Pembelajaran Karakter dalam Pendidikan Jasmani: Kaya Substansi Miskin Implementasi

Dr. Ali Maksum

Abstrak

Pembelajaran karakter merupakan salah satu substansi dari pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah. Sayangnya, sampai sekarang praktek pembelajaran yang dilakukan oleh guru jauh dari memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap akar persoalan yang meliputi kompetensi pedagogik guru dalam membelajarkan karakter, pemahaman guru tentang karakter, dan praktek pembelajaran guru selama ini. Penelitian menggunakan kombinasi antara metode kualitatif dan kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah guru Pendidikan Jasmani yang ada di 937 sekolah, terdiri dari 873 SD, 42 SMP, dan 22 SMU di Surabaya. Sampel diambil secara proporsional-random sampling dan diperoleh subjek sebesar 52 guru pendidikan jasmani lengkap dengan perangkat pembelajarannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keseluruhan Satuan Acara Pembelajaran guru yang dianalisis, hanya ada 48% yang bermuatan karakter, selebihnya, tidak bermuatan karakter sama sekali. Dilihat dari tingkatan sekolahnya, kondisi di SD lebih memprihatinkan dibanding SMP dan SMA. Dari keseluruhan SAP yang dianalisis, pada SD hanya 29% yang bermuatan karakter, sementara itu pada SMP 91%, dan SMA 83%. Muatan karakter bisa ada dalam tujuan, proses, atau evaluasi. Setelah dilakukan pendalaman lebih jauh, ternyata hanya 4% yang bermuatan karakter mulai dari tujuan, proses, dan evaluasi secara runtut. Selain itu, pemahaman guru tentang pendidikan karakter relatif sempit, karakter dipahami lebih sebagai sopan santun. Hal lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah praktek pengajaran guru bersifat internalisasi-pasif, belum mengarah pada konstruktif-aktif. Penelitian ini merekomendasikan adanya rekonstruksi pembelajaran Penjas mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Kata kunci: Pendidikan jasmani, pembelajaran karakter, kemampuan pedagogik


Character Learning in Physical Education:
Rich Substance Poor Implementation

Abstract

Character is one of the substances of physical education and sport at school. Unfortunately, until now the practice of learning by teachers is far from adequate. This research aims to uncover the root causes that include pedagogical competence of teachers in teaching character, understanding of teachers about the character, and learning practices of teachers over the years. The research uses a combination of qualitative and quantitative methods. The population of this study was the teacher of physical education in 937 schools, consisting of 873 elementary, 42 junior high, and 22 senior high school in Surabaya. Samples were taken proportionally-random sampling and obtained 52 physical education teachers with its lesson plan. The results showed that over all lesson plan analyzed, there are only 48% charged character, the others uncharged character at all. Judging from the school level, the condition in elementary school is more alarming than junior and senior high school. From the overall lesson plan were analyzed, the elementary school only 29% charged character, 91% were in junior high, and 83% in senior high school. Characters could exist in the purpose, process, or evaluation of lesson plan. After the deepening analysis, only 4% of lesson plan of teacher charged consistently characters ranging from the purpose, process, and evaluation. Understanding teachers on character education is relatively narrow, the character is understood more as a courtesy. Another thing that is found in this study is the practice of teaching is teacher-passive internalization, have not lead to constructive-active. This research recomended that there is should be reconstruction of physical education learning, from planning, process, and evaluation.
Baca secara fonetik

Keyword: Physical education, character learning, pedagogical competence

 Pendahuluan
Lembaga pendidikan dan guru dewasa ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan dinamika perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai dan moral dalam kehidupan masyarakat. Seperti dekadensi moral dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan kita.
         Mencermati penyimpangan perilaku oleh sebagian masyarakat, termasuk para pelajar kita dewasa ini, sungguh semakin menyedihkan. Dalam hal kejujuran, misalnya, banyak contoh dan perilaku tidak jujur dilakukan individu dalam dunia pendidikan, mulai dari siswa yang mencontek massal, menjiplak hasil karya orang lain, mencari-cari alasan untuk lari dari tanggung jawab atas tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru. Begitu juga dalam hal kekerasan yang dilakukan pelajar kian hari kian memprihatinkan, seperti aksi premanisme yang dilakukan oleh sebagian pelajar kita yang tergabung dalam Geng Nero dan banyak lagi perilaku kekerasan lainnya.  Selain itu, isu-isu moralitas juga terjadi dikalangan remaja seperti penggunaan narkotika, pornografi, perkosaan, aborsi, perampasan, dan perusakan milik orang lain, yang sudah menjadi masalah sosial dan hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
         Apa yang terjadi pada bangsa ini? Bagaimana dengan pendidikan kita? Sangat bolehjadi,Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya  pendidikan kita lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual semata, sedangkan aspek-aspek lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian. Integrasi pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional kita (Kompas, 1 Desember 2009). Fenomena masyarakat semacam ini nampaknya sudah dipahami dan disadari Pemerintah dalam hal ini oleh Menteri Pendidikan Nasional. Sebagaimana dikatakannya bahwa telah terjadi kerisauan di masyarakat atas terjadinya masalah karakter sehingga menumbuhkan kerinduan banyak pihak untuk kembali memperkuat pendidikan karakter dan budaya bangsa.
Lalu, bagaimana kaitan karakter dengan pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah? Telah menjadi keyakinan umum bahwa aktivitas olahraga syarat dengan nilai-nilai pendidikan seperti kejujuran, sportivitas, disiplin, dan tanggung jawab. Bahkan ada ungkapan yang sudah menjadi keyakinan sejarah dari waktu ke waktu: Sport build character (Maksum, 2005; 2002). United Nations (2003) melalui Task force on Sport for Development and Peace menyatakan bahwa olahraga merupakan instrumen yang efektif untuk mendidik kaum muda, terutama dalam hal nilai-nilai.
Sport provides a forum to learn skills such as discipline, confidence and leadership and it teaches core principles such as tolerance, cooperation and respect. Sport teaches the value of effort and how to manage victory, as well as defeat. When these positive aspects of sport are emphasized, sport becomes a powerful vehicle through which the United Nations can work towards achieving its goals (p. v).
Sejumlah nilai yang ada dan dapat dipelajari melalui aktivitas olahraga meliputi: Cooperation, Communication, Respect for the rules, Problem-solving, Understanding, Connection with others, Leadership, Respect for others, Value of effort, How to win, How to lose, How to manage competition, Fair play, Sharing, Self-esteem, Trust, Honesty, Self-respect, Tolerance, Resilience, Teamwork, Discipline, Confidence (United Nations, 2003).
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa aktivitas olahraga mengandung nilai-nilai yang sangat esensial bagi kehidupan dan kemanusiaan. Pertanyaannya kemudian, apakah nilai-nilai karakter tersebut telah diajarkan oleh guru pendidikan jasmani secara efektif? Bagaimana cara guru mengajarkan karakter pada peserta didik? Hal inilah yang pada dasarnya menjadi titik berangkat penelitian ini. Penelitian akan difokuskan pada aspek guru, mulai dari persiapan pembelajaran, keyakinan guru, sampai pada praktek pembelajaran yang dilakukan. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa pembelajaran karakter harus by design, bukan by accident. Artinya, tidak serta merta siswa yang berolahraga dengan sendirinya karakter terbentuk, meski olahraga diyakini dapat membentuk karakter. [d1] Dalam konteks pembelajaran karakter, guru berperan penting dalam mendesain pembelajaran. Karena itu, pembelajaran karakter harus dimulai dari kesiapan gurunya, baik secara mental, dalam arti pemahaman dan keyakinannya, maupun keterampilan pedagogiknya seperti penyusunan rencana pembelajaran.

