Model Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan di Pesantren

Ridwan Abdullah Sani
Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan, Jl. Willem Iskandar, Psr V Medan
Email: ridwanunimed@gmail.com
  
Abstract
Several efforts in education in order to improve the affective of student were conducted by several courses: religion, civics education, social sciences, language, and physical education. However, those efforts could not effectively hold in order to improve student good character dynamically and adaptive to the globalization fast changing. The failure of character building at formal school must be anticipated, so it’s necessary to develop relevant teaching model and education system. The problem of character education which is not carried out well at school is affected by several factors, ie: school management, teacher, and learning model. Research has been conducted in order to obtain relevant teaching model. Teaching model was developed based on pesantren best practices, escpesially pesantren at north sumatera, Nangroe Aceh Darussalam, west sumatera, Riau, south sumatera, and Jambi provinces. Qualitative data were collected using indepth-interview and observation. It is found that salafiyah pesantren is mainly depend on teacher (ustadz) role model, while modern pesantren uses tight rules, discipline, and student responsibility. The pesantren develop character of caring for other people, sincerity, sober, and independence. Policy that could be suggested based on this research is development of character education must be carried out holistically embedded in school program and must be obey by the whole school stakeholders. Better implementation could be achieved if the character education is formulated in the mission of the school.   

Abstrak
Berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang menyentuh tataran afektif telah dilakukan melalui mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian upaya-upaya tersebut ternyata belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap perubahan jaman yang sangat cepat. Permasalahan gagalnya pendidikan formal di sekolah dalam membentuk karakter siswa sangat perlu diantisipasi, sehingga perlu dikembangkan suatu model pembelajaran dan system pendidikan yang dapat digunakan untuk membentuk karakter siswa. Permasalahan pendidikan di sekolah yang belum dapat membentuk karakter siswa dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya factor manajemen sekolah, guru, dan model pembelajaran. Untuk memperoleh model pembelajaran yang cocok, telah dilakukan penelitian tentang best practices pendidikan karakter di beberapa pesantren yang berada di propinsi Sumatera Utara, propinsi Nangroe Aceh Darussalam, propinsi Sumatera Barat, propinsi Riau, propinsi Jambi, dan propinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua tehnik yang lazim digunakan dalam penelitian dalam penelitian kualitatif, yaitu; observasi dan wawancara mendalam. Ditemukan bahwa pesantren salafiyah lebih mengutamakan keteladanan ustadz, sedangkan pesantren modern menerapkan aturan yang ketat untuk menumbuhkan sikap disiplin dan tanggungjawab. Pesantren menumbuhkan atribut karakter saling tolong menolong, ihklas mengabdi, kesederhanaan, dan kemandirian. Kebijakan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah menerapkan pendidikan karakter secara holistic melalui program sekolah yang harus dipahami dan dipatuhi oleh semua unsur pendidik dan peserta didik.  Untuk itu, lembaga pendidikan seharusnya menetapkan misi yang eksplisit terkait pengembangan karakter siswa.   



Kata Kunci: pendidikan karakter, model pembelajaran, pondok pesantren 

Pendahuluan
Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara imperatif tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Secara akademik, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik itu, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Karena itu muatan pendidikan karakter secara psikologis mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behavior (Lickona, 1991).
Beranjak dari situasi tersebut di atas, terlihat bahwa pendidikan nilai/moral memang sangat diperlukan atas dasar argument : 1) adanya kebutuhan nyata dan mendesak; 2) proses tranmisi nilai sebagai proses peradaban; 3) peranan sekolah sebagai pendidik moral yang vital pada saat melemahnya pendidikan nilai dalam masyarakat; 4) tetap adanya kode etik dalam masyarakat yang sarat konflik nilai; 5) kebutuhan demokrasi akan pendidikan moral; 6) kenyataan yang sesungguhnya bahwa tidak ada pendidikan yang bebas nilai; 7) persoalan moral sebagai salah satu persoalan dalam kehidupan, dan 8) adanya landasan yang kuat dan dukungan luas terhadap pendidikan moral di sekolah. Keseluruhan argumen tersebut tampaknya masih relevan untuk menjadi cerminan kebutuhan akan pendidikan nilai/moral di Indonesia pada saat ini. Proses demokasi yang semakin meluas dan tantangan globalisasi yang semakin kuat dan beragam di satu pihak dan dunia pendidikan di berbagai jalur, jenjang, dan jenis yang lebih mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan (knowledge) dan hampir mengabaikan pendidikan nilai/moral saat ini, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan komitmen dan melakukan gerakan nasional pendidikan karakter.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia, diyakini bahwa nilai dan karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, harus dimiliki peserta didik agar mampu menghadapi tantangan hidup pada saat ini dan di masa mendatang. Karena itu, pengembangan nilai yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa yang diperoleh melalui berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, akan mendorong mereka menjadi anggota masyarakat, anak bangsa, dan warga negara yang memiliki kepribadian unggul seperti diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Sampai saat ini, secara kurikuler telah dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih mempunyai makna bagi individu yang tidak sekadar memberi pengetahuan pada tataran koginitif, tetapi juga menyentuh tataran afektif dan konatif melalui mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan IPS, Pendidikan Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Jasmani. Namun demikian harus diakui karena kondisi jaman yang berubah dengan cepat, maka upaya-upaya tersebut ternyata belum mampu mewadahi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap perubahan tersebut. Oleh karena itu pendidikan karakter perlu dirancang-ulang dan dikemas kembali dalam wadah yang lebih komprehensif dan lebih bermakna. Pendidikan karakter perlu direformulasikan dan direoperasionalkan melalui transformasi budaya dan dimensi kehidupan. Kebutuhan tersebut bukan hanya dianggap penting tetapi sangat mendesak mengingat berkembangnya godaan-godaan (temptations) dewasa ini marak dengan tayangan dalam media cetak maupun non-cetak (televisi, jaringan maya, dan lain-lain) yang memuat fenomena dan kasus perseteruan dalam berbagai kalangan yang memberi kesan seakan-akan bangsa kita sedang mengalami krisis etika dan krisis kepercayaan diri yang berkepanjangan. Pendidikan karakter bangsa diharapkan mampu menjadi alternatif solusi berbagai persoalan tersebut. Kondisi dan situasi saat ini tampaknya menuntut pendidikan karakter yang perlu ditransformasikan sejak dini, yakni sejak pendidikan anak usia dini dan pada tahap pendidikan dasar secara holistik dan berkesinambungan. Permasalahan yang dihadapi adalah gagalnya pendidikan formal di sekolah dalam membentuk karakter siswa, sehingga perlu dikembangkan suatu model pembelajaran dan system pendidikan yang dapat digunakan untuk membentuk karakter siswa. Penelitian ini menelaah best practices yang diterapkan di pondok pesantren sebagai dasar pengembangan model dan system pendidikan karakter bagi sekolah formal.

