Siti Mumun Muniroh, S.Psi., MA
(Dosen/Peneliti
STAIN Pekalongan)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika
psikologis keberlangsungan sekolah pekerja anak sektor batik di Pekalongan. Pekerja anak adalah sebuah fenomena
universal di beberapa negara bagian di dunia. International Labour
Organization mengemukakan terdapat sekitar 210 milyar anak-anak di dunia
berusia di bawah 15 tahun telah bekerja dan menjadi pekerja anak. Dari segi
pendidikan, anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung mudah putus sekolah,
baik putus sekolah karena bekerja terlebih dahulu atau putus sekolah dahulu
baru kemudian bekerja.
Penelitian ini menggunakan paradigma dan
pendekatan kualitatif dengan tradisi studi kasus. Pengumpulan data dilakukan
dengan tiga metode yaitu interview, observasi dan dokumentasi. Kriteria
responden yang dipilih adalah pekerja anak di sektor batik, berusia 9-15 tahun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja
anak yang putus sekolah pada umumnya memiliki motivasi kerja untuk mendapatkan
penghasilan. Sedangkan pekerja anak yang masih sekolah, lebih termotivasi oleh
perasaan iba terhadap orang tuanya ketika bekerja. Kondisi afektif pekerja anak
menghadapi masalah keberlangsungan sekolahnya berbeda-beda. Ada yang merasa
kecewa tidak bisa melanjutkan sekolahnya, biasa-biasa saja atau malah justru
senang karena sudah terbebas dari kewajiban bersekolah. Pandangan pekerja anak terhadap
orang tua, guru dan juragan pada umumnya positif. Orang tua, guru dan juragan
dipandang sebagai orang yang baik dan peduli terhadap pendidikan meskipun
bentuk kepedulian yang ditunjukkan berbeda-beda.
Pekerja anak putus sekolah cenderung tidak
memiliki harapan untuk kembali ke sekolah karena mereka telah merasa senang
bekerja. Berbeda dengan pekerja anak yang masih sekolah, mereka memiliki
harapan ingin melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dan memiliki cita-cita
ingin menjadi guru dan polwan.
Kata Kunci : Keberlanjutan sekolah, Dinamika
psikologis, Pekerja anak
SCHOOL
CONTINUITY OF CHILD LABOUR:
The
Case Study of Psychological Dinamics of Child Labour in Batik Sector
in
Pekalongan Indonesia
ABSTRACT
The aim of this study was to know the psychological dynamics of
child labour in Batik sector in Pekalongan. Child labour is a universal
phenomenon in many countries in the world. International Labour Organization
proposes that there are 210 billions of underage 15 years old children in the
world worked and had been children labour. On educational perspective, child
labour is pointed out to prone to break their school, either breaking their
school firstly because of working or breaking their school and working then.
This case study research applied interview, observation and
documentation for collecting data. The subjects were 9-15 years old child
labour in Batik sector.
The findings of this research show that school breakout child labour
generally motivated to work only to earn, whereas the school child labour, more
motivated by pity feeling of their parents. The children labour affective
condition has different ways in order to face the problems of school
continuity. Some felt disappointed on failure to continue their school, some
felt so-so, and some others felt happy because of school duties-free.
Generally, child labour was excited when they help their parents or
when they work in the owner of the interprise. They also felt proud because
they could help out their parents’ burdens. Commonly, the school breakout child
labour have a positive thinking about their parents, teachers and the owner of
Batik inteprise. Parents, teachers and the owner of Batik inteprise was viewed
as a kind person and care to education although they show the different ways in
caring.
The school breakout child labour tend to have no any desires for
coming back to their school because of feeling happy in working. It differs
with the school children, which still have an expectation to continue to the
higher education and have aspiration to be a teacher or policewoman.
Keywords: School
continuity, psychological dynamis, child labour
PENDAHULUAN
Menurut Langeveld (Hasbullah,
2009) pendidikan pada masa anak-anak sangat penting karena dapat membantu
membekali anak menuju kedewasaan dan dapat membantu anak agar cukup cakap
melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Hal ini senada dengan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Tim Penyusun Sisdiknas, 2003). Salah satu lingkungan
yang mendapatkan mandat dari orang tua untuk melakukan pendidikan pada
anak-anak mereka adalah sekolah.
Kebiasaan untuk mencapai
sukses harus ditanamkan sejak usia anak, mengingat kebiasaan ini cenderung akan
menetap sampai dewasa (Hurlock, 2006). Prestasi belajar di sekolah menjadi
penting untuk dicapai karena anak yang berprestasi cenderung lebih tekun dan
memiliki motivasi yang tinggi (Lens. dkk., 2005). Selain
itu, menurut Nylor (Desmita, 2009) anak yang berprestasi juga memiliki
penilaian diri yang tinggi serta menunjukkan hubungan antar pribadi yang
positif pula. Oleh karena itu pencapaian
prestasi belajar di sekolah menjadi sangat penting (El-Anzy, 2005; Shih, 2005)
Lens. dkk., (2005) mengungkapkan
bahwa proses pembelajaran dan pencapaiannya
akan terganggu ketika siswa memadukan dua aktivitas yaitu bekerja dan
sekolah. Hal ini khususnya terjadi pada siswa yang berasal dari keluarga yang
berstatus sosial ekonomi rendah dan menghadapi kesulitan ekonomi (Slavin,
2009). Dalam keluarga tersebut, anak terpaksa harus membantu orang tua dalam
pemenuhan kebutuhan ekonomi dengan menjadi pekerja anak.
Pekerja anak adalah sebuah
fenomena universal dan sebuah realita di beberapa negara bagian di dunia. International
Labour Organization mengemukakan terdapat sekitar 210 milyar anak-anak di
dunia berusia di bawah 15 tahun telah bekerja dan menjadi pekerja anak. Fenomena
ini tersebar di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Selatan (Nimbona, dkk. 2005).
Terdapat sekelompok anak di Amerika bekerja menjadi pedagang asongan dan
industri jasa (Rauscher, dkk. 2008). Anak-anak di Ethiopia selatan banyak yang
terlibat dalam kegiatan ekonomi keluarga, seperti membantu berjualan di pasar,
membantu pekerjaan orang tua di rumah serta kegiatan produktif lainnya (Abebe
& Kjorholt, 2009). Sebagian anak-anak di India bekerja di industri
penggosokan mutiara (Tiwari. dkk.,, 2009) sebagian lainnya bekerja di industri
pembakaran batu bata (Brukuth, 2005). Hasil penelitian Mehrotra dan Biggeri
(2002) menunjukkan sejumlah anak-anak bekerja di beberapa negara Asia seperti
India, Pakistan, Thailand, Filipina dan Indonesia.