Kajian Pustaka
Pengertian Karakter
Dalam ilmu psikologi, konsep “karakter” pada dasarnya merujuk pada struktur kepribadian, tetapi dalam perkembangannya makna tersebut telah mengalami perubahan. Allport dalam Maksum (2008) menyatakan: “The term was subsequently modified to reflect culturally valued attributes that reflect morality as [d2] defined by society. Artinya, tinggi-rendah atau baik-buruknya suatu kepribadian akan sangat tergantung pada penilaian masyarakat tertentu. Sebagai contoh, ciri kepribadian“dominan” bagi masyarakat timur  sering dianggap sebagai perilaku “serakah” yang perlu dihindari. Namun bagi masyarakat barat, ciri kepribadian yang demikian dianggap positip terutama bila dikaitkan dengan sebuah kesuksesan. Sejumlah definisi karakter oleh beberapa ahli seperti Taylor, Roback, dan Blanchard (dalam Maksum, 2008) dapat dijadikan rujukan. Taylor berpendapat character is the degree of ethically effective organization of all the forces of the individual. Sementara itu Roback menyatakan character is an enduring psychophysical disposition to inhibit impulses in accordance with a regulative principle. Adapun Blanchard berpandangan, character primarily in terms of interpersonal qualities such as cooperation, self-control, and sociability. Dari beberapa pengertian di atas, setidaknya ada benang merah yang bisa dijadikan pegangan dalam kita memahami karakter. Pada prinsipnya karakter berintikan pada nilai-nilai moral sosial yang berlaku di masyarakat seperti kejujuran, sportivitas, kerjasama, kesatria, dan sebagainya.
Bagaimana aplikasi nilai-nilai tersebut dalam pembelajaran olahraga? Ketika peserta didik bermain sepakbola, misalnya, selain belajar keterampilan seperti menendang dan menggiring bola, juga belajar bekerja sama, kepercayaan, dan respek kepada orang lain. Sulit rasanya menciptakan goal ke gawang lawan tanpa adanya kerjasama yang optimal di antara pemain. Seorang pemain tidak akan memberikan bola kepada teman sesama tim andai saja tidak percaya kepada yang bersangkutan. Demikian juga melalui sepakbola peserta didik belajar menghormati dan menghargai lawan, misalnya ketika lawan mengalami cedera atau bahkan memenangkan suatu pertandingan.
Meskipun nilai-nilai tersebut begitu menonjol dalam olahraga, sayangnya dalam tataran praktis masih jauh dari apa yang diharapkan. Pembelajaran karakter dalam pendidikan jasmani dan olahraga lebih sebagai harapan daripada dukungan empirik (Crum, 2009). Mereka yang terlibat dalam kegiatan olahraga tidak otomatis karakternya akan terbentuk. Untuk kepentingan tertentu, tindakan yang bersifat kontra-karakter acapkali menjadi pilihan. Tidak banyak insan olahraga yang mau dan mampu menerapkannya. Kepentingan sesaat seperti kemenangan dan gengsi lebih menonjol dibanding penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tentu hal ini merupakan ironi. Olahraga sudah bukan lagi merupakan ekspresi homo ludens, akan tetapi telah menjadi objek homo economicus. Pentas olahraga direduksi menjadi persoalan “menang-kalah” dan “hadiah” yang pada gilirannya cenderung kurang menjunjung tinggi sportivitas yang merupakan spirit dasar olahraga itu sendiri.
Lihatlah bagaimana pertandingan sepakbola Liga Indonesia belakangan ini. Dari sejumlah pertandingan yang digelar, kerusuhan seolah menjadi sulit untuk dihindari. Belum lagi kasus-kasus lain seperti pemalsuan umur, ijazah, dan suap. Ironinya, kasus-kasus tersebut tidak hanya terjadi dalam lingkup olahraga prestasi yang notabene mengedepankan kemenangan dan pencapaian prestasi tinggi, tetapi juga pada olahraga di lingkungan persekolahan. Peserta didik hanya diajarkan bagaimana memenangkan suatu permainan dalam olahraga, bukan menemukan learning points dari permainan tersebut, misalnya bagaimana bermain dengan cara-cara yang sportif dan bermartabat. Nilai-nilai luhur olahraga yang seharusnya diajarkan dan dijunjung tinggi justru terdistorsi oleh hasrat untuk menang dan mengalahkan pihak lain. Semangat yang demikian justru semakin menjauhkan olahraga dari hakikat dasarnya sebagaimana dikemukakan oleh Coubertin sendiri, bahwa tujuan olahraga bukanlah kemenangan, melainkan keikutsertaan, persahabatan, dan hubungan antar umat manusia. The most important thing in the olympic games is not to win, but to take part; just as the most important thing in life is not the triumph, but the struggle.
Persoalan distorsi nilai-nilai olahraga pada dasarnya bukan hal baru dan telah menjadi masalah internasional. Apalagi setelah motif ekonomi begitu meng-hegemoni dunia olahraga. Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi kondisi tersebut adalah persoalan pendidikan jasmani di sekolah. Penelitian yang dilakukan di sejumlah negara menunjukkan bahwa pendidikan jasmani ada dalam kondisi krisis (Hardman, 2003a; 2003b). Posisinya semakin terpinggirkan dalam struktur kurikulum, perhatian pemerintah relatif kurang memadai, infrastruktur semakin berkurang, dan model pembelajaran yang kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengoptimalkan potensinya, termasuk pengembangan nilai-nilai.