Kajian Pustaka
Karakter adalah nilai-nilai yang melandasi perilaku manusia berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum/konstitusi, adat istiadat, dan estetika. Pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai perilaku (karakter) kepada warga sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menyebutkan Pendidikan nasional berfungsi: Mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ternyata pembelajaran di sekolah yang kurang tepat merupakan salah satu factor kegagalan pendidikan karakter, seperti yang dikemukakan oleh Kessler: Many classroom are “sprititually empty” not by accident, but “by design” (Kessler, 2000). Namun, pendidikan karakter bukanlah semata-mata tanggung jawab pemerintah, melainkan juga orangtua, institusi pendidikan, organisasi agama, dan masyarakat.
            Istilah karakter menurut Winnie memiliki dua pengertian, yakni: Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Nilai karakter yang perlu diajarkan pada anak menurut Sukamto adalah: 1) kejujuran, 2) loyalitas dan dapat diandalkan, 3) hormat, 4) cinta, 5) ketidak egoisan dan sensitifitas, 6) baik hati dan pertemanan, 7) keberanian, 8) kedamaian, 9) mandiri dan potensial, 10) disiplin diri dan moderasi, 11) kesetiaan dan kemurnian, serta 12) keadilan dan kasih sayang. Sedangkan Rich (2008) mengemukakan pentingnya beberapa keterampilan yang terkait atribut karakter, yakni: Confidence, Motivation, Effort, Responsibility, Initiative, Perseverance, Caring, Teamwork, Common Sense, Problem Solving, Focus, Respect.
Athur (2003) menyatakan: “Character can be said to be the sum total of a person’s characteristics, affective, cognitive and physical”. Secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Atribut karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development).
Pada tahap mikro, pendidikan karakter ditata sebagai berikut :
        1.     Secara mikro, pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar yakni: kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan (school culture), kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstra kurikuler, serta pada keseharian di rumah dan dalam masyarakat,
        2.     Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan integrasi dalam semua mata pelajaran (embedded approach). Khusus, untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, karena memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap, maka pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata pelajaran tersebut, nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu, untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring (nurturant effects) berkembangnya nilai/karakter dalam diri peserta didik.
        3.     Dalam lingkungan satuan pendidikan dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosio-kultural satuan pendidikan memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga satuan pendidikan lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di satuan pendidikan yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.
        4.     Dalam kegiatan ko-kurikuler, yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra kurikuler, yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam, dan lain-lain, perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka pengembangan nilai/karakter.
        5.     Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulai yang dikembangkan di satuan pendidikan menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.
Pendidikan karakter harus dilakukan secara holistik. Pendidikan holistik membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek/potensi spiritual, potensi emosional, potensi intelektual (intelegensi & kreativitas), potensi sosial, dan potensi jasmani siswa secara optimal. Membangun karakter itu harus dimulai sedini mungkin, atau bahkan sejak dilahirkan, dan harus dilakukan secara terus menerus dan terfokus. Pendidikan holistik juga untuk membentuk manusia pembelajar sepanjang hayat yang sejati (lifelong learners). Di samping itu, pendidikan karakter juga mengembangkan semua potensi anak sehingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal ini, perkembangan anak harus seimbang, baik dari segi akademiknya maupun segi sosial dan emosinya. Pendidikan selama ini hanya memberi penekanan pada aspek akademik saja dan tidak mengembangkan aspek social, emosi, kreatifitas, dan bahkan motorik. "Anak hanya dipersiapkan untuk dapat nilai bagus, namun mereka tidak dilatih untuk bisa hidup.
Lickona mengacu pada pemikiran filosof Michael Novak yang berpendapat bahwa watak atau karakter seseorang dibentuk melalui tiga aspek, yaitu: Konsep moral (moral Knowing), sikap moral (moral feeling), perilaku moral (moral behavior). Bagan keterkaitan ketiga konsep tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

 

Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk kategori penelitian kualitatif dan studi literatur. Dalam penelitian dilakukan penjaringan data tentang pembentukan karakter yang dilaksanakan di pesantren sedangkan penelitian studi literatur yaitu mendata buku-buku teks (kitab kuning) yang digunakan oleh pesantren dalam membentuk karakter bangsa.  Metode penelitian yang digunakan untuk studi literatur (penelitian teks), yaitu bertumpu pada analisis konten (teks) dengan mengidentifikasi kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dan menganalisis muatannya. Dengan menggunakan pendekatan analisis harafiah dan makna, nilai-nilai tertentu terkait dengan nilai-nilai yang mengandung pembentukan karakter akan dikumpulkan dan dianalisis berdasarkan arti harfiah, makna yang tersurat dan tersirat, dan bagaimana cara pengajarannya.
            Penelitian dilakukan di beberapa pesantren yang berada di propinsi Sumatera Utara, propinsi Nangroe Aceh Darussalam, propinsi Sumatera Barat, propinsi Riau, propinsi Jambi, dan propinsi Sumatera Selatan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) tehnik yang lazim digunakan dalam penelitian dalam penelitian kualitatif, yaitu; observasi dan wawancara mendalam. Observasi dilakukan secara non-partisan, dimana peneliti berperan hanya sebagai pengamat fenomena yang sedang diteliti. Selama penelitian berlangsung, mengamati kegiatan-kegiatan para pengurus, guru (ustadz) dan santri Pondok Pesantren, melihat bagaimana proses belajar mengajar, khususnya berkaitan dengan pendidikan karakter bangsa berbasis pesantran dan kitab kuning berlangsung.