Anak-anak yang bekerja di
Indonesia tersebar di beberapa sektor seperti industri mebel rotan, industri
kerajinan keramik, industri batik dan sebagainya (Mehrotra & Biggeri,
2002). Akar masalah ini dapat ditelusuri semenjak krisis ekonomi melanda
Indonesia pada tahun 1997. Salah satu dampak krisis yang paling menonjol adalah
meningkatnya jumlah rakyat yang miskin. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat
Statistik, 2009) pada maret 2009 angka kemiskinan berjumlah 32,53 juta jiwa
atau 14,15 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia.
Data mengenai jumlah pekerja
anak di Indonesia ini senantiasa mengalami perubahan, karena setiap waktu
selalu terjadi peningkatan jumlah pekerja anak. Berdasarkan data Depnakertrans,
menunjukkan pada tahun 1995 jumlah pekerja anak mencapai 1.644 juta jiwa, meningkat
menjadi 1.768 juta jiwa pada tahun 1996, menjadi 1.802 juta jiwa pada tahun
1997 dan mencapai 2.183 juta jiwa pada tahun 1998. Sedangkan menurut BPS tahun
2000 jumlah pekerja anak mencapai 2,3 juta jiwa (www.disnakertrans-jateng.go.id.2010).
Mencermati data-data hasil
survey Badan Pusat Statistik di atas, perlu diwaspadai dan dikritisi, mengingat
data BPS tersebut hanya dilakukan pada jenis pekerjaan tertentu dan hanya pada
wilayah tertentu yang dijadikan sampel. Hal ini bisa diibaratkan dengan
fenomena gunung es, dimana jumlah pekerja anak di lapangan jauh lebih banyak
dibandingkan dengan angka yang tertera dipermukaan.
Seiring perkembangan
ketenagakerjaan di Indonesia, anak yang bekerja merupakan salah satu fenomena
sosial yang eksistensi permasalahannya masih terus berlangsung bahkan menjadi
kompleks. Berbagai persoalan dihadapi oleh anak yang bekerja, salah satunya
adalah persoalan keberlangsungan pendidikan mereka di sekolah.
Keluarga-keluarga miskin mengalami dilema besar antara mengirim anak-anak
mereka ke sekolah atau membantu memikul beban ekonomi keluarga. Bagi kaum
miskin, biaya untuk mengirim anak ke sekolah begitu tinggi, baik dari segi
biaya untuk sekolah ataupun hilangnya pendapatan yang bisa dipakai untuk
keperluan lain. Pendidikan di sekolah sepertinya menjadi sesuatu yang sangat
mahal dan sulit untuk dijangkau.
Alhasil tidak sedikit dari
keluarga miskin yang memilih mendorong anak-anak mereka untuk membantu memikul
beban ekonomi keluarga dengan bekerja dan meninggalkan bangku sekolah. Melalui
data BPS diketahui, jika pada bulan Agustus 1997 pekerja anak yang masih
bersekolah berjumlah 59,3 persen, kemudian pada tahun 1998 diantara mereka yang
bersekolah telah berkurang menjadi 51,6 persen. Untuk anak usia 10 – 14 tahun,
mereka yang bersekolah telah menurun 8 persen dalam satu setengah tahun
terakhir. Pada Februari 1998 pekerja anak usia 5–9 tahun lebih dari 80 persen
yang bersekolah, pada Desember 1998 mereka yang tetap bersekolah menurun
menjadi 68,8 persen untuk anak laki-laki dan 74,1 persen untuk pekerja anak
perempuan (Suyanto, 2003).
Negara Indonesia termasuk
salah satu negara yang meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentang hak-hak anak, melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 36 tanggal 25
Agustus 1990. Selain peraturan di atas, Indonesia juga telah meratifikasi
konvensi ILO No. 138 (1973) dengan UU No. 20 tahun 1999 Tentang Batas usia
Minimun Anak di Perbolehkan Bekerja, serta konvensi ILO No.182 dengan UU No. 1
Tahun 2000 Tentang Penghapusan Pekerja
Terburuk Untuk Anak. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut berarti secara
hukum negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak, baik hak sipil,
politik, sosial, budaya, dan ekonomi (Usman & Nachrowi, 2004).
Meskipun berbagai peraturan
telah ditetapkan dan berbagai macam agenda pemerintah telah dicanangkan, akan
tetapi pada kenyataanya negara masih belum mampu memenuhi kewajibannya untuk
melindungi hak-hak anak terutama permasalahan pekerja anak. Hal ini terlihat
pada sikap pemerintah yang ambivalensi, di satu sisi Indonesia turut
berpartisipasi dalam program IPEC ILO dan menunjukkan keinginan untuk mengenali
dan berbuat sesuatu terhadap persoalan pekerja anak, di sisi lain masih ada
kecenderungan untuk menganggap remeh bahkan mengingkari persoalan karena
ancaman sanksi internasional berkaitan dengan hilangnya pasar ekspor (White
& Tjandraningsih, 1998).
Di sisi lain, para pengusaha
juga lebih senang mempekerjakan anak-anak. Alasan yang selalu dilontarkan
adalah karena pekerja anak cenderung mudah diatur, penurut, murah dan mudah
didapatkan. Selain itu, anak-anak cenderung mudah diintimidasi karena mereka
tergantung secara ekonomi, baik makanan atau tempat tinggal serta terkadang
butuh dukungan secara emosional (Dottridge & Stuart, 2005).