Pembelajaran Karakter Melalui Pendidikan Jasmani di Sekolah
Untuk mengembalikan olahraga kepada hakikat dasarnya, memang bukan persoalan mudah. Dibutuhkan usaha yang luar biasa dari semua pihak, pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang olahraga, mulai dari hulu hingga hilir. Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan, yang memang tidak sederhana, tulisan ini menawarkan satu solusi fundamental, yakni melakukan rekonstruksi pembelajaran olahraga di sekolah. Setidaknya, ada tiga alasan pokok mengapa rekonstruksi pembelajaran olahraga di sekolah diyakini sebagai solusi yang efektif. Pertama, sebagian besar peserta didik mengenal olahraga melalui institusi sekolah. Kedua, usia sekolah merupakan periode efektif untuk menanamkan nilai-nilai. Ketiga, pembelajaran olahraga di sekolah selama ini lebih menekankan pada penguasaan keterampilan dan cenderung mengabaikan proses pembelajaran nilai. Harus diakui bahwa proses pembelajaran olahraga di sekolah selama ini kurang memungkinkan nilai-nilai luhur olahraga terkonstruksi dalam kognitif siswa. Dengan demikian, bisa dipahami apabila nilai-nilai luhur yang terkandung dalam olahraga belum dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik, apalagi men-transformasi ke dalam tingkah laku.
Bagaimana proses pembelajaran nilai dalam pendidikan olahraga? Seperti telah diketahui bahwa terdapat tiga jenis pembelajaran, yaitu: pembelajaran motorik, pembelajaran afektif, dan pembelajaran kognitif (Hansen, 2008). Pembelajaran motorik terkait dengan pengembangan kompetensi aktual. Pembelajaran afektif terkait dengan pembentukan nilai, sikap, dan perasaan. Sementara itu, pembelajaran kognitif terkait dengan pemerolehan informasi dan konsep-konsep yang terkait dengan substansi materi yang dilatihkan. Ketiga jenis pembelajaran tersebut terkait satu dengan yang lain. Pada tingkat tertentu pembelajaran afektif merupakan dasar dari pembelajaran motorik dan dalam beberapa hal pembelajaran kognitif menjadi dasar terjadinya pembelajaran afektif.
Ketiga pembelajaran tersebut akan efektif apabila peserta didik mengalaminya dalam konteks yang riil. Pendekatan belajar melalui pengalaman bertujuan untuk menyiapkan struktur kognitif, memodifikasi sikap, dan meningkatkan keterampilan perilaku dari si pembelajar (Dyson, 2003; Hellison, 2003). Pendekatan belajar melalui pengalaman (experiential learning) adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pengalaman langsung dan nyata di lapangan. Di sini peserta mencoba menemukan sendiri hasil pembelajaran (learning point) dari aktivitas yang dilakukan melalui tahapan yang disebut refleksi dan abstraksi atas pengalaman. Oleh karena itu, dalam pendekatan belajar melalui pengalaman, pengalaman dan refleksi atas pengalaman tersebut merupakan komponen yang sangat penting (Richey, Klein, & Nelson, 2006).

[d3] [d4] Lalu bagaimana konstruksi nilai-nilai dapat terjadi? Dalam pandangan konstruktivist, suatu nilai terbentuk melalui proses interaksi antara kecenderungan diri individu mengorganisasikan pengalamannya ke dalam pola interpretasi yang bermakna dan pengalaman lingkungan dalam memberikan informasi mengenai realitas sosial. Pembentukan nilai dilihat sebagai sebuah proses reorganisasi dan transformasi struktur dasar penalaran individu (Maksum, 2008; Shields, & Bredemeier, 2006). Pembentukan nilai bukanlah sekadar menemukan berbagai macam peraturan dan sifat-sifat baik (Popov, 2000) melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur kognitif dan rangsangan dari lingkungan sosial. Dengan demikian, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga tidak dengan sendirinya membentuk nilai individu, tetapi apa yang dianggap sebagai nilai-nilai tersebut harus diorganisasi, dikonstruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran individu yang berpartisipasi di dalamnya (Stornes & Ommundsen, 2004; Stuntz & Weiss, 2003). Secara lebih konkrit, ada tiga tahapan yang perlu dilakukan, yakni (1) identifikasi nilai, (2) pembelajaran nilai, dan (3) memberikan kesempatan untuk menerapkan nilai tersebut.