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah indepth interview dengan pola semi structured interview. Wawancara dilaksanakan terhadap pimpinan pesantren dan pengurus yayasan sekaligus pemrakarsa pendirian Pondok Pesantren untuk mengetahui latar belakang pendirian Pesantren serta hambatan yang dihadapi mulai dari pendirian sampai saat ini. Wawancara juga dilakukan kepada pengelola (kepala sekolah) dan guru (ustadz) yang berperan dan bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran di Pondok Pesantren. Wawancara yang dilakukan terhadap pengurus yayasan (kiyai) dan guru (ustadz), peneliti memperoleh informasi tentang perkembangan pesantren dan bagaimana proses pembelajarannya berlangsung. Peneliti juga diminta untuk mendapatkan informasi tentang pandangan beberapa tokoh pesantren (Kiyai maupun ustadz) mengenai beberapa tema-tema karakter kebangsaan melalui kasus-kasus yang diangkat. 
Untuk studi penelitian kualitatif ini sangat ditekankan pada wawancara tentang nilai-nilai pembentukan karakter di pesantren. Wawancara dilakukan pada pimpinan pondok pesantren, pada ustad dan santrinya. Lebih lanjut dilakukan juga observasi (pengamatan) tentang aplikasi yang dilakukan oleh para santri dalam membentuk nilai-nilai kepribadian yang berhubungan dengan pembentukan karakter bangsa. Kemudian juga dilakukan studi tokoh, yaitu dengan metode indepth interview dengan para tokoh (ustad), santri, pengasuh, dan orang-orang di sekitar lingkungan pesantren. 
Dalam kegiatan pengolahan informasi ditempuh beberapa langkah. Pertama, membuat proceeding lengkap secara tertulis dan catatan pinggir (berupa resume) dari semua informasi yang diperoleh dari kegiatan observasi dan interview. Kedua, melaksanakan seleksi atau validasi informasi dengan menggunakan teknik trianggulasi sehingga diperoleh data yang akurat dan obyektif, dan dalam waktu bersamaan dilakukan coding data. Ketiga, klasifikasi data ke dalam beberapa kategori data sesuai topik bahasan penelitian. Selanjutnya, dalam proses analisis data digunakan pendekatan analisis kualitatif. Data yang diperoleh melalui instrumen pengumpulan data disusun secara teratur dan sistematis serta selanjutnya dianalisis secara kualitatif, karena kajian ini dapat juga dikategorikan dan disebut sebagai penelitian kualitatif[1]. Penarikan kesimpulan didasarkan pada pemikiran logis dari data yang diperoleh setelah diberi penjelasan dalam bentuk uraian. Data disajikan sekaligus menganalisisnya (deskriptif analisis), dengan kata lain, agar tidak kehilangan relevansinya, penyajian data tidak dipisahkan dari analisisnya, tetapi dilakukan secara bersamaan. Kompilasi dan pengolahan data penelitian dari semua pesantren dilakukan oleh ketua peneliti bersama tim khusus pengolah data yang sekaligus mengembangkan model pendidikan dan manual prosedur berdasarkan best practices yang ditemukan serta mengkaji teori yang relevan. Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk mengembangkan metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk membentuk karakter mulia siswa.

Hasil dan Pembahasan
Pada awalnya pusat pendidikan Islam berada di surau,  langgar,  masjid atau rumah sang  Kiyai. Para  murid  cukup  duduk  di  lantai  dalam  posisi setengah lingkaran, mengitari sang guru. Waktu belajar biasanya dilaksanakan pada waktu malam hari sehabis sholat Maghrib  setelah  terbebas  dari  pekerjaan  sehari-hari. Model pendidikan agama seperti ini masih berlaku hingga saat ini, terutama di pelosok-pelosok pedesaan dan daerah terpencil. Beberapa Pondok Pesantren oleh masyarakat telah dinyatakan sebagai Pondok Pesantren modern dan menjadi model dalam penyelenggaraan pendidikan. Lembaga pendidikan Pondok Pesantren  merupakan lembaga pendidikan yang unik, tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga  agama  tersebut.
            Pondok Pesantren sebagai salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang indigenous Indonesia, mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam mengaplikasikan pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri). Hal itu karena disebabkan karena adanya jiwa dan falsafah serta adanya panca jiwa. Pesantren mempunyai jiwa dan falsafah yang ditanamkan kepada anak didiknya. Jiwa dan falsafah inilah yang akan menjamin kelangsungan sebuah lembaga pendidikan bahkan menjadi motor penggeraknya menuju kemajuan di masa depan. Panca Jiwa yang terdiri dari : a) keikhlasan, b) kesederhanaan, c) kemandirian, d) ukhuwah Islamiyah, dan e) kebebasan dalam menentukan lapangan perjuangan dan kehidupan. Panca jiwa ini menjadi landasan ideal bagi semua gerak langkah pondok pesantren. Implementasi panca jiwa dalam pendidikan sangat diperhatikan di pesantren modern Babussalam Langkat, Sumatera Utara.
            Pesantren menerapkan totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga seluruh apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh santri adalah pendidikan. Selain menjadikan keteladanan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan miliu juga sangat penting. Lingkungan pendidikan itulah yang ikut mendidik. Penciptaan lingkungan dilakukan melalui : a) penugasan, b) pembiasaan, c) pelatihan, d) pengajaran, e) pengarahan, serta f) keteladanan. Semua hal tersebut mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam pembentukan karakter anak didik. Pemberian tugas disertai pemahaman akan dasar-dasar filosofisnya, sehingga anak didik akan mengerjakan berbagai macam tugas dengan kesadaran dan keterpanggilan. Setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan, sebagai contoh dalam kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian, kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan dan kepemimpinan. Dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani, penanaman sportivitas, kerja sama (team work) dan kegigihan untuk berusaha.