Mengacu pada Konvensi Hak Anak
(PBB) 20 November tahun 1989 disebutkan dan diakui bahwa anak-anak pada
hakekatnya berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan mereka seyogyanya
tidak terlibat dalam aktivitas ekonomi secara dini. Senada dengan itu
berdasarkan teori tugas perkembangan Havighurst, usia anak-anak seharusnya
masih dalam tahap mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk
permainan, belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya, mengembangkan
pengertian-pengertian untuk kehidupan sehari-hari dan mengembangkan
keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung (Monks.
dkk., 2004)
Namun demikian, akibat tekanan
kemiskinan, kurangnya animo orang tua terhadap arti penting pendidikan, dan
sejumlah faktor lain, maka secara suka rela maupun terpaksa anak menjadi salah
satu sumber pendapatan keluarga yang penting. Senada dengan itu, dalam UU no 23
tahun 2002 pasal 9 juga disebutkan bahwasannya setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan kepribadiannya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Dari segi pendidikan,
anak-anak yang bekerja disinyalir cenderung mudah putus sekolah, baik putus
sekolah karena bekerja terlebih dahulu atau putus sekolah dahulu baru kemudian
bekerja. Bagi anak-anak, sekolah dan bekerja adalah beban ganda yang seringkali
dinilai terlalu berat, sehingga setelah ditambah tekanan ekonomi dan
faktor-faktor lain yang sifatnya struktural, tak pelak mereka terpaksa memilih
putus sekolah di tengah jalan. Persoalan putus sekolah biasanya, meski tidak
selalu, diawali oleh proses mengulang atau tidak naik kelas.
Fenomena pekerja anak ini
menyebar di seluruh wilayah Indonesia termasuk juga di Pekalongan. Daerah
Pekalongan yang berada di Provinsi Jawa tengah dikenal dengan industri
batiknya, sampai-sampai kota ini dijuluki dengan kota batik. Daerah ini memiliki berbagai
industri batik baik skala besar, menengah maupun kecil yang menghampar di
desa-desa. Menurut data BPS, pada
tahun 2009,
jumlah unit usaha industri batik di Kabupaten Pekalongan sebanyak 12.448, di
luar unit usaha lain yang sangat terkait dengan industri batik, seperti pakaian
jadi, jahit, pertenunan, percetakan kain, dan lain-lain.
Seiring dengan upaya mempertahankan
eksistensinya sebagai kota batik, ternyata hal ini harus dibayar mahal. Semakin
banyaknya jumlah home industri yang dijalankan oleh masyarakat setempat
ternyata banyak menyedot tenaga kerja dari anak-anak usia sekolah. Kebanyakan
dari mereka lebih memilih untuk bekerja dari pada melanjutkan sekolah. Mereka
juga rela dibayar dengan upah yang rendah, dengan jam kerja yang panjang dan
bahkan terkadang mendapat perlakuan tidak semestinya dari juragan demi
memperoleh pekerjaan sebagai bentuk kemandirian dan bakti mereka terhadap orang
tua. Alhasil, jumlah anak-anak yang lebih memilih bekerja dari pada sekolah
semakin meningkat (Maghfur. dkk.,2006).
Anak-anak yang tidak bersekolah atau yang tidak
melanjutkan sekolah sangat potensial untuk menjadi pekerja anak (Jha, 2008).
Keberlangsungan sekolah pekerja anak ini menjadi persoalan yang sangat penting,
mengingat pekerja anak ini masih masuk dalam kategori usia sekolah dan
semestinya mereka dapat mengembangkan berbagai macam keterampilan yang mereka
miliki.
Aktivitas bekerja pada anak-anak
dapat menghambat proses dan pencapaian hasil belajar di sekolah, dan akhirnya
akan berdampak pada keberlanjutan sekolah mereka. Berdasarkan hasil penelitian
mengungkapkan bahwa anak-anak yang bekerja cenderung memperoleh prestasi yang rendah
dan dapat menurunkan kemungkinan mereka untuk melanjutkan sekolah (Khanam,
2008). Namun, karena banyaknya persoalan yang harus dihadapi sehingga tidak
sedikit pekerja anak yang lebih memilih untuk bekerja dan meninggalkan
sekolahnya.
Hal ini dipicu
oleh kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan, yang menuntut orang tua
untuk lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja dari pada memperhatikan
pendidikan anaknya. Kondisi seperti ini menyebabkan motivasi anak untuk belajar
menjadi menurun tajam (Santrock, 2008).
Sikap orang tua
yang cenderung tidak peduli terhadap aktivitas belajar anak, kurang hangat dan
tidak disiplin dapat menghambat pekerja anak yang masih sekolah untuk dapat
mencapai prestasi di sekolahnya (Fan & Chen, 2001; Garg, dkk, 2005).
Berdasarkan uraian mengenai fenomena
dan permasalahan tentang pekerja anak inilah, peneliti tertarik untuk
mengetahui dinamika psikologis keberlangsungan sekolah pekerja anak, mengungkap
arti penting sekolah pada pekerja anak dan menggali pandangan pekerja anak
terhadap orang tua, guru dan juragan batik mengenai keberlangsungan sekolahnya.
KAJIAN PUSTAKA
Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan Mather (dalam Suyanto, 2003) di Tangerang, menemukan sejumlah
pengusaha secara sengaja memilih mempekerjakan buruh anak wanita dengan
pertimbangan karena pekerja di bawah umur itu rata-rata dinilai lebih penurut,
lebih rajin, mudah diatur, dan yang terpenting bersedia dibayar dengan upah
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan buruh dewasa atau buruh laki-laki.
Selain itu adanya sikap
keluarga yang masih berpandangan bahwa anak diperlukan untuk memberikan
kontribusi bagi kesejahteraan keluarga, khususnya keluarga miskin, dan adanya
anggapan bahwa pemerintah tidak sepatutnya mencampuri keinginan orang tua
terhadap apa yang dirasakan paling bermanfaat bagi anak-anak mereka sendiri
(Suyanto, 2003). Hal inilah yang turut menyumbangkan ketersediannya para
pekerja anak.
Hasil penelitian lainnya
mengungkapkan bahwa kemalasan dan keengganan belajar serta melanjutkan sekolah
juga dipengaruhi oleh iklim dan situasi di sekolah yang kurang baik. Mereka
menganggap kondisi dan fasilitas belajar yang tersedia di sekolah kurang
memadai. Beberapa kekurangan yang sangat dirasakan adalah suasana kelas yang
terbiasa gaduh, fasilitas buku yang minim, kondisi bangku dan meja belajar
banyak yang rusak, dan bahkan ada sebagian yang menyatakan setiap harinya
selalu belajar di lantai karena sudah setahun lebih di kelasnya tidak ada
bangku dan meja belajar lagi. Selain itu, sebagian anak juga mengaku sangat
terganggu dengan berbagai kewajiban PR yang dirasa merepotkan (Suyanto, 2003).