Identifikasi Nilai
Identifikasi nilai terkait dengan nilai-nilai moral apa saja yang sekurang-kurangnya harus dimiliki oleh individu. Dalam realitas kehidupan, ada sejumlah nilai yang terkonstruksi di dalam masyarakat, yang sangat boleh jadi antara masyarakat yang satu dengan yang lain berbeda. Ada kalanya konstruksi nilai dipengaruhi oleh kultur di mana nilai tersebut dibentuk. Karena itu, untuk menghindari pemahaman yang berbeda atas suatu nilai, perlu diidentifikasi dulu nilai-nilai yang berlaku universal. Dari beberapa literatur, setidaknya ada enam nilai moral yang perlu dimiliki oleh individu, yaitu: respect, responsibility (Lickona, 1991); caring, honesty, fairness, dan citizenship (Martens, 2004).

Pembelajaran Nilai
1.      Menciptakan lingkungan yang memungkinkan nilai-nilai moral tersebut diterapkan. Peran ini begitu penting dilakukan oleh guru pendidikan olahraga dalam rangka membangun kesamaan wawasan mencapai tujuan, menciptakan iklim moral bagi peserta didik.
2.      Adanya keteladanan atau model perilaku moral. Menunjukkan perilaku bermoral memiliki dampak yang lebih kuat daripada berkata-kata tentang moral. One man practicing good sportmanship is better than fifty others preaching it.
3.      Menyusun aturan atau kode etik berperilaku baik. Peserta didik perlu mengetahui apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Artinya, ada pemahaman yang sama terkait dengan perilaku moral.
4.      Menjelaskan dan mendiskusikan perilaku bermoral. Ketika usia anak-anak, peserta didik belajar perilaku moral dengan cara imitasi dan praktek tanpa harus mengetahui alasan mengapa hal itu dilakukan atau tidak dilakukan. Memasuki usia remaja dan remaja, kemampuan bernalarnya telah berkembang. Karena itu, perlu ada penjelasan dan bila perlu ada proses diskusi untuk sampai pada pilihan perilaku moral yang diharapkan.
5.      Menggunakan dan mengajarkan etika dalam pengambilan keputusan. Individu acapkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus diambil keputusan. Mengambil keputusan adalah proses mengevaluasi tindakan-tindakan dan memilih alternatif tindakan yang sejalan dengan nilai moral tertentu.
6.      Mendorong individu siswa mengembangkan nilai yang baik. Guru pendidikan olahraga perlu menciptakan situasi dan menginspirasi peserta didik untuk menampilkan perilaku moral. A mediocre teacher tells, a good teacher explains, a superior teacher demonstrates, and the great teacher inspires.

Penerapan Nilai
Setelah pengajaran nilai dilakukan, maka tahap ketiga yang perlu dilakukan adalah memberikan kesempatan untuk mengaplikasikannya. Hal terpenting bertalian dengan penerapan nilai adalah konsistensi antara apa yang diajarkan dengan apa yang diterapkan. Artinya, apa yang dikatakan harus berbanding lurus dengan apa yang dilakukan, baik pada lingkungan sekolah maupun dalam keluarga. Terkait dengan penerapan nilai, ada dua model yang dapat diaplikasikan. Pertama, membentuk kebiasaan rutin yang bermuatan nilai-nilai moral. Situasi olahraga, sebagaimana dikemukakan di atas, banyak memberikan peluang terjadinya perilaku moral. Misalnya berjabat tangan dengan lawan main sebelum dan setelah bertanding, peduli kepada teman yang ingin mempelajari keterampilan olahraga tertentu dengan cara memberikan mentoring, bekerjasama untuk mencapai tujuan (goal), bermain dengan berpegang pada aturan, menghormati keputusan wasit, dan sebagainya.
Kedua, memberikan reward bagi peserta didik yang menampilkan perilaku bernilai moral. Menanamkan dan membentuk nilai moral memang tidak secepat mengajarkan keterampilan seperti menendang atau memukul bola. Dalam membentuk nilai moral membutuhkan proses yang relatif panjang, konsisten, dan tidak sekali jadi. Bisa jadi peserta didik belum sepenuhnya menampilkan perilaku bernilai moral sebagaimana yang diinginkan. Karena itu, penghargaan tidak harus diberikan ketika peserta didik mengakhiri serangkaian kegiatan, melainkan juga dalam proses “menjadi”. Penghargaan dapat diberikan dalam berbagai bentuk. Misalnya dalam bentuk sertifikat, stiker, peran tertentu seperti kapten tim, dan sebagainya.


Metode Penelitian

      Penelitian ini bertujuan mengungkap kemampuan guru Pendidikan Jasmani dalam menyusun rencana dan praktek pembelajaran bervisi karakter, dan keyakinan guru terkait pembelajaran karakter. Untuk mencapai tujuan tersebut, disusun tahapan penelitian sebagai berikut.

