Laporan Pelatihan di Thailand

LAPORAN SINGKAT
PELATIHAN PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN PELATIHAN DI NATIONAL
INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF
TEACHERS, FACULTY STAFFS AND
EDUCATIONAL PERSONAL
(NIDTEP) DI BANGKOK
THAILAND
Kedatangan di Bangkok
Rombongan berangkat dari Jakarta pukul 16.30 WIB dengan pesawat Air Asia dan mendarat di Bandara svarna bumi Bangkok sekitar pukul 19.30 WIB. Idak ada perbedaan waktu antara Bangkok dan Jakarta. Di Bandara petugas dari NIDTEP sudah menunggu.

Kegiatan
1. Hari Pertama
Hari pertama berada di NIDTEP dimulai dengan kegiatan pembukaan pelatihan oleh direktur NIDTEP, yang acaranya antara lain adalah pengantar dari salah seorang staff NIDTEP kemudian pembukaan dan kata sambutan oleh Direktur. Setelah itu kata sambutan dari ketua rombongan dan dilanjutkan dengan memperkenalkan seluruh rombongan. Rombongan yang hadir saat pembukaan ini adalah rombongan yang berangkat dari Pekanbaru yang terdiri dari 3 orang kepala Dinas Pendidikan Kabupaten, Natuna, Karimun dan Dumai; 6 orang dari LPMP Riau dan 7 orang kepala sekolah dan guru. Sedangkan kan 12 peserta yang menempuh jalur darat dari Bengkalis belum sampai ketempat pelatihan dan masih berada sekitar seribu km dari Bangkok.
Selesai acara pembukaan dilanjutkan dengan presentasi tentang system pendidikan di Thailand, system penggajian dan prekrutan guru dan selintas tentang penjaminan mutu pendidikan. Presentasi ini berlansung sampai waktu makan siang. Dari presentasi ini dapat ditarik kesimpulan, ada dua lembaga penting dalam struktur organisasi kementrian pendidikan di Thailand yaitu Bureau of Educational Testing (OBECT) yang berfungsi mirip BNSP di Indonesia dan ONESQA yang merupakan lembaga penjaminan mutu pendidikan
Presentasi disampaikan dalam bahasa Inggris. Dan rata-rata peserta mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris, minimal secara pasif. Sehingga tidak perlu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Hanya saja, bagi yang menguasai bahasa Inggris secara pasif, pertanyaan diajkan dengan bahasa Indonesia dan diterjemahkan ke bahasa Inggris.
Materi kedua pada hari pertama adalah diskusi tentang pendidikan yang di pandu oleh DR. Derek Wanasian Suan Dusit Rabhat University Bangkok



2. Hari ke-dua
Hari kedua, kegiatan tidak dilaksanakan Di Nidtep. Pagi pukul 8.00 sampai dengan makan siang diadakan di kantor kementrian Pendidikan yaitu pada Office of Bureau Educational Testing (OBECT). Disani peserta pendapat penjelasan secara panjang lebar tentang kurikulum dan standar pendidikan di Thailand.
Bagian dari OBECT ini adalah lagi suatu seksi atau board yang khusus memfasilitasi sekolah dalam ha-hal yang berhubungan dengan penilaian. Mereka membantu guru dalam pelatihan membuat soal dan juga merancang soal-soal yang standar.

Selesai makan siang kegiatan dilanjutkan di kantor Onesqa, suatu lembaga independent dibawah kementrian pendidikan yang berfungsi sebagai penjaminan mutu pendidikan. Jika di Indonesia LPMP sebagai penjaminan mutu pendidikan hanya untuk pendidikan dasar dan menengah saja, Onesqa wilayah kerjanya menyeluruh dari mulai TK sampai perguruan tinggi. Di Thailand ada dua macam penjaminan mutu yaitu internal dan external. Internal merupakan penjaminan mutu yang dimiliki oleh masing-masing satuan pendidikan. Onesqa adalah penjaminan mutu yang eksternal.

3. Hari ke-tiga
Hari ketiga keberadaan di Bangkok adalah mengunjungi sejenis sekolah SD satu atap yang terintegrasi dengan TK. SD ini merupakan SD terkenal di Bangkok, dimana murid-muridnya berasal dari keluarga kalangan atas. Jumlah siswa dalam satu lokal berkisar antara 50 atau lebih. Peserta dari Indonesia menyadari bahwa selama ini mereka merasa hanya merekalah yang menghadapi kelas besar. Tidak tahunya sekolah favorite Thailand pun punya kelas besar. Dan Sekolah yang di kunjungi ini mengatasi kelas besar dengan cara team teaching 3 sampai 4 orang guru. Peserta menyatakan inilah baru melihat praktek team teaching yang sebenarnya.
Sore hari kegiatan adalah mengunjungi nursing school. Penekanan dari kunjungan ini adalah management sekolah dan bagaimana sekolah mengadakan penjaminan mutu.

4. Hari ke-empat

Hari ke-empat dan hari terakhir dimanfaatkan untuk untuk mengunjungi Pagodapagoda terkenal di Bangkok, demikian juga istana raja dan tempat raja menjamu tamu negara. Sore peserta sudah berangkat ke Bandara Swarnabumi. Refleksi kegiatan diadakan di Bandara ini.


Umpan balik(Refleksi)

Refleksi atau umpan balik dari kegiatan pelatihan di Thailand diadakan secara informal dengan sesama peserta yang dipandu oleh ketua rombongan dari LPMP.Kegiatan ini diadakan di ruang tunggu bandara Svarna Bumi Thailand. Dari refleksi dapat disimpulkan bahwa ada dua manfaat yang bermakna yang diperoleh peserta selama mengikuti pelatihan di Bangkok.
Yang pertama yaitu mengenai system dan metode penjaminan mutu untuk disetiap satuan pendidikan. Dan ini diyakini akan dapat meningkatkan mutu pendidikan disetiap sekolah kalau dilaksanakan dengan serius dan terencana. Para peserta yang berasal dari kepala sekolah meminta LPMP berperan aktif untuk membantu pengimplentasian ini.
Manfaat kedua yang diperoleh peserta adalah melihat lansung pengelolaan kelas besar yang jumlah siswanya melebihi 50 orang. Selama ini guru-guru di Indonesia selalu mengeluhkan kesulitan menangani kelas besar. Sekolah di Thailand menghandel kelas besar dengan cara team teaching. Dan peserta dapat mengamati lansung model team teaching yang diadakan dalam kelas. Para peserta mengatakan selama ini team teaching hanya sekedar wacana, tapi tidak dimanfaatkan secara konsisten.

Saran dan rekomendasi


Dari pengalaman selama mengikuti pelatihan di Thailand ada beberapa saran dan rekomendasi yang khususnya ditujukan kepada LPMP Riau sebagai seponsorf kegiatan.
1. LPMP hendaknya berperan aktif untuk mempelopori pembentukan quality assurance (penjaminan mutu) di setiap jenjang pendidikan yang diharapkan nantinya dapat meningkatkan mutu di sekolah.
2. Sisem penjaminan mutu disekolah yang dibentuk berkordinasi dengan LPMP.
3. Assil Yang merupakan badan yang bergerak dibidang penilaian dan assessment sama fungsinya dengan Riau Examination Board yang digagas beberapat tahun yang lalu di LPMP. Oleh karena itu sebaiknya LPMP mulai merealisasi kegiatan Riau Examination Board.
4. Untuk mewujutkan secara nyata gagasan Riau Examination board, badan ini sudah harus memiliki program dan jadwal kegaitan yang tentu saja di bawah kordinasi LPMP Riau.
5. LPMP bersama-sama dengan peserta lainya mensosialisasi hal-hal positif yang diperoleh selama pelatihan di Thailand kepada sekolah-sekolah yang ada di Riau daam upaya meningkatkan mutu pendidikan.

Motivating the Reluctant Language Learners

MOTIVATING THE RELUCTANT LANGUAGE LEARNER
Presented
By
Drs. Abdullah Hasan, M.Ed
Drs. Aswir Astaman, M.Pd

A. INTRODUCTION

One can hardly deny that English plays a very important role in the major aspects of life in this global era. It is the most widely spoken language in the world, with more than 300 million speaking it as the first language, more than 200 million people speaking it as a second language, and over one billion people speaking it as a foreign language (Crystal, 1997). It is observed that most of the books of science and technology are written in English and much scientific information available on electronic media is also presented in English.
In Indonesia, English is one of the foreign languages taught, beginning from Elementary schools up to university. At the elementary level, English is taught as a local content at year one until three, while at year four to six, it becomes compulsory subject with two periods a week. At junior and senior high schools, English is offered as a compulsory subject with a time allocation four periods a week. At the university or college, it is accorded for two to six credit-hours and the curriculum focuses on English for specific purposes.
The objective of teaching English for Senior High school (SMA/MA) in Indonesia is to develop communicative competence in spoken and written English, and to gain informational literary level through developing skills of listening, speaking, reading and writing. Having the mastery of the competence, learners are hoped to own the consciousness about the importance of English as one of foreign languages, and able to be competitive in global era and also to improve the learners’ understanding between language and culture. ( Badan Standar Nasional Pendidikan 2005: 2).
Zainil (2005:10) states that based on observations and experiences in teaching English at junior and senior high schools in Indonesia, in general, indicate that the teachers have done communicative language teaching for several years based on their different perceptions and understandings. Few teachers teach English in real situation, most of them do it inartificial ones, and some in both. Most of them teach it in large classes and a few teach it in small ones. A lot of them are not successful.

In the same case, most of the students as the language learners are passive. A lot of them are shy to use English in real communication. Many of them pay attention to forms and rules when they communicate with others. Most of them do not practice English in real communication and situations. Only few practice English the classroom. Most of the learners fail in acquiring English.
Suwarsih (2002: 142) points that a layman’s observation has indicated that senior high school graduates who have learned this language for six years, with almost 900 hours of school teaching, are unable to use this language for communication purposes. This phenomenon can also be observed among university graduates and even among faculty members, then that the teaching of English has so far been unable to achieve its declared goals despite many efforts made to improve its quality.
Many factors influence the students to gain the instructional objectives of English, such as, the students’ learning motivation, attitude and interest, the competence of the English teachers, lack of learning facilities , the students’ inadequate basic knowledge, irrelevant method and ineffective implementation of communicative approach and the reluctant English language learners in teaching and learning process. Among those factors, the reluctant language learner and its solution is discussed in this paper.
B. THE CONDITION OF FOREIGN LANGUAGE LEARNERS IN MOST SCHOOLS IN INDONESIA.

Dealing with language learning, Julian (1994:15) points out that ‘the key to learning is motivation. Never forget that’. It can be inferred that the higher the motivation, the better the achievement will be. The problem is that many students in Indonesia particularly in Riau province show low motivation in learning English. They come to class to fulfill their attendance list. Most of them are passive in teaching and learning process. Only some are brave to communicate in English. They are shy to speak English. They feel hesitate that they produce a lot of mistakes when they communicate in English Almost none of them practice English outside the classroom especially in rural areas.. Some learn English in order to gain their English grades.

The previous facts observed, experienced and researched indicate the teachers of English do not do the concepts of classroom techniques of communicative language teaching very well yet and t he students do not apply the good language learning strategies yet. Thus, to do the concepts, the teachers should understand them and to apply the strategies, the students should be able to apply them in teaching and learning process. The problem is ‘how is the solution to the problem of motivating the reluctant language learners?’. This paper tries to answer this question by discussing the related theories as. 1) the teaching guidelines to the teachers to use the classroom techniques in teaching and learning process.; 2) the learning guidelines for students to apply the good language learner strategies.
C. DISCUSSION
Developing communicative competence is one of the concepts of classroom techniques of teaching English. Hymes and Gunpens (1972:VII) state that communicative competence means ‘what a speaker needs to know to communicate effectively in a culturally significant setting’. Savignon (1983:9-43) supports the idea and discusses the four components communicative competence: grammatical competence, sociolinguistics competence, discourse competence, and strategic competence. Grammatical competence is the ability to recognize the lexical, morphological, syntactic and phonological features of language. Sociolinguistic competence is the ability to understand the appropriate meaning in social and cultural contexts. Discourse competence is the ability to interpret the communication of a series of sentences or utterances to form a meaningful whole. Finally, strategic competence is the ability to use the strategies to compensate an imperfect communication such as doing repetition, avoidance, guessing, or shifts in register and style in sustaining communication.

In developing communicative competence, the classroom techniques put more emphasis on the ‘use’ than ‘usage’. Usage then is one aspect of performance, that aspect which makes evident the aspect to which the language user demonstrates his knowledge of linguistic rules. Use is another aspect of performance: that which makes evident the extent to which the language user demonstrate his linguistics rules for effective communication (Widdowson, 1983:3)

When the focus of teaching is on use most of the time, the teacher has already maximized the students’ exposure to natural communication. Dulay, et al. (1982: 261-269) in his discussions on the research findings, from Research to Reality: implications for the Teacher, state ‘maximize the students’ exposure to natural communication”. For instance, the teacher uses the classroom techniques such as asking the real questions, accepting nonverbal responses, and responding to content when communicating with the students.

