Dr. Ali Maksum
Abstrak
Pembelajaran
karakter merupakan salah satu substansi dari pendidikan jasmani dan olahraga di
sekolah. Sayangnya, sampai sekarang praktek pembelajaran yang dilakukan oleh
guru jauh dari memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap akar
persoalan yang meliputi kompetensi pedagogik guru dalam membelajarkan karakter,
pemahaman guru tentang karakter, dan praktek pembelajaran guru selama ini.
Penelitian menggunakan kombinasi antara metode kualitatif dan kuantitatif. Populasi
penelitian ini adalah guru Pendidikan Jasmani yang ada di 937 sekolah, terdiri
dari 873 SD, 42 SMP, dan 22 SMU di Surabaya. Sampel diambil secara proporsional-random sampling dan
diperoleh subjek sebesar 52 guru pendidikan jasmani lengkap dengan perangkat
pembelajarannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keseluruhan Satuan
Acara Pembelajaran guru yang dianalisis, hanya ada 48% yang bermuatan karakter,
selebihnya, tidak bermuatan karakter sama sekali. Dilihat dari tingkatan
sekolahnya, kondisi di SD lebih memprihatinkan dibanding SMP dan SMA. Dari
keseluruhan SAP yang dianalisis, pada SD hanya 29% yang bermuatan karakter,
sementara itu pada SMP 91%, dan SMA 83%. Muatan karakter bisa ada dalam tujuan,
proses, atau evaluasi. Setelah dilakukan pendalaman lebih jauh, ternyata hanya
4% yang bermuatan karakter mulai dari tujuan, proses, dan evaluasi secara
runtut. Selain itu, pemahaman guru tentang pendidikan karakter relatif sempit,
karakter dipahami lebih sebagai sopan santun. Hal lain yang ditemukan dalam
penelitian ini adalah praktek pengajaran guru bersifat internalisasi-pasif,
belum mengarah pada konstruktif-aktif. Penelitian ini merekomendasikan adanya
rekonstruksi pembelajaran Penjas mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi.
Kata kunci: Pendidikan jasmani,
pembelajaran karakter, kemampuan pedagogik
Character
Learning in Physical Education:
Rich Substance
Poor Implementation
Abstract
Character
is one of the substances of physical education and sport at school.
Unfortunately, until now the practice of learning by teachers is far from
adequate. This research aims to uncover the root causes that include
pedagogical competence of teachers in teaching character, understanding of
teachers about the character, and learning practices of teachers over the
years. The research uses a combination of qualitative and quantitative methods.
The population of this study was the teacher
of physical education in 937 schools, consisting of 873 elementary, 42 junior
high, and 22 senior high school in Surabaya. Samples were taken
proportionally-random sampling and obtained 52 physical education teachers with
its lesson plan. The results showed that over all lesson plan analyzed, there
are only 48% charged character, the others uncharged character at all. Judging
from the school level, the condition in elementary school is more alarming than
junior and senior high school. From the overall lesson plan were analyzed, the
elementary school only 29% charged character, 91% were in junior high, and 83%
in senior high school. Characters could exist in the purpose, process, or
evaluation of lesson plan. After the deepening analysis, only 4% of lesson plan of teacher charged consistently
characters ranging from the purpose, process, and evaluation. Understanding
teachers on character education is relatively narrow, the character is
understood more as a courtesy. Another thing that is found in this study is the
practice of teaching is teacher-passive internalization, have not lead to
constructive-active. This research recomended that there is should be
reconstruction of physical education learning, from planning, process, and
evaluation.
Keyword: Physical education, character
learning, pedagogical competence
Pendahuluan
Lembaga pendidikan dan guru
dewasa ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk
mempersiapkan peserta didik agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan
yang berkembang dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi tidak hanya berkaitan
dengan dinamika perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menyentuh
perubahan dan pergeseran aspek nilai dan moral dalam kehidupan masyarakat.
Seperti dekadensi moral dan karakter buruk yang ditunjukkan siswa sudah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam dunia pendidikan kita.
Mencermati penyimpangan perilaku oleh sebagian masyarakat,
termasuk para pelajar kita dewasa ini, sungguh semakin menyedihkan. Dalam hal
kejujuran, misalnya, banyak contoh dan perilaku tidak
jujur dilakukan individu dalam dunia pendidikan, mulai dari siswa yang
mencontek massal, menjiplak hasil karya orang lain, mencari-cari alasan untuk lari dari
tanggung jawab atas tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru. Begitu juga
dalam hal kekerasan yang dilakukan pelajar kian
hari kian memprihatinkan, seperti aksi
premanisme yang dilakukan oleh sebagian
pelajar kita
yang tergabung dalam
Geng Nero dan banyak lagi perilaku kekerasan lainnya. Selain itu, isu-isu moralitas juga terjadi dikalangan remaja seperti
penggunaan narkotika, pornografi, perkosaan, aborsi, perampasan, dan perusakan milik orang lain, yang
sudah menjadi masalah sosial dan hingga saat ini belum
dapat diatasi secara tuntas.
Apa yang terjadi pada bangsa ini? Bagaimana dengan pendidikan
kita? Sangat bolehjadi,Banyak
orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang
dihasilkan oleh dunia pendidikan. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah,
bisa jadi salah satu penyebabnya pendidikan kita lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual semata,
sedangkan aspek-aspek lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan
kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian. Integrasi pendidikan dan pembentukan karakter
merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional kita (Kompas, 1 Desember
2009). Fenomena masyarakat semacam ini nampaknya sudah dipahami dan disadari
Pemerintah dalam hal ini oleh Menteri Pendidikan Nasional. Sebagaimana
dikatakannya bahwa telah terjadi kerisauan di masyarakat atas terjadinya
masalah karakter sehingga menumbuhkan kerinduan banyak pihak untuk kembali
memperkuat pendidikan karakter dan budaya bangsa.