Penelitian Tahap 1
Tujuan penelitian pada tahap ini adalah melakukan kajian terhadap Satuan Acara Pembelajaran (SAP) yang telah disusun oleh guru Pendidikan Jasmani untuk menemukan muatan karakter di dalamnya. Populasi penelitian ini adalah guru pendidikan jasmani yang ada di 937 sekolah di Surabaya, terdiri dari 873 SD, 42 SMP, dan 22 SMU yang tersebar di wilayah Surabaya Pusat, Surabaya Utara, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, dan Surabaya Barat. Sampel diambil secara proporsional-random sampling dengan memperhatikan keterwakilan wilayah. Dengan besaran 25% dari jumlah populasi, maka diperoleh sampel sebanyak 52 guru [d6] Pendidikan Jasmani, terdiri dari 35 SD, 11 SMP, dan 6 SMU. Dari 52 guru tersebut diminta menyerahkan SAP, masing-masing 1 eksemplar, sehingga diperoleh 52 SAP.
Data dikumpulkan mulai Mei-Oktober 2010 oleh tim pengumpul data sebanyak 10 mahasiswa tingkat akhir. Pemilihan ini didasarkan pada alasan bahwa mereka telah menempuh dan lulus matakuliah metodologi penelitian dan sedang menyusun skripsi. Secara garis besar prosedur penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.
a.       Tahap persiapan
(1)      Memberikan pembekalan kepada sepuluh tenaga pengumpul data yang akan melakukan pengumpulan data di 52 sekolah di Surabaya.
(2)      Materi pembekalan terkait dengan tujuan penelitian, karakteristik umum responden, dan prosedur pengumpulan data.
b.      Tahap pelaksanaan
(1)     Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara, bergantung pada kesepakatan yang dicapai antara petugas pengumpul data di lapangan dengan guru Pendidikan Jasmani yang menjadi subjek penelitian.
(2)     SAP yang telah didapat dari guru Pendidikan Jasmani dikumpulkan oleh koordinator pengumpulan data untuk kemudian dilakukan verifikasi.
(3)     Data yang telah dinyatakan lengkap selanjutnya siap diolah sesuai dengan kepentingan penelitian.
Data yang dihasilkan dari lapangan berupa data gabungan, yakni data kuantitatif dan kualitatif. Untuk data kuantitatif, analisis dilakukan melalui statistik deskriptif terutama persentase.[d7]  Analisis persentase dilakukan untuk menemukan faktor atau tema yang menonjol dari kasus yang diamati. Sementara itu untuk data kualitatif, proses analisis dilakukan melalui tahap: menyeleksi, menyederhanakan, mengklasifikasi, memfokuskan, mengorganisasi (mengkaitkan gejala) secara sistematis dan logis, serta membuat abstaksi atas kesimpulan hasil analisis (Miles dan Huberman, 1994). Data dianalisis melalui proses penyandian (coding) dengan menggunakan pola pikir induktif untuk menemukan faktor atau tema tertentu. Untuk menjaga kredibilitas penelitian, peneliti menggunakan langkah-langkah seperti triangulasi (triangulation), diskusi dengan teman sejawat (peer debriefing), dan pengecekan anggota (member checks) (Denzin & Lincoln, 1994).  


Penelitian Tahap 2
Tujuan penelitian pada tahap ini adalah melakukan pendalaman terkait dengan keyakinan guru mengenai pembelajaran karakter kepada peserta didik. Subjek penelitian pada tahap ini adalah 12 guru Pendidikan Jasmani, terdiri dari 6 guru SD, 3 guru SMP, dan 3 guru SMU, dipilih secara purposif. Adapun responden yang terpilih berasal dari sekolah-sekolah berikut.

No
Nama Responden
Nama Sekolah
1
Hasri Purnawati
SDN Gayungan 2 Surabaya
2
Hary Priyanto
SDN Gundi 1 Surabaya
3
Mujiono
SDN Jepara 1 Surabaya
4
Herman Budi S.
SDN Lidah Kulon 5 Surabaya
5
Setyorini
SDN Perak Barat 6 Surabaya
6
Nanang Hari Antono
SDN Tenggilis Mejoyo 2 Surabaya
7
Sukardi
SMPN 3 Surabaya
8
Moh. Kadarisman
SMPN 12 Surabaya
9
Dwi Lusmandari
SMPN 40 Surabaya
10
Toha Maksum
SMAN 3 Surabaya
11
Qurun’in
SMAN 5 Surabaya
12
Sulistyono
SMAN 16 Surabaya

Data dikumpulkan oleh tim pengumpul data sebanyak 10 mahasiswa tingkat akhir, sebagaimana pada tahap 1. Secara garis besar prosedur penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.
c.       Tahap persiapan
(3)      Memberikan pembekalan kepada sepuluh tenaga pengumpul data yang akan melakukan pengumpulan data di 12 sekolah di Surabaya.
(4)      Materi pembekalan terkait dengan tujuan penelitian, karakteristik umum responden, dan prosedur pengumpulan data.
d.      Tahap pelaksanaan
(4)     Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, mengenai waktu wawancara bergantung pada kesepakatan yang dicapai antara petugas pengumpul data dengan guru Pendidikan Jasmani yang menjadi subjek penelitian.
(5)     Data hasil wawancara selanjutnya ditranskrip dan dikumpulkan oleh koordinator pengumpulan data untuk kemudian dilakukan verifikasi.
(6)     Data yang telah dinyatakan lengkap selanjutnya siap diolah sesuai dengan kepentingan penelitian.
Untuk melakukan analisis terhadap data kualitatif tersebut, ada tiga tahap pokok yaitu: Tahap pertama adalah reduksi data, peneliti mencoba memilahkan data relevan, menjelaskan tentang apa yang menjadi sasaran analisis. Langkah yang dilakukan adalah menyederhanakan dengan jalan membuat fokus, klasifikasi, dan abstraksi data kasar menjadi data yang bermakna untuk dianalisis. Tahap kedua adalah sajian deskriptif tentang apa yang ditemukan dalam analisis.  Sajian deskriptif dapat diwujudkan dalam narasi, visual gambar, tabular, dan lain sebagainya yang akan lebih memudah pembaca mengikutinya. Alur sajian harus sistematik dan logik. Tahap ketiga adalah penyimpulan atas apa yang disajikan. Kesimpulan merupakan intisari dari analisis yang dilakukan maupun efektivitas proses pembelajaran yang dilakukannya.