The techniques should be oriented to problem solving whether in the application of the use or the usage to motivate the students to be creative. The students’ creativity does not come up in a short time. Every teacher and student should keep in mind that someone gets better in creativity over a long period of time. His/Her creativity can be developed by applying the problem solving in the process of teaching English in the classroom. When the students solve a problem, they think of the causes of it and the ways how to overcome it. If they do it regularly in English, they will think logically and systematically in English, too.

Furthermore, use, usage, and problem solving as discussed previously need the comprehensible input, listening and reading in English. They should understand what they listen and read in English. Considering the comprehensible input, the focus of classroom techniques should be on the use. Focusing on the use most of the time develops the students’ communicative competence of English. Developing communicative competence builds their acquisition of the language. Building their acquisition improves their fluency. Improving their proficiency shows their fluent verbal or non verbal performance in speaking English. This process works with their fluent verbal performance in writing as well. They speak or write English fluently.
Zainil (2005:13) points out that the emphasis of classroom techniques should be less on the usage or theories, rules and forms of English. Emphasizing the usage develops the students’ linguistic competence. developing linguistic competence builds their learning. Building their learning improves their accuracy. Improving accuracy shows their accurate verbal performance in speaking English. This process works with their accurate performance in writing as well. They speak or write English accurately but not fluently.

Brown (1994:11-12) points out that the teacher is the most powerful person in the classroom. There are many ways for the teachers to use that power. . The teachers must organize, provide security, motivate, instruct, model, guide, inform, give feedback, encourage and evaluate the language learners. The followings are described the characteristics of successful English language teachers, and they are the most important things that need to be taken care of:
1. Organization – Learners must feel that their activity is purposeful, that they are putting their efforts in to framework they can trust. Learners need just enough structure so that they feel supported, and just enough freedom so that they have room for themselves to grow.
2. Security – If learners feel safe, they will be more able to take part in the lesson if they feel that everyone in class, including the teacher, is on the same side, they may risk making mistake that they can learn from.
3. Motivation-some learners will be motivated to learn for external reasons, which is a big help, but all learners need to involved in class-work. This happens best when they are motivated by interesting tasks, when they are motivated by interesting tasks, when they experience success, and when they see the relevance of class work to their outside lives.
4. Instruction – Learners need to be told new things, and told how to do new things
5. Modeling – Learners need to be shown new things, and how to do new things
6. Guidance – Learners need a helping hand to discover new things and to practice new skills.
7. information-learners need sources of extra information about what they are learning, which they can call on as required.
8. feedback-learners need to know how close they are getting to their targets.
9. encouragement-learners need to feel that the language in the developing inside them, even if what they are producing at the moment seems unlike standard English.
10. Evaluation-some learners have external standards that must be reached, important examinations to pass or fail. They need to know where they stand.

The good language learner strategies are the ways used by the learners to acquire the language successfully. They should be learned by the Indonesian students of English. They are not well known yet by the students. Furthermore, they do not realize their language learning strategies. Therefore, the good language learner strategies are useful for the teachers to teach and for the students to study and practice. The strategies have been pointed out by theoreticians and researchers (Rubin, 1975; Rubin and Thompson, 1982; Nation, 1985 Willing, 1988, and Zainil, 1994) For example , Stern (1980) points out ten language learner strategies: 1) Personal learning style, 2) Active Approach to the learning task; 3) constantly searching for meaning; 4) willingness to use the language in real communication; 5) effort to learn to think in the language; 6) willingness to guess; 7) creativity in learning; 8) willingness to focus in messages, not grammatical rules; 8) willingness to focus in messages, not grammatical rules; 9) effort to make anxiety low, and 10) continuous high motivation to study.
Furthermore the teachers apply scaffolding that is by using ESO strategies to scaffold instruction that is to enable English language learners to learn better by increasing their level of interest and motivation. ( Reiss: 2005 : 7).


The characteristics of good language learners are as follows: (Brown 1994:9):
1). The students have a positive attitude about the language they want to learn and about speakers of that language. 2). They have a strong personal motivation to learn the language. 3) They are confident that they will be successful learners. 4) They are prepared to risk making mistakes and they learn from the mistakes that they make.5) They like to learn about the language. 6) They organize their own practice of the language. 7) They find ways to say things that they do not know how to express correctly. 8) They get into situations where the language is being used and they use the language as often as they can. 9) They work directly in the language rather than translate from their first language. 10) They think about their strategies for learning and remembering and they consciously try out new strategies.
Various ways have been done to motivate the reluctant language learners:

• Impromptu speak
• Speech contest
• Story telling
• English debate
• English discussion
• Role play
• Poetry reading
• English song

After implementing those activities for several years, it shows that the result is not satisfying because they only involve limited numbers of students. At last, the solution to motivate the reluctant English language learners in Indonesia by establishing “English Speaking Community” at schools.



E. CONCLUSION

The teacher is the most powerful person in the classroom in order to motivate the reluctant language learners .The teachers must organize, provide security, motivate, instruct, model, guide, inform, give feedback, encourage and evaluate .the language learners. The good language learner strategies are useful for the teachers to teach and for the students to study and practice. Furthermore, the language learners apply the good language learner strategies, and understand the characteristics of good language learning. They own high motivation, positive attitude, self confidence, being prepared to risk of making mistakes, good interest toward English
The solution to the problems is that the teachers understand and apply the concepts of classroom techniques and be able to make the learners motivated and interested in learning English by using ESOL scaffolded strategies in teaching and learning English language in Indonesia. The good way to motivate the reluctant English language learners in Indonesia is to establish English Speaking Community at schools.







REFERENCE


Badan Standar Nasional Pendidikan, 2005. standar Kompetensi Dasar Bahasa Inggeris SMA/MA.

Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching: Longman.

Brown, H. Douglas. 1994. Teaching by Principles:. Prentice Hall
Regents.

Celce-Murcia, Marianne. 1991. Teaching English as a Second or
Foreign Language: Heinle & Heinle Publisher.

Edge, Julian. 1993. Essentials of English Language Teaching:
Longman Group UK Limited.

Harmer, Jeremy, 1995. The Practice of English Language Teaching: Longman.

Krahnke, Karl. 1987. Approaches to Syllabus Design for Foreign Language Teaching: Prentice-Hall.

Lightbown, M, Patsy and Biba Spada. 1997. How Languages are
Learned: Oxford University Press.

Littlewood, William. 1991. Communicative Langguage Teaching: Cambridge University Press.

McDonough, Jo and Christopher Shaw. 1998. Material and Method in ELT: Blackwell.

Madya, Suarsih, Developing Standard for EFL in Indonesia as Part of the EFL Teaching Reform, TEFLIN Journal, Vol. 3 (2) Agust 2002.

Nunan, David.1991. Language Teaching Methodology: A Textbook for Teachers. London: Prentice Hall International. (UK) Ltd.

Reiss, Jodi, 2005. Teaching Content to English Language Learners, New York, Longman Pearson Education, Inc.


Richards, Jack C and Theodore S, Rodgers. 1001. Approaches and
Methods as Language Teaching. London; Cambridge
University Press.

Savigon, Sandra J. 1983. Communicative Competence: Theory and Classroom Practice. California: Addison-Wesley Publishing Company.

Zainil. 2003. Language Teaching Methods: Universitas Negeri
Padang Press.

Zainil. 2004. Action and Function Method: Universitas Negeri
Padang Press.

Zainil. 2005. Communicative Language Teachingog English: Universitas Negeri Padang Press.

Type of Questions in English National Final Examination

TYPE OF QUESTION IN ENGLISH NATIONAL FINAL EXAMINATION
Written
By
Drs. ASWIR ASTAMAN, M.Pd

1. Background
Human development index of Indonesia is low comparing to the other countries either in Asia more ever the European countries. From 12 Countries of Asia Indonesian Educational Performance, the position of Indonesia is in 12th rank, under Vietnam and Philippines. The government through National Education Department tries to improve this position by trying increase the quality of education. One of the effort of government to increase this is to conduct National Final Examination.
As the matter of fact, the policy to conduct National final examination is contrary to the principle of Competence Based Curriculum which is implemented in form of School Based Curriculum right now in all over Indonesia. The principle of Competence Based Curriculum, the evaluation is in form of Classroom Based Assessment. To give the mark of students is the right of teachers who teach in the class. For this reason many teachers and the ones who involve in education refuse the policy of National Final Examination.
Not all of teachers refuse Final Examination, some them respond positively. National Final Examination is annual activity. It is not new anymore. The teachers at school prepare the students every year. Their experience in preparing the students for National Examination should have been the science that discuss strategy in facing this program. Some of strategies which have been implemented by teachers are class room mapping and introducing the type of questions to students. This paper focus on introducing the type of questions to students to make the easy to understand the item test in National Final Examination.
2. Major Characteristic of the Test
Before we discuss the type of questions in National Final Examination, we should know well the major characteristic of the test. From the item tests that have been tested to students for years, the major characteristic of the final examination tests for SMA are as follows :
a. Main idea of the text/paragraph.
b. Topic of the text.
c. Meaning in context
d. Implicit information
e. Explicit information
f. Language expression
g. Grammatical aspect.
Tests characteristic of SMP are as follows :
a. Main idea
b. Vocabulary
c. Language Expression
d. Implicit information
e. Explicit information
f. Grammatical aspects




- aragraph …
h. Meaning in context- asking the meaning of the word in the text. The questions can be :
3. The word x has similar meaning to …Type of Questions
Each characteristics of the test has its own type of questions:
a. Main idea – The first thing that teacher should explain concerning with main idea, is the understanding about what main idea is, how to find it in the sentence, and its characteristics which can be recognized by students. After they know about this teachers introduce the type of questions related to main idea. Some of the questions are as follows :
- What is the text about ?
- What does the text talk about?
- What is the main idea of paragraph ….?
- What does the text explain about?
- What does the text describe ?
- What is the text mainly discuss about
- The text tells us about
b. Topic-The way how to find topic is almost the same as to find main idea. The difference between the topic and main idea is that, the answers of main idea is sentence but fir topic is in form of word or phrase. The example of the questions are :
- What is the topic of the text
- What is the topic of p
- The underlined word means …
- What does the word in italic means?
c. Implicit information- to find the information that the answers can be found directly from the text. The construction of the text mostly used
wh-questions such as what, when, where, why, how.
d. Explicit information- this type of the text asks student to find the information which the answers can not be found directly from the text. In National Final examination the type of the text mostly :
- Which statement is true based on the text?
- Which of the following is not true according to the text?
- The following statements are true, except…
e. Grammatical aspect
The questions that tested about grammatical aspect existed in almost test items. But since 2004 this type of the questions does not exist anymore because the objective of teaching English focus on language skills not language components.










4. Conclusion
The characteristic of the test and the type of questions explained above are necessary for teachers to explain to the students in order students are familiar with the type of questions in National final examination. The first thing students should understand for answering the questions in the test is to understand the questions. If they do not understand the questions, the possibility to find the correct answers is very small. This is one of trick used by the teacher to make students successful in National final examination.

Pemberdayaan ICT untuk Meningkatkan Kompetensi Guru

PEMBERDAYAAN ICT UNTUK MENINGKATKAN
KOMPETENSI GURU

Drs. ASWIR ASTAMAN, M.Pd


PENDAHULUAN
Perubahan lingkungan luar dunia pendidikan, mulai lingkungan sosial, ekonomi, teknologi, sampai politik mengharuskan dunia pendidikan memikirkan kembali bagaimana perubahan tersebut mempengaruhinya sebagai sebuah institusi sosial dan bagaimana harus berinteraksi dengan perubahan tersebut. Salah satu perubahan lingkungan yang sangat mempengaruhi dunia pendidikan adalah hadirnya Information and Communication technology (ICT).
ICT telah menghadirkan media baru dalam penyebaran informasi, yaitu media digital. Informasi yang tidak lagi disusun atas atom-atom – tetapi dalam bit-bit (Negroponte, 1998) – telah mempercepat dan mempermudah proses penyebarannya. Media ini pun telah mengubah pola pikir manusia yang merupakan respon terhadap kemasan informasi. Contoh perubahan pola pikir tersebut adalah lahirnya e-mail yang mengubah cara berkirim surat, e-business atau e-commerce yang telah mengubah cara berbisnis dengan segala turunannya, termasuk e-cash atau e-money. E-government telah membuka babak baru pengelolaan pemerintahan dan mekanisme hubungan antara pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat. E-learning menawarkan cakrawala baru proses belajar-mengajar. Perubahanperubahan tersebut terus berlangsung dan dalam beberapa bidang sudah mulai mapan, terutama di negara-negara maju.
Data Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa sebanyak 90% SMU dan 95% SMK telah memiliki komputer. Namun demikian, kurang dari 25% SMU dan 10% SMK yang telah terhubungan dengan Internet (Mohandas, 2003). Di tingkat perguruan tinggi, data Direktorat Jenderal Pendidikan tinggi – dalam Pannen (2005) – menunjukkan bahwa kesadaran dalam pemanfaatan ICT dalam proses pembelajaran masih sangat rendah. Analisis terhadap proposal teaching grant, baru 29,69% yang memanfatkan media berbasis teknologi komputer. Ketersedian media berbasis teknologi informasi juga masih terbatas. Hanya 15,54% perguruan tinggi negeri (PTN) dan 16,09% perguruan tinggi swasta (PTS) yang memiliki ketersediaan media berbasis teknologi informasi. Sekitar16,65% mahasiswa dan 14,59% dosen yang mempunyai akses terhadap teknologi informasi. Hasil survei yang melihat pemanfaatan ICT pada tahun 2004 menunjukkan bahwa baru 17,01% PTN, 15,44% PTS, 9,65% dosen, dan 16,17% mahasiswayang memanfaatkan ICT dengan baik. Secara keseluruhan statistik ini menunjukkan bahwa adopsi ICT dalam dunia pendidikan di Indonesia masih rendah.
Makalah ini akan berupaya membahas bagaimana memanfaatkan ICT untuk meningkatkan kompetensi guru dan bagaimana guru memberdayakannya untuk kepentingan pengembangan program pengajaran.