Lalu, bagaimana kaitan karakter dengan
pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah? Telah menjadi
keyakinan umum bahwa aktivitas olahraga syarat dengan nilai-nilai pendidikan
seperti kejujuran, sportivitas, disiplin, dan tanggung jawab. Bahkan ada
ungkapan yang sudah menjadi keyakinan sejarah dari waktu ke waktu: Sport build character (Maksum, 2005;
2002). United Nations (2003) melalui Task force on Sport for Development and
Peace menyatakan bahwa olahraga merupakan instrumen yang efektif untuk
mendidik kaum muda, terutama dalam hal nilai-nilai.
Sport provides a
forum to learn skills such as discipline, confidence and leadership and it
teaches core principles such as tolerance, cooperation and respect. Sport
teaches the value of effort and how to manage victory, as well as defeat. When
these positive aspects of sport are emphasized, sport becomes a powerful
vehicle through which the United Nations can work towards achieving its goals
(p. v).
Sejumlah nilai yang ada dan dapat
dipelajari melalui aktivitas olahraga meliputi: Cooperation, Communication, Respect for the rules, Problem-solving,
Understanding, Connection with others, Leadership, Respect for others, Value of
effort, How to win, How to lose, How to manage competition, Fair play, Sharing,
Self-esteem, Trust, Honesty, Self-respect, Tolerance, Resilience, Teamwork,
Discipline, Confidence (United Nations, 2003).
Dari uraian di atas
menunjukkan bahwa aktivitas olahraga mengandung nilai-nilai yang sangat
esensial bagi kehidupan dan kemanusiaan. Pertanyaannya kemudian, apakah nilai-nilai karakter tersebut telah
diajarkan oleh guru pendidikan jasmani secara efektif? Bagaimana cara guru
mengajarkan karakter pada peserta didik? Hal inilah yang pada dasarnya menjadi
titik berangkat penelitian ini. Penelitian akan
difokuskan pada aspek guru, mulai dari persiapan pembelajaran, keyakinan guru,
sampai pada praktek pembelajaran yang dilakukan. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa
pembelajaran karakter harus by design,
bukan by accident. Artinya, tidak
serta merta siswa yang berolahraga dengan sendirinya karakter terbentuk, meski
olahraga diyakini dapat membentuk karakter. [d1] Dalam
konteks pembelajaran karakter, guru berperan penting dalam mendesain
pembelajaran. Karena itu, pembelajaran karakter harus dimulai dari kesiapan
gurunya, baik secara mental, dalam arti pemahaman dan keyakinannya, maupun
keterampilan pedagogiknya seperti penyusunan rencana pembelajaran.
Kajian Pustaka
Pengertian Karakter
Dalam
ilmu psikologi, konsep “karakter” pada dasarnya merujuk pada struktur
kepribadian, tetapi dalam perkembangannya makna tersebut telah mengalami
perubahan. Allport dalam Maksum (2008) menyatakan: “The
term was subsequently modified to reflect culturally valued attributes that
reflect morality as [d2] defined by society. Artinya,
tinggi-rendah atau baik-buruknya suatu kepribadian akan sangat tergantung pada
penilaian masyarakat tertentu. Sebagai contoh, ciri kepribadian“dominan” bagi
masyarakat timur sering dianggap sebagai
perilaku “serakah” yang perlu dihindari. Namun bagi masyarakat barat, ciri
kepribadian yang demikian dianggap positip terutama bila dikaitkan dengan
sebuah kesuksesan. Sejumlah definisi karakter oleh beberapa ahli seperti
Taylor, Roback, dan Blanchard (dalam Maksum, 2008) dapat dijadikan rujukan.
Taylor berpendapat character is the
degree of ethically effective organization of all the forces of the individual.
Sementara itu Roback menyatakan character
is an enduring psychophysical disposition to inhibit impulses in accordance
with a regulative principle. Adapun Blanchard berpandangan, character primarily in terms of
interpersonal qualities such as cooperation, self-control, and sociability.
Dari beberapa pengertian di atas, setidaknya ada benang merah yang bisa
dijadikan pegangan dalam kita memahami karakter. Pada prinsipnya karakter
berintikan pada nilai-nilai moral sosial yang berlaku di masyarakat seperti
kejujuran, sportivitas, kerjasama, kesatria, dan sebagainya.
Bagaimana aplikasi nilai-nilai tersebut
dalam pembelajaran olahraga? Ketika peserta didik bermain sepakbola,
misalnya, selain belajar keterampilan seperti menendang dan menggiring bola,
juga belajar bekerja sama, kepercayaan, dan respek kepada orang lain. Sulit
rasanya menciptakan goal ke gawang
lawan tanpa adanya kerjasama yang optimal di antara pemain. Seorang pemain
tidak akan memberikan bola kepada teman sesama tim andai saja tidak percaya
kepada yang bersangkutan. Demikian juga melalui sepakbola peserta didik belajar
menghormati dan menghargai lawan, misalnya ketika lawan mengalami cedera atau
bahkan memenangkan suatu pertandingan.
Meskipun nilai-nilai
tersebut begitu menonjol dalam olahraga, sayangnya dalam tataran praktis masih
jauh dari apa yang diharapkan. Pembelajaran
karakter dalam pendidikan jasmani dan olahraga lebih sebagai harapan daripada
dukungan empirik (Crum, 2009). Mereka yang terlibat dalam kegiatan olahraga
tidak otomatis karakternya akan terbentuk. Untuk kepentingan tertentu, tindakan
yang bersifat kontra-karakter acapkali menjadi pilihan. Tidak banyak insan
olahraga yang mau dan mampu menerapkannya. Kepentingan sesaat seperti
kemenangan dan gengsi lebih menonjol dibanding penghormatan terhadap
nilai-nilai kemanusiaan. Tentu hal ini merupakan ironi. Olahraga sudah bukan lagi merupakan ekspresi homo ludens, akan tetapi telah menjadi
objek homo economicus. Pentas
olahraga direduksi menjadi persoalan “menang-kalah” dan “hadiah” yang pada
gilirannya cenderung kurang menjunjung tinggi sportivitas yang merupakan spirit
dasar olahraga itu sendiri.