Para pekerja anak umumnya,
selain dalam posisi tidak berdaya, juga sangat rentan terhadap eksploitasi
(Rauscher, dkk, 2008). Di sektor industri formal, mereka umumnya berada dalam
kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah, menghadapi risiko kecelakaan
kerja dan gangguan kesehatan atau menjadi sasaran pelecehan dan
kesewenang-wenangan orang dewasa (White & Tjandraningsih, 1998). Studi yang
dilakukan oleh Irwanto (dalam Usman dan Nachrowi, 2004) menemukan sekitar 71,9
% pekerja anak bekerja selama lebih dari 7 jam sehari. Pekerja anak yang
menjadi pembantu rumah tangga dan mereka yang bekerja di Jermal (anjungan
penangkapan ikan lepas pantai) bahkan bekerja lebih dari 12 jam sehari.
Anak-anak yang bekerja di Jermal selain dengan waktu kerja yang sangat panjang,
mereka juga rentan terhadap perlakuan kasar baik secara fisik, mental mapun
seksual serta penipuan.
Begitu juga dengan kajian yang
dilakukan oleh Rauscher, dkk (2008) terhadap para pekerja anak di industri
retail dan servis. Mereka mengalami resiko mendapatkan kekerasan dalam
pekerjaan, bekerja dengan waktu yang sangat panjang dan dengan peraturan yang
sangat ketat.
Tak jauh berbeda juga terjadi
pada para pekerja anak di India. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tiwari,
Saha dan Parikh, (2009) di industri penggosokan batu permata, setelah sekian
waktu bekerja kemudian diadakan pemeriksaan, para pekerja anak ini mengalami
simtom-simpom serta kelainan pada pernafasannya. Berdasarkan fakta-fakta
tersebut, besar kemungkinan pekerja anak di berbagai sektor pekerjaan yang
lainnyapun mendapatkan dampak-dampak fisik yang mengganggu tumbuh kembang
mereka.
Dari sisi perkembangan
psikologis, bekerja juga memberikan dampak yang luar biasa dan hal ini akan
berakibat buruk terhadap masa depan anak. Seperti diungkapkan oleh Bequele
(dalam Usman & Nachrowi, 2004), bahwasannya beban pekerjaan dengan adanya
unsur eksploitasi di dalamnya akan menimbulkan berbagai gangguan pada anak,
baik fisik maupun psikis dan hal ini akan berakibat buruk terhadap tumbuh kembang
anak.
Sekalipun banyak kekhawatiran
yang muncul, permasalahan pekerja anak di Indonesia ternyata tidak dapat
disikapi dengan pilihan boleh atau tidak. Kenyataan menunjukkan bahwa keluarga
miskin sangat membutuhkan pekerjaan bagi anak-anaknya, baik untuk membantu
perekonomian keluarga maupun kelangsungan hidupnya sendiri. Idealnya anak-anak
memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi memaksa
mereka bekerja maka menghapus pekerja anak merupakan tindakan yang tidak logis
(Putranto dalam Usman & Nachrowi, 2004).
METODE PENELITIAN
1.
Paradigma
dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan
paradigma dan pendekatan kualitatif sebagai sebuah preferensi yang dipilih oleh
peneliti. Pendekatan
kualitatif dapat menggambarkan backround sosial penelitian yang
natural dan dapat mengungkap suatu gambaran yang lengkap tentang apa yang
sebenarnya terjadi dalam kerja lapangan (Fraenkel & Wallen, 2007). Dengan
demikian, penelitian akan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai
suatu konsep yang abstrak bagi peneliti untuk membuat interpretasi (McMillan & Schumacher, 2006).
Atas dasar pertimbangan-pertimbangan
tersebut, riset ini menggunakan paradigma dan pendekatan kualitatif melalui
tradisi studi kasus. Studi kasus merupakan pendekatan yang digunakan untuk
mempelajari, menerangkan dan menginterpretasikan suatu ’kasus’ dalam konteksnya
yang alamiah tanpa adanya intervensi pihak luar (Yin, 2009).
2. Fokus Penelitian (kasus)
Fokus utama masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah memetakan situasi problematik yang dihadapi anak yang dalam usia belia
telah bekerja. Berdasarkan fokus utama tersebut, kemudian diperinci dalam tiga
sub masalah, Pertama, dinamika psikologis anak yang berprofesi sebagai
pekerja. Kedua, bagaimana arti penting sekolah bagi pekerja anak. Ketiga,
bagimana pandangan pekerja anak terhadap orang tua, guru dan juragan mengenai
keberlangsungan sekolah pekerja anak.
Kasus yang akan diteliti merupakan kasus khusus
pada anak-anak yang bekerja di sektor batik, khususnya home industry
yang ada di desa nyencle. Pekerja anak ini dipisahkan antara yang
bekerja paruh waktu dan masih bersekolah (laki-laki dan perempuan) dan yang
bekerja penuh waktu dan putus sekolah (laki-laki dan perempuan).
3.
Metode Pengumpulan Data dan Prosedur Analisis
Sumber data dalam penelitian ini adalah
kata-kata, ungkapan, pandangan dan perilaku pekerja anak berkaitan dengan
persoalan keberlangsungan sekolahnya.
Penentuan responden dalam
penelitian ini menggunakan prosedur purposive sampling yaitu cara
memperoleh subyek riset berdasarkan kriteria dan tujuan yang telah ditentukan. Prosedur yang dipilih
adalah prosedur campuran (combination or mix sampling) yaitu memadukan
dua cara pengambilan sample yaitu kriteria (criterion) dan confenience.
Kriteria responden yang dipilih adalah anak-anak yang bekerja di sektor
batik, berusia 9-15 tahun, waktu bekerjanya dan jenis kelamin. Selain itu
responden diusahakan berasal dari wilayah Pekalongan khususnya yang berdomisili
di desa nyencle.
Lokasi penelitian ini di Wilayah
Pekalongan khususnya di desa Nyencle kabupaten Pekalongan. Pekalongan
merupakan daerah sentra industri batik, baik dalam sekala kecil maupun besar.
Pekalongan dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa di wilayah
tersebut terdapat pekerja anak yang jumlahnya sangat besar.
Untuk menganalisis dan interpretasi data, peneliti
menggunakan model analisis interaktif yang diperkenalkan Miles & Huberman
(dalam Denzin & Lincoln, 2009).
