PENDIDIKAN DI DAERAH RAWAN KONFLIK DENGAN PENDEKATAN MULTIKULTURALISME

Oleh :  Muhaemin
Dosen Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
dan STAIN Palopo Sulawesi Selatan

Abstrak: Penelitian  ini akan mendeskripsikan multikulturalisme dan pendidikan multikultural, serta peluang dan tantangannya di Indonesia. Penelitian ini akan menguraikan  tawaran kebijakan dalam menentukan pola pendidikan yang tepat di daerah rawan konflik.  Penelitian ini digali dari sejumlah buku referensi yang berkaitan dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural secara sederhana diartikan sebagai pendidikan keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Penelitian ini merekomendasikan pentingnya pendekatan multikulturalisme dalam  kegiatan pembelajaran di daerah rawan konflik seperti desain kurikulum, pemberdayaan guru dan pemilihan metode pembelajaran yang relevan.

Abstract: This study will describe multiculturalism and multicultural education, as well as the opportunities and challenges in Indonesia. This study will outline the offer of the policy in determining the exact pattern of education in conflict-prone areas. This study explored from a number of reference books related to multicultural education. Multicultural education are simply defined as cultural diversity education in responding to demographic changes and the cultural environment of certain communities or even the world as a whole. This study recommended the importance of multiculturalism approach in learning activities in conflict-prone areas such as curriculum design, teacher empowerment and the selection of relevant learning methods.


Kata Kunci: Pendidikan Multikulral, Daerah Rawan Konflik, Multikulturalisme, Majemuk
  
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis  dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan, dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan  keragaman dan antar kelompok di Indonesia.
            Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia.[1] Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami,  paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan.  Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslavakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India  hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.[2]
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural”. Tetapi pada pihak lain, realitas “multikultural” tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia” yang dapat  menjadi “integrating force” yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.[3]
Perbedaan budaya merupakan sebuah konduksi dalam hubungan interpersonal. Sebagai contoh ada orang yang bila diajak bicara (pendengar) dalam mengungkapkan perhatiannya cukup dengan mengangguk-anggukan kepala sambil berkata “uh… huh”. Namun dalam kelompok lain untuk menyatakan persetujuan cukup dengan mengedipkan kedua matanya. Dalam beberapa budaya, individu-individu yang berstatus tinggi biasanya yang memprakarsai, sementara individu  yang statusnya rendah hanya menerima saja sementra dalam budaya lain justru sebaliknya.
Beberapa psikolog menyatakan bahwa budaya menunjukkan tingkat intelegensi masyarakat. Sebagai contoh, gerakan lemah gemulai merupakan ciri utama masyarakat Bali. Oleh karena kemampuan untuk menguasai hal itu merupakan  ciri dari tingkat intelligensinya. Sementara manipulasi dan rekayasa kata dan angka menjadi penting dalam  masyarakat Barat. Oleh karenanya “keahlian” yang dimiliki seseorang itu menunjukkan kepada kemampuan intelligensinya.  
Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan primordialis. Kelompok ini menganggap, perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk meteril maupun non-materil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Dengan meneriakkan “Islam” misalnya, diharapkan semua orang Islam merapatkan barisan untuk mem-back up  kepentingan politiknya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap orang mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, selama itu pula benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Ketiga, kaum konstruktivis, yang beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karenanya, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah anugrah dan perbedaan adalah berkah.
Dalam konteks pendapat yang ketiga, terdapat ruang wacana tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman.  Pendekatan multikulturaslisme dapat digunakan duntuk mendesain kegiatan pembelajaran di daerah rawan konflik untuk meminimalisir terjadinya konflik  dan merekatkan perbedaan yang ada dalam bingkai toleransi dan kebhinekaan.

B. Batasan Masalah.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai kajian tentang multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai bahan kajian lanjutan untuk mengetahui corak, peluang dan tantangan pendidikan multikultural di Indonesia sebagai tawaran dalam menemukan pola pendidikan yang tepat di daerah rawab konflik.

C. Metode Penulisan.
Data dalam makalah ini  diperoleh melalui library research (penelitian kepustakaan) yakni mengumpulkan dan membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan dibahas serta membaca beberapa buku pendidikan Islam yang berkaitan dengan kajian tersebut. 
           
Dalam mengolah data tersebut digunakan metode :
a.       Induktif, menganalisi data dengan bertolak dari hal-hal yang bersifat khusus, selanjutnya mengambil kesimpulan yang bersifat umum.
b.      Deduktif, yakni menganalisis data dengan bertolak dari hal-hal yang bersifat umum kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat spesifik atau yang lebih khusus.
c.       Komparatif, yaitu dengan membandingkan sejumlah data atau pemdapat, kemudian dari hasil perbandingan tersebut ditarik suatu kesimpulan.