Lihatlah bagaimana pertandingan sepakbola
Liga Indonesia belakangan ini. Dari sejumlah pertandingan yang digelar,
kerusuhan seolah menjadi sulit untuk dihindari. Belum lagi kasus-kasus lain
seperti pemalsuan umur, ijazah, dan suap. Ironinya, kasus-kasus tersebut tidak
hanya terjadi dalam lingkup olahraga prestasi yang notabene mengedepankan kemenangan dan pencapaian prestasi tinggi,
tetapi juga pada olahraga di lingkungan persekolahan. Peserta didik hanya
diajarkan bagaimana memenangkan suatu permainan dalam olahraga, bukan menemukan
learning points dari permainan
tersebut, misalnya bagaimana bermain dengan cara-cara yang sportif dan
bermartabat. Nilai-nilai luhur olahraga yang seharusnya diajarkan dan dijunjung
tinggi justru terdistorsi oleh hasrat untuk menang dan mengalahkan pihak lain.
Semangat yang demikian justru semakin menjauhkan olahraga dari hakikat dasarnya
sebagaimana dikemukakan oleh Coubertin sendiri, bahwa tujuan olahraga bukanlah
kemenangan, melainkan keikutsertaan, persahabatan, dan hubungan antar umat
manusia. The most important thing in the
olympic games is not to win, but to take part; just as the most important thing
in life is not the triumph, but the struggle.
Persoalan distorsi nilai-nilai olahraga
pada dasarnya bukan hal baru dan telah menjadi masalah internasional. Apalagi
setelah motif ekonomi begitu meng-hegemoni dunia olahraga. Faktor lain yang
juga ikut mempengaruhi kondisi tersebut adalah persoalan pendidikan jasmani di
sekolah. Penelitian yang dilakukan di sejumlah negara menunjukkan bahwa
pendidikan jasmani ada dalam kondisi krisis (Hardman, 2003a; 2003b). Posisinya
semakin terpinggirkan dalam struktur kurikulum, perhatian pemerintah relatif
kurang memadai, infrastruktur semakin berkurang, dan model pembelajaran yang
kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengoptimalkan
potensinya, termasuk pengembangan nilai-nilai.
Pembelajaran Karakter Melalui Pendidikan
Jasmani di Sekolah
Untuk
mengembalikan olahraga kepada hakikat dasarnya, memang bukan persoalan mudah.
Dibutuhkan usaha yang luar biasa dari semua pihak, pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang olahraga, mulai
dari hulu hingga hilir. Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan, yang memang
tidak sederhana, tulisan ini menawarkan satu solusi fundamental, yakni
melakukan rekonstruksi pembelajaran olahraga di sekolah. Setidaknya, ada tiga
alasan pokok mengapa rekonstruksi pembelajaran olahraga di sekolah diyakini
sebagai solusi yang efektif. Pertama,
sebagian besar peserta didik mengenal olahraga melalui institusi sekolah. Kedua, usia sekolah merupakan periode
efektif untuk menanamkan nilai-nilai. Ketiga,
pembelajaran olahraga di sekolah selama ini lebih menekankan pada penguasaan
keterampilan dan cenderung mengabaikan proses pembelajaran nilai. Harus diakui
bahwa proses pembelajaran olahraga di sekolah selama ini kurang memungkinkan
nilai-nilai luhur olahraga terkonstruksi dalam kognitif siswa. Dengan demikian,
bisa dipahami apabila nilai-nilai luhur yang terkandung dalam olahraga belum
dapat terinternalisasi dalam diri peserta didik, apalagi men-transformasi ke
dalam tingkah laku.
Bagaimana
proses pembelajaran nilai dalam pendidikan olahraga? Seperti telah diketahui
bahwa terdapat tiga jenis pembelajaran, yaitu: pembelajaran motorik, pembelajaran
afektif, dan pembelajaran kognitif (Hansen, 2008). Pembelajaran motorik terkait
dengan pengembangan kompetensi aktual. Pembelajaran afektif terkait dengan
pembentukan nilai, sikap, dan perasaan. Sementara itu, pembelajaran kognitif
terkait dengan pemerolehan informasi dan konsep-konsep yang terkait dengan
substansi materi yang dilatihkan. Ketiga jenis pembelajaran tersebut terkait
satu dengan yang lain. Pada tingkat tertentu pembelajaran afektif merupakan
dasar dari pembelajaran motorik dan dalam beberapa hal pembelajaran kognitif
menjadi dasar terjadinya pembelajaran afektif.
Ketiga pembelajaran tersebut akan efektif apabila peserta didik
mengalaminya dalam konteks yang riil.
Pendekatan belajar melalui pengalaman bertujuan
untuk menyiapkan struktur kognitif, memodifikasi sikap, dan meningkatkan
keterampilan perilaku dari si pembelajar (Dyson, 2003; Hellison, 2003).
Pendekatan belajar melalui pengalaman (experiential
learning) adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pada
pengalaman langsung dan nyata di lapangan. Di sini peserta mencoba menemukan
sendiri hasil pembelajaran (learning
point) dari aktivitas yang dilakukan melalui tahapan yang disebut refleksi
dan abstraksi atas pengalaman. Oleh karena itu, dalam pendekatan belajar melalui
pengalaman, pengalaman dan refleksi
atas pengalaman tersebut merupakan komponen yang sangat penting (Richey, Klein, & Nelson, 2006).