HASIL DAN PEMBAHASAN
PENELITIAN
Hasil
Penelitian
1.
Sejarah Home Industri dan Pekerja Anak Sektor
Batik
Pada tahun 1967 Pabrik Indahtek berdiri. Kehadiran pabrik ini menandai
dimulainya proses industrialisasi di desa Nyencle, sebuah proses yang
juga melanda hampir di semua wilayah di Nusantara seiring dengan kebijakan
industrialisasi yang digulirkan pemerintahan pusat.
Pada tahun 1980-an, saat pengrajin batik mencapai kejayaannya anak-anak
secara massal berhenti sekolah dan sedikit dari mereka yang masih
mempertahankan sekolahnya. Kebiasaan
sekolah sambil bekerja sudah lazim di daerah Pekalongan. Pengalaman yang
dilakukan oleh MT adalah contoh nyata yang terjadi di daerah tersebut.
Menurutnya, kebiasaan nyambi (belajar dan sekolah) bukan hanya dialami
dirinya, bahkan juga teman-teman yang lainnya. Namun demikian, dari sisi
jumlahnya, pekerja anak di sektor batik sekarang relatif berkurang jika
dibandingkan dengan tahun 1980-an. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Dampak
teknologi informasi, kesadaran masyarakat terhadap sekolah, serta pengaruh
kampanye yang dilakukan berbagai pihak tentang pentingnya pendidikan bagi anak
menjadi faktor penting menurunnya kuantitas pekerja anak.
2.
Motivasi Kerja bagi Pekerja Anak
Dari hasil pengumpulan data di lapangan memperoleh
temuan bahwa anak memutuskan untuk bekerja disebabkan oleh beberapa alasan: a).
Membantu Orang Tua, b). Memenuhi
Kebutuhan Ekonomi, c). Pengaruh Teman Sebaya, d). Sekedar Mengisi Waktu Luang,
e). Belajar Mandiri dan Membangun Jiwa Wirausaha.
3.
Arti Penting Sekolah bagi Pekerja Anak
Pekerja anak menilai bahwa
sekolah sangat penting bagi masa depan seseorang. Menurut mereka sekolah
merupakan tempat yang dapat memperluas pengetahuan, wawasan dan pergaulan.
Beberapa arti penting sekolah menurut pekerja anak adalah sebagai berikut: a). Sekolah sarana memperoleh pengetahuan, b). sekolah
dapat menambah teman pergaulan, c). sekolah sebagai kunci sukses dan memperoleh
kerjaan, d). sekolah untuk bekal mendidik anak, e). sekolah, saat dan tempat
yang menyenangkan.
4. Prestasi
Sekolah Pekerja Anak
Prestasi sekolah para pekerja
anak sangat variatif, ada yang bagus, sedang bahkan juga ada yang jelek. Tentu,
banyak faktor yang mempengaruhi. Misalnya, perioritas antara kerja atau
sekolah, membagi waktu, etos belajar, fasilitas belajar dan tentu juga dukungan
dari pihak juragan, orang tua dan guru.
5.
Harapan Pekerja Anak
Temuan penelitian juga
menghasilkan imajinasi masa depan pekerja anak. Pekerja anak yang sekolah
mengharapkan masa depannya ada perubahan. Kerja yang lebih baik
dibandingkan kedua orang tuanya. Dan
tentunya juga gaji yang lebih tinggi. Namun pertimbangan pekerja anak tentang
kerja yang ia inginkan bukan semata uang melainkan juga ada unsur pengabdian,
mencerdaskan anak bangsa bahkan panggilan agama. Cita-cita mereka ingin menjadi
guru, dokter dan polwan. Sedang yang lelaki seperti MR tidak spesifik
menyebutkan profesi. MR ingin
menjadi lebih cerah, sukses, pinter dan menjadi bos. Selain itu pekerja anak
yang tidak bekerja juga berharap ingin pekerjaan yang lebih baik, jika ada
peluang. Namun ada juga pekerja anak yang pesimis dan memandang pekerjaan
sekarang adalah sebuah takdir yang tidak bisa dirubah.
6. Kondisi
Afektif Pekerja Anak
Keadaan psikologis dan
perasaan yang dialami oleh pekerja anak dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
perasaan ketika sekolah dan perasaan ketika kerja di sektor batik.
Kondisi dan perasaan pekerja
anak ketika belajar di sekolah sangat beragam. Ada yang senang, bahkan lebih
senang di banding kerja, namun demikian kondisi dan perasaan anak juga ada yang
capek mikir, ada beban dan selalu pusing ketika berada dan belajar di sekolah. Ketika
bekerja pekerja anak pada umumnya merasa senang. Mereka merasa bangga bisa
membantu orang tua dan bangga. Alih-alih merasa malu, bekerja di usia anak, selama masih memprioritaskan
sekolah justeru membuat rasa bangga bagi anak dan juga keluarga. Hal ini karena
dalam kultur orang Pekalongan, bekerja dan berdagang adalah sudah menjadi
indentitas masyarakat setempat.
7.
Persepsi Anak terhadap Orang Tua, Juragan
dan Guru
Pekerja anak memiliki
pandangan bahwa orang tua mereka ada yang peduli dengan sekolah anaknya, namun
juga ada yang tidak mempedulikan. Ada yang menganjurkan untuk sekolah ada yang
membiarkan saja. Pandangan pekerja anak terhadap juragan dan gurunya sangat baik.
Juragan sering membantu kebutuhan ekonominya dan memberi nasehat tentang
sekolahnya. Pekerja anak yang masih sekolah menuturkan gurunya sangat peduli dan juga
membantu. Mereka menilai gurunya sebagai sosok yang baik dan tidak pernah marah
kalau sedang mengajar.
Pembahasan Hasil Penelitian
1.
Dinamika psikologis pekerja anak yang
putus sekolah
Khusus pada pekerja anak yang sudah tidak
melanjutkan sekolah atau putus sekolah, mereka bekerja didorong oleh keinginan
untuk bisa mengakses uang atau memperoleh penghasilan di samping keinginan
untuk membantu orang tua. Motivasi lain adalah adanya dorongan dari orang tua,
waktu luang yang dimiliki karena telah putus sekolah, ketersediaan pekerjaan
bagi mereka, serta adanya pengaruh dari teman sebaya.