KOMPEENSI GURU
Sebelum kita meninjau lebih jauh peranan ICT untuk meningkatkan kompetensi guru, ada perlunya diICTnjau apa yang dimaksud dengan kompetensi guru tersebut. Ada 4 kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu :
1. Kompetensi Pedagogy
Seorang guru dikatakan memiliki kompetensi padagogy bila ia mampu mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran; memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Mampu berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual serta menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar dan memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepenICTngan pembelajaran serta melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran

2. Kompetensi kepribadian
Kompetensi kepribadian menuntut seorang guru untuk mampu bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia, menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa; menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri serta menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

3. Kompetensi Sosial
Seorang guru disebut mempunyai kompetensi sosial abila ia bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi; berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.

4. Kompetnsi Profesional

Kompetensi profesional menuntut guru untuk menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu.; mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri; beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya,serta mampu berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.

MEMBERDAYAKAN ICT DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU

Memberdayakan ICT untk meningkatkan kompetensi guru adalah sejalan dengan meningkatkan mutu pendidikan. Pertanyaan yang harus dimunculkan bukannya, bagaimana kita dapat menggunakan kemampuan ICT untuk meningkatkan apa yang telah kita kerjakan?”, tetapi “Bagaimana kita dapat menggunakan ICT untuk mengerjakan apa yang belum kita kerjakandalam bidang pendidikan yang merupakan tugas guru?.” Semua peran ICT dapat dikontekstualisasikan dengan kebutuhan dunia pendidikan. Dalam bahasa yang lain, Al-Mashari dan Zairi (2000) menyatakan bahwa manfaat ICT adalah pada kemampuannya yang (1) enabling parallelism; (2) facilitating integration; (3) enhancing decision making; dan (4) minimizing points of contact. Pemahaman terhadap peran yang dapat dimainkan oleh ICT atau potensi yang ditawarkan oleh ICT merupakan modal awal dalam dalam meningkatkan kompetensi secara maksimal yang tujuan akhirnya meningkatkan mutu pendidikan.
Ini sejalan dengan PBB melalui Millennium Development Goals (MDGs) dan UNESCO dengan pendidikan untuk semua (EFA), World Summit for the InformaICTon Society (WSIS) and Literacy Decade Initiaves, telah bersepakat untuk memberikan perioritas pada peningkatan pendidikan. Demikian juga kepala negara-negara G8 menekankan peran teknologi informasi telekomunikasi memainkan peran untuk membantu memperbaiki ICTngkat pendidikan dunia. G8 bersama UNESCO membuat project CSTyang tujuan dari project CST fokusnya terhadap keterampilan ICT yang dikaitkan dengan pandangan pedagogi, kurikulum dan pengelolaan sekolah untuk pengembangan profesional guru yang pada gilirannya meningkatkan kualitas pembelajarannya, sehingga guru dapat berkolaborasi dengan rekan-rekannya yang ingin menjadi inovator diinstitusinya dengan tujuan utama adalah adalah untuk meningkatkan kualitas yang tnggi dari sistem pendidikan yang pada gilirannya menghasilkan penduduk dan tenaga pekerja yang berkualitas yang akan meningkatkan tingkat ekonomi dan kualitas kehidupan sosial.
Lebih jauh lagi dengan ICT akan memudahkan untuk memanfaatkan E-learning. Secara umum, intervensi e-learning dalam proses pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua: komplementer dan substitusi. Yang pertama mengandaikan bahwa cara pembelajaran dengan pertemuan tatap-muka masih berjalan tetapi ditambah dengan model interaksi berbantuan ICT, sedang yang kedua sebagian besar proses pembelajaran dilakukan berbantuan ICT. Saat ini, regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah juga telah memfasilitasi pemanfaatan e-learning sebagai substitusi proses pembelajaran convensional. Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 7/U/2001 dengan jelas membuka koridor untuk menyelenggarakan pendidikan jarak jauh di mana e-learning dapat masuk memainkan peran. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang kita pelajari. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah kurikulum telah sesuai dengan kebutuhan siswa dan apakah kurikulum telah dirancang untuk menyiapkan siswa untuk hidup dan bekerja pada masa yang akan datang perlu sekali lagi dilontarkan. Perkembangan ICT yang sangat pesat harus dipertimbangkan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Menurut Resnick (2002), selain ICT akan sangat mewarnai masa depan, ICT juga mengubah tidak hanya terhadap apa yang seharusnya dipelajari oleh siswa, tetapi juga apa yang dapat dipelajari. Sangat mungkin banyak hal yang seharusnya atau dapat dipelajari siswa tetapi tidak bisa dimasukkan ke dalam kurikulum karena “ruang” yang terbatas atau kompleksitas yang ICTnggi dalam mengajarkannya. Terkait dengan ini, paradigma pembelajaran yang sebelumnya mengandaikan bahwa sumberdaya pembelajaran hanya terbatas pada materi di kelas dan buku harus diubah. Hadirnya ICT, terutama Internet, telah menyediakan sumberdaya informasi, terutama Internet, dalam hal ini memberikan peluang untuk itu.
Kapan dan dimana belajar dilakukan adalah pertanyaan berikut yang perlu dipikirkan jawabannya. Apakah harus dalam ruangan kelas dalam waktu tertentu atau tidak terbatas ruang dan waktu? Model pembelajaran tatap-muka yang banyak membatasi
waktu dan tempat belajar. Sebagai komplemen (atau substitusi), teknologi e-learning hadir untuk memberikan kebebasan kepada siswa dalam memilih tempat, waktu, dan ritme belajar (Kirkpatrick, 2004). Interaksi yang difasilitasi oleh ICT ini dapat terjadi secara sinkron (pada waktu yang sama) maupun asinkron (dalam waktu yang berbeda).
E-learning dapat difasilitasi secara online maupun off line dengan bantuan ICT. Produksi CD-ROM dengan konten materi pembelajaran termasuk di dalamnya. Kini, kita bisa dapatkan banyak CD-ROM untuk pembelajaran di pasaran; mulai untuk balita. Bahkan beberapa CD-ROM telah memfasilitasi siswa belajar sesuai dengan kurikulum yang sedang berjalan dengan kemasan yang menarik. Dalam hal ini, ICT dapat menghadirkan digital excitement dalam proses pembelajaran. Salah satu perusahaan yang memproduksi CD-ROM semacam ini adalah Akal (www.akalinteraktif.com).
Untuk menfasilitasi e-learning dengan bantuan koneksi Internet, dalam beberapa tahun terakhir, telah dikembangkan banyak aplikasi yang dirancang untuk mendukung proses pembelajaran. Aplikasi ini sering disebut dengan Learning Management System (LMS). LMS ini mengintegrasikan banyak fungsi yang mendukung proses pembelajaran seperti menfasilitasi berbagai macam bentuk materi instruksional (teks, audio, video), e-mail, chat, diskusi online, forum, kuis, dan penugasan. Beberapa contoh LMS adalah Web (www.webct.com), Blackboard (www.blackboard. com), Macromedia Breeze
(www.macromedia.com/software/breeze/), dan Fronter (www.fronter.no). LMS sudah
banyak diadopsi oleh banyak lembaga pendidikan di dunia. Sebagi contoh, Web telah
digunakan lebih dari 2200 PT di seluruh dunia (Pituch dan Lee, 2004). Blackboard juga
sudah banyak digunakan oleh pendidikan setingkat SMU (www.blackboard.com).
Lebih lanjut lagi dengan ICT seseorang dapat menjadi communitas yang mendunia dengan Bertinteraksi, berbagi pengalaman dan berhubungan dengan lembaga-lembaga dimana saja seperti Growth of Social media, social net working dalam hal collective problem solving. Demikian juga seperti lembaga OER (Open Educational Resources) dan lembaga-lainnya.

KOMPETENSI GURU DALAM MENGGUNAKAN ICT
Dalam pemanfaatan ICT ada beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru agar dapat memanfaatkan ICT secara maksimal untuk menunjang tugas dan kewajibannya dalam meningkatkan mutu pendidikan, yang antara lain :

1. Memilih penerapan ICT yang tepat untuk meningkatkan kompetensi personal dan efektifitas profesional dengan mampu menggunakan word prosesor untuk mempersiapkan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan tugas mereka sebagai pendidik seperti: pembuatan silabus, RPP, penilaian, surat, dan lain-lain, menggunakan software untuk presentasi seperti: powerpoint dan menggunakan ICT: record-keeping, analisis, dan pelaporan
2. Mengakses dan menggunakan sumber informasi dan komunikasi elektronik: internet, e-mail, untuk keperluan pendidik dan pelajar, menggunakan e-mail untuk berkomunikasi dengan pendidik yang lain yang behubungan dengan kepropesionalannya; berpartisipasi dan berkontribusi dengan profesional komuniti online.
3. Memfasilitasi penggunaan e-mail oleh pelajar untuk keperluan pendidikan, menggunakan wordwide web untuk memperoleh informasi yang dapat meningkatkan fungsinya sebagai pendidik dan mengevaluasi kelayakan suatu informasi yang berbasis Web.
4. Mereflesikan dan mengelola perbaikan penggunaan ICT bagi pelajar dengan kemampuan mengidentifikasi faktor-faktor yang seharusnya berobah sebagai hasil refleksi pada penggunaannya dan mengidentifikasi strategi untuk merobah penerapannya sebagai hasil refleksi serta merefleksikan dan merencanakan sedemikian rupa sehingga ICT dapat diintegrasikan dalam pendidikan.
mengekspresikan bagaimana mereka merasakan pelajaran yang menggunakan ICT, atau efektifitas dari penggunaan lain ICT sebagai pendidik.
5. Pembimbingan pelajar dalam pengem bangan kompetensi ICT yang berhubu ngan dengan penggunaan ICT sebagai alat bantu pendidikan dengan memberikan kesempatan bagi pelajae untuk menggunakan ICT baik dalam kegiatan kurikuler maupun extra kurikuler, mengajarkan pelajar dasar word procesor dan keterampilan spreadsheet, e-mail, dan teknik pencarian Web, menyediakan bantuan bagi siswa untuk bekerja dengan ICTdan mempunyai keinginan untuk memfasilitasi pelajar yang akan bekerja dengan ICT serta menggunakan terminologi yang muncull dari penggunaan ICT dalam bidang pembelajaran secara tepat.
6. Memodelkan dan memberi bimbingan bagi pelajar dalam penggunaan yang lebih cocok untuk tujuan-tujuan khusus.
7. Mencegah penggunaan software yang dilarang.
8. Meyakinkan para pelajar tidak dapat melakukan plagiat ketika bekerja dengan informasi dan meyakinkan bahwa pelajar-pelajar menggunakan prinsip-prinsip penggunaan internet yang fair; mempertahankan etika dalam menggunakan hak kekayaan intelektual serta menghargai informasi yang bersifat privasi.

9. Mengorganisasikan kelas ketika menggunakan ICT untuk pembelajaran dengan menjadwalkan penggunaan ICT yang diintegrasikan dengan pembelajaran, mengelola lingkungan pembelajaran yang mampu memberikan kontribusi pada penggunaan bermacam-macam alat dan pedagogi, menyiapkan peralatan, konten, dan pedagogi yang tepat ketika ICT digunakan untuk pembelajaran, mengelola kelompok kerja dengan ICT, mengelola variabel dari kemampuan pelajar dengan ICT dalam suasana belajar; mengetahui bentuk intervensi apa yang sangat tepat didalam kelas untuk memvasilitasi belajar dengan baik; memilih alat dan pedagogi yang memungkinkan pelajar untuk mengelola cara belajar mereka sendiri serta meminimalkan kesia-siaan penggunaan ICT dalam pembelajran.