[d3] [d4] Lalu bagaimana
konstruksi nilai-nilai dapat terjadi? Dalam pandangan konstruktivist, suatu nilai terbentuk melalui proses interaksi antara
kecenderungan diri individu mengorganisasikan pengalamannya ke dalam pola
interpretasi yang bermakna dan pengalaman lingkungan dalam memberikan informasi
mengenai realitas sosial. Pembentukan nilai dilihat sebagai sebuah proses
reorganisasi dan transformasi struktur dasar penalaran individu (Maksum, 2008; Shields, & Bredemeier, 2006). Pembentukan nilai
bukanlah sekadar menemukan berbagai macam peraturan dan sifat-sifat baik
(Popov, 2000) melainkan suatu proses yang membutuhkan perubahan struktur
kognitif dan rangsangan dari lingkungan sosial. Dengan demikian, berpartisipasi
dalam kegiatan olahraga tidak dengan sendirinya membentuk nilai individu,
tetapi apa yang dianggap sebagai nilai-nilai tersebut harus diorganisasi,
dikonstruksi, dan ditransformasikan ke dalam struktur dasar penalaran individu
yang berpartisipasi di dalamnya (Stornes & Ommundsen, 2004; Stuntz &
Weiss, 2003). Secara
lebih konkrit, ada tiga tahapan yang perlu dilakukan, yakni (1) identifikasi
nilai, (2) pembelajaran nilai, dan (3) memberikan kesempatan untuk menerapkan
nilai tersebut.
Identifikasi
Nilai
Identifikasi nilai terkait dengan nilai-nilai moral apa saja yang
sekurang-kurangnya harus dimiliki oleh individu. Dalam realitas kehidupan, ada
sejumlah nilai yang terkonstruksi di dalam masyarakat, yang sangat boleh jadi
antara masyarakat yang satu dengan yang lain berbeda. Ada kalanya konstruksi
nilai dipengaruhi oleh kultur di mana nilai tersebut dibentuk. Karena itu,
untuk menghindari pemahaman yang berbeda atas suatu nilai, perlu diidentifikasi
dulu nilai-nilai yang berlaku universal. Dari beberapa literatur, setidaknya
ada enam nilai moral yang perlu dimiliki oleh individu, yaitu: respect, responsibility (Lickona, 1991);
caring, honesty, fairness, dan citizenship (Martens, 2004).
Pembelajaran
Nilai
Setelah
prroses identifikasi nilai dilakukan, maka selanjutnya sejumlah nilai tersebut diajarkan
kepada peserta didik melalui langkah-langkah sebagai berikut.[d5]
1.
Menciptakan lingkungan yang memungkinkan nilai-nilai
moral tersebut diterapkan. Peran ini begitu penting dilakukan oleh guru
pendidikan olahraga dalam rangka membangun kesamaan wawasan mencapai tujuan,
menciptakan iklim moral bagi peserta didik.
2.
Adanya keteladanan atau model perilaku moral.
Menunjukkan perilaku bermoral memiliki dampak yang lebih kuat daripada
berkata-kata tentang moral. One man
practicing good sportmanship is better than fifty others preaching it.
3.
Menyusun aturan atau kode etik berperilaku baik.
Peserta didik perlu mengetahui apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Artinya, ada pemahaman yang sama terkait dengan perilaku
moral.
4.
Menjelaskan dan mendiskusikan perilaku bermoral. Ketika
usia anak-anak, peserta didik belajar perilaku moral dengan cara imitasi dan
praktek tanpa harus mengetahui alasan mengapa hal itu dilakukan atau tidak
dilakukan. Memasuki usia remaja dan remaja, kemampuan bernalarnya telah
berkembang. Karena itu, perlu ada penjelasan dan bila perlu ada proses diskusi
untuk sampai pada pilihan perilaku moral yang diharapkan.
5.
Menggunakan dan mengajarkan etika dalam pengambilan
keputusan. Individu acapkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang harus diambil
keputusan. Mengambil keputusan adalah proses mengevaluasi tindakan-tindakan dan
memilih alternatif tindakan yang sejalan dengan nilai moral tertentu.
6.
Mendorong individu siswa mengembangkan nilai yang baik.
Guru pendidikan olahraga perlu menciptakan situasi dan menginspirasi peserta
didik untuk menampilkan perilaku moral. A
mediocre teacher tells, a good teacher explains, a superior teacher
demonstrates, and the great teacher inspires.
Penerapan
Nilai
Setelah pengajaran nilai dilakukan, maka tahap ketiga yang perlu
dilakukan adalah memberikan kesempatan untuk mengaplikasikannya. Hal terpenting
bertalian dengan penerapan nilai adalah konsistensi antara apa yang diajarkan
dengan apa yang diterapkan. Artinya, apa yang dikatakan harus berbanding lurus
dengan apa yang dilakukan, baik pada lingkungan sekolah maupun dalam keluarga.
Terkait dengan penerapan nilai, ada dua model yang dapat diaplikasikan. Pertama, membentuk kebiasaan rutin yang
bermuatan nilai-nilai moral. Situasi olahraga, sebagaimana dikemukakan di atas,
banyak memberikan peluang terjadinya perilaku moral. Misalnya berjabat tangan
dengan lawan main sebelum dan setelah bertanding, peduli kepada teman yang
ingin mempelajari keterampilan olahraga tertentu dengan cara memberikan
mentoring, bekerjasama untuk mencapai tujuan (goal), bermain dengan berpegang pada aturan, menghormati keputusan
wasit, dan sebagainya.
Kedua, memberikan reward bagi peserta didik yang
menampilkan perilaku bernilai moral. Menanamkan dan membentuk nilai moral
memang tidak secepat mengajarkan keterampilan seperti menendang atau memukul
bola. Dalam membentuk nilai moral membutuhkan proses yang relatif panjang,
konsisten, dan tidak sekali jadi. Bisa jadi peserta didik belum sepenuhnya
menampilkan perilaku bernilai moral sebagaimana yang diinginkan. Karena itu,
penghargaan tidak harus diberikan ketika peserta didik mengakhiri serangkaian
kegiatan, melainkan juga dalam proses “menjadi”. Penghargaan dapat diberikan
dalam berbagai bentuk. Misalnya dalam bentuk sertifikat, stiker, peran tertentu
seperti kapten tim, dan sebagainya.
Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengungkap kemampuan guru Pendidikan
Jasmani dalam menyusun rencana dan praktek pembelajaran bervisi karakter, dan keyakinan
guru terkait pembelajaran karakter. Untuk mencapai tujuan tersebut, disusun
tahapan penelitian sebagai berikut.