Bagi pekerja anak yang putus sekolah terdapat dua
pola harapan yaitu optimis dan pesimis terhadap masa depannya. Bagi mereka yang
optimis, mereka memandang pekerjaan yang sekarang digeluti adalah bersifat
sementara dan berharap suatu saat bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Bagi mereka yang pesimis, mereka memandang pekerjaan saat ini adalah takdir
yang harus mereka terima, meskipun sebelumnya mereka memiliki cita-cita seperti
ingin menjadi guru atau dokter.
Pekerja anak putus sekolah memaknai sekolah secara
beragam, namun pada umumnya mereka memaknai sekolah sebagai tempat untuk
menimba ilmu, menambah pengetahuan, wawasan, menambah teman dan bekal mendidik
anak. Pandangan pekerja anak putus sekolah terhadap pekerjaannya sendiri
berbeda-beda. Sebagian mengatakan bahwa bekerja pada awalnya adalah sesuatu
yang berat untuk dilakukan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu mereka
mencoba membiasakan diri dengan kondisi yang ada, bahkan saat ini mereka sudah
bisa menikmati pekerjaan itu sendiri.
Menghadapi konflik keberlanjutan sekolah pekerja
anak putus sekolah mengalami perasaan yang berbeda-beda. Ada yang merasa sangat
kecewa karena tidak bisa melanjutkan sekolahnya, ada yang merasa senang sudah
terbebas dari sekolah ada juga yang biasa-biasa saja.
Pandangan pekerja anak putus sekolah terhadap
orang tuanya menunjukkan pandangan yang berbeda-beda. Pekerja anak putus
sekolah perempuan memandang orang tuanya sebenarnya peduli terhadap
keberlangsungan sekolah mereka, akan tetapi kepedulian itu hanya ditunjukkan
melalui ucapan semata tidak ada bentuk konkrit seperti dukungan biaya atau
menemani belajar setiap harinya. Juragan tempat mereka bekerja juga dinilai
baik karena tidak pernah memarahi mereka ketika melakukan kesalahan. Salah
seorang pekerja anak laki-laki juga mengaku juragannya pernah mananyakan
tentang keberlangsungan sekolahnya dan menasehati untuk meninggalkan
pekerjaannya dan kembali melanjutkan sekolah. Berbeda dengan hasil penelitian
Rauscher, dkk (2008) pada pekerja anak di industri retail dan servis di Amerika
yang menunjukkan adanya unsur eksploitasi karena mereka mendapatkan kekerasan
dalam pekerjaan, bekerja dengan waktu yang sangat panjang dan dengan peraturan
yang sangat ketat.
Pekerja anak putus sekolah baik laki-laki maupun
perempuan hanya memiliki sedikit waktu luang dan kesempatan untuk bermain
dengan teman-teman seusianya. Padahal pada umumnya, anak-anak yang memasuki
usia remaja membutuhkan waktu lebih banyak untuk berinteraksi dan menjalin
persahabatan dengan teman sebaya. Remaja yang mempunyai persahabatan yang
memuaskan dan harmonis menunjukkan tingkat harga diri yang lebih tinggi, kurang
merasa kesepian, mempunyai kemampuan sosial yang lebih matang dibandingkan
dengan remaja yang tidak mempunyai persahabatan yang mendukung (Kerr, dkk dalam
Slavin, 2008).
2.
Dinamika Psikologis Pekerja Anak yang
Masih Sekolah
Bagi pekerja anak perempuan yang masih bersekolah
mereka bekerja lebih didorong oleh perasaan iba atau empati atas penderitaan
yang dialami oleh orang tuanya. Proses membantu orang tuanya ini dilakukan
sepulang dari sekolah sampai selesai dan ketika libur sekolah. Waktu luang yang
dimiliki digunakan untuk belajar, mengaji dan bermain dengan teman-teman.
Perasaan pekerja anak yang masih sekolah ketika berinteraksi dengan teman-teman
tidak mengalami hambatan yang berarti. Evaluasi terhadap diri pekerja anak yang
masih sekolah ini termasuk tinggi. Hal ini disebabkan teman-teman yang lainpun
sering membantu orang tuanya bekerja di sektor batik sehingga pekerja anak
tidak merasa malu atau tidak percaya diri. Berdasarkan teori motivasi menurut
Herzberg, dkk (1959) anak-anak yang bekerja membantu orang tuanya karena
didorong oleh keinginan dirinya sendiri dan perasaan ingin memiliki ketrampilan
bekerja memiliki motovasi yang tergolong pada motivasi intrinsik. Mesin
penggerak motivasi intrinsik ini berupa perasaan turut bertanggung jawab
terhadap keberlangsungan hidup keluarga, adanya perasaan bangga bisa membantu
orang tua serta adanya penilaian positif dari masyarakat bagi anak-anak yang
bekerja.
Pekerja anak sektor batik di Pekalongan baik
laki-laki maupun perempuan memiliki motif yang hampir sama yaitu keinginan
untuk meringankan beban orang tua. Mereka melihat dan merasakan langsung
penderitaan yang dialami orang tuanya. Teori kognitif Piaget mengatakan bahwa
anak usia 7-11 tahun berada pada tahap operasional konkret. Anak-anak pada
tahap ini dapat membentuk konsep, melihat hubungan, dan memecahkan masalah,
tetapi sejauh mereka melibatkan objek dan situasi yang sudah dikenal (Slavin,
2008). Anak yang memutuskan bekerja dengan motivasi membantu orang tuanya
mengetahui bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, orang tua pekerja
anak, baik bapak maupun ibunya harus bekerja dan berusaha keras. Atas usaha
orang tuanya, anak juga paham bahwa hasil yang diperoleh dari kerja orang tua
masih jauh dari cukup untuk memenuhi biaya makan, sandang, papan dan kebutuhan
lainnya.
Pekerja anak perempuan yang masih sekolah pada
umumnya bercita-cita ingin menjadi guru karena figur guru dianggap sebagai
orang yang turut mencerdaskan anak-anak bangsa. Akan tetapi mereka juga
menyadari dengan kondisi keluarganya yang serba kekurangan. Mereka juga merasa
khawatir dan kecewa jika tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang
lebih tinggi karena mereka memiliki harapan yang besar untuk bisa melanjutkan
sekolahnya. Pekerja anak laki-laki maupun perempuan yang masih sekolah memaknai
sekolah sebagai sesuatu yang penting untuk menunjang masa depannya supaya lebih
baik, mudah mendapatkan pekerjaan dan sukses. Sekolah dianggap sesuatu yang
menyenangkan karena bisa bertemu dengan teman-teman, bermain serta belajar
bersama dan mendapatkan ilmu pengetahuan.