10. Menyadari perbedaan dan keunikan dari pelajar dalam menggunakan ICT dalam pembelajaran sehingga memilih dan menggunakan peralatan ICT dan pedagogi yang tepat untuk gender, umur, dan tingkatan pelajar dan menggunakan alat ICT dan pedagogi yang tepat untuk pelajar-pelajar yang punya hambatan dalam belajar; merancang aktivitas belajar dengan menggunakan ICT agar dapat mengakomodir perbedaan pelajar; mengajarkan keterampilan dasar yang tepat untuk mempersiapkan dasar-dasar bagi pelajar dalam menggunakan ICT dan menggunakan ICT untuk mendukung pengembangan kratifitas pelajar.

PENUTUP

ICT merupakan pintu gerbang untuk memasuki dunia pengetahuan yang yang terbentang luas, penuh dengan berbagai macam keterampilan dan pengetahuan. Hampir semua aspek pengetahuan dijangkau oleh ICT dari yang ada di permukaan bumi sampai dengan yang ada di angkasa sana. Sekarang permasalahannya tergantung lagi kepada kita apakah akan memanfaatkan semuanya ini untuk meningkatkan kompetensi dan memajukan pendidikan yang merupakan tanggungjawab kita bersama.


Referensi
1. Fathul Wahid. 2005, Peran Teknologi Informasi dalam Modernisasi Pendidikan, makalah Simposium Nasional Peduli Pendidikan, Yogyakarta 9 Juli 2005.
2. Curriki, http//www.curriki.org/xwilki, 11-02- 208
3. Unesco, Education and ICTs, http// portal unesco.org/education, 11- 02- 2008-02-2008
4. Finish information Society programme for education training and research, 2004-2006, minestry of education , 11- 02- 2008
5. Unesco ICT competence standard for teachers, http:/portal UNESCO.org/ci/en/er,php 11-02-2008

Role Play:Suatu Alternatif Pembelajaran yang Efektif dan Menyenangkan dalam Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik

ROLE PLAY: SUATU ALTERNATIF
PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN
MENYENANGKAN DALAM MENINGKATKAN
KETERAMPILAN BERBICARA SISWA
SLTP ISLAM MANBAUL ULUM GRESIK

Oleh : Mudairin*

Abstrak. Sebagai guru bahasa Inggris seringkali dihadapkan pada dua pilihan, mengajar bahasa Inggris untuk mengejar nilai Ebtanas atau melatih kemampuan siswa menggunakan bahasa itu sebagai bahasa komunikasi. Tampaknya pilihan pertama banyak dipilih karena selama ini tolok ukur keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris diidentikkan dengan perolehan nilai EBTANAS. Yang terjadi selanjutnya, pembelajaran di kelas monoton dari hari ke hari. Waktu belajar siswa banyak dihabiskan untuk mengerjakan soal-soal latihan.

Bagaimana dengan keterampilan berbicara siswa? Tidak ada keraguan sama sekali bahwa mereka enggan berbicara dalam bahasa Inggris. Mereka tampak merasa malu dan takut salah. Mereka memang tahu banyak tentang bahasa Inggris tapi sayangnya tidak tahu harus berbuat apa terhadap bahasa Inggris.

Salah satu upaya guna meningkatkan keterampilan berbicara siswa adalah memberikan Role Play sebagai bentuk kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan English atmosphere di dalam kelos. Dalam Role Play siswa di-setting pada situasi tertentu dan saling berinteraksi bersama teman-temannya dengan menggunakan bahasa Inggris.

Kata kunci: Keterampilan berbicara bahasa Inggris, Role Play Pembelajaran English atmosphere.

PENDAHULUAN

Kurikulum bahasa Inggris SLTP 1994 dan suplemennya menekankan keterampilan membaca (reading) pada pembelajaran bahasa Inggris di SLTP (Kurikulum bahasa Inggris, 1994). Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas banyak difokuskan pada keterampilan membaca (reading). Sementara itu, keterampilan lain utamanya keterampilan berbicara (speaking) tidak banyak mendapatkan perhatian. Apalagi adanya kenyataan bahwa keterampilan berbicara tidak diujikan dolam ulangan bersama atau dalam Ebtanas. Yang terjadi selanjutnya, banyak guru yang memberi porsi secara berlebihan pada keterampilan membaca (reading), sementara kemampuan speaking siswa sangat tidak kompeten. Keadaan ini menjadikan mereka enggan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (Yang Shuying, 1999).

Kondisi yang demikian ini terjadi di sekolah peneliti di SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik. Pembelajaran bahasa Inggris banyak difokuskan pada reading karena reading banyak mendominasi soal-soal ulangan, baik ulangan bersama maupun Ebtanas. Disisi lain, keterampilan berbicara tidak banyak mendapatkan perhatian yang cukup. Pembelajaran keterampilan speaking disajikan sebatas pada penjelasan-penjelasan mengenai fungsi ungkapan-ungkapan bahasa, tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperaktikkan ungkapan-ungkapan itu. Lebih parah lagi, bahasan-bahasan itu dikemas dalam bentuk soal-soal latihan. Tidak lain, tujuannya adalah mengkondisikan siswa pada soal-soal Ebtanas. Faktor yang demikian ini menjadikan kemampuan berbicara siswa dalam bahasa Inggris tertatih tatih.

Disisi lain, penguasaan seseoranq terhadap bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi amat penting. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah orang yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing atau bahasa kedua akan melebihi jumlah penutur aslinya (Melvia A. Hasman, 2000). Belum lagi pada tahun 2003 akan diberlakukan dua perjanjian, yaitu AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area), sementara pada tahun 2020 akan diberlakukon Perjanjian WTO.

Melihat peluang-peluang itu dan memperhatikan keberadaan sekolah peneliti ada di daerah industri, tidak ada pilihan lain bahwa keterampilan berbicara siswa harus ditingkatkan. Mengapa keterampilan berbicara? Dari keempat keterampilan bahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis), keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris sangat dibutuhkan dalam bidang industri.

Guna meningkatkan kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik, peneliti menggunakan Rote Play sebagai bentuk kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas.

Role play adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1 986). Dalam Role Play siswa dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas, dengan menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, Rote Play sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain saat menggunakan bahasa Inggris (Basri Syamsu, 2000).

Dalam Role Play siswa diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri siswa (Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran bahasa menjelaskan bahwa dalam pembelajaran bahasa, siswa akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan menggunakan bahasa dengan melakukan berbagai kegiatan bahasa. Bila mereka berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari (Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran siswa harus aktif. Tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi (Sardiman, 2001).

Sementara itu, sesuai dengan pengalaman peneliti manfaat yang dapat diambil dari Role Play adalah: Pertama, Role Play dapat memberikan semacam hidden practise, dimana siswa tanpa sadar menggunakan ungkapan-ungkapan terhadap materi yang telah dan sedang mereka pelajari. Kedua, Role play melibatkan jumlah siswa yang cukup banyak, cocok untuk kelas besar. Ketiga, Role Play dapat memberikan kepada siswa kesenangan karena Role Play pada dasarnya adalah permainan. Dengan bermain siswa akan merasa senang karena bermain adalah dunia siswa. Masuklah ke dunia siswa, sambil kita antarkan dunia kita (Bobby DePorter, 2000).

Peneliti juga menggunakan musik sebagai back-ground suara di dalam kelas pada saat siswa melakukan praktik bahasa. Musik yang dimakud dalam hal ini adalah jenis musik klasik, misalnya musik Mozart atau Barrogue. Musik ini berfungsi untuk mendukung lingkungan pembelajaran, merubah mental siswa dan mempengaruhi kondisi hati siswa. Dalam suasana hening, siswa biasanya merasa malu memulai pembicaraan dalam bahasa Inggris karena takut salah. Di samping itu, irama, ketukan dan keharmonisan musik dapat mempengaruhi filosofi manusia, terutama gelombang otak dan detak jantung, disamping dapat membangkitkan perasaan dan ingatan. Musik dapat membantu siswa masuk ke keadaan belajar optimal. Musik juga memungkinkan guru membangun hubungan dengan siswa. Melalui musik, guru dapat berbicara dalam bahasa mereka (Bobby DePorter, 2000).

Berdasarkan uraian di atas peneliti mencoba merumuskan masalah, yaitu: bagaimana mengembangkan materi dan strategi pembelajaran bahasa lnggris melalui Role Play guna meningkatkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris siswa-siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik?

Penelilian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan materi dan strategi pembelajaran bahasa Inggris melalui Role Play guna meningkatkan keterampilan berbicara siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik.

RENCANA TINDAKAN

Guna meningkatkan kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik, peneliti menggunakan Role Play sebagai bentuk kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas. Pada setiap tatap muka selama 90 menit, siswa diminta secara aktif melakukan praktik bahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) pada situasi tertentu dalam kelompok kecil (yang terdiri dari 2 sampai 6 siswa) maupun kelompok besar (lebih dari 6, atau melibatkan seluruh kelas). Dengan perlakukan seperti ini, didapatkan asurnsi bahwa kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik akan meningkat. Adapun bagian detilnya akan didapatkan setelah penelitian ini dilakukan, dan itu akan disampaikan pada bagian kesimpulan.

Setting penelitian

Penelitian ini dilakukan di SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik. Sebagai sasarannya adalah siswa kelas II (dua) B dengan jumlah siswa sebanyak 41 siswa. Mereka sebagian besar adalah siswa-siswa yang memiliki nilai akademik rendah, sisa-siswa yang tidak diterima di sekolah-sekolah negeri.

Peneliti adalah guru bahasa Inggris, yang sudah sekitar 10 tahun mengajar bidang studi bahasa Inggris di sekolah tersebut. Sekolah itu terletak di daerah industri di pinggiran kota dimana sangat rentan terhadap munculnya masalah-masalah sosial yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran sjswa.

Persiapan penelitian

Untuk mendapatkan refleksi awal, peneliti melakukan tes awal yang berbentuk tes interview. Tes awal ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi siswa sebenarnya tentang kemampuan berbicara siswa dalam bahasa Inggris. Setelah peneliti mengetahui gambaran awal, peneliti melakukan persiapan penelitian yang antara lain, menyusun rencana pengajaran sekaligus menyusun materi pembelajaran dalam bentuk Role Play, membuat media pembelajaran (kartu, students' worksheet, gambar, type recorder) dan membuat instrumen penelitian.

Siklus Penelitian

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang menggunakan 3 siklus sedang, dan dalam setiap siklus sedang terdiri dari 6 siklus kecil. Total jumlah siklus kecil dalam penelitian ini sebanyak 18 siklus kecil. Dan setiap siklus kecil berlangsung selama 90 menit. Pembagian siklus menjadi 3 siklus sedang dimaksudkan karena setiap siklus sedang memiliki karakter dan tujuan yang berbeda-beda.

Siklus sedang I memiliki karakter bahwa materi yang diberikan kepada siswa sebagian besar merupakan materi kelas I (satu), dan masih sederhana. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan sekaligus meningkatkan keberanian dan rasa percaya diri siswa karena materi-materi itu pada dasarnya sudah dikenal siswa pada saat kelas 1. Siklus sedang II, materinya dikembangkan satu tingkat grade-nya di atas materi siklus sedang 1. Tujuan yang ingin dicapai adalah disamping untuk meningkatkan keberanian dan rasa percaya diri siswa, sekaligus untuk meningkatkan fluency. Sementara itu siklus sedang III, bobot materinya hampir sama dengan materi pada siklus sedang II. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa, fluency dan accuracy. Topik atau tema pada masing-masing siklus dapat dilihat pada bagian selanjutnya.

Sementara itu, yang dimaksud dengan siklus kecil adalah suatu kegiatan pembelajaran yang menyajikan satu anak tema atau topik tertentu dalam satu tatap muka selama 90 menit (2 x 45 menit). Setiap siklus kecil terdiri dari empat tahapan yaitu, planing, acting, observing, dan reflecting.

Instrumen Penelitian

Untuk mendukung validitas, penelitian ini menggunakan instrumen-instrumen sebagai berikut; interview, questionaire, field notes, skala penilaian dan intsrumen lain berupa perangkat elektronika. Instrumen-instrumen tersebut dimaksudkan agar didapatkan triangulasi data.

HASIL PENELITIAN

Refleksi Awal

Seperti yang telah peneliti uraikan pada awal bagian penelitian ini bahwa kemampuan berbicora dalam bahasa Inggris siswa-siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik amat rendah. Kondisi seperti ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan pembelajaran sebelumnya, pada saat mereka kelas 1. Ini terbukti dari hasil interview yang dilakukan oleh peneliti didapatkan data bahwa kemampuan berbicara siswa dalam bahasa Inggris siswa rata-rata sangat rendah. Sebanyak 10% siswa dapat menjawab pertanyaan yang diajukan dengan mendapatkan nilai kategori baik (siswa dapat menjawab pertanyaan dan jawabannya tetap mengacu pada pertanyaan dengan menggunakan kosa kata yang tepat, dan kesalahan struktur hamper tidak ada). Sebanyak 20% siswa mendapat nilai dengan kategori cukup (siswa dapat menjawab pertanyaan tetapi menggunakan sedikit kosa kata dan sering membuat kesalahan pada struktur, kadang-kadang jawabannya tidak mengarah pada pertanyaan). Sedangkan sisanya, sebanyak 70 % siswa mendapatkan nilai kategori jelek (Siswa tidak menjawab sama sekali karena tidak mengerti maksud pertanyaan. Atau jika paham, mereka malu dan takut menjawab).