Penelitian Tahap 1
Tujuan
penelitian pada tahap ini adalah melakukan kajian terhadap Satuan Acara
Pembelajaran (SAP) yang telah disusun oleh guru Pendidikan Jasmani untuk
menemukan muatan karakter di dalamnya. Populasi penelitian ini adalah guru pendidikan
jasmani yang ada di 937 sekolah di Surabaya, terdiri dari 873 SD, 42 SMP, dan
22 SMU yang tersebar di wilayah Surabaya Pusat, Surabaya Utara, Surabaya Timur,
Surabaya Selatan, dan Surabaya Barat. Sampel diambil secara proporsional-random sampling dengan
memperhatikan keterwakilan
wilayah. Dengan besaran 25% dari jumlah populasi, maka diperoleh sampel
sebanyak 52 guru [d6] Pendidikan Jasmani, terdiri dari 35 SD, 11 SMP,
dan 6 SMU. Dari 52 guru tersebut diminta menyerahkan SAP, masing-masing 1
eksemplar, sehingga diperoleh 52 SAP.
Data
dikumpulkan mulai Mei-Oktober 2010 oleh tim pengumpul data sebanyak 10
mahasiswa tingkat akhir. Pemilihan ini didasarkan pada alasan bahwa mereka
telah menempuh dan lulus matakuliah metodologi penelitian dan sedang menyusun
skripsi. Secara garis besar prosedur penelitian dapat
diuraikan sebagai berikut.
a.
Tahap persiapan
(1) Memberikan
pembekalan kepada sepuluh tenaga pengumpul data yang akan melakukan pengumpulan
data di 52 sekolah di Surabaya.
(2) Materi pembekalan terkait dengan tujuan
penelitian, karakteristik umum responden, dan prosedur pengumpulan data.
b.
Tahap pelaksanaan
(1)
Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai cara,
bergantung pada kesepakatan yang dicapai antara petugas pengumpul data di
lapangan dengan guru Pendidikan Jasmani yang menjadi subjek penelitian.
(2)
SAP yang telah didapat dari guru Pendidikan Jasmani
dikumpulkan oleh koordinator pengumpulan data untuk kemudian dilakukan
verifikasi.
(3)
Data yang telah dinyatakan lengkap selanjutnya siap
diolah sesuai dengan kepentingan penelitian.
Data yang dihasilkan dari lapangan berupa data gabungan, yakni data
kuantitatif dan kualitatif. Untuk data kuantitatif, analisis dilakukan melalui statistik
deskriptif terutama persentase.[d7]
Analisis persentase dilakukan untuk menemukan faktor atau tema yang menonjol
dari kasus yang diamati. Sementara itu untuk data kualitatif, proses analisis
dilakukan melalui tahap: menyeleksi, menyederhanakan, mengklasifikasi,
memfokuskan, mengorganisasi (mengkaitkan gejala) secara sistematis dan logis,
serta membuat abstaksi atas kesimpulan hasil analisis (Miles dan Huberman,
1994). Data dianalisis melalui proses penyandian (coding) dengan menggunakan pola pikir
induktif untuk menemukan faktor atau tema tertentu. Untuk menjaga kredibilitas
penelitian, peneliti menggunakan langkah-langkah seperti triangulasi (triangulation), diskusi dengan teman
sejawat (peer debriefing), dan pengecekan
anggota (member checks) (Denzin &
Lincoln, 1994).
Penelitian Tahap 2
Tujuan
penelitian pada tahap ini adalah melakukan pendalaman terkait dengan keyakinan
guru mengenai pembelajaran karakter kepada peserta didik. Subjek penelitian
pada tahap ini adalah 12 guru Pendidikan Jasmani, terdiri dari 6 guru SD, 3
guru SMP, dan 3 guru SMU, dipilih secara purposif. Adapun responden yang
terpilih berasal dari sekolah-sekolah berikut.
No
|
Nama Responden
|
Nama
Sekolah
|
1
|
Hasri Purnawati
|
SDN Gayungan 2 Surabaya
|
2
|
Hary Priyanto
|
SDN Gundi 1 Surabaya
|
3
|
Mujiono
|
SDN Jepara 1
Surabaya
|
4
|
Herman Budi S.
|
SDN Lidah Kulon
5 Surabaya
|
5
|
Setyorini
|
SDN Perak Barat
6 Surabaya
|
6
|
Nanang Hari Antono
|
SDN Tenggilis Mejoyo 2 Surabaya
|
7
|
Sukardi
|
SMPN 3 Surabaya
|
8
|
Moh. Kadarisman
|
SMPN 12 Surabaya
|
9
|
Dwi Lusmandari
|
SMPN 40 Surabaya
|
10
|
Toha Maksum
|
SMAN 3 Surabaya
|
11
|
Qurun’in
|
SMAN 5 Surabaya
|
12
|
Sulistyono
|
SMAN 16 Surabaya
|
Data
dikumpulkan oleh tim pengumpul data sebanyak 10 mahasiswa tingkat akhir,
sebagaimana pada tahap 1. Secara garis besar prosedur
penelitian dapat diuraikan sebagai berikut.
c.
Tahap persiapan
(3) Memberikan
pembekalan kepada sepuluh tenaga pengumpul data yang akan melakukan pengumpulan
data di 12 sekolah di Surabaya.
(4) Materi pembekalan terkait dengan tujuan
penelitian, karakteristik umum responden, dan prosedur pengumpulan data.
d.
Tahap pelaksanaan
(4)
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, mengenai
waktu wawancara bergantung pada kesepakatan yang dicapai antara petugas
pengumpul data dengan guru Pendidikan Jasmani yang menjadi subjek penelitian.
(5)
Data hasil wawancara selanjutnya ditranskrip dan
dikumpulkan oleh koordinator pengumpulan data untuk kemudian dilakukan
verifikasi.
(6)
Data yang telah dinyatakan lengkap selanjutnya siap
diolah sesuai dengan kepentingan penelitian.