Pekerja anak yang sekolah memandang orang tuanya
sangat peduli terhadap pendidikannya. Hal ini dibuktikan dengan orang tua rela
bersusah payah demi membiayai sekolah, senantiasa mendukung serta tidak lupa
mengingatkan waktu belajar meskipun tidak bisa membantu menyelesaikan
tugas-tugas sekolah karena pendidikan yang rendah.
Proses kelangsungan sekolah pekerja anak juga
dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap guru dan juragan tempat mereka
bekerja. Pekerja anak yang masih sekolah memandang guru sebagai figur yang
harus ditiru, menyenangkan dan baik. Guru dipandang sebagai orang yang memiliki
banyak ilmu dan dengan sepenuh hati mendidik murid-murid supaya menjadi pandai.
Pandangan pekerja anak yang masih sekolah terhadap juragannya juga positif.
Juragan dipandang sebagai seorang yang baik karena memberinya pekerjaan,
terkadang memberi nasehat supaya rajin sekolah, dan terkadang memberi tambahan
uang untuk jajan. Pandangan-pandangan positif inilah yang juga memberi pengaruh
pada pekerja anak untuk tetap bekerja membantu orang tuanya dan tetap
melanjutkan sekolahnya.
SIMPULAN DAN SARAN/REKOMENDASI
Simpulan
Dari hasil dan pembahasan
penelitian sebagaimana dalam bagian di atas, maka penelitian ini dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, dinamika psikologis keberlangsungan
sekolah anak yang berprofesi sebagai pekerja dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Di antara faktor yang dimaksud adalah motivasi kerja, arti penting sekolah
menurut pekerja anak, kondisi afektif anak ketika bekerja dan sekolah, serta
pandangan pekerja anak terhadap orang tua, guru dan juragan.
Kedua, hasil penelitian memperoleh pemahaman
bahwa menurut pekerja anak, sekolah memiliki arti penting sebagai tempat untuk
memperoleh ilmu pengetahuan, wawasan, serta bisa dijadikan bekal untuk mendidik
anak. Melalui sekolah, pekerja anak juga dapat menambah teman pergaulan,
sehingga sekolah dinilai sebagai tempat yang menyenangkan. Di samping itu,
pekerja anak menganggap bahwa institusi sekolah merupakan lembaga yang dapat
mengantarkan masa depan seseorang menjadi lebih sukses.
Ketiga, pekerja anak memiliki pandangan positif
terhadap orang tua, guru dan juragannya. mereka menganggap orang tuanya peduli
terhadap sekolah meskipun bentuk kepedulian itu berbeda-beda. Guru di sekolah
juga dipandang sebagai seorang yang baik karena memberikan pendidikan bagi
mereka meskipun terkadang guru tidak mengetahui bahwa anak didiknya memiliki
profesi lain sebagai pekerja di sektor batik. Begitu juga dengan juragan di
tempat kerja. Pekerja anak memandang juragan sebagai seorang yang baik karena
memberi mereka kesempatan untuk bekerja dan tidak memarahinya ketika melakukan
kesalahan. Kondisi psikologis pekerja anak di sektor batik juga tergolong baik,
mereka merasa nyaman ketika bekerja, senang dan tidak tertekan.
Saran-saran/Rekomendasi
Berdasarkan pembahasan dan
kesimpulan penelitian di atas, peneliti menyampaikan saran-saran berikut.
Pertama, bahwa sekolah bagi anak adalah persoalan
penting. Sebab itu, perlu pendidikan alternatif yang dapat memfasilitasi
pekerja anak agar dapat terus melanjutkan sekolahnya.
Kedua, bagi pekerja anak yang masih melanjutkan
sekolah, agar dapat menggabungkan kegiatan bekerja dan sekolah secara
proporsional. Mengelola waktu antar belajar dan bekerja semestinya dilakukan
dengan baik.
Ketiga, bagi pekerja anak yang telah berhenti
sekolah, tidak semestinya berhenti belajar. Anak diharapkan tetap belajar
tentang keterampilan membaca dan menulis secara informal atau otodidak. Pekerja
anak dapat belajar di lembaga-lembaga pendidikan alternatif yang sekarang mulai
dikembangan oleh beberapa kalangan.
Keempat, bagi para orang tua yang memiliki anak
sekolah dan juga menjadi pekerja, hendaknya tetap mempertimbangkan kondisi
psikologinya. Dunia anak yang mestinya bermain dan bersenang-senang, jangan
sampai dibebani tugas baik belajar maupun berkerja di luar kemampuan anak.
Kelima, bagi guru di
sekolah perlu mengidentifikasi siswanya, apakah anak didiknya ada yang sekolah
sambil kerja, atau tidak. Jika terdapat anak yang sekolah berprofesi sebagai
pekerja anak, maka guru harus dapat membimbing, memotivasi dan memperlakukan
anak secara khusus, sesui dengan kondisi psikologisnya yang disebabkan beban
ganda, yaitu belajar dan bekerja.
Keenam, bagi juragan batik yang mempekerjakan
anak, agar mendorong mereka untuk melanjutkan sekolah dan menjaga kondisi
psikologis pekerja anak.
Ketujuh, kepada akademisi, peneliti atau peminat
kajian psikologis pekerja anak agar melakukan riset lebih lanjut, untuk
mengembangkan hasil temuan ini.
Kedelapan, bagi pembuat kebijakan pendidikan di
semua level, mulai dari tingkat legislatif, eksekutif: presiden, kementerian
atau dinas pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat yang akan melakukan
pendampingan terhadap keberlangsungan pendidikan pekerja anak, agar
memanfaatkan hasil kajian yang telah dilakukan, termasuk hasil penelitian ini.
Sehingga dalam menginisiasi terpenuhinya harapan-harapan dan kebutuhan pekerja
anak terhadap sekolah sesuai sasaran dan tidak sia-sia.
DAFTAR PUSTAKA
Abebe, T., &
Kjorholt, T. (2009). Social
actors and victims of exploitation: working children in the cash economy of Ethiopia’s
South. Journal of Childhood. Vol. 16;175
Anoraga, P. (2006). Psikologi
Kerja. Jakarta: Rineka Cipta
Badan Pusat Statistik
(2009). Survey Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta.