Di bawah ini daftar topik pertanyaan yang di-interview-kan kepada siswa:

1. Giving about the name, age, address, hobby
2. Giving information about family
3. Talking about job
4. Physical description
5. Like/dislike
6. Talking about colour
7. Talking about clothes
8. Giving information about daily activity
9. Replying where people are
10. Talking about ongoing actilvity

Siklus Sedang I

PERENCANAAN

Siklus sedang I terdiri dan 6 siklus kecil, dan setiap siklus kecil berlangsung selama 90 menit. Materi yang diberikan antara lain: Asking for and giving personal information 1, Asking for and giving personal information 2, Asking for and giving personal information 3, Talking about family. Counting, Asking and replying where things are.

Langkah-langkah yang ditempuh antara lain:
a. Membuat setting Role Play agar tampak sebagaimana mestinya. Misalnya, menjelaskan kepada siswa peran apa yang akan dimainkan. Di sini, peneliti melakukan persiapan-persiapan yang berkaitan dengan setting Role Play dan atributnya.
b. Menjelaskan tujuan dan aturan permainan.
c. Memberikan ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, membimbing cara pengucapkannya beberapa kali dan sekaligus menjelaskan penggunaannya. Ini dilakukan dengan maksud agar siswa merasa percaya diri menggunakan ungkapan-ungkapan itu dalam Role Play.
d. Memilih musik yang sesuai sebagai background suara agar suasana tampak rileks sehingga dapat mengurangi ketegangan siswa.

PELAKSANAAN

Siswa diminta memperaktikkan Role Play sesuai dengan tujuan dan aturan permainan selama kurang lebih 50 menit. Untuk 5 menit pertama, peneliti membuat persiapan-persiapan sebagai setting Role Play, misalnya menata kelas, membuat atribut dan menceriterakan kepada siswa peran yang akan dimainkan. 5 menit berikutnya, peneliti menjelaskan tujuan dan aturan permainan. Kemudian 15 menit selanjutnya ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang dipakai dalam Role Play dituliskan di papan, sekaligus dijelaskan oleh peneliti fungsinya. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menirukan cara melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang akan dipakai.

Untuk topik-toprk yang lebih rumit,kegiatan ini kadang-kadang membutuhkan lebih dari 15 menit. Selanjutnya setelah siswa merasa jelas, peneliti meminta siswa memperaktikkan Role Play selama kurang lebih 25 menit dalam kelompok. Pada saat siswa bermain Role Play, peneliti membunyikan musik sebagai background suara dengan volume tertentu.

Peneliti selanjutnya memantau jalannya Role Play sambil memberikan bantuan kepada siswa. Untuk kesalahan-kesalahan yang bersifat umum, artinya dilakukan hampir seluruh siswa, peneliti menjelaskan kembali secara klasikal. Sementara kesalahan yang bersifat individu atau kelompok, peneliti langsung memberikan penjelasan pada individu atau kelompok itu.

PENGAMATAN

Pada setiap akhir dua siklus kecil, Angket Siswa dibagikan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui respon siswa setelah mereka mempraktikkan Role Play. Tabel benkut ini menunjukkan jumlah rata-rata respon siswa dari 3 angket yang teriah disebarkan selama pelaksanaan sikius sedang 1. Dari 41 jumlah didapatkan data seperti pada Tobel 1. Data Tabel 1 di-checkcross-kan dengan Lembar Observasi Aktivitas dalam KBM yang dilakukan oleh kolaborator, dan didapatkan data:

1. Peneliti merasa kesulitan membuat gambar atau media lain untuk kata-kata tertentu sehingga kata-kata itu langsung diterjemahkan. Hal yang demikian ini mengakibatkan sebanyak 64 % siswa merasa kesulitan memahami arti kosa kata meskipun sudah diartikan kedalam bahasa Indonesia.
2. Peneliti sudah memberi contoh cara melafalkan ungakapan-ungkapan yang dipakai namun tidak banyak memberi penekanan sehingga mengakibatkan sebanyak 61% siswa merasa kesulitan mengucapkan ungkapan-uangkapan itu saat mempraktikkan Role Play.










TABEL : 1

No. JUMLAH URAIAN
1. 64 % Siswa Menyatakan merasa kesulitan dalam memahami arti kosa kata yang terdapat dalam Role Play
2. 26 % Siswa Menyatakan bahwa kosa kata yang sukar jumlahnya sedikit.
3. 58 % Siswa Menyatakan mudah memahami ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play
4. 61 % Siswa Menyatakan merasa kesulitan mengucapkan ungkapan-ungkapan itu
5. 76 % Siswa Menyatakan merasa sudah jelas dengan aturan Role Play
6. 79 % Siswa Menyatakan merasa jelas dengan contoh yang telah diberikan oleh guru.
7. 76 % siswa Menyatakan merasa senang belajar bahasa Inggris melalui Role Play
8. 59 % Siswa Menyatakan merasa sulit bermain Role Play


REFLEKSI

Sementara itu, hasil refleksi yang diperoleh di lapangan selama pelaksanaan siklus sedang I sebagaimana di bawah ini:

1. Pada awal pelaksanaan siklus sedang I tampaknya sebagian besar siswa masih merasa canggung (tidak percaya diri) melakukan praktik bahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris). Sebagai gantinya, siswa banyak melakukannya dengan cara melihat pekerjaan teman-temannya. Kondisi yang demikian ini terjadi karena siswa belum terbiasa melakukan Role Play. Kemungkinan lain, kurangnya penekanan pada latihan melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang dipakai dalam Role Play sehingga siswa merasa malu. Masalah ini (percaya diri siswa) akan mendapat perhatian peneliti untuk pelaksanaan siklus sedang berikutnya.

2. Di samping melihat pekerjaan teman-temannya, untuk mendapatkan dan memberi infromasi yang semestinya dilakukan dengan cara bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris, banyak siswa yang masih menggunakan bahasa daerah. Misalnya, untuk meminta perhatian seseorang, minta maaf, menyuruh orang lain mengulang apa yang ia katakan. Padahal, untuk tujuan ini mereka sebenarnya dapat saja melakukan dalam bahasa Inggris dengan cara melihat ungkapan-ungkapan itu yang masih tertera di papan tulis. Keadaan seperti ini banyak dipengaruhi oleh ketidak biasaan mereka berbicara dalam bahasa Inggris sehingga mereka enggan melakukannya. Pada pelaksanaan siklus selanjutnya agar keadaan ini tidak terulang lagi siswa banyak dibekali cara melafalkan ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, dan siswa sering diingatkan agar mereka tidak canggung dan ragu-ragu lagi.

3. Sebagian besar siswa merasa sulit beradaptasi dengan Setting Role Play yang dipersiapkan sepenuhnya oleh peneliti. Keadaan ini akan mendapat perhatian peneliti pada pelaksanaan siklus sedang berikutnya. Misalnya, dengan memberitahukan terlebih dahulu tentang setting Role Play untuk pertemuan berikutnya, kemudian memberi penugasan kepada siswa untuk membuat persiapan-persiapan setting Role Play sebagaimana yang dikehendaki.

Siklus Sedang II

PERENCANAAN

Siklus sedang II terdiri dan 6 siklus kecil, dan setiap siklus kecil berlangsung selama 90 menit. Materi yang diberikan adalah: Asking where places are 1, Asking where places are 2, Asking for things in a shop, Shopping around, Describing feelings, Talking about habits and hobbies.

Langkah-langkah yang ditempuh pada perencanaan siklus sedang II adalah:

1. Memberikan setting Role Play terlebih dahulu untuk perternuan berikutnya, dan memberikan penugasan kepada siswa untuk mempersiapkan setting itu.
2. Menjelaskan dan menegaskan kembali kepada siswa tujuan dan aturan permainan agar siswa tidak lagi melihat pekerjaan teman-temannya. Melainkan bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris untuk mendapatkan dan memberi informasi.
3. Melatih siswa melafalkan ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play beberapa kali, dan sekaligus menjelaskan kegunaannya serta memberikan contoh agar mereka menjadi jelas dan percaya diri disamping untuk meningkatkan fluency siswa.
4. Memperpanjang waktu bermain Role Play, semula 50 menit menjadi 60 menit.
5. Memilih jenis musik yang sesuai sebagai backround.

PELAKSANAAN

Siswa diminta kembali memperaktikkan Role Play sesuai dengan tujuan dan aturan permainan selama kurang lebih 60 menit. Untuk 5 menit pertama, siswa membuat persiapan-persiapan sebagai setting Role Play sebagaimana yang telah diberitahukan terlebih dahulu dan ditugaskan oleh peneliti. Siswa tampaknya lebih mudah beradaptasi dengan setting yang telah mereka persiapkan sendiri. 5 menit berikutnya, peneliti, menjelaskan tujuan dan aturan permainan. Pada bagian ini peneliti mengingatkan dan menekankan kepada siswa untuk melakukan Role Play sebagaimana prosedurnya, dan bukan melihat pekerjaan temannya. Kemudian 15 menit selanjutnya ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang dipakai dalam Role Play dituliskan di papan, sekaligus dijelaskan oleh peneliti fungsinya. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menirukan cara melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata beberapa kali hingga siswa merasa jelas. Selanjutnya setelah siswa merasa jelas, peneliti meminta siswa mempraktikan Role Play selama kurang lebih 35 menit dalam kelompok. Pada saat siswa bermain Role Play, peneliti membunyikan musik sebagai background suara dengan volume tertentu.

Peneliti selanjutnya memantau jalannya Role Play, dan masih memberikan bantuan kepada siswa. Untuk kesalahan-kesalahan yang bersifat umum, kesalahan itu dijelaskan kembali secara klasikal. Sementara kesalahan yang bersifat individu atau kelompok, dijelaskan pada saat kesalahan itu terjadi. Namun demikian, koreksi yang diberikan tidak menjadikan siswa down.

PENGAMATAN

Pada setiap akhir dua siklus kecil, Angket Siswa dibagikan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui respon siswa setelah mereka mempraktikkan Role Play. Data yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan dan peningkatan di beberapa hal.

Dari semula 64% siswa yang menyatakan merasa kesulitan memahami arti kosa kata dalam Role Play, kini turun menjadi 51%. Ini dikarenakn peneliti tidak langsung mengartikan kata-kata itu tapi menggunakan gambar atau realia dan mungkin gesture. Sehingga gambar dan gesture itu dapat dijadikan siswa sebagai alat cantolan untuk menambatkan kata-kata dalam benak mereka. Semula 58% siswa yang menyatakan mudah memahami ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, kini meningkat menjadi 70%. Ini disebabkan guru banyak melatih siswa melafalkan ungkapan-ungkapan itu. Disamping itu, siswa juga sudah mulai terbiasa bermain Role Play sehingga mereka juga terbiasa melakukan tanya dan jawab dalam bahasa Inggris. Demikian pula yang menyatakan senang bermain Role Play, semula dari 76% meningkat menjadi 82%. Sementara itu, jumlah siswa yang menyatakan sulit bermain Role Play kini turun, semula 59 % menjadi 41 %. Ini tidak lain karena siswa sudah terkondisi bermain Role Play.

REFLEKSI

Hasil refleksi yang diperoleh di lapangan selama pelaksanaan siklus sedang II adalah sebagai berikut:

1. Rasa percaya diri siswa selama pelaksanaan siklus sedang II tampak lebih baik dibandingkan pada siklus sebelumnya. Banyak siswa yang tidak lagi melihat pekerjaan teman-temannya untuk mendapatkan dan memberi informasi. Melainkan mereka lakukan dengan bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris kendatipun cara melafalkannya (fluency) masih belum baik. Ini dikarenakan sikap peneliti yang sering membantu siswa melafalkan dan sekaligus menjelaskan fungsi ungkapan-ungkapan yang dipakai. Perpanjangan waktu untuk memperaktikkan Role Play tenyata dapat mempengaruhi rasa percaya diri siswa karena siswa merasa lebih leluasa dan lebih lama melakukan praktik bahasa.
2. Jumlah siswa yang menggunakan bahasa daerah saat mereka memperaktikkan Role Play berkurang. Untuk menyuruh temannya mengulang, misalnya, siswa menggunakan ungkapan "What?". Sementara untuk ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, mereka tidak ragu lagi menggunakannya walaupun pronounciation-nya masih belum baik. Ini dikarenakan siswa sudah mulai terkondisi betul dengan permainan Role Play.
3. Role Play yang dimainkan dalam kelompok besar, lebih dari 6 siswa, suasananya tampak lebih meriah dari pada jika dimainkan dalam kelompok kecil, yang dimainkan hanya 2 siswa atau kurang dari 6 siswa. Faktor ini ternyata dapat mempengaruhi keberanian dan rasa percaya diri siswa sekaligus dapat mempertahankan siswa untuk tetap melakukan praktik (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris). Ini dikarenakan bila Role Play dimainkan dalam kelompok besar, siswa dapat memilih patner mereka sesuka hati. Berbeda dengan jika dimainkan dalam kelompok kecil. Dalam kelompok kecil, siswa melakukan hanya terbatas kepada teman sebangkunya saja. Pada siklus sedang berikutnya, pemilihan topik Role Play akan dipertimbangkan dengan kelompok besar.