Untuk
melakukan analisis terhadap data kualitatif tersebut, ada tiga tahap pokok
yaitu: Tahap pertama adalah reduksi
data, peneliti mencoba memilahkan data relevan, menjelaskan tentang apa yang
menjadi sasaran analisis. Langkah yang dilakukan adalah menyederhanakan dengan
jalan membuat fokus, klasifikasi, dan abstraksi data kasar menjadi data yang
bermakna untuk dianalisis. Tahap kedua
adalah sajian deskriptif tentang apa yang ditemukan dalam analisis. Sajian deskriptif dapat diwujudkan dalam
narasi, visual gambar, tabular, dan lain sebagainya yang akan lebih memudah
pembaca mengikutinya. Alur sajian harus sistematik dan logik. Tahap ketiga adalah penyimpulan atas apa
yang disajikan. Kesimpulan merupakan intisari dari analisis yang dilakukan
maupun efektivitas proses pembelajaran yang dilakukannya.
Hasil dan Pembahasan
Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Jasmani
Kompetensi
pedagogik di sini diartikan sebagai kemampuan guru merencanakan pembelajaran
yang bermuatan karakter. Perencanaan pembelajaran dapat dilihat dari Satuan
Acara Pembelajaran (SAP) yang dibuat oleh guru. Dari SAP tersebut
diidentifikasi muatan karakternya, yakni dalam tujuan, proses, dan evaluasi.
Dari analisis data yang dilakukan terhadap 52 SAP sampel menunjukkan bahwa ada
48% yang bermuatan karakter, selebihnya, tidak bermuatan karakter sama sekali.
Muatan karakter bisa ada dalam tujuan, proses, atau evaluasi. Setelah dilakukan
pendalaman lebih jauh, ternyata hanya 4% yang bermuatan karakter mulai dari
tujuan, proses, dan evaluasi secara runtut.
Grafik 1: Analisis Muatan Karakter dalam SAP Guru Pendidikan
Jasmani di Surabaya
Dilihat dari tingkatan sekolahnya,
kondisi di tingkat SD lebih memprihatinkan dibanding SMP dan SMA. Dari
keseluruhan SAP yang dianalisis, pada SD hanya 29% yang bermuatan karakter,
sementara itu pada SMP 91%, dan SMA 83%. Kondisi yang demikian tentu memprihatinkan,
mengingat usia SD merupakan periode kritis (critical
period) dalam rangka membentuk karakter anak sejak dini. Kegagalan dalam
periode ini akan berdampak pada perkembangan berikutnya.
Lemahnya kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani di SD bisa dipahami,
mengingat sebagian besar mereka adalah guru kelas yang notabene tidak memiliki
latar belakang pendidikan yang memadai. Ada yang lulusan SGO, SPG, dan ada juga
sarjana tetapi bukan bidang olahraga. Dengan kondisi yang demikian, praktis
pembelajaran pendidikan jasmani di SD kurang dapat dilaksanakan secara optimal.
Kondisi di SMP dan SMA jauh lebih
menggembirakan, setidaknya dari kemampuan pedagogik yang ditunjukkan dalam
menyusun rencana pembelajaran. Hampir semua guru pendidikan jasmani di SMP dan
SMA berlatar belakang sesuai dengan pendidikan.
Pemahaman Guru Pendidikan Jasmani Terhadap Pembentukan Karakter
Pemahaman
guru disini dimaksudkan sebagai anggapan, pandangan, dan pengetahuan yang
dimiliki oleh guru terkait dengan pembentukan karakter siswa melalui pendidikan
jasmani. Dari sejumlah guru yang diwawancarai terungkap bahwa:
1. Guru memahami, seiring
kemajuan jaman dan teknologi, karakter siswa semakin merosot.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada
perilaku para siswa. Apalagi dengan adanya kebebasan dalam cybermedia, anak
seolah bebas dan mudah mendapatkan informasi, termasuk gambar-gambar yang pada
dasarnya kurang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
“…mengenai
karakter siswa sekarang ini lain dari yang dulu, kalo sekarang ini siswa kan
dengan perkembangan teknologi sangat mempengaruhi terhadap karakter atau
tingkah laku siswa (Wawancara R12, 11 Oktober 2010).
“…pada
dasarnya karakter siswa pada sekarang ini sudah mengalami kemrosotan atau penurunan
karena disebabkan beberapa factor yang karena ada faktor perkembangan zaman,
ada faktor perkembangan teknologi dan era globalisasi ini sehingga banyak ee…
karakter anak-anak itu boleh dikatakan menurun. (Wawancara, R4, 8 Oktober 2010)
2. Pendidikan karakter lebih
dipahami sebagai sopan santun seperti unggah-ungguh dan cara berpakaian.
Ada pemahaman
yang agak sempit terkait dengan pengertian karakter dari para guru. Karakter
dipersepsikan sebagai persoalan etiket yang menyangkut sopan santun dan cara
berpakaian. Kalau ada anak yang berpakaian tidak patut dianggap tidak memiliki
karakter. Demikian juga kalau ada anak tidak membungkuk ketika berjalan
melewati guru dianggap tidak memiliki karakter.
Yang
sering kita jumpai karakter siswa itu sekarang itu sudah tidak sesuai lagi,
terutama sikapnya terhadap orang tua, bagaimana sikapnya terhadap guru,
bagaimana sikapnya bergaul di masyarakat, itu sudah mengalami penurunan, ya..
misalnya berbicara kepada orang yang lebih tua biasanya anak-anak ini mempunyai
karakter dianggap seperti teman sendiri yaa… terus yang kedua adalah sikap
kepada guru seakan-akan dia itu cuek saja. Tidak bisa membedakan oh siapa guru
saya ini siapa orang tua, dianggap seperti teman sebaya, dari cara berbicaranya
seperti itu (Wawancara R4, 8 Oktober 2010).
3. Ada keengganan guru menangani
siswa karena HAM, kekerasan dianggap cara efektif menanamkan karakter.
