Dari “Rojali” ke “Rohana”: Saat Nongkrong di Mal Jadi Pelarian di Tengah Sulitnya Ekonomi

 


Belakangan, media sosial ramai membicarakan istilah “Rojali” alias Rombongan Jarang Beli dan “Rohana” atau Rombongan Hanya Nanya. Dua istilah ini menggambarkan fenomena baru di pusat perbelanjaan: mal tampak ramai, tapi toko-toko di dalamnya justru sepi transaksi.




Fenomena ini bukan sekadar lelucon dunia maya. Di baliknya, tersimpan potret ekonomi masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) bahkan mengonfirmasi bahwa tingkat kunjungan ke mal memang masih tinggi, tetapi tidak diikuti peningkatan omzet penjualan. Dengan kata lain, daya beli masyarakat menurun.




Beberapa faktor menjadi penyebab utama. Gelombang PHK, sulitnya mencari pekerjaan baru, dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang jauh lebih cepat dibanding kenaikan gaji membuat banyak orang harus lebih berhati-hati mengatur uang. Masyarakat masih ingin berlibur, bersantai, atau sekadar menikmati udara sejuk mal ber-AC, tapi dompet tak lagi selega dulu.



Akhirnya, banyak yang datang ke mal bukan untuk berbelanja, melainkan untuk “healing murah”. Mereka berjalan-jalan, melihat-lihat etalase toko, mencicipi makanan di food court, atau sekadar foto-foto. Di sinilah lahir istilah Rojali dan Rohana — simbol dari kesenangan sederhana di tengah tekanan ekonomi.



Bagi para pelaku usaha ritel, situasi ini tentu mengkhawatirkan. Ramai pengunjung tidak otomatis berarti penjualan meningkat. Gerai fashion, elektronik, dan gaya hidup menjadi sektor yang paling terdampak. Beberapa bahkan mulai mengurangi stok dan menunda ekspansi karena omzet tak kunjung pulih.



Sementara itu, para ekonom melihat fenomena ini sebagai indikasi menurunnya kepercayaan konsumen terhadap kondisi ekonomi. Kelas menengah, yang selama ini menjadi tulang punggung konsumsi, kini lebih memilih menabung atau berinvestasi di tempat yang dianggap aman seperti surat berharga negara atau deposito. Mereka menunda pembelian barang non-esensial hingga situasi lebih stabil.



Namun, di sisi lain, Rojali dan Rohana juga menunjukkan bahwa mal masih menjadi ruang sosial penting bagi masyarakat perkotaan Indonesia. Di tengah tekanan hidup dan ketidakpastian, mal tetap jadi tempat pelarian — meski hanya untuk melihat-lihat dan berbagi tawa bersama teman.




Fenomena ini bisa jadi cermin: ekonomi sedang lesu, tapi semangat masyarakat untuk tetap “hidup normal” belum padam. Meski tak beli apa-apa, setidaknya mereka masih punya tempat untuk merasa “seolah segalanya baik-baik saja.”

 

No comments:

Post a Comment