg). Penyebaran penduduk Italia sendiri diketahui tidak merata, dengan hampir separuh warganya tinggal di bentang kawasan Lembah Po

5. Amerika Serikat (28%)



Untuk yang satu ini, berdasarkan berbagai tayangan di TV dan melalui sejumlah film, mungkin sudah cukup banyak warga dunia lainnya yang tahu dan maklum. Lihat sajalah misalnya lewat karakter Carrie Bradshaw di serial Sex and the City. Kalangan imigran mungkin masih lebih memilih untuk tinggal bersama-sama dengan yang lain, sementara hidup sendiri tampak kian menjadi pilihan bagi warga kelahiran Amerika.

6. Kanada (27%)



Terus dan kian bertambahnya jumlah warga Kanada yang memilih untuk hidup sendiri, dalam beberapa tahun terakhir bahkan sudah kerap menjadi topik artikel di berbagai suratkabar setempat. Sebagian berpendapat kecenderungan ini menunjukkan peningkatan populasi yang mandiri dan aman secara finansial. Sementara sebagian lainnya jusru berpandangan ini sebagai wujud "erosi di dalam (nilai-nilai hidup) masyarakat"

7. Rusia (25%)



Meningkatnya generasi muda usia 20-an di Rusia yang memilih untuk hidup sendiri, sekaligus menjadi faktor terbesar stabilnya jumlah populasi mereka. Tepatnya, ketimbang buru-buru menikah muda, banyak yang memilih hidup sendiri serta fokus pada pengembangan karier mereka. Mungkin hanya kalangan profesional di Moskow yang harus sedikit merasakan beratnya hidup sendiri, karena belakangan kota itu sudah menjadi salah satu kota berbiaya hidup tertinggi di dunia.

8. Afrika Selatan (24%)



Persidangan Oscar Pistorius mungkin menjadi salah satu tayangan TV paling ditonton belakangan, meski bagi hampir seperempat warga Afsel, tontonan itu harus disaksikan sendirian. Peningkatan populasi negara itu yang mencapai hampir 10 juta dalam satu dekade terakhir, tampak tak sejalan dengan meningkatnya pula pilihan hidup sendiri di sana. Sementara justru, dalam catatan tahun 2008, pasar perumahan tercatat menurun di sana.

9. Kenya (15%)



Pada tahun 2005 lalu, lembaga PBB pernah menulis soal meningkatnya jumlah orang tua yang hidup sendirian di Kenya. Banyak di antara mereka bahkan diketahui hidup dalam kondisi keseharian yang membuat miris. Sesuatu yang hingga kini masih berlanjut, bahkan setelah pemerintah setempat coba meluncurkan sejumlah program yang bertujuan membantu warganya yang menderita dalam kesepian tersebu

10. Brasil (warga yang hidup single mencapai 10%)



Sebagian besar "penghuni" angka persentase tersebut ada hubungannya dengan wilayah Amazon, di mana justru hidup suku terasing yang menurut sebagian pakar adalah kelompok manusia paling terisolasi di planet ini. Sementara, seiring kebijakan pemerintah Brasil, wilayah Amazon yang terus berupaya dijaga keasliannya sendiri kini kian diperluas. Walau begitu, ada sedikit catatan bahwa di daerah berpenduduk padat, bahkan di perkotaan Brasil pun, pilihan untuk hidup sendiri belakangan kian diminati pula



Nah, itulah sepuluh Negara yang penduduknya banyak yang memilih hidup melajang. Apa alasan mereka kita tidak tahu. Semoga informasi ini bermanfaat.

 

Catatan :

1.      Sumber Tulisan https://www.suara.com/lifestyle/2014/03/26/192530/inilah-10-negara-yang-warganya-terbanyak-single?page=all

2.      Ganbar banyak diambil dari google.