Seiring kesadaran masyarakat
akan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, orangtua cenderung menuntut
kepada sekolah untuk memperlakukan anaknya secara baik. Orangtua akan komplain,
bahkan mempersoalkan secara hukum manakala anaknya diperlakukan dengan cara
kekerasan. Dalam banyak kasus, guru olahraga acapkali menggunakan hukuman,
termasuk kekerasan dalam menangani siswanya yang dianggap nakal.
“…ya kita mau
memarahi anak yang agak, katakanlah njiwet
kena HAM, jadi ya seakan-akan apa ya kayak saya sendiri ya tugas saya ngajar,
kenek tak didik gak bisa tak didik ya sudah, paling-paling kalo ada anak yg misuh ya tak marahin gitu aja, saya
sebatas apa ya.. sebatas saya hanya kalau mbok
baleni maneh tak ketak.hanya gitu aja (Wawancara R6, 9 Oktober 2010).
4. Penanganan pendidikan
karakter tidak by design, melainkan by accident.
Pembelajaran
pendidikan jasmani dipahami guru, lebih sebagai instrumen untuk mengajarkan
gerak atau olahraga semata. Karena itu, muatan karakter tidak pernah diajarkan
secara sengaja. Apa yang dianggap sebagai pendidikan karakter manakala anak
melakukan kesalahan, kemudian dinasehati, dimarahi, dan kalau perlu diberikan
hukuman fisik.
“…kalau
ketahuan ya kita panggil anak tersebut, kita beri pengarahan kalau masih
mbandel e.. ada surat peringatan dan sebagainya, …dipanggil orangtuanya
(Wawancara R12, 11 Oktober 2010).
“…kalau
terencana ya nggak, tapi setiap pelajaran itu ada, apalagi kalau ada masalah
(Wawancara R5, 12 Oktober 2010).
5. Keterlibatan orangtua lebih
karena anaknya bermasalah, misalnya dipanggil ke sekolah.
Pendidikan
karakter tidak bisa hanya terbatas pada lingkungan sekolah, tetapi perlu
melibatkan lingkungan lain seperti lingkungan keluarga. Dari sisi waktu,
keberadaan anak di sekolah sekitar 5 jam, selebihnya, dan ini yang lebih besar
justru ada pada lingkungan keluarga dan masyarakat. Keterlibatan orangtua perlu
dimulai sejak awal secara terencana, bukan sekadar dilibatkan ketika anaknya
bermasalah. Yang terakhir inilah yang banyak dilakukan oleh sekolah.
“…jadi kalau
ada anak yang sekiranya menyimpang perilakunya segera dipanggil orangtuanya ben gak ono molo…dipanggil melalui surat
panggilan pada orangtuanya nanti kalo tak
keplak engko sampean aku salahno, wes yo opo saiki anake sampean nakale ngene
(Wawancara R6, 9 Oktober 2010).
6.
Penjas cenderung dipahami sebagai instrumen menanamkan
disiplin.
Aspek
disiplin memang menjadi bagian penting dari pembelajaran pendidikan jasmani,
tetapi perlu diingat bahwa hasil akhir pembelajaran bukan hanya disiplin,
melainkan juga kejujuran, respek pada orang lain, taat pada aturan, dan
sebagainya.
“…kalau
saya hanya penanaman disiplin aja, misalnya anak-anak sini saya biasakan
sebelum berolahraga itu,, saya bariskan berdoa setelah berdoa saya suruh
ngambilin sampah… trus ngambil sampah selesai, kembali baris. Ketua kelasnya
saya suruh mimpin untuk pemanasan, jadi apa ya pola lama yang saya pakai nanti
setelah itu pemanasan secara cukup baru anak-anak saya ayo waktunya
olahraga apa sekarang (Wawancara R6, 9
Oktober 2010).
Praktek Pembelajaran Karakter oleh Guru Pendidikan Jasmani
Praktek
pembelajaran di sini dimaksudkan sebagai bentuk nyata proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru pendidikan jasmani, mulai dari memulai pembelajaran (warming-up), inti pembelajaran, dan
penutup (cooling-down). Dari analisis
yang dilakukan terhadap lima video hasil rekaman di lima sekolah, yakni: SDN
Jepara 3 Surabaya, SDN Perak Barat 6 Surabaya, SDN Lidah Kulon 5 Surabaya, SMPN
12 Surabaya, dan SMAN 5 Surabaya,
terungkap hal-hal sebagai berikut.
1.
Pada awal pembelajaran, guru membariskan siswanya
untuk kemudian memberikan penjelasan tentang materi pembelajaran dan
dilanjutkan dengan pemanasan berupa peregangan dan berlari mengelilingi
lapangan;
2.
Penyampaian substansi pembelajaran difokuskan pada
penguasaan keterampilan cabang olahraga. Misalnya bagaimana melakukan handstand dalam senam, shooting dalam bolabasket, dan passing dalam bolavoli. Nilai-nilai yang
terkandung di dalam aktivitas tersebut tidak diajarkan kepada peserta didik;
3.
Pada saat pembelajaran berakhir, guru cenderung
membubarkan begitu saja, tanpa ada refleksi atas pembelajaran yang baru saja
dilakukan.
Simpulan dan Saran
Simpulan
1. Kompetensi
pedagogik guru pendidikan jasmani di Surabaya dalam mengintegrasikan pendidikan
karakter yang terwujud dalam penyusunan RPP masih sangat rendah, hanya 4% RPP
yang bermuatan karakter, mulai dari tujuan, proses, dan evaluasi secara runtut.
2. Pemahaman
guru pendidikan jasmani terkait dengan pembelajaran karakter relatif dangkal
dengan tata pikir kurang sistematis.
a.
Pendidikan karakter lebih dipahami sebagai sopan
santun seperti unggah-ungguh dan cara berpakaian;
b.
Ada keengganan guru menangani siswa karena HAM,
kekerasan dianggap cara efektif menanamkan karakter;
c.
Penanganan pendidikan karakter tidak by design, melainkan by accident;
d.