            Pengaturan kegiatan dalam pendidikan Pesantren ditangani oleh Organisasi Pelajar yang terbagi dalam banyak bagian, seperti bagian Ketua, Sekretaris, Bendahara, Keamanan, Pengajaran, Penerangan, Koperasi Pelajar, Koperasi Dapur, Kantin Pelajar, Bersih Lingkungan, Pertamanan, Kesenian, Ketrampilan, Olahraga, Penggerak Bahasa, dan lain-lain. Kegiatan Kepramukaan juga ditangani oleh Koordinator Gerakan Pramuka dengan beberapa andalan; Ketua Koordinator Kepramukaan, Andalan koordinator urusan kesekretariatan, Andalan koordinator urusan keuangan, Andalan koordinator urusan latihan, Andalan koordinator urusan perpustakaan, Andalan koordinator urusan perlengkapan, Andalan koordinator urusan kedai pramuka, dan Pembina gugus depan. Pendidikan organisasi ini sekaligus untuk kaderisasi kepemimpinan melalui pendidikan self government. Sementara itu pada level asrama ada organisasi sendiri, terdiri dari ketua asrama, bagian keamanan, penggerak bahasa, kesehatan, bendahara dan ketua kamar. Setiap club olah raga dan kesenian juga mempunyai struktur organisasi sendiri, sebagaimana konsulat (kelompok wilayah asal santri) juga dibentuk struktur keorganisasian. Seluruh kegiatan yang ditangani organisasi pelajar ini dikawal dan dibimbing oleh para senior mereka yang terdiri dari para guru staf pembantu pengasuhan santri, dengan dukungan guru-guru senior yang menjadi pembimbing masing-masing kegiatan. Secara langsung kegiatan pengasuhan santri ini diasuh oleh Pimpinan Pondok yang sekaligus sebagai Pengasuh Pondok. Pengawalan secara rapat, berjenjang dan berlapis-lapis juga dilakukan oleh para santri senior dan guru di hampir semua pesantren modern yang diteliti, dengan menjalankan tugas pengawalan dan pembinaan, sebenarnya mereka juga sedang melalui sebuah proses pendidikan kepemimpinan, karena semua santri, terutama santri senior dan guru adalah kader yang sedang menempuh pendidikan. Pimpinan Pondok membina mereka melalui berbagai macam pendekatan : a) pendekatan program, b) pendekatan manusiawi (personal), dan c) pendekatan idealisme.
            Pendidikan karakter dan moral sangat penting, dalam segala sektor kehidupan. Kebutuhan akan moral dan akhlak karimah dalam berbangsa dan bernegara; ada etika bisnis, etika politik, etika kekuasaan dan etika pergaulan, dalam rangka membangun masyarakat madani yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Karakter nasional bangsa yang merupakan kualitas kepribadian tangguh yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat luas, dan bermuara pada nilai-nilai inti (core values) seperti amanah, menghormati orang lain dan toleran, kejujuran, kasih sayang, tanggung jawab serta kewarganegaraan (sosial), harus dipelihara dan senantiasa direvitalisasi agar selalu bisa menjadi inspirasi, pengobar semangat dan mampu berfungsi sebagai human capital sebuah bangsa karena karakter nasional menentukan ketahanan nasional bangsa yang bersangkutan.
            Pendidikan dilakukan di pondok pesantren (ponpes) berada dalam situasi yang terkontrol karena pengaruh lingkungan bisa diminimalkan. Siswa/santri distrelisasi dari lingkungan yang dapat mempengaruhi moral dan kepribadiannya, bahkan pada ponpes tertentu santri tidak boleh membawa alat komunikasi (HP) seperti di ponpes Syekh Burhanuddin di Riau. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalkan faktor utama yang mempengaruhi kepribadian santri yakni media elektronik dan media cetak yang terkait dengan perilaku artis dan pejabat serta tayangan yang tidak mendidik lainnya.  Faktor lain yang juga dibatasi adalah pergaulan dengan teman sejawat pada pergaulan yang tidak baik. Dalam kehidupan di ponpes, santri hanya bergaul dengan ustadz/guru dan teman sejawat sesama santri. Pergaulan dengan masyarakat sekitar terbatas pada upaya membangun keperdulian dan semangat gotong-royong. Tentu saja hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembentukan karakter karena ”karakter bangsa” yang sudah mulai pudar adalah gotong royong serta menghargai perbedaan dan pendapat orang lain yang seharusnya diwujudkan dalam tepa selira.
Metode pengajaran di pesantren Salafiyah, misalnya pesantren  Syekh Burhanuddin diberikan dalam bentuk, sorogan, bandong, halaqah dan hafalan. Sorogan artinya: belajar secara individual dimana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal antara keduanya. Bandongan  artinya belajar secara kelompok yang diikuti seluruh santri, dan biasanya Kiyai mengunakan bahasa daerah setempat dan langsung menterjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya, halaqah artinya diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa yang diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan kitab. Santri yakin bahwa Kiyai tidak akan mengajarkan hal-hal yang salah dan juga mereka yakin bahwa isi kitab yang dipelajari adalah benar. Masih dalam kegiatan proses belajar mengajar santrinya biasanya seminggu sekali pada saat shalat isya dan subuh, mengadakan  belajar pidato atau belajar memberikan ceramah keagamaan, ceramah keagamaan terserah pada  santri/santriwati, tetapi kebanyakan berkisar pada sejarah Nabi Muhammad Saw, kepahlawan, kejujuran para sahabat dan tema-tema aktual sifatnya, dan juga belajar memberikan kata sambutan dalam berbagai hal, misalnya kemalangan dan kata sambutan lainnya yang dianggap perlu untuk di sampaikan, dan semua santri yang dalam satu kelompok yang disebut dengan khalifah, dan diketuai oleh seseorang dan jumlah santrinya berkisar lebih kurang 30 orang, dan semua santri wajib berpidato atau memberikan kata sambutan dalam berbagai hal, yang sangat unik dilihat dalam satu kelompok  khalifah ini dipilih secara demokratis dari santri yang hadir, dan tidak ada yang keberatan jika pilihannya kalah. Satu kelompok khalaqah tersebut terdiri dari berbagai kelas, dari kelas I s/d kelas VII, jika mereka tidak bisa memberikan pidato dan ceramah keagamaan yang berdurasi lebih kurang 10 menit dan selesai sampai jam 10 malam dan presentasinya sudah dijawalkan dan lebih kurang berjumlah  7 orang atau 10 orang santri, maka mereka dihukum, sampai kegiatan tersebut selesai dilakukan, yang sangat unik disini tidak ada ustad dan ustazah yang mengawasinya, inilah sebenarnya menanamkan kejujuran sejak usia dini dilakukan, tujuannnya supaya santri mandiri dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk menyiapkan materi yang akan disampaikan. Metode pembelajaran dengan menceritakan keteladanan rasul dan menanamkan kejujuran sudah mulai hilang di sekolah dan masyarakat, padahal metode tersebut cukup efektif untuk anak usia dini.