Siklus Sedang III

PERENCANAAN

Siklus sedang III terdiri dari 6 siklus kecil, dan setiap siklus kecil berlangsung selama 90 menit. Materi yang akan diberikan antara lain: Asking for and giving permission. Talking about likes and dislikes. Describing places. Describing houses, Asking about travelling to work.

Langkah-langkah yang diberikan pada perencanaan siklus sedang III sebagai berikut:

1. Memilih materi-materi Role Play yang dimainkan dalam kelompok besar. Ini dimaksudkan agar rasa percaya diri dan fluency siswa lebih meningkat. Dengan cara ini siswa dapat menentukan pasangannya secara bergantian, dan dengan cara ini pula siswa dapat melatih rasa percaya diri mereka kepada teman-temannya. Disamping itu, mereka juga dapat mengukur fluency mereka dibanding dengan teman-temannya.
2. Menambah waktu bermain Role Play, semula 60 menit menjadi 75 menit. Ini dimaksudkan agar siswa lebih lama melakukan peraktik bahasa bersama teman-temannya.
3. Memilih jenis musik yang sesuai sebagai background.

PELAKSANAAN

Siswa diminta kembali memperaktikkan Role Play sesuai dengan tujuan dan aturan permainan selama kurang lebih 75 menit. Untuk 5 menit pertama, siswa membuat persiapan-persiapan sebagai setting Role Play sebagaimana yang telah dilakukan pada siklus sebelumnya. 5 menit berikutnya, peneliti menjelaskan tujuan dan aturan permainan. Pada bagian ini peneliti menekankan kembali kepada siswa untuk melakukan Role Play sebagaimana prosedurnya, dan bukan melihat pekerjaan temannya. Kemudian 15 menit selanjutnya ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang dipakai dalam Role Play dituliskan di papan, sekaligus dijelaskan oleh peneliti fungsinya. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menirukan cara melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang akan dipakai beberapa kali hingga siswa merasa jelas. Selanjutnya, peneliti meminta siswa mempraktikkan Role Play selama kurang lebih 50 menit dalam kelompok besar. Pada saat siswa bermain Role Play, peneliti membunyikan musik sebagai background suara dengan volume tertentu.

Peneliti selanjutnya masih tetap memantau jalannya Role Play sambil memberikan bantuan kepada siswa.

PENGAMATAN

Pada setiap akhir dua siklus kecil, Angket Siswa dibagikan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui respon siswa setelah mereka mempraktikkan Role Play. Data yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan dan peningkatan di beberapa hal.

Dari semula 51% siswa yang menyatakan merasa kesulitan memahami arti kosa kata dalam Role Play, kini menjadi 31%. Ini dikarenakan kosa kata yang dipakai dalam Role Play banyakyang dikenal oleh siswa, ditambah lagi peneliti lebih banyak menggunakan gambar, realia dan mungkin gesture untuk membantu siswa memahami artinya. Dari 70% siswa pada siklus sebelumnya yang menyatakan mudah memahami ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, kini meningkat menjadi 87%. Kondisi yang demikian ini banyak dipengaruhi oleh latihan melafalkan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris pada siklus-siklus sebelumnya. Demikian pula yang menyatakan senang bermain Role Play, semula dari 82% meningkat menjadi 91%. Yang demikian ini karena bermain merupakan kegiatan yang disukai siswa SLTP Jadi, wajar kenaikan itu drastis. Sementara itu, jumlah siswa yang menyatakan sulit bermain Role Play kini turun, semula 41% menjadi 23%. Ini tidak lain karena siswa sudah terkondisi bermain Role Play. Mereka sudah terbiasa dengan tujuan dan aturan-aturannya. Mereka juga tahu apa yang harus diperbuat dan harus mereka katakan.

REFLEKSI

Hasil refleksi yang diperoleh di lapangan selama pelaksanaan siklus sedang III adalah sebagai berikut:

1. Selama pelaksanaan siklus sedang III, keberanian dan rasa percaya diri siswa benar benar tampak. Sebagian besar siswa, sekitar 90%, tidak lagi melihat pekerjaan teman-temannya untuk mendapatkan dan memberi informasi. Melainkan mereka lakukan dengan cara bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris. Fluency mereka juga tampak lebih baik dibandingkan siklus sebelumnya karena ungkapan-unkapan yang dipakai sudah banyak dikenal oleh siswa. Demikian pula pada accuracy siswa. Karena materi yang dipilih merupakan materi Role Play yang dimainkan pada kelompok besar, sehingga siswa dapat melakukan praktik bahasa (bertanya dan menjawab melalui Role Play).
2. Pada akhir pelaksanaan siklus sedang III penggunaan bahasa daerah sudah tampak berkurang. Misalnya jika mereka mengatakan sesuatu yang salah, mereka mengucapkan "I'm sorry" atau minimal "Sorry", dan bukannya "Eh" dalam bahasa daerah. Jika mereka meminta perhatian orang lain, mereka mengatakan "Excuse me!", bukan "Lhe" dalam bahasa daerah. Dan begitu seterusnya untuk ungkapan-ungkapan seperti, "Thank you", "That's OK". Siswa begitu fasih menggunakannya karena mereka sudah terbiasa.

KESIMPULAN

Salah satu variasi pembelajaran bahasa Inggris untuk siswa SLTP adalah pembelajaran bahasa Inggris melalui Role Play. Role Play sebaiknya dipersiapkan dan dirancang dengan baik. Dalam memberikan Role Play sebagai kegiatan pembelajaran bahasa Inggris, guru sebaiknya memperhatikan level siswa, utamanya pada pemilihan materi. Role Play yang terlalu tinggi bagi siswa dapat mempengaruhi psikologi siswa. Setting, tujuan dan aturan permainan dalam Role Play harus disampaikan agar dapat menumbuhkan rangsangan tersendiri bagi siswa. Siswa akan lebih bergairah bermain Role Play karena mereka sadar dan menganggap itu suatu kebutuhan. Jika perlu siswa juga dapat diberdayakan misalnya, dalam pembuatan setting Role Play. Karena Role Play yang baik adalah Role Play yang mampu memberdayakan sekaligus membuat siswa aktif. Dengan cara demikian siswa akan terlatih melakukan praktik-praktik bahasa, saling berinteraksi menggunakan bahasa Inggris bersama teman-temannya tanpa mereka sadari sebelumnya.

SARAN

Guru sebaiknya dalam melakukan pengajaran bahasa Inggris di kelas tidak harus selalu berorientasi pada perolehan hasil Ebtanas sebagai tujuannya. Ada yang lebih menantang, bagaimana membekali siswa dengan keterampilan-keterampilan yang lebih menjanjikan bagi kehidupannya kelak, yang sangat dibutuhkan pada era globalisasi nanti. Ketrampilan itu tidak lain adalah keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris. Untuk dapat memenuhi tujuan itu, guru seyogyanya lebih kreatif menjadikan pembelajaran tampak lebih hidup, nyata dan lebih bermakna, dan salah satunya melalui Role Play. Belajar adalah proses, dan butuh kesabaran di pihak kita.

DAFTAR PUSTAKA

1) Bobby DePorter, dkk. 2000. Quantum teaching. Bandung: Kaifa.
2) Bobby DePorter dan Mike Hemacki, dkk. 2000. Quantum learning. Bandung: Kaifa.
3) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. GBPP bahasa Inggris SLTP 1994. Jakarta: Bidang Dikmenum Kanwil Dikbud Propinsi Jawa Timur.
4) Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Contextual teaching and learning. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama
5) Hadfield, J. 1986. Harap's communication games. Australia: Thomas Nelson and Son Ltd.
6) Hasman, M. A. 2000. The importance of English. Washington: English Teaching Forum.
7) Mulyasa, E. 2002. Kurilculum berbasis kompetensi: Konsep, karakteristik, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
8) Sardiman A.M. 2001. Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali Press.
9) Basri, S. 2000. Teaching speaking. Makalah disampaikan pada Penataran Instruktur Guru Bahasa Inggris SLTP Swasta tanggal 8 - 19 Pebruari 2000 di Jakarta.

--------------------
*) Mudairin adalah Guru Bahasa Inggris SLTP Islam Manbaul Ulum Kabupaten Gersik , Jawa Timur.

Sumber : Buletin Pelangi Pendidikan (Buletin Peningkatan Mutu Pendidikan SLTP) Volume 6 No. 2 tahun 2003.

Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Melalui Teknik KWL dan Permainan Bahasa

UPAYA MENINGKATKAN
KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA INGGRIS
MELALUI TEKNIK KWL DAN PERMAINAN BAHASA

Oleh : Jafrizal *)


Abstrak. Hasil observasi di beberapa SLTP di Bayang ditemukan bahwa banyak siswa SLTP yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran berbicara bahasa Inggris. Untuk itu perlu digunakan strategi baru agar dapat meningkatkan kemampuan berbicara mereka, yaitu dengan menggunakan teknik KWL dan permainan bahasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penerapan teknik KWL dan permainan bahasa dapat meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa.

Penelitian ini diadakan pada gugus SLTP 2 Bayang Kelas 3 semester I Tahun Ajaran 2002-2003 yang terdiri dan 6 sekolah, waktu penelitian berlangsung selama 2 bulan dengan 3 siklus. Siklus I siswa melengkapi tabel kolom (K) dan kolom (W) dengan pengalaman yang berhubungan dengan topik dan materi yang mereka ingin ketahui. Berikutnya siswa mengemukakan hasil atau kesimpulan dari materi yang mereka pelajari dan ditulis pada kolom (L). Di setiap akhir pertemuan, siswa melakukan permainan bahasa sesuai dengan topik bahasan. Siklus II siswa menjawab pertanyaan sesuai panduan guru peneliti. Siklus III sebelum pembelajaran semua siswa diberi tugas belajar di rumah tentang topik bahasan yang akan diajarkan berikutnya.

Hasil penelitian menunjukkan ada peningkatan siswa yang aktif berbicara pada sikius I sekitar 10%, sikius II 15% dan sikius III sebanyak 20,8%. Hal ini juga terlihat pada ulangan harian siswa,yang diajar dengan menggunakan teknik KWL dan permainan bahasa lebih baik, dan persentase ketuntasan belajar pun lebih tinggi dibanding dengan yang tidak menggunakan teknik KWL.

PENDAHULUAN

Pelajaran bahasa Inggris di SLTP berfungsi sebagai alat pengembangan diri siswa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Setelah menamatkan studi, mereka diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang cerdas, terampil dan berkepribadian serta siap berperan dalam pembangunan nasional (GBPP 1994).

Pengajaran bahas Inggris di SLTP meliputi keempat keterampilan berbahasa yaitu: membaca, menyimak, berbicara dan menulis. Semua itu didukung oleh unsur-unsur bahasa lainnya, yaitu: Kosa Kata, Tata Bahasa dan Pronunciation sesuai dengan tema sebagai alat pencapai tujuan.

Dari ke empat keterampilan berbahasa di atas, pembelajaran keterampilan berbicara ternyata kurang dapat berjalan sebagaimana mestinya. Siswa belum mampu berkomunikasi walaupun dalam bahasa Inggris yang sangat sederhana. Di lain pihak, kurikulum SLTP 1994 mengisyaratkan bahwa siswa yang telah menamatkan jenjang pendidikan setingkat SLTP harus mampu menyampaikan ide, pendapat, ataupun tanggapan terhadap suatu masalah dalam bahasa Inggris yang sederhana.

Siswa kelas III di lingkungan gugus SLTPN 2 Bayang misalnya, setelah belajar bahasa Inggris selama dua tahun belum mampu juga menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi sekalipun dalam bentuk yang sederhana. Bahkan yang lebih tragis lagi, belakangan ini timbul kecenderungan bagi siswa untuk membenci pelajaran bahasa Inggris karena mereka menganggap bahwa pelajaran bahasa Inggris suatu yang membosankan dan menakutkan.

Salah satu usaha untuk menanggulangi masalah ini, guru-guru di gugus SLTPN 2 Bayang sepakat melakukan Penelitian Tindakan Kelas yang kali ini dilakukan pada murid kelas 3, dengan judul "Upaya Meningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Siswa Kelas III di SLTPN 2 Bayang Melalui Teknik KWL dan Permainan Bahasa".

Penelitian ini bertujuan agar siswa dapat mampu menggunakan bahasa Inggris untuk hal-hal yang sederhana, seperti:

1. Bertanya,
2. Menjawab pertanyaan, baik yang diajukan oleh guru maupun oleh teman-teman sekelas,
3. Tidak merasa malu berbicara dalam bahasa Inggris.

Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau pikiran dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara berhadapan ataupun dengan jarak jauh. Moris dalam Novia (2002) menyatakan bahwa berbicara merupakan alat komunikasi yang alami antara anggota masyarakat untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk tingkah laku sosial. Sedangkan, Wilkin dalam Maulida (2001) menyatakan bahwa tujuan pengajaran bahasa Inggris dewasa ini adalah untuk berbicara. Lebih jauh lagi Wilkin dalam Oktarina (2002) menyatakan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan menyusun kalimat-kalimat karena komunikasi terjadi melalui kalimat-kalimat untuk menampilkan perbedaan tingkah laku yang bervariasi dari masyarakat yang berbeda.

Suatu hal yang dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa secara spontan, yaitu dengan menggali pengetahuan siswa tentang tema yang diajarkan. Teknik KWL dapat digunakan untuk tujuan tersebut. KWL adalah singkatan dari Know (yang diketahui), What to Know (yang ingin di ketahui), dan Learned (yang di peroleh). Ogle (1989) menyatakan bahwa format KWL adalah suatu cara yang tepat untuk membantu siswa berpartisipasi aktif dalam berbicara tentang apa yang sedang mereka pelajari dalam ruang lingkup tema. Setiap mengajar, guru membagikan kertas dengan format KWL atau menuliskannya di papan tulis, seperti Tabel 1 .

TABEL 1

K (Know) W (What to know) L (Learning)


Dalam proses pembelajaran, guru memberikan sebuah topik, kemudian ditanyakan secara oral kepada siswa apa yang mereka ketahui tentang topik yang diberikan. Semua jawaban siswa dituliskan pada kolom K. Pertanyaan selanjutnya yaitu apa yang ingin mereka pelajari tentang topic dan semua jawaban siswa ditulis pada kolom W. Kemudian siswa diminta membaca materi yang dimaksudkan untuk hari itu. Kemudian guru menggali tentang apa yang telah mereka pelajari dan menuliskannya pada kolom L.

Metode pengajaran melalui teknik KWL akan lebih etektif dan suasana belajar akan lebih menyenangkan apabila diikuti dengan permainan bahasa. Permainan bahasa ini harus sesuai dengan ruang lingkup tema dan level siswa. Wright dan Backy (1984) mengatakan bahwa permainan bahasa bisa membantu dan memotivasi siswa serta melibatkan mereka dalam berbicara dan bekerja. Permainan bahasa diyakini dapat menimbulkan situasi dimana bahasa itu berguna dan berarti. Permainan bahasa yang dapat digunakan disini diantaranya ro/e p/a/, word guessing, chaind words, dan lain-lain.

Berdasarkan uraian di atas, hipotesis tindakan penelitian ini adalah sebagai berikut: Pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan teknik KWL dan permainan bahasa diduga dapat meningkatkan kemampuan berbicara.

METODE PENELITIAN

Setting Penelitian

Penelitian ini diadakan di kelas 3 gugus SLTP 2 Bayang, yang terdiri dari 6 SLTP, yakni: SLTPN 1 dan 2 Bayang, SLTPN 3 dan 4 Tarusan, SLTPN 1 dan 2 Painan.

Siswa kelas 3 digunakan sebagai tempat penelitian diasumsikan bahwa mereka telah memiliki dasar yang cukup untuk mampu berbicara dalam bahasa Inggris yang sederhana.

Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan, dimulai pada awal bulan Agustus 2002 dan berakhir pada akhir September 2002. Pelaksanaan penelitian dibagi ke dalam 3 siklus. Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian, SLTP 2 Bayang dijadikan sebagai pusat gugus karena berada di tengah-tengah SLTP yang tengah melakukan penelitian.

Siklus Penelitian

Seperti telah dikemukakan di atas, penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam tiga siklus, dan masing-masing siklus terdiri dari 4 kegiatan utama, yaitu pembuatan rencana (plan), pelaksanaan tindakan (action), pemantauan (observation), dan refleksi (reflection). Pada tahap rencana, guru peneliti membuat persiapan pada pusat gugus. Di sini, semua kegiatan yang akan dilaksanakan dimatangkan serta ditentukan alat yang digunakan untuk memantau tindakan yang dilakukan pada tahap tindakan, guru peneliti menyajikan pembelajaran sesuai dengan rencana yang telah dirumuskan. Bersamaan dengan pelaksanaan tindakan, guru peneliti yang lain melakukan pemantauan dengan menggunakan cara yang telah disepakati diwaktu tahap perencanaan. Hasil pemantauan ini kemudian direfleksikan secara bersama untuk melihat kelebihan dan kekurangan yang digunakan untuk pelaksanaan tindakan selanjutnya.

Instrumen Penelitian

Untuk mendapatkan data penelitian yang valid dan dapat dipertanggung-jawabkan, dalam penelitian ini digunakan beberapa instrument pembantu, seperti: lembar observasi, lembar catatan lapangan dan lembar hasil tes siswa.

HASIL PENELITIAN

Partisipasi Siswa di Kelas

Pada siklus I, materi yang di bahas berhubungan dengan teknologi ringan, alat rumah sakit, dan alat elektronik. Siklus I ini dilakukan dalam 4 kali pertemuan atau selama 2 minggu, yaitu pada minggu kedua dan minggu ke tiga di bulan Agustus 2002.

Guru yang tampil sebagai pelaksana tindakan penelitian, menulis topik pelajaran dan membuat tabel KWL di papan tulis. Kemudian guru menanyakan pada siswa hal-hal yang mereka ketahui tentang topik tersebut dan menuliskannya pada kolom (K). Selanjutnya guru menanyakan hal-hal yang ingin diketahui siswa tentang topik tersebut dan menuliskannya pada kolom (W). Sedangkan hal-hal yang ingin diketahui siswa bisa berupa pernyataan atau pertanyaan. Kemudian, guru meminta siswa membaca wacana yang diberikan, dan membimbing seperlunya. Akhirnya siswa diminta mengemukakan semua yang mereka dapatkan setelah membaca wacana yang diberikan. Semua jawaban siswa tersebut ditulis dalam kolom (L) dan ini merupakan hasil dan kesimpulan dari proses pembelajaran saat itu. Pada akhir kegiatan, siswa diberi permainan bahasa yang berhubungan dengan topik, antar lain: menerka sebuah gambar setelah disebutkan ciri-ciri gambar sebelumnya, membuat kata berdasarkan huruf yang sudah ditentukan, dan bermain peran.

Hasil pemantauan pada siklus I menunjukkan bahwa telah ada perubahan perilaku siswa, namun sebagian besar siswa masih canggung dan merasa malu untuk berbicara terutama pada mereka yang tergolong siswa yang berkemampuan rendah. Mereka sulit untuk mengeluarkan ide atau tanggapan karena mereka merasa kalah bersaing dengan anak yang pintar. Pada siklus I ini siswa yang bertanya baru 12.5%, menjawab pertanyaan guru 20%, dan memberikan tanggapan 9%. Itu pun hanya siswa yang tergolong pintar.

Berdasarkan refeksi terhadap kegiatan siklus I, maka dibuat rencana tindakan untuk siklus II, yaitu memberikan kesempatan pada anak yang berkemampuan rendah, dengan diberikan pertanyaan pemandu oleh guru agar siswa terpancing untuk memberikan tanggapan atau pertanyaan.

Pada siklus II ini, materi yang dibahas adalah tentang perjalanan wisata. Kegiatan siklus ini juga berlangsung selama 2 minggu dengan 4 kali pertemuan, yakni minggu keempat bulan Agustus dan minggu pertama bulan September 2002. Kegiatan utama pada siklus II ini sama dengan kegiatan pada siklus 1. Namun, sebelum pembelajaran dimulai, guru peneliti mencoba memotivasi siswa dengan pertanyaan pemandu untuk memberi penguatan pada siswa agar tidak merasa malu dalam mengeluarkan ide atau tanggapan terhadap topik yang akan dipelajari. Hal ini terutama ditujukan pada anak yang tergolong berkemampuan rendah. Di samping itu, dilakukan penambahan waktu pembelajaran karena mereka lambat dalam menyusun kata yang akan disampaikan.

Pada siklus ini, guru peneliti tidak hanya memberikan kesempatan pada siswa yang aktif saja, tapi membagi kesempatan kepada siswa yang kurang aktif dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan pemandu. Kalau mereka belum mampu mengemukakan ide seluruhnya dalam bahasa Inggris, mereka diberi kelonggaran untuk menggunakan sebagian kata yang memang sulit dalam bahasa Indonesia. Di akhir kegiatan juga diadakan permainan bebas yang relevan dangan topic pembelajaran.

Hasil pemantauan teman sejawat pada siklus ini menunjukkan bahwa partisipasi siswa semakin tinggi. Siswa yang lemah pun sudah mau mengeluarkan ide, tanggapan, atau pun pendapatnya tentang topik. Namun perubahannya belum begitu menonjol. Pada sikius II ini, tercatat siswa yang bertanya 15%, menjawab pertanyaan 24,5%, dan memberikan tanggapan 9,8%. Berdasarkan reflekasi pada siklus ini, tim peneliti menyusun rencana tindakan untuk siklus III.

Pada siklus III ini, materi yang di sajikan berhubungan dengan kebudayaan, yaitu: rumah tradisionai, cerita rakyat, dan upacara adat. Siklus ini juga berlangsung selama 2 minggu dengan 4 kali perternuan, yaitu minggu kedua dan ketiga bulan September 2002. Bentuk kegiatan pada siklus ini sama dengan siklus sebelumnya.

Pada proses pembelajaran di siklus III ini, siswa nampak lebih antusias, mereka telah berani mengungkapkan ide-ide atau pertanyaan yang ada sesuai dengan yang diminta oleh teknik KWL. Dari hasil pengamatan dari siklus III ini, anak yang aktif bertanya 20,8%, menjawab pertanyaan 26,5%, dan yang memberikan tanggapan 15%. Siswa yang mau berbicara tidak hanya di dominasi oleh siswa yang pandai saja. Siswa yang pada awalnya tampak pasif pada siklus ini telah tampak aktif untuk bertanya, menjawab, dan menanggapi. Pada saat diadakan permainan, anak-anak antusias untuk berpartisipasi. Secara keseluruhan, pertisipasi siswa dalam proses pembelajaran pada masing-masing siklus dapat dilihat pada Tabel 2.







TABEL 2.
PARTISIPASI SISWA DI KELAS

No. Aspek yang diamati Siklus I Siklus II Siklus III
1. Bertanya 12,5 % 15,4 % 20,8 %
2. Menjawab 20 % 24,5 % 26,5 %
3. Menanggapi 9 % 9,8 % 15,1 %

TABEL 3.
TINGKAT PENCAPAIAN HASIL BELAJAR
SEBELUM DAN SESUDAH SIKLUS DILAKUKAN

No. Aspek yang diamati Sebelum Suklus Siklus I Siklus II Siklus III
1. Rata-rata ulangan harian 4,2 4,9 5,6 6,1
2. Persentase ketuntasan
belajar 3,3 4,5 5,2 5,7

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan keaktifan siswa mulai dari siklus I, siklus II dan sikius III pada aspek bertanya, menjawab, dan menanggapi.

Hasil Ulangan Siswa

Hasil ulangan yang diberikan kepada siswa juga menunjukkan kemajuan dari siklus ke siklus. Hasil rata-rata nilai harian pada siklus I adalah 4,9 dengan persentase ketuntasan belajar 45%. Pada siklus II, nilai harian naik menjadi 5,6 dengan ketuntasan belajar 53%. Sedangkan pada siklus III, nilai ulangan harian naik menjadi 6,1 dengan ketuntasan hasil belajar 57%.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa Inggris dengan menggunakan teknik KWL dan permainan bahasa dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Teknik KWL dan permainan bahasa dapat meningkatkan partisipasi siswa di kelas apabila guru memberikan kesempatan dan bimbingan pada seluruh siswa.
2. Hasil ulangan harian siswa yang diajarkan dengan menggunakan teknik KWL dan
3. permainan bahasa lebih baik dan persentase ketuntasan belajar siswa juga lebih tinggi dibandingkan dengan yang diajarkan tidak menggunakan teknik KWL.

Saran-Saran

1. Pendekatan teknik KWL dan permainan bahasa dapat di gunakan dalam proses belajar mengajar sebagai altematif untuk meningkatkan partisipasi berbicara dan membuat pembelajaran lebih efektif dan menarik.
2. Guru mata pelajaran bahasa Inggris harus kreatif dan inovatif dalam mempersiapkan pembelajaran supaya hasil pembelajaran lebih meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

1) Octarina, D. 2001. Interactive activities as the way to improve EFL learners' speaking abilities. Makalah Tugas Akhir S1 - Padang: UNP Padang.
2) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1999. Suplemen GBPP. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
3) Novia, T. 2002. Strategy to improve student's ability in speaking. Makalah Tugas Akhir S1. Padang: UNP Padang.
4) Wright and Backy. 1984. Language art: Content and strategies. London: Longman.

---------------------------------
*) Jafrizal adalah Guru Bahasa Inggris SLTPN 2 Bayang Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat.

Sumber : Buletin Pelangi Pendidikan (Buletin Peningkatan Mutu Pendidikan SLTP ) Volume 6 No. 1 Tahun 2003.