BAB II
PEMBAHASAN
MULTIKULTURALISME DAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

A. Perjalanan Multikulturalisme dan Wacana Pendidikan   Multikultural

Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.[4]
Pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen:
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.[5]

Di Amerika, sebagai contoh muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturalisme.[6] Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah  berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo-Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa  yang dilabel secara generik dengan nama “Indian” adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada.
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru-pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsa yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa.[7] Kaitan dengan nilai-nilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan buat kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat.[8]
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah “multiculturalism” merupakan deviasi dari kata “multikultural” Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat “multikultural dan multi-lingual”.[9]
Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural, secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefenisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”.
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.[10]
Pendidikan multikultural (multicultural education)  merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, strata sosial dan agama.[11]
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan:
- Content integration
            Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
-The Knowledge Construction Process
            Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin)
-An Equity Paedagogy
            Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
-Prejudice Reduction
            Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka
-Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.[12]
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik. Setidaknya secara umum peserta didik memiliki lima ciri yaitu;
  1. Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya.
  2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
  3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.
  4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.[13]
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “interkulturalisme” seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.[14] 
Mengenai fokus pendidikan multikultural,  Tilaar mengungkapkan  bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan,  yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti (difference), atau “politics of recognition”  politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.[15]
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indiference” dan “Non-recognition”  tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic studies”  untuk kemudian  menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subjek ini adalah  untuk mencapai pemberdayaan (empowerment)  bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
            Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan baik pada tingkat deskriftif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat  multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural  mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
            Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural  yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia.[16]16

B. Wacana Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural di Indonesia

Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa  otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter  terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
            Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.  Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas”.  Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.[17]17
            Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.
            Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam merupakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang  aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jerpang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia  masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi “dendam sejarah” di berbagai wilayah.
            Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action  dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model “sekolah pembauran” Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang  budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan amsuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok. 
            Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan  proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.[18]18
Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas “merayakan keragaman” belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis.  Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang  dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.  
Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal.  Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab  karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan   dengan kelompok etnis adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secra tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu  atau lebih kegiatan.  Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural  untuk  melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnis.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnis adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan  bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung  makna  bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.[19]19
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima pendekatan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu.[20] Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kubudayaan dan agama.[21]
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas.[22] Dari sisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.[23]
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat. Secara garis besar dasar-dasar yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1)            Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang.
2)            Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3)            Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4)            Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5)            Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang memnuntunya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.[24]   
Bila penjelasan di atas ditarik  di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu peserta didik. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.[25]
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan. 

BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan

            Berdasarakan uraian sebelumnya, maka ditarik beberapa kesimpulan:

  1. Indonesia dengan masyarakatnya yang majemuk membutuhkan model pendidikan yang multikultural khususnya di daerah rawan konflik.  
  2. Konflik sosial yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia dapat diminimalisir bila masyarakat memiliki wawasan multikultural yang memadai.
  3.  Pendidikan multikultural memiliki kontribusi penting dalam membangun tatanan masyarakat yang harmonis, toleransi dan demokratis.


B. Saran-Saran
 Dalam rangka merumuskan kebijakan di daerah rawan konflik, penelitian ini merekomendasikan beberapa saran:
1.      Kurikulum pendidikan di daerah rawan konflik harus mengakomodir tema-tema perdamaian, kesetaraan, Hak Asasi Manusia, dan keadilan sosial.
2.      Para pendidik di daerah rawan konflik harus mendapat bimbingan tentang pendidikan multikulral sehingga dapat  membantu peserta didikan dalam memahami wawasan multikulturalisme.
3.      Metode pembelajaran yang digunakan di daerah konflik harus didesain secara khusus, sehingga peserta didik memiliki ikatan emosional yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh terhadap isu-isu perbedaan.
4.      Perlunya membuat sinergi yang kuat antara pendidikan rumah tangga, pendidikan di masyarakat dan pendidikan di sekolah dalam memaksimalkan pendekatan multikulturalisme dalam pendidikan. 


DAFTAR PUSTAKA


Aly, Hery Noer, Watak Pendidikan Islam, Jakarta, Friska Agan Insani, 2000

Amir, Muhammad, Konsep Masyarakat Islam, Jakarta,   Aneka, 1992, tc

Analisis CSIS, tahun XXX/2001, No. 3

Azra, Azyumardi, Pendidikan Multikultural: Membangun Kembali Bhineka Tunggal Ika, dalam Majalah Tsaqafah: Mengagas Pendidikan Multikultural, Vol. I No:2, IKA UIN Syarifhidayatullah, Jakarta, 2003

Budiatna, Melani, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural: Sebuah Gambaran Umum, dalam Majalah Tsaqafah: Mengagas Pendidikan Multikultural, Vol. I No:2, IKA UIN Syarifhidayatullah, Jakarta, 2003

DEPAG RI dan IRD, Majalah Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalisme,  Edisi IV, Tahun 2003

Dewey, John, Democracy and  Education, New York, The Mac Millan Company, 1964

Freire, Paulo Freire, Pendidikan pembebasan, Jakarta, LP3S, 2000

Gorski, Paul, Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking. dalam www. Edchange.org/multicultural

Harian Republika, tanggal 03 September 2003

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2001, Cet I

Al-Munawwar, Said Aqil Husin,  Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Press, 2003, Cet. I

Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Wahana mencerdaskan kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, Jakarta, CINAPS, 2000, Cet. I

Stavenhagen, Rodolfo, “Education for a Multikultural world”, in Jasque Delors (et all), Learning: the treasure within, Paris, UNESCO, 1996

Tilaar, H. A. R,  Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002

Woolfolk, Nita  E, educational Psychology: Seventh Edition, The Ohio State University,  1998




[1]Ethnic berkaitan dengan kelompok-kelompok yang memiliki karakteristik, nasionalisme, budaya dan bahasa . Pernyataan ini menunjukkan pada sense identitas  yang berdasarkan pada letak geografis, agama, ras dan bahasa. Ethnic  merupakan warisan budaya yang diterima kelompok masyarakat, sedangkan ras merupakan kelompok masyarakat yang memiliki ciri pembawaan yang umum dan tampak sebagai ciri perorangan dalam kelompok masyarakat.
[2] Analisis CSIS, tahun XXX/2001, No. 3. h. 255
[3] Lihat, Harian Republika, tanggal 03 September 2003.
[4]Said Aqil Husin al-Munawwar,  Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), Cet. I, h. 210.
[5]Rodolfo Stavenhagen, “Education for a Multicultural world”, in Jasque Delors (et all), Learning: the treasure within, (Paris: UNESCO, 1996), h. 231.
[6]Lihat, Melani Budiatna, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural: Sebuah Gambaran Umum, dalam Majalah Tsaqafah: Mengagas Pendidikan Multikultural, Vol. I No:2, IKA UIN Syarifhidayatullah, Jakarta, 2003.
[7]Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Wahana mencerdaskan kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, (Jakarta: CINAPS, 2000), cet. I, h. 79.
[8]John Dewey, Democracy and  Education, (New York: The Mac Millan Company, 1964), h. 86.
[9]DEPAG RI dan IRD, Majalah Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalisme,  Edisi IV, Tahun 2003, h. 14.
[10]Paulo Freire, Pendidikan pembebasan, (Jakarta: LP3S, 2000), h. 130-138.
[11]Nita  E. Woolfolk, Educational Psychology: Seventh Edition, The Ohio State Universiy,  1998, h. 189-195.
[12] Ibid
[13]Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2001), Cet I, h.  60.
[14]H. A. R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 497.
[15]H. A. R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, h. 497.

[16]Departemean Agama RI dan IRD, Majalah: Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalism,  Edisi IV, Tahun 2003
[17]Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Multikultural: Membangun Kembali Bhineka Tunggal Ika”, dalam Majalah Tsaqafah: Mengagas Pendidikan Multikultural, Vol. I No:2, IKA UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003.
[18]Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking. dalam www. Edchange.org/multicultural
[19]Departemen Agama RI dan IRD, Majalah: Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis Multikulturalism,  Edisi IV, Tahun 2003
[20] Muhammad Amir, Konsep Masyarakat Islam, (Jakarta:   Aneska, 1992), tc,  h. 13.
[21] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, h. 44.
[22]Untuk lebih jelas baca Hery Noer Aly dkk, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta, Friska Agan Insani, 2000), h. 186.
[23]Hery Noer Aly dkk, Watak Pendidikan Islam, h. 188.
[24] Hery Noer Aly dkk, Watak Pendidikan Islam, h. 191.
[25] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, h. 45.

BIODATA PENULIS

Nama lengkap                     : Dr. Muhaemin,  S. Pd.I, MA
Jenis Kelamin                       : Laki-Laki
Institusi                                 : Pasca Sarjana UIN Makassar dan STAIN Palopo
Alamat POS                          : Kompleks BTN Mangga Tiga Blok D1/22 A
                                                Paccerakkang, Kec. Biringkanaya, Daya,
 Kota Makassar, Sulawesi Selatan
Telepon                                 : 081342077397
Email                                      :emin.elmahady@gmail.com
Facebook                              :Muhaemin Elmahady

No comments:

Post a Comment