Hasil dan Pembahasan

Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Jasmani

Kompetensi pedagogik di sini diartikan sebagai kemampuan guru merencanakan pembelajaran yang bermuatan karakter. Perencanaan pembelajaran dapat dilihat dari Satuan Acara Pembelajaran (SAP) yang dibuat oleh guru. Dari SAP tersebut diidentifikasi muatan karakternya, yakni dalam tujuan, proses, dan evaluasi. Dari analisis data yang dilakukan terhadap 52 SAP sampel menunjukkan bahwa ada 48% yang bermuatan karakter, selebihnya, tidak bermuatan karakter sama sekali. Muatan karakter bisa ada dalam tujuan, proses, atau evaluasi. Setelah dilakukan pendalaman lebih jauh, ternyata hanya 4% yang bermuatan karakter mulai dari tujuan, proses, dan evaluasi secara runtut.

Grafik 1: Analisis Muatan Karakter dalam SAP Guru Pendidikan Jasmani di Surabaya


            Dilihat dari tingkatan sekolahnya, kondisi di tingkat SD lebih memprihatinkan dibanding SMP dan SMA. Dari keseluruhan SAP yang dianalisis, pada SD hanya 29% yang bermuatan karakter, sementara itu pada SMP 91%, dan SMA 83%. Kondisi yang demikian tentu memprihatinkan, mengingat usia SD merupakan periode kritis (critical period) dalam rangka membentuk karakter anak sejak dini. Kegagalan dalam periode ini akan berdampak pada perkembangan berikutnya.
Lemahnya kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani di SD bisa dipahami, mengingat sebagian besar mereka adalah guru kelas yang notabene tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai. Ada yang lulusan SGO, SPG, dan ada juga sarjana tetapi bukan bidang olahraga. Dengan kondisi yang demikian, praktis pembelajaran pendidikan jasmani di SD kurang dapat dilaksanakan secara optimal.
            Kondisi di SMP dan SMA jauh lebih menggembirakan, setidaknya dari kemampuan pedagogik yang ditunjukkan dalam menyusun rencana pembelajaran. Hampir semua guru pendidikan jasmani di SMP dan SMA berlatar belakang sesuai dengan pendidikan.

Pemahaman Guru Pendidikan Jasmani Terhadap Pembentukan Karakter

Pemahaman guru disini dimaksudkan sebagai anggapan, pandangan, dan pengetahuan yang dimiliki oleh guru terkait dengan pembentukan karakter siswa melalui pendidikan jasmani. Dari sejumlah guru yang diwawancarai terungkap bahwa:
1.    Guru memahami, seiring kemajuan jaman dan teknologi, karakter siswa semakin merosot.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada perilaku para siswa. Apalagi dengan adanya kebebasan dalam cybermedia, anak seolah bebas dan mudah mendapatkan informasi, termasuk gambar-gambar yang pada dasarnya kurang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
“…mengenai karakter siswa sekarang ini lain dari yang dulu, kalo sekarang ini siswa kan dengan perkembangan teknologi sangat mempengaruhi terhadap karakter atau tingkah laku siswa (Wawancara R12, 11 Oktober 2010).
“…pada dasarnya karakter siswa pada sekarang ini sudah mengalami kemrosotan atau penurunan karena disebabkan beberapa factor yang karena ada faktor perkembangan zaman, ada faktor perkembangan teknologi dan era globalisasi ini sehingga banyak ee… karakter anak-anak itu boleh dikatakan menurun. (Wawancara, R4, 8 Oktober 2010)


2.    Pendidikan karakter lebih dipahami sebagai sopan santun seperti unggah-ungguh dan cara berpakaian.

Ada pemahaman yang agak sempit terkait dengan pengertian karakter dari para guru. Karakter dipersepsikan sebagai persoalan etiket yang menyangkut sopan santun dan cara berpakaian. Kalau ada anak yang berpakaian tidak patut dianggap tidak memiliki karakter. Demikian juga kalau ada anak tidak membungkuk ketika berjalan melewati guru dianggap tidak memiliki karakter.

Yang sering kita jumpai karakter siswa itu sekarang itu sudah tidak sesuai lagi, terutama sikapnya terhadap orang tua, bagaimana sikapnya terhadap guru, bagaimana sikapnya bergaul di masyarakat, itu sudah mengalami penurunan, ya.. misalnya berbicara kepada orang yang lebih tua biasanya anak-anak ini mempunyai karakter dianggap seperti teman sendiri yaa… terus yang kedua adalah sikap kepada guru seakan-akan dia itu cuek saja. Tidak bisa membedakan oh siapa guru saya ini siapa orang tua, dianggap seperti teman sebaya, dari cara berbicaranya seperti itu (Wawancara R4, 8 Oktober 2010).