Brukuth, A. (2005). Child labour and debt bondage: A case study
of brick klin workers in Southeast India. Journal of Asian and African
studies. 40, 287
Crain, W. (2007). Teori
Perkembangan; Konsep dan Aplikasi. Alih bahasa: Yudi Santoso. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (2009). Handbook of Qualitative Research. Alih
bahasa: Dariyanto, Badrus Samsul Fata, Abi, John Rinaldi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Depdikbud, (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Desmita, (2009). Psikologi Perkembangan
Peserta Didik. Panduan bagi Orang tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak
Usia SD, SMP, dan SMA. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Dottridge, M., & Stuart, L. (2005). End
child exploitation; child labour today. UK: UNICEF.
El-Anzy, F.O. (2005). Academic achievement
and its relationship with anxiety, self esteem, optimism and pesimism in
kuwaiti students. Social Behavior and Personality. Vol. 33 (1) hal: 95 –
104
Fan, X., & Chen, M. (2001). Parental
involvement and students’ academic achievement: meta-analiysis. Educational
Psychology Review. Vol.13, No. 1, hal: 1-21
Fraenkel, J.R., &
Wallen N.E. (2007). How to Design and Evaluate Research in Education
(6th ed.). New York: McGraw Hill.
Garg, R., Levin, E.,
Urajnik, D., & Kauppi, C., (2005). Parenting style and academic achievement
for east indian and canadian adolescencets. Journal of Comparative Family
Studies. Hal: 653-661
Gibson, J.L. Ivancevich, J.M., &
Donelly, J.M., (1994). Organization, Behavior, Structure, Processes.
Illionis: Richard D. Irvin
Hasbullah. (2009). Dasar-dasar
ilmu Pendidikan. Edisi revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Herzberg, F., Mausner, B., & Snyderman,
B., (1959). The Motivation to Work. New York: Jhon Willey and Sons
Hurlock, E.B. (2006). Psikologi
Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa:
istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Jha, M. (2008). Child worker in India; Contex and
Complexities. Springer
Science and Bussines Media
Khanam, R. (2008). Child Labour and Schooling Attendance;
Evidence from Bangladesh. Journal of Social Economics. Vol. 35. No. 1/2.
hal: 77-98
Lens, W., Lacante, M., Vansteenkiste, M.,
& Herrera, D., (2005). Study persistence and academic achievement as a
function of the type of competing tendencies. European. Journal of
Psychology of Education. Vol. XX. hal : 275 - 287
Maghfur, Basyir. M.,
Zuhri., Ula. M., & Koirul B., (2006). Nestapa Masyarakat Pekalongan, di
Balik Kantung Tebal Pengusaha Batik: Pekalongan: Pusat Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) STAIN Pekalongan
Maslow, A.H. (1954). Motivation
and Personality. New York: Herper & Row
McKenna, E., & Beech,
N., (2002). The Essence of Human Resource Management. Yogyakarta: Andi
Ofset & Pearson Education Asia
McMillan, J, H. and
Schumacher, S. (2006). Research in Education: Evidence-Based Inquiry.
Sixth Edition. New York: Pearson..
Mehrotra, S. &
Biggeri, M. (2002). The subterranian child labour force: subcontracted home
based manufacturing in asia. Innocenti Working Paper. No.96. Florence: Unicef
Innocenti Research Center
Monks, F.J., Knoer, A.M.P
& Haditono, S.R., (2004). Psikologi Perkembangan;
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Nimbona, G., Berge, M.,
Roschanski, H., Lange, A., & Groot, A (2005). Studying child labour: policy implication of child
centered Research. Foundation of International Research on Working Children
(IREWOC).
Qorashi, B.S. (2007). Keringat Buruh: Hak dan
Peran Pekerja dalam Islam. Penerjemah : Ali Yahya. Jakarta: Al-Huda
Rauscher, K.J; Runyan C.W; Schulman, M.D
& Bowling, J.M . (2008). Us child labour violations in the retail and
service industries, findings from a national survey of working adolescents.
American Journal of Public Healt. Vol. 98. No. 9.
Salmon, C. (2005). Child labour in
bangladesh; are children the last economic resource of the household ?
www.sagepublications.com. Vol. 21 (1-2) hal: 33-54
Santrock, J.W. (2008). Perkembangan Anak. Edisi Ketujuh. Jilid Dua.
Alih Bahasa : Mila Rahmawati & Anna Kuswanti. Jakarta: Erlangga.
Shih, S.S., (2005). Role of Achievement
Goals in Children’s Learning in Taiwan. The Journal of Educational Research.
Vol.98 (no.5).
Slavin, R.E. (2009). Psikologi Pendidikan
; Teori dan Praktek. Edisi kedelapan. Penerjemah : Marianto Samosir.
Jakarta : Indeks
Strauss, A., & Corbin, J. (1990). Basics
of Qualitative Reasearch: Grounded Theory Procedures and Techniques. CA:
Sage. Newbury Park.
Suyanto, B. (2003). Pekerja
Anak dan Kelangsungan Pendidikannya. Surabaya: Airlangga University Press.
Tim Penyusun Sisdiknas (2003). Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Yogyakarta: Media
Wacana
Tiwari, RR, Saha A. & Parikh JR.
(2009). Respiratory morbidities among working chilren of gem polishing
industries, India. Journal of Taziology and Industrial Healt: 25: 81-84.
Usman, H, & Nachrowi, D.N. (2004). Pekerja
Anak di Indoensia: Kondisi Determinan dan Eksploitasi (Kajian Kuantitatif). Jakarta: Gramedia.
White, B. & Tjandraningsih, I. (1998). Child
Workers in Indonesia. Bandung: Akatiga.
Yin, R.K., (2009). Studi Kasus; Desain
& Metode. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Jumlah Pekerja Anak di Indonesia masih
tinggi. http://www.disnakertrans-jateng.go.id. Diunduh tanggal 20
Januari 2010
BIODATA PENULIS
Nama :
Siti Mumun Muniroh, S.Psi., MA
Jenis Kelamin : Perempuan
Address : Jl. Kusuma Bangsa No.9 Pekalongan 51114
Phone/Mobile : (0285) 412575, 081931219396 Fax : (0285) 423418
E-Mail : moen_maunk@yahoo.com URL : -
No comments:
Post a Comment