Namun untuk menumbuhkan kemampuan berpikir rasional sejak permulaaan berdiri sampai sekarang pesantren Syekh Burhanudin menyadari perlunya pelajaran umum diberikan di pesantren, dan juga diperkenalkan keterampilan khusus di pesantren, seperti bertani, berternak, bertukang dan pekerjaan lainnya telah akrab dengan kehidupan sehari-hari, dan biasanya kegiatan ini mereka lakukan jika hari libur, tujuannya adalah untuk mengembangkan wawasan dan orientasi santri dari pandangan hiduap yang terlalu berat pada ukhrawi, agar menjadi seimbang dengan orientasi kehidupan duniawi. Adapun prinsif sistem pendidikan pesantren dari pengamatan di lapangan maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Theocentric
Sistem pendidikan pesantren mendasarkan filsafat pendidikannya pada filsafat theocentric, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa sesuatu kejadian berasal, berproses, dan kembali kepada kebenaran Allah Swt. Semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Allah Swt. Semua  aktivitas pendidikan merupakan bagian integral dari totalias kehidupan keagamaan, sehingga kegaitan belajar mengajar tidak memperhitungkan waktu. Dalam praktiknya cenderung mengutamakan sikap dan prilaku yang sangat kuat beroreintasi kepada kehidupan  ukhrawi dan berprilaku sakral dalam kehidupan sehari-hari. Semua perbuatan dilaksanakan dalam struktur relevansinya dengan  hukum agama demi kepentingan hidup ukhrawi.
2.      Sukarela dalam mengabdi
Para pengasuh pondok pesantren memandang semua kegiatan pendidikan adalah ibadah kepada Allah Swt. Sehubungan dengan itu penyelenggaraan pesantren dilaksanakan secara sukarela dan mengabdi kepada sesama dalam rangka mengabdi kepada Allah Swt. Mengingat biaya masuk ke pesantren Syekh Burhanuddin sama sekali tidak memungut biaya, maka honor dan gaji para Kiyai, ustad dan guru tidak tahu dari mana bila menurut anak pendiri pesantren tersebut, tapi ada saja, dan satu yang ditanamkan ayahnya kalau mencari makan jangan dipesantren tapi silakan kerja atau ngajar ketempat lain untuk memenuhi kebuthan hidup untuk istri dan anaknya. Santri merasa wajib menghormati Kiyai dan ustadnya serta saling menghargai sesamanya, sebagai bagian perintah dari agama. Santri yakin bahwa dirinya tidak akan menjadi orang berilmu tanpa guru dan bantuan sesamanya.
3.      Kearifan
Pesantren Syekh Burhanuddin menekankan pentingnya kearifan dalam menyelenggarakan pendidikan pesantren dan dalam tingkah laku sehari-hari. Kearifan yang dimaksud disini adalah bersikap berlaku sabar, rendah hati, patuh pada ketentuan hukum agama, mampu mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama, jika dilihat dari pesantren Syekh Burhanuddin maka memberikan kebebasan pada santri untuk membentuk jati dirinya sebagai santri yang tunduk dan taat pada aturan pesantren.
4.      Kesederhanaan 
Pesantren Syekh Burhanuddin menekankan pentingnya penampilan sederhana sebagai salah satu nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman prilaku sehari-hari bagi seluruh santri/santriwati. Kesederhanaan yang dimaksudkan disini adalah, tidak tinggi hati dan sombong pada santri lain walaupunn dia dari golongan orang kaya, ada satu hal yang unik dari pengasuh pondok pesantren jika mereka mau membeli mobil atau keperluan prabot rumah tangga, maka  para pengasuh pondok pesantren berdiskusi dengan santri/santriwati dan memberikan penerangan bahwa apa yang mereka beli memang adalah kebutuhan yang sangat mendesak sekali, misalnya mobil, dan akhirnya para santri menerimanya, atau kalau seandainya mau menjual dan menganti mobil lain maka disini terjadi diskusi, supaya jangan ada salah paham dengan santri  lain, hal ini sebenarnya wajar, mengingat tidak ada sama sekali biaya yang dikutip dari santri, dari uang masuk, makan, penginapan, uang bulanan dan lain-lain.
5.      Kolektivitas
Pesantren Syekh Burhanuddin menekankan kebersamaan lebih tingi dari pada kepentingan pribadi. Dalam dunia pesantren berlaku pendapat bahwa “mengutamakan kepentingan orang banyak dari pada kepentingan pribadi, tetapi dalam hal kewajiban orang harus mendahulukan kewajiban diri sendiri sebelum orang lain, sedang dalam hal memilih atau memutuskan sesuatu “santri harus memelihara hal-hal baik yang telah ada, dan mengembangkan hal-hal yang baru yang baik. Kedua nilai tetap berlaku, dan kamar tidur yang berukuran 2 x 3 m ditempati dua atau tiga santri,  dan kamar tersebut adalah berdinding papan dan beralaskan papan, dan yang lebih uniknya bangunan kamar itu adalah dibangun oleh santri tersebut dengan cara saling membantu, dan bangunan tersebut jika santri sudah selesai maka dengan ikhlas diberikan kepada generasi berikutnya, sedangkan santriwati ada bangunan khusus yang permanen yang telah disiapkan pondok pesantern, dan mereka juga saling menolong satu sama lain, jika terlambat uang kiriman dari uang tuanya, maka mereka berusaha bersama untuk membantu meringankan rekannya tersebut, dan juga ada kamar mandi umum untuk laki-laki dan perempuan, walaupun dari tempat tersebut ada berapa ratus meter dari kamar mandi santri ada sungai yang airnya sangat jernih sekali.
6.      Mengatur Kegiatan Bersama
Kegiatan bersama yang dilakukan oleh para santri bisanya bersifat relatif dan mengikat, dilakukan oleh santri dengan bimbingan ustad dan kiayai. Para santri mengatur hampir semua kegiatan proses belajar mengajar terutama berkenaan dengan kegiatan kokurikurer, dari pembentukan, penyusunan sampai pelaksanaan dan pengembangannya, dan juga mengatur kegiataan, peribadatan, olah raga kursus-kursus keterampilan dan sebagainya. Selama kegiatan dan apa yang direncanakan oleh santri tidak menyimpang dari Islam dan ketentuan pesantren.
7.      Ukhuwah Diniyah
Kehidupan diliputi dengan suasana persaudaraan yang akrab, persatuan dan gotong royong, sehingga segala kesenangan di rasakan bersama dan kesulitan dapat diatasi bersama. Hal ini dapat terwujud karena keyakinan dan pandangan hidup mereka sama, bahwa manusia di ciptakan dan berada di bumi ini  tidak lain hanyalah untuk mengabdi kepada sang kholik, yaitu Allah SWT. Sebagai hamba yang beriman (mukmin) mereka akan merasa bersaudara dengan sesama dan berbuat baik terhadap mereka.
8.      Kebebasan
Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari segi kurikulum dan bebas secara politis. Kebebasan dari sisi kurikulum berarti bahwa pondok Pesantren Syekh Burhanuddin tidak terikat oleh kurikulum Departemen Agama maupun Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan kebebasan secara politis Pesantren Syekh Burhanuddin merupakan lembaga independen, tidak berafiliasi bahkan terlibat pada salah satu pada partai politik maupun ormas tertentu. Dalam konteks santri, kebebasan di sini berarti penanaman sikap demokratis. Mereka bebas berpikir, bebas dalam menentukan jalan hidupnya kelak di masyarakat, optimis dalam menghadapi hidup ini. Namun semua itu dilakukan dalam batas-batas syari’at Islam.
Situasi pembelajaran dengan kondisi terkontrol tersebut dapat diterapkan pada sekolah  penuh hari (full-day school). Namun tidak semua faktor lingkungan dapat dikontrol sehingga beberapa penyesuaian harus dilakukan. Kondisi lain yang sangat berbeda dengan karakteristik ponpes adalah keteladanan yang ditunjukkan oleh kiyai/ustadz. Aspek afektif sangat besar porsinya pada pendidikan di ponpes, sedangkan aspek kognitif lebih dominan pada pendidikan umum (non-pesantren). Besarnya aspek afektif dapat dilihat dari keikhlasan ustadz mengajar dengan bayaran yang minim bahkan ada yang mengajar secara sukarela (tidak dibayar). Membentuk siswa yang memiliki jiwa yang ikhlas merupakan suatu permasalahan tersendiri di sekolah formal yang tidak memiliki guru yang perhatian kepada siswa.  Jadi untuk dapat menerapkan pendidikan karakter, pengelola sekolah ataupun pemerintah harus menetapkan standar khusus dan perekrutan untuk mendapatkan guru yang memenuhi syarat.
            Ponpes salafiyah tidak memiliki kurikulum yang jelas, sedangkan ponpes modern memiliki kurikulum dan standar pembelajaran yang jelas. Pembentukan karakter tidak dititipkan dalam tiap pelajaran yang diberikan tapi dilakukan secara holistic dengan menerapkan aturan, keteladanan, dan hal-hal lain yang dapat dijadikan model bagi pendidikan di sekolah umum. Pendidikan holistik membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek/potensi spiritual, potensi emosional, potensi intelektual (intelegensi & kreativitas), potensi sosial, dan potensi jasmani siswa secara optimal. Kondisi ini berbeda dengan grand design pendidikan karakter yang dicanangkan oleh Kemendiknas, dimana pendidikan karakter dititipkan pada masing-masing mata pelajaran.
            Membangun karakter itu harus dimulai sedini mungkin, atau bahkan sejak dilahirkan, harus dilakukan secara terus menerus dan terfokus, karena karakter tidak dilahirkan tetapi diciptakan. Pendidikan holistik juga dapat ditujukan untuk membentuk manusia pembelajar sepanjang hayat yang sejati (lifelong learners). Selain itu, pendidikan karakter juga mengembangkan semua potensi anak sehingga menjadi manusia seutuhnya. Dalam hal ini, perkembangan anak harus seimbang, baik dari segi akademiknya maupun segi sosial dan emosinya. Pendidikan di sekolah umum formal selama ini hanya memberi penekanan pada aspek akademik saja dan tidak mengembangkan aspek sosial, emosi, kreatifitas, dan bahkan motorik. Anak hanya dipersiapkan untuk dapat nilai bagus, namun mereka tidak dilatih untuk bisa hidup. Bahkan untuk memperoleh nilai yang bagus, beberapa oknum sekolah memberikan contekan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Dalam kasus tersebut dimensi kejujuran tidak dipentingkan oleh sekolah, bahkan didukung oleh orang tua siswa (kasus ibu Siami yang diusir warga akibat melaporkan kecurangan UN di desa Gadel Surabaya  pada tahun 2011). Dekadensi moral yang mengarah pada pembentukan kepribadian negatif telah dilakukan di sekolah.  
            Pesantren menanamkan beberapa atribut karakter, diantaranya: 1) cinta terhadap Allah SWT, RasulNya dan segenap ciptaanNya: Hal inilah yang menjadi perbedaan antara sekolah umum dengan pesantren. Pesantren lebih menonjolkan agar para santrinya agar tidak melupakan siapa yang menciptakannya yakni Allah SWT dengan mewajibkan baik ibadah wajib ataupun sunnah yang mereka selalu melakukan hal ini secara berjama’ah seperti sholat dhuha dan sholat tahajud serta puasa sunnah. 2) Jujur:  kantin dan koperasi biasanya dikelola oleh santri dengan bimbingan dari ustadz/ustadzah yang bersangkutan. Transaksi di kantin tersebut biasanya dilakukan sendiri yakni tanpa penjaga. Hal inilah yang melatih kejujuran dengan takut kepada Allah atas dosa yang akan mereka dapat jika tidak membayar secara jujur. Di pesantren juga terdapat buku laporan tentang sholat berjamaah dan ibadah sunnah lainnya. Hal ini akan mendidik kejujuran santri dalam melakukan ibadah karena takut pada Allah bukan takut pada aturan pesantren. 3) Kemandirian: di pesantren selalu diajarkan kemandirian dari para santrinya, yakni segala sesuatu menyangkut keperluan dirinya baik dari makan dan pakaian akan diurus sendiri. 4) Kesederhanaan: di Pesantren hidup sederhana sangat diajarkan karena Allah sangat membenci hal berlebihan. Di pesantren mulai dari berpakaian, makan dan minum dituntut untuk keserhanaan, tidak pandang bulu santri berasal dari kalangan ekonomi tinggi atau rendah di pesantren semua disetarakan dan tidak ada perbedaan pelayanan dan aturan. 5) Disiplin: pesantren memiliki aturan yang lebih ketat dari pada sekolah umum. Aturan ini berlaku 24 jam. Mulai dari santri terbangun hingga tertidur kembali ada  aturannya. Hal ini mendidik kedisiplinan tinggi dan belajar menghargai waktu karena pesantren sadar Allah pernah bersabda “demi masa sesungguhnya manusia kerugian”. Jadi alangkah lebih baiknya jika waktu kita manfaatkan sedemikian rupa dalam hal kebaikan.     Salah satu bukti keunggulan pendidikan di pesantren adalah mempraktekkan kebiasaan berkomunikasi menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris yang ternyata meningkatkan kemampuan santri dalam berbahasa. Best practices lain yang diamati di beberapa ponpes adalah kegiatan kebersamaan melalui gotong royong. Pada umumnya kegiatan di ponpes dilakukan berdasarkan pada panca jiwa (keikhlasan, kesederhanaan, kebersamaan, ukhuwah islamiyah).            
Salah satu best practices yang diterapkan pada pendidikan di pesantren adalah disiplin dengan menetapkan jadwal kegiatan, aturan, dan sanksi yang ketat. Disiplin sangat dibutuhkan untuk membentuk santri/siswa yang mampu bekerja keras (dengan gigih dan bersemangat), tentu saja juga harus dilakukan secara cerdas (kognitif). Aspek disiplin juga akan membentuk karakter siswa yang bertanggung jawab dalam melakukan aktivitas dan gigih dalam berupaya mencapai sesuatu yang diinginkan. Tentu saja, aspek disiplin ini perlu dilatih dengan membuat peraturan yang harus dipatuhi, sesuai pernyataan Stein (2000): We can use the guiding principles of character and conduct to make our school communities safer, better disciplined, and more welcoming places to learn and work.
Berdasarkan best practices di beberapa ponpes yang diteliti, dapat dikembangkan desain pembelajaran yang dapat diterapkan oleh lembaga pendidikan. Namun perlu dilakukan beberapa penyesuaian, mengingat perbedaaan karakeristik pendidikan di sekolah umum dengan siswa yang lebih rasional dengan pendidikan di pesantren yang memiliki iklim keteladanan  dan kepercayaan penuh kepada ustadz. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan karakter pada sekolah umum adalah knowing the good. Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekedar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal tersebut. Selama ini banyak orang yang tahu bahwa ini baik dan itu buruk, namun mereka tidak tahu apa alasannya melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak baik. Jadi masih ada gap antara knowing dan acting. Pada pendidikan di sekolah umum, siswa sebaiknya memahami pentingnya memiliki atribut karakter dan menyadari manfaatnya bagi kehidupan di masyarakat.Tahapan yang diajukan dalam teori adalah sebagai berikut: Curiousity (timbulkan rasa ingin tahu anak), Share (ajak berdiskusi), Planning (apa yang akan dilakukan), Action (anak melakukan rencana yang disusun), dan Reflection (anak mengevaluasi apa yang telah ia lakukan).  Untuk membentuk disiplin perlu dibuat beberapa aturan dan jadwal kegiatan yang harus dipatuhi oleh siswa, kemudian siswa diajak berdiskusi tentang aturan/tata tertib beserta sanksinya, siswa juga perlu diajak bertukar pikiran tentang tujuan dan manfaat pelaksanaan kegiatan. Integrasi pembentukan disiplin dalam mata pelajaran adalah penuntasan tugas yang diberikan secara bertanggung jawab dengan rencana kerja yang jelas. Dalam kasus ini siswa diminta membuat refleksi tentang apa yang mereka lakukan dan kendala yang ditemui dalam menyelesaikan tugas atau kegiatan yang diberikan oleh guru.
Atribut karakter lain yang perlu dikembangkan dan sangat terkait dengan karakter kebangsaan adalah kemauan dan kemampuan membantu orang lain. Dengan membiasakan siswa membantu orang lain secara ikhlas, maka sifat empati, toleransi, peduli, dan gotong royong akan terbentuk pada kepribadian siswa. Peningkatan emotional quotient (EQ) yang dilandasi oleh kasih sayang kepada sesama manusia sangat perlu dilakukan sejak dini untuk mengantisipasi maraknya perpecahan dan konflik di kalangan masyarakat. Stevenson (2006) mengatakan: Without a sense of caring there can be no sense of community. Untuk membentuk masysrakat madani, perlu dilakukan pendidikan yang membangun individu yang senantiasa ikhlas membantu orang lain dan tepa selira. Pembentukan karakter ikhlas sebenarnya termasuk dalam spiritual quotient (SQ), namun sangat perlu dikaitkan dengan ketulusan dalam membantu orang lain dengan menolong tanpa pamrih dan tidak mengingat kebaikan diri sendiri jika menolong orang lain. Sekolah perlu menciptakan kegiatan yang membina kepribadian siswa dalam membantu orang lain.  Pada penelitian ini ditemukan bahwa aktivitas santri senior membantu santri yunior dapat dicontoh sebagai model pembelajaran untuk membina karakter tolong menolong. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Miller (2009): The result, one hopes, will be middle schools, high schools, and neighborhoods in which young people care about one another and work with their classmates and neighbors to develop team spirit. Karakter tolong menolong yang berakar dari kepedulian terhadap orang lain merupakan karakter yang dibutuhkan dalam membentuk seorang siswa menjadi pemimpin, seperti dideskripsikan oleh Klaan (2007) tentang pemimpin yang baik: “…. good leader you have known and mentally assigned words and concepts like competent, trustworthy, positive, dependable, cared about people, or kept us informed. Untuk dapat membentuk karakter kepemimpinan yang peduli, maka perlu dilatihkan kebiasaan dan kemampuan memecahkan permasalahan masyarakat sekitar, sesuai dengan saran Baptiste (2009): Being a leader means first identifying a problem and then finding ways to solve that problem.

Simpulan dan Saran
Pembentukan karakter harus dilakukan di sekolah dengan mempertimbangkan interaksi siswa terhadap lingkungan (keluarga dan masyarakat). We can engage parents and other community stakeholders in partnerships to support the principles of character and conduct that help our children make good decisions (Stein, 2000). Oleh sebab itu pendidikan karakter harus dilakukan secara holistik secara terprogram. Berdasarkan penelitian ini, atribut karakter yang paling penting untuk dibentuk adalah kejujuran, disiplin, dan saling tolong menolong. Model pembentukan disiplin yang dapat diusulkan misalnya mengikuti sintaks sebagai berikut:
a.       Penyampaian tujuan dan manfaat kegiatan
b.      Deskripsi aturan dan tata tertib yang harus diikuti, beserta sanksinya
c.       Diskusi tentang tugas dan perencanaan yang harus dibuat oleh siswa
d.      Pelaksanaan kegiatan oleh siswa dan pengawasan oleh guru atau sejawat
e.       Refleksi oleh siswa dalam upaya mengintegrasikan kepemilikan karakter disiplin dalam dirinya.  
Sedangkan  model pembentukan karakter saling tolong menolong dapat mengikuti sintaks sebagai berikut:
1.      Penyampaian tujuan dan manfaat kegiatan
2.      Identifikasi permasalahan social masyarakat/lingkungan yang perlu dan dapat dibantu penyelesaiannya.
3.      Pemaparan solusi yang dapat dilakukan dan diskusi tentang mekanisme penyelesaian masalah
4.      Diskusi tentang peran, tugas dan perencanaan yang harus dibuat oleh siswa dan sekolah. Dalam hal ini para siswa harus saling membantu satu sama lain.
5.      Pelaksanaan kegiatan oleh siswa dengan pengawasan oleh guru dan anggota masyarakat
6.      Refleksi oleh siswa dengan berdiskusi tentang hasil atau dampak kegiatan dan upaya menjaga keberlanjutannya
Untuk merealisasikan dan mengembangkan pendidikan karakter nasional bangsa ada beberapa hal yang memerlukan perhatian pemerintah dan masyarakat: yang pertama adalah penyiapan lembaga pendidikan yang berkualitas, kedua adalah penyiapan tenaga pendidik terutama para kepala sekolah yang mempunyai kapabilitas serta integritas kepribadian tinggi dan yang ketiga adalah penciptaan lingkungan yang kondusif bagi pendidikan karakter anak bangsa. Pertama penyiapan lembaga pendidikan yang berkualitas. Lembaga pendidikan yang mempunyai orientasi character building, mementingkan pendidikan yang integral, mengembangkan dan meningkatkan potensi anak didik dalam segala aspek kemanusiannya. Pendidikan yang berbasis nilai, melakukan transformasi kepribadian, akhlak, tingkah laku, pola fikir dan sikap. Bukan hanya mentransfer informasi dan pengetahuan semata (aspek kognitif) dengan melalaikan aspek afektif dan spikomotorik. Kedua menyiapkan tenaga pendidik terutama kepala-kepala sekolah yang handal untuk merealisasikan tujuan yang ditargetkan. Tenaga pendidik merupakan ujung tombak bagi keberhasilan tujuan pendidikan. Tenaga pendidik dan kepala sekolah yang mencintai tugasnya, mempunyai ruh dan semangat idealisme tinggi, berdedikasi dan mempunyai integritas moral tangguh, mempunyai kecakapan menejerial dan mampu menjadi teladan dalam segala hal bagi anak didiknya. Mereka harus  dipersiapkan sedemikian rupa agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dengan senantiasa meningkatkan diri dan memperbaharui pengetahuan (refresh/up-date), bersikap terbuka terhadap hal-hal baru (open mind) dan bersikap bersedia membantu (helpful). Penciptaan lingkungan sekitar dan suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pendidikan. Diperlukan stabilitas nasional, dukungan keluarga, masyarakat, LSM maupun lembaga lain merupakan pilar-pilar pendukung bagi keberlangsungan iklim pendidikan yang produktif dan berdampak positif bagi terciptanya karakter bangsa peserta didik. Pusat penelitian kebijakan seharusnya membuat usulan pengembangan kebijakan kepada pemerintah berupa: a) penetapan keharusan pencanangan misi sekolah mencakup misi pengembangan karakter siswa, b) penetapan keharusan bagi sekolah untuk membuat dan melaksanakan program pengembangan karakter (terutama: jujur, tolong menolong, dan bertanggungjawab) secara holistik dengan melibatkan orang tua dan masyarakat dengan pengontrolan oleh semua guru, c) penetapan keharusan menegakkan disiplin dan keteladanan di lingkungan sekolah.

Daftar Pustaka Acuan
Arthur, James. (2003). Education with Character, New York: Routledge-Falmer.
Baptiste, Tracey. (2009). Being a leader and making decisions, New York: Infobase Publishing
Kessler, Rachael.  (2000). The Soul of Education: Helping Student to Find Connection, Compassion, and Character at School, Alexandria: ASCD.
Klann, Gene. (2007). Building character: strengthening the heart of good leadership, San Fransisco: John Wiley and Sons
Lickona, T. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam
Miller, Marie-Therese. (2009). Managing Responsibilities, New York: Infobase Publishing
Rich, Dorothy. (2008). Megaskills: Building your child's happiness and success in school and life, Illinois: Sourcebooks, Inc.
Stein, Rita Prager. (2000). Connecting character to conduct : helping students do the right things, Alexandria: ASCD.
Stevenson, Nancy. (2006). Young Person’s Character Education Handbook, Indianapolis: JIST Publishing, Inc.



[1]Analisis kualitatif sebenarnya merupakan tata cara penelitian yang mengahasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan pendekatan kualitatif, seorang peneliti bertujuan untuk mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, hal. 3

No comments:

Post a Comment