3.    Ada keengganan guru menangani siswa karena HAM, kekerasan dianggap cara efektif menanamkan karakter.

Seiring kesadaran masyarakat akan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, orangtua cenderung menuntut kepada sekolah untuk memperlakukan anaknya secara baik. Orangtua akan komplain, bahkan mempersoalkan secara hukum manakala anaknya diperlakukan dengan cara kekerasan. Dalam banyak kasus, guru olahraga acapkali menggunakan hukuman, termasuk kekerasan dalam menangani siswanya yang dianggap nakal.
“…ya kita mau memarahi anak yang agak, katakanlah njiwet kena HAM, jadi ya seakan-akan apa ya kayak saya sendiri ya tugas saya ngajar, kenek tak didik gak bisa tak didik ya sudah, paling-paling kalo ada anak yg misuh ya tak marahin gitu aja, saya sebatas apa ya.. sebatas saya hanya kalau mbok baleni maneh tak ketak.hanya gitu aja (Wawancara R6, 9 Oktober 2010).

4.    Penanganan pendidikan karakter  tidak by design,  melainkan by accident.

Pembelajaran pendidikan jasmani dipahami guru, lebih sebagai instrumen untuk mengajarkan gerak atau olahraga semata. Karena itu, muatan karakter tidak pernah diajarkan secara sengaja. Apa yang dianggap sebagai pendidikan karakter manakala anak melakukan kesalahan, kemudian dinasehati, dimarahi, dan kalau perlu diberikan hukuman fisik.
“…kalau ketahuan ya kita panggil anak tersebut, kita beri pengarahan kalau masih mbandel e.. ada surat peringatan dan sebagainya, …dipanggil orangtuanya (Wawancara R12, 11 Oktober 2010).

“…kalau terencana ya nggak, tapi setiap pelajaran itu ada, apalagi kalau ada masalah (Wawancara R5, 12 Oktober 2010).


5.    Keterlibatan orangtua lebih karena anaknya bermasalah, misalnya dipanggil ke sekolah.

Pendidikan karakter tidak bisa hanya terbatas pada lingkungan sekolah, tetapi perlu melibatkan lingkungan lain seperti lingkungan keluarga. Dari sisi waktu, keberadaan anak di sekolah sekitar 5 jam, selebihnya, dan ini yang lebih besar justru ada pada lingkungan keluarga dan masyarakat. Keterlibatan orangtua perlu dimulai sejak awal secara terencana, bukan sekadar dilibatkan ketika anaknya bermasalah. Yang terakhir inilah yang banyak dilakukan oleh sekolah.
“…jadi kalau ada anak yang sekiranya menyimpang perilakunya segera dipanggil orangtuanya ben gak ono molo…dipanggil melalui surat panggilan pada orangtuanya nanti kalo tak keplak engko sampean aku salahno, wes yo opo saiki anake sampean nakale ngene (Wawancara R6, 9 Oktober 2010).
                             
6.    Penjas cenderung dipahami sebagai instrumen menanamkan disiplin.
Aspek disiplin memang menjadi bagian penting dari pembelajaran pendidikan jasmani, tetapi perlu diingat bahwa hasil akhir pembelajaran bukan hanya disiplin, melainkan juga kejujuran, respek pada orang lain, taat pada aturan, dan sebagainya.
“…kalau saya hanya penanaman disiplin aja, misalnya anak-anak sini saya biasakan sebelum berolahraga itu,, saya bariskan berdoa setelah berdoa saya suruh ngambilin sampah… trus ngambil sampah selesai, kembali baris. Ketua kelasnya saya suruh mimpin untuk pemanasan, jadi apa ya pola lama yang saya pakai nanti setelah itu pemanasan secara cukup baru anak-anak saya ayo waktunya olahraga  apa sekarang (Wawancara R6, 9 Oktober 2010).


Praktek Pembelajaran Karakter oleh Guru Pendidikan Jasmani

Praktek pembelajaran di sini dimaksudkan sebagai bentuk nyata proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani, mulai dari memulai pembelajaran (warming-up), inti pembelajaran, dan penutup (cooling-down). Dari analisis yang dilakukan terhadap lima video hasil rekaman di lima sekolah, yakni: SDN Jepara 3 Surabaya, SDN Perak Barat 6 Surabaya, SDN Lidah Kulon 5 Surabaya, SMPN 12 Surabaya, dan SMAN 5 Surabaya,  terungkap hal-hal sebagai berikut.
1.      Pada awal pembelajaran, guru membariskan siswanya untuk kemudian memberikan penjelasan tentang materi pembelajaran dan dilanjutkan dengan pemanasan berupa peregangan dan berlari mengelilingi lapangan;
2.      Penyampaian substansi pembelajaran difokuskan pada penguasaan keterampilan cabang olahraga. Misalnya bagaimana melakukan handstand dalam senam, shooting dalam bolabasket, dan passing dalam bolavoli. Nilai-nilai yang terkandung di dalam aktivitas tersebut tidak diajarkan kepada peserta didik;
3.      Pada saat pembelajaran berakhir, guru cenderung membubarkan begitu saja, tanpa ada refleksi atas pembelajaran yang baru saja dilakukan.

Simpulan dan Saran
Simpulan
1.    Kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani di Surabaya dalam mengintegrasikan pendidikan karakter yang terwujud dalam penyusunan RPP masih sangat rendah, hanya 4% RPP yang bermuatan karakter, mulai dari tujuan, proses, dan evaluasi secara runtut.
2.    Pemahaman guru pendidikan jasmani terkait dengan pembelajaran karakter relatif dangkal dengan tata pikir kurang sistematis.
a.       Pendidikan karakter lebih dipahami sebagai sopan santun seperti unggah-ungguh dan cara berpakaian;
b.      Ada keengganan guru menangani siswa karena HAM, kekerasan dianggap cara efektif menanamkan karakter;
c.       Penanganan pendidikan karakter  tidak by design,  melainkan by accident;
d.      Keterlibatan orangtua lebih karena anaknya bermasalah, misalnya dipanggil ke sekolah
e.       Penjas cenderung dipahami sebagai instrumen menanamkan disiplin