Keterlibatan orangtua lebih karena anaknya bermasalah,
misalnya dipanggil ke sekolah
e.
Penjas cenderung dipahami sebagai instrumen menanamkan
disiplin
3. Praktek
pembelajaran karakter yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani cenderung
bersifat internalisasi-pasif. Pembentukan karakter dianggap sudah terjadi
ketika anak terlibat dalam kegiatan olahraga, tanpa harus dikonstruksi di dalam
struktur kognitif anak;
Saran
Berdasarkan temuan penelitian ini, maka disarankan hal-hal sebagai
berikut.
1.
Perlu ada rekonstruksi pembelajaran yang berfokus pada
penguatan kompetensi pedagogik guru pendidikan jasmani, terutama dalam
penyusunan RPP bervisi karakter, melalui pelatihan intensif dengan ukuran
keberhasilan yang konkret. Penguatan kompetensi dapat dilakukan melalui program
pre-service training dan in-service training.
2.
Perlu cara baru dalam memahami pendidikan karakter
melalui pendidikan jasmani, dari internalisasi-pasif menjadi konstruktif-aktif.
Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian sumber-sumber pembelajaran, terutama
buku dan video pembelajaran, yang secara sederhana dan mudah bisa dicerna dan
diimplementasikan.
3.
Penciptaan lingkungan yang kondusif untuk
tumbuh-kembangnya pendidikan karakter, baik lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, maupun struktur fungsional dinas pendidikan. Misalnya dengan membuat logbook pendidikan karakter yang
mengaitkan institusi keluarga, dalam hal ini orangtua, dan institusi sekolah,
dalam hal ini guru pendidikan jasmani dan kepala sekolah.
4.
Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, perlu
segera dilakukan pengembangan model instruksional yang mengintegrasikan
nilai-nilai karakter ke dalam pembelajaran pendidikan jasmani, baik dalam
bentuk buku maupun video.
Daftar Pustaka
Crum, B. (2009). Character
Development through Sport: Empirical evidence or wishful thinking? Paper presented at the conference on “Educational and
Economic Values of Sport”; organized by the Indonesian National Commission on
PE & Sport in cooperation with UPI, on 24th of July 2009 in
Bandung.
Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (eds) (1994). Handbook of qualitative research. Thousand Oaks, California.
Dyson, B. 2003. Cooperative
learning in an elementary physical education program. Journal
of Teaching Physical Education, 20, 264-281.
Hansen,
K., (2008). Teaching Within All Three Domains to Maximize Student Learning. Strategies; 21, 6, pgs. 9 – 13.
Hardman,
K. 2003a. Information sources for comparative physical education and sport on
the international level. International
Journal of Physical Education. 40 (3), 88-92.
Hardman,
K. 2003b. Worldwide survey on the state
and status of physical education in school: Foundations for deconstruction and
reconstruction of physical education.
Hellison, D. (2003). Teaching responsibility through physical
activity (2nd ed.). Champaign, IL: Human Kinetics.
Holt, B.J., dan
Hannon, J.C., (2006). Teaching-learning affective domain. Strategies, 20,
11-13. :
Jones,
C. 2005. Character, virtue and physical education. European Physical Education Review, Vol. 11, No. 2, 139-151.
Kaplan,
C.S, Aguirre, B.A., & Rater, M., (2007). Helping your troubled teen: Learn to recognize, understand, and address
the destructive behavior of today’s teens. Beverly, USA: Fair Winds Press.
Kompas,
Jumat, 15 Januari 2010. Pendidikan Abaikan Karakter. Halaman 12.
Lumpkin, A.(2008).
Teacher as Role Models Teaching Character and Moral Virtues. Journal of Physical Education Recreation and
Dance. 79, 2. pg. 45.
Maksum,
A. 2008. Psikologi Olahraga: Teori dan
aplikasi. Surabaya: Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya.
Maksum,
A. 2005. Olahraga membentuk karakter: Fakta atau mitos. Jurnal Ordik, edisi April vol. 3, No. 1/2005.
Maksum,
A. 2002. Reaktualisasi gagasan Baron
Pierre de Coubertin dalam konteks olahraga kekinian: Mengkaji ulang hasil
Akademi Olimpik ke 5 di Kuala Lumpur, 1-5 April 2002.
Martens,
R. 2004. Successful coaching (Edisi
ketiga). Champaign, IL: Human Kinetics.
Miller, B., Roberts, G.C., & Ommundsen,
Y. 2005. Effect of perceived motivational climate on moral functioning,
team moral atmosphere perceptions, and the legitimacy of intentionally
injurious acts among competitive youth football players. Journal of Sport and Exercise Psychology, 6, 461-477.
Popov,
L.K. 2000. The virtues project, simple
ways to create a culture of character: Educator’s guide. California: Jalmar
Press.
Richey,
R.C, Klein, J.D. & Nelson, W.A. (2006). Developmental
research: Studies of instructional design and development.
Shields,
DLL. & Bredemeier, BJL. 2006. Sport and character development. Research Digest, Series 7, No. 1, March
2006.
Stornes,
T., & Ommundsen, Y. 2004. Achievement goals, motivational climate and
sportspersonship: A study of young handball players. Scandinavian Journal of Educational Research, 48, 205-221.
Urban,
H. (2004). Positive words, powerful
results: Simple ways to honor, affirm, and celebrate life. New York: Simon
& Schuster.
Stuntz,
C.P. & Weiss, M.R. 2003. Influence of social goal orientations and peers on
unsportsmanlike play. Research Quarterly
for Exercise and Sport, 74, 421-435.
United
Nations. 2003. Sport for development and
peace: Towards achieving the millenium development goals. Report from the
United Nations Inter-Agency Task Force on Sport for Development and Peace.
BIODATA PENULIS
Nama :
Dr. Ali Maksum
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat Pos Surat : Fakultas Ilmu Keolahragaan –
Universitas Negeri Surabaya
Kampus Lidah Wetan, Surabaya
Telpon/Fax : (031) 8543960
Handphone : 081 332 539 555
jos
ReplyDelete