MENINGKATKAN PENGUASAAN KOSA KATA BAHASA INGGRIS SISWA KELAS 2 SMA NEGERI 10 PEKANBARU MELALUI TIGA PHASE PENGAJARAN

MENINGKATKAN PENGUASAAN KOSA KATA
BAHASA INGGRIS SISWA KELAS 2 SMA NEGERI
10 PEKANBARU MELALUI TIGA PHASE
PENGAJARAN
Drs. Aswir Astaman, M.Pd
Aswir_lpmp@yahoo.com
Abstract
One aspect of the weaknesses of Indonesian students in mastering English is die lack of vocabulary. Many teachers complaint that their students forget most of the vocabularies they teach after three months. This reason make the researcher wanted to experiment the Three Phase technique which researcher has implemented at SMAN 8 Pekanbaru. The result is satisfying. In put of students who enter SMA 8 is the highest in Pekanbaru. So how if it is implemented at SMA 10 which the low input students. After did the research it proves the result of the students improvement is 58 % comparing before the process of teaching and the achievement of students is 77.60 %. The test which was conducted 5 months after the process of teaching shows the increasing of the achievement becomes 81.50 %. It means that the Three Phase Teaching of vocabulary is effective for the high and low input students. In the other words it can be used as alternative techniques of teaching.

Latar Belakang
Vocabulary merupakan salah satu componen penting dalam pengajaran bahasa Inggris disamping komponen lainnya seperti structure, pronunciation dan intonation. Vocabulary mempunyai peranan yang sangat vital, karena jika seorang siswa lemah dalam penguasaan vocubalary, la tidak dapat mengkomunikasikan pikiran dan idenya dengan jeias seperti yang diinginkannya baik lisan maupun tulisan. la tidak bisa mengutarakan secara sempurna apa yang ingin ia sampaikan saat dia berbicara atau menulis. Demikian juga ia tidak dapat mengerti dengan baik isi teks yang ia baca karena ia kekurangan kosa kata yang membentuk kalimat yang diucapkan secara lisan dan tulisan serta untuk membaca serta mendengarkan berita atau percakapan dari berbagai sumber. Sudah merupakan pendapat umum, memiliki kosakata yang memadai merupakan modal atau kenderaan untuk lancarnya berkomunikasi (Adil Al¬Kufashi,1988). Lebih lanjut Jeremy Harmer (1991)menganalog kan jika bahasa itu merupakan sebatang tubuh, structure merupakan tulang yang membentuk rangka sedangkan kosakata atau vocabulary merupakan daging yang membuat tubuh mempunyai bentuk. Dengan demikian seorang tidak akan dapat berkomunikasi dalam bahasa sasaran kalau penguasaan kosakatanya tidak memadai.
Pengajaran vocabulary disekolah-sekolah hasilnya belum memuaskan. Banyak keluhan dari guru-guru bahasa Inggris bahwa kerja keras mereka dalam mengajar not diimbangi oleh penguasaan kosakata yang memuaskan dari siswa. Salah satu penyebanya kemungkinan adalah strategy mengajar yang kurang tepat. Dengan alasan itulah, maka penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah pembelajaran kosakata dengan tiga fase pembelajaran dapat meningkatkan penguasaan kosakata siswa.

Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas, perumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Dapatkah pengajaran kosakata melalui tiga tahap pengajaran meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa kelas 2 SMA Negeri 10 Pekanbaru?
2. Berapa porsentase daya serap siswa ketika diadakan penilaian sesaat setelah proses belajar mengajar berlansung?
3. Berapakah porsentase daya serap siswa jika diadakan penilaian tiga bulan setelah proses belajar mengajar berlansung.?

Landasan Teory
Jeremy Harmer (Longman, 1995) menyatakan, salah satu masalah dalam pengajaran kosakata adalah pemilihan kosakata yang tepat untuk diajarkan pada suatu level tertentu dan siswa tertentu pula. Oleh karena itu permasalahan utama dalam pengajaran kosakata adalah bagaimana mengidentifikasi kosakata untuk diajarkan pada setiap jenjang pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat kemampuan siswa. Prinsip umum dalam memilih kosakata adalah dengan mempertimbangan kan factor frequency(keseringan digunakannya kosakata tersebut). Lebih jauh Jeremy Harmer menambahkan untuk dapat mengusaai kosakata, seorang siswa seharusnya memiliki pengetahuan yang berikut ini tentang satu kata, yaitu : meaning (arti), word use, word formation dan word grammar.
Meaning atau arti kata juga perlu penekanan, bahwa satu kata dalam bahasa Inggris artinya tidak hanya satu. Contoh yang High frequency saja, book bisa berati buku atau bisa juga memesan. Oleh karena itu seorang guru seharusnya juga melatih menetukan arti berdasarkan konteksnya dan juga mengenalkan synonym dan antonym.
Menurut Hunt dan Beghlar (2003)menawarkan tiga pendekatan dalam pembelajaran kosakata: insidental learning (pembelajaran kosakata untuk menyertai pelajaran reading dan listening), explicit intruction dan strategi pengembangan kosakata yang indipendent. Sumber utama dari insidental learningadalah extensive reading, dimana Hunt dan Beghlar menganjurkan sebagai kegiatan yang teratur di luar kelas. Explicit instruction bergantung kepada pengindifikasian kosakata yang sesuai level pada siswa.
Sebaliknya Nation (2003) menawarkan pendekatan yang sistimatis dibanding pendekatan insidental dalam pengajaran kosakata, dimana is memfokuskan bagian-bagian yang esensial dari materi pembelajaran. Dia menunjukkan beberapa kelemahan dari insidental learning dan kenyataan siswa tidak bisa memanfaatkan pembelajaran kosakata sambil lalu melalui reading. Lebih jauh lagi
Lebih jauh Jeremy harmer menegaskan dalam pembelajaran kosakata ada beberapa aspek dari kosakata yang harus di kuasai oleh siswa yaitu meaning, word use, word formation, dan word grammar

Lebih lanjut Alan Hunt dan David Beglar (2003) mengemukakan prinsip¬prinsip berikut ini untuk pengajaran kosakata :
1. Berikan kesempatan pada siswa untuk mempelajari kosakata sebelum memahami teks lisan maupun tulis.
2. Diagnosa sekitar tiga ribu kosakata umum yang dibutukan oleh siswa.
3. Berikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari kosakata secara terfokus dan sungguh-sungguh.
4. Berikan kesempatan pada siswa untuk mengelaborasi kosakata.
5. Berikan kesempatan pada siswa untuk mempermahir menggunakan kosakata yang sudah dikenalnya.
6. Beri siswa latihan menerka arti kata berdasarkan konteks.
7. Latih siswa menggunakan secara efektif dan efisien berbagai macam kamus.
Berdasarkan teory yang dikemukakan diatas penulis merumuskan suatu strategy pembelajaran yang diberi nama tiga fase pembelajaran karena terdiri dari tahap pengajaran yaitu :
1. Phase pertama – Menemukan arti.
Pada phase ini kepada siswa diberikan daftar kosakata baru. Dan mereka diminta untuk menemukan arti dari kata tersebut, baik melalui kamus, maupun bertanya dengan teman-teman dalam kelompoknya. Proses menemukan arti ini dilakukan sendiri oleh siswa tanpa bantuan guru. Setelah itu, artikata yang sudah ditemukan siswa tadi dibahas dalam diskusi kelas yang dipimpin oleh guru.
2. Phase kedua Memilih kosakata.
Pada phase ini kepada siswa diberikan latihan kosakata. Siswa diberikan beberapa kalimat yang tidak lengkap. Dan siswa memilih kosakata yang tepat untuk melengkapi kalimat tersebut.
3. Phase ke tiga — Menggunakan kosakata.
Phase inimerupakan peraktek penggunaan kosakata yang sudah dipelajari. Ini merupakan langkah reinforcement penguasaan kosakata. Kepada siswa diminta untuk menulis minimal setengah halaman buku menggunakan setiap kosakata yang baru dipelajarinya. Kemudian siswa berbicara, sekitar 30 detik untuk setiap kata kemudian 30 detik untuk kombinasi dari dua kosakata. Berbicara secara lisan menggunakan kosakata baru ini bisa dilanjutkan dengan satu menit, dua menit , bahkan kalau memungkin kan sampai tiga menit dengan menggunkan satu kosakata baru.


Methodology Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Dilaksanakan di SMAN. 10 Pekanbaru pada kelas 11 B (Kelas 2 B ), dilaksanakan dalam tiga siklus dengn tahapan: Perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi (Kemmis, 1998: 12).
Analisis dan Pembahasan
Sebelum diadakan pengajaran kosa kata dengan langkah tiga tahap, terlebih
dahulu diberikan Pre test untuk melihat hasil yang diperoleh siswa sebelum proses belajar mengajar berlansung, dan hasilnya rata-rata yang diperoleh oleh 40 orang siswa adalah 4,49
Tujuh hari setelah diadakan Pre-test, diberikan pelajaran kosakata dengan menggunakan tiga phase pengajaran. Selesai proses belajar mengajar lansung diadakan test daya serap yang merupakan test siklus pertama setelah diadakan proses. Dan hasilnya rata-ratanya 7,76. Dibandingkan dengan hasil pre- test, data memperlihatkan :
1. Seluruh siswa atau 100 % siswa mengalami peningkatan. Ini berarti pengjaran dengan tiga phase ini cukup efektif.
2. Peningkatan perolehan siswa cukup significant yaitu 72.82 %
3. 11 orang dari 40 siswa, atau 27.5% dari siswa memperoleh peningkatan lebih dari 100%
Ujian siklus kedua bertujuan untuk mengetahui daya serap siswa setelah tiga bulan diadakan proses belajar mengajar, apakah about menurun atau masih tetap hasilnya. Dan hasilnya adalah sebagai berikut :
1. Test yang diadakan setelah 3 bulan dari proses pembelajaran hasil tidak menurun seperti yang diduga semula, tapi meningkat dari 7,76 menjadi 8,15 atau meningkat 15 %
2. Dari 40 orang siswa 27 orang atau 67.5 %nmengalami peningkatan, 7 orang atau sekitar 17,5 % mengalami penurunan sedangkan 6 orang atau sekitar 15 % hasilnya tetap.
Kesimpulan dan Saran
a. Kesimpulan
Berdasarkan hasil paparan data penelitian tindakan kelas ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengajaran kosakata melalui tiga fase pengajaran dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa kelas 11 SMAN.10 Pekanbaru.
2. Peningkatan porsentase daya serap setelah diadakan proses belajar mengajar dengan menggunakan tiga fase pengajaran adalah 32,70
3. Porsentase daya serap siswa setelah 3 bulan proses belajar mengajar adalah 81,50
b. Saran
Kosakata merupakan komponen yang sangat penting dalam menunjang kemampuan siswa untuk dapat menguasai kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris, maka dalam pengajaran kosakata disarankan :
1. Kegiatan belajar difokuskan pada kegiatan siswa, yang belajar adalah siswa, yang berusaha berlatih menggunakan kosakata adalah siswa.
2. Untuk tahap pertama penguasaan kosakata adalah menguasai mengetahui meaning atau arti kosakata tersebut. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti siswa menacari sendiri arti kata dalam kamus, menemukan padanan atau lawan kata daps sebagainya. Dan semuanya ini hendaknya dilakukan oleh siswa sendiri dan guru hanya sebagai fasilitator untuk membimbing siswa apa yang harus dikerjakan.
3. Tahap kedua adalah menggunakan kosakata yang telah di ketahui meaningnya tersebut dalam kalimat. Dan latihan ini harus dibuat oleh guru untuk dikerjakan siswa.
4. Setiap kata yang sudah di pelajari siswa harus digunakan sesering mungkin. Secara lisan siswa harus bisa menggunakan satu kosakata yang dipelajarinya tersebut selama satu menit atau dua menit. Sedangkan secara tertulis satu kata siswa hendaknya dapat membuat sekitar 10 kalimat.


Daftar Pustaka
Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching: Longman.
Brown, H. Douglas. 1994. Teaching by Principles:. Prentice Hall Regents.
Celce-Murcia, Marianne. 1991. Teaching English as a Second or Foreign Language: Heinle & Heinle Publisher.
Edge, Julian. 1993. Essentials of English Language Teaching: Longman Group UK Limited.
Harmer, Jeremy, 1995. The Practice of English Language Teaching: Longman.
Kemmis, Stephen and Robert L. 1998. The Action Research Planner (3rd ed). Victoria: Deakin University

Madya, Suarsih, Developing Standard for EFL in Indonesia as Part of the EFL Teaching Reform, TEFLIN Journal, Vol. 3 (2) Agust 2002.

Nunan, David. 199 1. Language Teaching Methodology: A Textbook for Teachers. London: Prentice Hall International. (UK) Ltd.
Richards, Jack C and Theodore S, Rodgers. 1001. Approaches and
Methods as Language Teaching. London; Cambridge University Press.

Richards,) .0 & Renandya, A. Willy, Cambbridge University Press, 2003