3.    Praktek pembelajaran karakter yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani cenderung bersifat internalisasi-pasif. Pembentukan karakter dianggap sudah terjadi ketika anak terlibat dalam kegiatan olahraga, tanpa harus dikonstruksi di dalam struktur kognitif anak;

Saran
Berdasarkan temuan penelitian ini, maka disarankan hal-hal sebagai berikut.
1.        Perlu ada rekonstruksi pembelajaran yang berfokus pada penguatan kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani, terutama dalam penyusunan RPP bervisi karakter, melalui pelatihan intensif dengan ukuran keberhasilan yang konkret. Penguatan kompetensi dapat dilakukan melalui program pre-service training dan in-service training.
2.        Perlu cara baru dalam memahami pendidikan karakter melalui pendidikan jasmani, dari internalisasi-pasif menjadi konstruktif-aktif. Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian sumber-sumber pembelajaran, terutama buku dan video pembelajaran, yang secara sederhana dan mudah bisa dicerna dan diimplementasikan.
3.        Penciptaan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh-kembangnya pendidikan karakter, baik lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun struktur fungsional dinas pendidikan. Misalnya dengan membuat logbook pendidikan karakter yang mengaitkan institusi keluarga, dalam hal ini orangtua, dan institusi sekolah, dalam hal ini guru pendidikan jasmani dan kepala sekolah.
4.        Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, perlu segera dilakukan pengembangan model instruksional yang mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam pembelajaran pendidikan jasmani, baik dalam bentuk buku maupun video.


Daftar Pustaka


Crum, B. (2009). Character Development through Sport: Empirical evidence or wishful thinking? Paper presented at the conference on “Educational and Economic Values of Sport”; organized by the Indonesian National Commission on PE & Sport in cooperation with UPI, on 24th of July 2009 in Bandung.

Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (eds) (1994). Handbook of qualitative research. Thousand Oaks, California.

Dyson, B. 2003. Cooperative learning in an elementary physical education program.  Journal of Teaching Physical Education, 20, 264-281.
Hansen, K., (2008). Teaching Within All Three Domains to Maximize Student Learning. Strategies; 21, 6, pgs. 9 – 13.
Hardman, K. 2003a. Information sources for comparative physical education and sport on the international level. International Journal of Physical Education. 40 (3), 88-92.
Hardman, K. 2003b. Worldwide survey on the state and status of physical education in school: Foundations for deconstruction and reconstruction of physical education.
Hellison, D. (2003). Teaching responsibility through physical activity (2nd ed.). Champaign, IL: Human Kinetics.
Holt, B.J., dan Hannon, J.C., (2006). Teaching-learning affective domain. Strategies, 20, 11-13. :
Jones, C. 2005. Character, virtue and physical education. European Physical Education Review, Vol. 11, No. 2, 139-151.
Kaplan, C.S, Aguirre, B.A., & Rater, M., (2007). Helping your troubled teen: Learn to recognize, understand, and address the destructive behavior of today’s teens. Beverly, USA: Fair Winds Press.
Kompas, Jumat, 15 Januari 2010. Pendidikan Abaikan Karakter. Halaman 12.
Lumpkin, A.(2008). Teacher as Role Models Teaching Character and Moral Virtues. Journal of Physical Education Recreation and Dance. 79, 2. pg. 45.
Maksum, A. 2008. Psikologi Olahraga: Teori dan aplikasi. Surabaya: Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya.
Maksum, A. 2005. Olahraga membentuk karakter: Fakta atau mitos. Jurnal Ordik, edisi April vol. 3, No. 1/2005.
Maksum, A. 2002. Reaktualisasi gagasan Baron Pierre de Coubertin dalam konteks olahraga kekinian: Mengkaji ulang hasil Akademi Olimpik ke 5 di Kuala Lumpur, 1-5 April 2002.
Martens, R. 2004. Successful coaching (Edisi ketiga). Champaign, IL: Human Kinetics.
Miller, B., Roberts, G.C., & Ommundsen, Y. 2005. Effect of perceived motivational climate on moral functioning, team moral atmosphere perceptions, and the legitimacy of intentionally injurious acts among competitive youth football players. Journal of Sport and Exercise Psychology, 6, 461-477.
Popov, L.K. 2000. The virtues project, simple ways to create a culture of character: Educator’s guide. California: Jalmar Press.
Richey, R.C, Klein, J.D. & Nelson, W.A. (2006). Developmental research: Studies of instructional design and development.
Shields, DLL. & Bredemeier, BJL. 2006. Sport and character development. Research Digest, Series 7, No. 1, March 2006.
Stornes, T., & Ommundsen, Y. 2004. Achievement goals, motivational climate and sportspersonship: A study of young handball players. Scandinavian Journal of Educational Research, 48, 205-221.
Urban, H. (2004). Positive words, powerful results: Simple ways to honor, affirm, and celebrate life. New York: Simon & Schuster.
Stuntz, C.P. & Weiss, M.R. 2003. Influence of social goal orientations and peers on unsportsmanlike play. Research Quarterly for Exercise and Sport, 74, 421-435.
United Nations. 2003. Sport for development and peace: Towards achieving the millenium development goals. Report from the United Nations Inter-Agency Task Force on Sport for Development and Peace.


 BIODATA PENULIS
Nama                           : Dr. Ali Maksum
Jenis Kelamin              : Laki-Laki
Alamat Pos Surat        : Fakultas Ilmu Keolahragaan – Universitas Negeri Surabaya
Kampus Lidah Wetan, Surabaya
Email                           : alymaks@yahoo.com
Telpon/Fax                  : (031) 8543960
Handphone                 : 081 332 539 555

1 comment: